“Aira! Melati… kenapa dia nggak bangun?” suara Nina terdengar panik dari luar rumah. Aira tak menjawab. Dia hanya berdiri di samping ranjang kecil itu, memegangi tangan Melati yang semakin dingin. Rasa takut semakin menggerogoti hatinya. Tubuh kecil itu terbaring lemah, mata terpejam rapat, napasnya semakin berat, dan Aira tidak tahu harus berbuat apa lagi.
“Melati… sayang, bangun… ibu di sini.” Suara Aira bergetar, mencoba menenangkan dirinya, tapi percuma. Seolah seluruh dunia berhenti bergerak, membiarkan dia terperangkap dalam kekosongan ini.
Nina akhirnya masuk ke dalam, melihat Aira yang tampak kehilangan harapan. “Aira, kita harus bawa Melati ke rumah sakit. Kita nggak punya waktu lagi,” kata Nina dengan cemas.
Aira menatap Nina dengan mata penuh keputusasaan. “Nina, aku nggak punya uang. Dari mana lagi aku bisa cari uang? Aku sudah jual semua yang bisa dijual, mesin jahit, bahkan perhiasan warisan ibu. Apa lagi yang bisa aku lakukan?” Suaranya mulai pecah. Dia merasa terjebak dalam ruang sempit yang penuh kepedihan dan ketakutan.
Nina menggenggam tangan Aira, mencoba memberi ketenangan meskipun hatinya sendiri bergetar. “Aira, kita harus coba. Kalau kamu nggak berusaha, apa yang akan terjadi sama Melati? Kita nggak bisa diam aja.”
Aira menunduk, melihat Melati yang masih terbaring tak bergerak. “Tapi... aku nggak bisa, Nina. Aku nggak tahu apa lagi yang bisa aku lakukan. Aku nggak punya apa-apa.” Suaranya hampir tidak terdengar, tenggelam dalam rasa takut yang tak tertahankan.
Nina berbalik dan berjalan ke luar sebentar. Beberapa menit kemudian, dia kembali membawa selembar kertas. “Aku dengar ada seorang dokter yang sering membantu orang-orang nggak mampu. Aku sudah hubungi dia. Kalau kita pergi sekarang, mungkin kita masih bisa mendapatkan pertolongan.”
“Apa… apa dia mau membantu kita? Aku nggak punya apa-apa. Aku cuma punya harapan, tapi apakah itu cukup?” Aira menatap Nina dengan penuh kebingungan, masih ragu dengan apa yang baru saja didengar.
“Ini satu-satunya kesempatan kita, Aira. Kamu harus percaya, meskipun kita nggak punya banyak, kita tetap bisa berjuang. Dan aku yakin, Melati butuh kita. Kita nggak bisa menyerah.”
Aira menatap wajah Melati, yang kini terbaring dengan wajah pucat, tubuhnya semakin lemah. Aira merasakan hatinya teriris. Dia ingin melakukan lebih dari sekadar berdoa, lebih dari sekadar berharap. Melati adalah satu-satunya alasan dia masih bertahan hidup. Satu-satunya alasan dia masih bisa bernafas.
“Baiklah, Nina. Kita pergi,” kata Aira dengan suara yang tergetar, mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa ini bukan sekadar mimpi buruk yang tak akan pernah berakhir.
Mereka berjalan keluar rumah, menuju jalanan yang sudah mulai gelap. Aira merasakan setiap langkahnya semakin berat. Setiap detik yang berlalu terasa seperti beban yang semakin menekan dadanya. Tapi dia tahu, dia tidak bisa berhenti. Dia harus berjuang. Untuk Melati. Untuk anaknya.
Sesampainya di rumah sakit, Aira dan Nina dibawa ke ruang perawatan. Dokter yang mereka temui adalah seorang pria paruh baya dengan wajah serius, tapi ada sesuatu dalam tatapannya yang memberi sedikit harapan pada Aira.
“Dokter… tolong selamatkan Melati,” Aira berkata dengan suara bergetar. “Kami nggak punya uang, tapi saya akan melakukan apapun untuk anak saya.”
Dokter itu mengangguk pelan, tapi matanya tidak menunjukkan kepastian. “Kami akan mencoba yang terbaik, Ibu. Namun, Anda harus tahu, kondisi Melati sudah sangat kritis. Perawatan ini tidak murah.”
Aira menahan napas, serasa seluruh tubuhnya menjadi kaku. “Saya… saya tahu. Saya hanya punya harapan. Tolong, saya mohon.”
Dokter itu menghela napas panjang, kemudian berbalik dan memerintahkan perawat untuk mempersiapkan ruang perawatan intensif. Aira dan Nina berdiri di luar, sementara perawat mulai bekerja dengan cepat, membawa Melati ke ruang perawatan.
“Aira, kita sudah lakukan yang terbaik. Kita tidak bisa menyerah sekarang,” Nina berkata pelan, meski terlihat jelas kegelisahan di wajahnya.
Aira menutup matanya, berusaha mengusir semua ketakutan yang menghantui dirinya. Setiap detik yang berlalu membuat dadanya semakin sesak, namun ia tahu, ia tidak boleh menyerah. Melati, anak yang sudah menjadi pusat dunianya, membutuhkan dia lebih dari apapun.
Setelah beberapa lama, dokter keluar dari ruang perawatan dengan ekspresi wajah yang sulit ditebak.
“Dokter… bagaimana kondisi Melati?” tanya Aira dengan suara gemetar.
Dokter itu menghela napas panjang, lalu mengangguk pelan. “Kami akan terus berusaha. Tapi kondisi Melati sangat kritis. Kami memerlukan biaya untuk perawatan lanjutan. Anda harus segera membayar uang muka.”
Aira terdiam, merasa seolah seluruh tubuhnya jatuh ke tanah. “Saya… saya tidak punya uang, dokter. Apa yang harus saya lakukan? Melati butuh bantuan sekarang…”
Dokter itu menatapnya dengan pandangan serius. “Ibu, kami bisa memberikan perawatan dasar sementara, tapi untuk perawatan intensif, Anda harus menyediakan dana yang cukup. Jika tidak, kami tidak bisa melanjutkan perawatan.”
Aira merasa tercekik. Dunia terasa begitu sempit, dan dia tidak tahu harus bagaimana lagi. Uang yang dia miliki tidak cukup. Perasaan putus asa mulai menguasai dirinya, namun ada satu hal yang masih menguatkan dirinya Melati. Anak kecil yang begitu penuh harapan.
Aira mengingat apa yang dikatakan Nina sebelumnya: “Jika kamu nggak berusaha, siapa lagi yang bisa bantu Melati?”
Dengan mata penuh air mata, Aira menatap dokter itu. “Dokter, saya akan cari cara. Tolong, jangan biarkan Melati pergi.”
Ketegangan yang terbangun sejak tadi membuat Aira hampir kehilangan akal. Namun, rasa cinta yang mendalam untuk Melati membuatnya bertekad. Ia tidak akan membiarkan anaknya pergi begitu saja.
Aira berjalan keluar dari rumah sakit, tubuhnya terasa lelah dan lemas. Di tangannya, sebuah amplop tipis berisi tagihan yang tak terbayangkan. Sisa waktu yang diberikan dokter hanya satu hari. Hanya satu hari lagi untuk bisa menyelamatkan Melati, anaknya yang terbaring lemah di ruang perawatan.Nina berjalan di sampingnya, diam, memberi ruang bagi Aira untuk berpikir. Namun, mereka tahu waktu terus berjalan, dan semakin sedikit yang bisa mereka lakukan.“Bagaimana kita bisa mendapatkan uang sebanyak itu dalam waktu yang sesingkat ini, Aira?” Nina akhirnya bertanya, suaranya penuh kecemasan.Aira menggenggam amplop itu lebih erat, matanya berkerut, berusaha mencari solusi di tengah kepanikan yang merasuki dirinya. “Aku harus bisa. Aku tidak punya pilihan lain.” Suaranya terdengar tegas, meski hatinya penuh keraguan. “Melati tidak boleh mati karena kekurangan uang. Aku harus cari cara apapun.”Nina menepuk bahu Aira dengan lembut. “Kamu kuat, Aira. Kita akan cari jalan.”Aira menatap N
Aira duduk diam di ruang tunggu rumah sakit, matanya kosong menatap dinding yang tampak buram di depannya. Tangannya menggenggam tas plastik yang berisi beberapa baju yang baru saja diambil di rumah, namun hatinya kosong, jauh dari kenyamanan apapun. Di luar sana, kehidupan berjalan seperti biasa, sementara di dalam dirinya, dunia seakan runtuh.Nina, sahabat sekaligus teman dekat yang selalu ada di sisi Aira, duduk di sampingnya, menatap Aira dengan penuh perhatian. “Aira, kamu harus kuat. Melati butuh kamu,” kata Nina pelan, berusaha memberi semangat meski di balik kata-kata itu ada rasa takut yang sama.Aira menatap Nina, matanya mulai basah. “Aku takut, Nina. Aku takut aku nggak bisa membantu Melati. Aku nggak tahu harus berbuat apa lagi,” jawab Aira, suara penuh kecemasan.Tak lama setelah itu, seorang perawat keluar dari ruang perawatan dengan wajah yang serius. "Ibu Aira? Dokter meminta Anda segera masuk. Kami sudah melakukan beberapa pemeriksaan lanjutan." Perawat itu terseny
Aira terjaga sepanjang malam, pikirannya terus berputar tak henti. Setiap detik yang berlalu semakin menambah rasa berat di dadanya. Melati masih terbaring tak berdaya di ruang perawatan rumah sakit, dan meskipun dokter sudah berusaha menenangkan, kenyataan bahwa pengobatan untuk kanker otak membutuhkan biaya yang sangat besar terus menggelayuti pikirannya.Pagi itu, Aira duduk di sisi tempat tidur Melati, memandangi wajah putrinya yang pucat dan lemah. Ia tahu, jika tidak ada uang untuk pengobatan lebih lanjut, hidup Melati mungkin hanya tinggal beberapa hari saja. Apa yang bisa ia lakukan? Hanya Tuhan yang tahu, dan Aira merasa seolah berada di ujung jurang yang tak terjangkau.Tiba-tiba, pintu kamar rumah sakit terbuka, dan Nina masuk dengan wajah penuh kekhawatiran. "Aira, aku bawa sarapan. Kamu harus makan," kata Nina lembut sambil membawa kantong plastik berisi roti dan segelas air. Namun, Aira hanya menggelengkan kepala, matanya kosong, seakan tak mampu menerima kenyataan.Nina
Aira menggenggam erat tas plastik yang berisi uang yang dikumpulkan oleh Nina, teman terbaiknya. Setiap lembar uang itu terasa begitu berat di tangannya. Setelah berhari-hari terjebak dalam kebingungan dan rasa putus asa, kini ia memiliki sedikit harapan. Meskipun jumlah uang yang terkumpul belum cukup untuk membayar seluruh biaya pengobatan, namun setidaknya itu memberi mereka kesempatan untuk memulai langkah pertama operasi untuk mengangkat tumor di otak Melati.Aira bergegas menuju meja administrasi rumah sakit, hatinya berdegup kencang. Setiap langkah terasa seperti ujian yang lebih berat. Begitu sampai di meja, Aira menyerahkan uang itu kepada petugas, matanya masih penuh kecemasan.“Saya ingin membayar biaya untuk tindakan operasi Melati,” kata Aira dengan suara bergetar. “Ini semua yang saya punya. Mohon, bantu kami.”Petugas itu melihat uang yang diberikan, lalu menatap Aira dengan ekspresi serius. “Kami mengerti, Ibu. Kami akan segera memprosesnya. Namun, biaya untuk tindakan
Waktu terasa berjalan begitu lambat. Aira duduk di ruang tunggu rumah sakit, matanya tak lepas dari pintu ruang operasi yang terkunci rapat. Dengan setiap suara langkah kaki di lorong, jantungnya berdegup lebih cepat. Operasi untuk mengangkat tumor Melati sudah dimulai beberapa jam yang lalu, dan meskipun dokter telah memberi penjelasan tentang semua kemungkinan, Aira merasa setiap detik semakin sulit untuk ditunggu. Semua yang ada di dalam dirinya hanyalah satu hal Melati harus selamat. Ia tidak bisa membayangkan kehilangan anak itu.Nina duduk di samping Aira, mencoba menenangkan sahabatnya. Wajah Nina juga tampak tegang, matanya berkaca-kaca. "Aira, kita harus tetap percaya. Melati kuat, dia pasti bisa melalui ini."Aira menatap Nina dengan mata yang lelah. "Aku hanya ingin dia baik-baik saja, Nina. Aku ingin dia bisa kembali bermain, tertawa seperti dulu." Suaranya bergetar, tetapi ia berusaha untuk tetap kuat di hadapan sahabatnya.Tiba-tiba, pintu ruang tunggu terbuka, dan seora
Waktu terasa berjalan begitu lambat. Aira duduk di ruang tunggu rumah sakit, matanya tak lepas dari pintu ruang operasi yang terkunci rapat. Dengan setiap suara langkah kaki di lorong, jantungnya berdegup lebih cepat. Operasi untuk mengangkat tumor Melati sudah dimulai beberapa jam yang lalu, dan meskipun dokter telah memberi penjelasan tentang semua kemungkinan, Aira merasa setiap detik semakin sulit untuk ditunggu. Semua yang ada di dalam dirinya hanyalah satu hal Melati harus selamat. Ia tidak bisa membayangkan kehilangan anak itu.Nina duduk di samping Aira, mencoba menenangkan sahabatnya. Wajah Nina juga tampak tegang, matanya berkaca-kaca. "Aira, kita harus tetap percaya. Melati kuat, dia pasti bisa melalui ini."Aira menatap Nina dengan mata yang lelah. "Aku hanya ingin dia baik-baik saja, Nina. Aku ingin dia bisa kembali bermain, tertawa seperti dulu." Suaranya bergetar, tetapi ia berusaha untuk tetap kuat di hadapan sahabatnya.Tiba-tiba, pintu ruang tunggu terbuka, dan seora
Aira menggenggam erat tas plastik yang berisi uang yang dikumpulkan oleh Nina, teman terbaiknya. Setiap lembar uang itu terasa begitu berat di tangannya. Setelah berhari-hari terjebak dalam kebingungan dan rasa putus asa, kini ia memiliki sedikit harapan. Meskipun jumlah uang yang terkumpul belum cukup untuk membayar seluruh biaya pengobatan, namun setidaknya itu memberi mereka kesempatan untuk memulai langkah pertama operasi untuk mengangkat tumor di otak Melati.Aira bergegas menuju meja administrasi rumah sakit, hatinya berdegup kencang. Setiap langkah terasa seperti ujian yang lebih berat. Begitu sampai di meja, Aira menyerahkan uang itu kepada petugas, matanya masih penuh kecemasan.“Saya ingin membayar biaya untuk tindakan operasi Melati,” kata Aira dengan suara bergetar. “Ini semua yang saya punya. Mohon, bantu kami.”Petugas itu melihat uang yang diberikan, lalu menatap Aira dengan ekspresi serius. “Kami mengerti, Ibu. Kami akan segera memprosesnya. Namun, biaya untuk tindakan
Aira terjaga sepanjang malam, pikirannya terus berputar tak henti. Setiap detik yang berlalu semakin menambah rasa berat di dadanya. Melati masih terbaring tak berdaya di ruang perawatan rumah sakit, dan meskipun dokter sudah berusaha menenangkan, kenyataan bahwa pengobatan untuk kanker otak membutuhkan biaya yang sangat besar terus menggelayuti pikirannya.Pagi itu, Aira duduk di sisi tempat tidur Melati, memandangi wajah putrinya yang pucat dan lemah. Ia tahu, jika tidak ada uang untuk pengobatan lebih lanjut, hidup Melati mungkin hanya tinggal beberapa hari saja. Apa yang bisa ia lakukan? Hanya Tuhan yang tahu, dan Aira merasa seolah berada di ujung jurang yang tak terjangkau.Tiba-tiba, pintu kamar rumah sakit terbuka, dan Nina masuk dengan wajah penuh kekhawatiran. "Aira, aku bawa sarapan. Kamu harus makan," kata Nina lembut sambil membawa kantong plastik berisi roti dan segelas air. Namun, Aira hanya menggelengkan kepala, matanya kosong, seakan tak mampu menerima kenyataan.Nina
Aira duduk diam di ruang tunggu rumah sakit, matanya kosong menatap dinding yang tampak buram di depannya. Tangannya menggenggam tas plastik yang berisi beberapa baju yang baru saja diambil di rumah, namun hatinya kosong, jauh dari kenyamanan apapun. Di luar sana, kehidupan berjalan seperti biasa, sementara di dalam dirinya, dunia seakan runtuh.Nina, sahabat sekaligus teman dekat yang selalu ada di sisi Aira, duduk di sampingnya, menatap Aira dengan penuh perhatian. “Aira, kamu harus kuat. Melati butuh kamu,” kata Nina pelan, berusaha memberi semangat meski di balik kata-kata itu ada rasa takut yang sama.Aira menatap Nina, matanya mulai basah. “Aku takut, Nina. Aku takut aku nggak bisa membantu Melati. Aku nggak tahu harus berbuat apa lagi,” jawab Aira, suara penuh kecemasan.Tak lama setelah itu, seorang perawat keluar dari ruang perawatan dengan wajah yang serius. "Ibu Aira? Dokter meminta Anda segera masuk. Kami sudah melakukan beberapa pemeriksaan lanjutan." Perawat itu terseny
Aira berjalan keluar dari rumah sakit, tubuhnya terasa lelah dan lemas. Di tangannya, sebuah amplop tipis berisi tagihan yang tak terbayangkan. Sisa waktu yang diberikan dokter hanya satu hari. Hanya satu hari lagi untuk bisa menyelamatkan Melati, anaknya yang terbaring lemah di ruang perawatan.Nina berjalan di sampingnya, diam, memberi ruang bagi Aira untuk berpikir. Namun, mereka tahu waktu terus berjalan, dan semakin sedikit yang bisa mereka lakukan.“Bagaimana kita bisa mendapatkan uang sebanyak itu dalam waktu yang sesingkat ini, Aira?” Nina akhirnya bertanya, suaranya penuh kecemasan.Aira menggenggam amplop itu lebih erat, matanya berkerut, berusaha mencari solusi di tengah kepanikan yang merasuki dirinya. “Aku harus bisa. Aku tidak punya pilihan lain.” Suaranya terdengar tegas, meski hatinya penuh keraguan. “Melati tidak boleh mati karena kekurangan uang. Aku harus cari cara apapun.”Nina menepuk bahu Aira dengan lembut. “Kamu kuat, Aira. Kita akan cari jalan.”Aira menatap N
“Aira! Melati… kenapa dia nggak bangun?” suara Nina terdengar panik dari luar rumah. Aira tak menjawab. Dia hanya berdiri di samping ranjang kecil itu, memegangi tangan Melati yang semakin dingin. Rasa takut semakin menggerogoti hatinya. Tubuh kecil itu terbaring lemah, mata terpejam rapat, napasnya semakin berat, dan Aira tidak tahu harus berbuat apa lagi.“Melati… sayang, bangun… ibu di sini.” Suara Aira bergetar, mencoba menenangkan dirinya, tapi percuma. Seolah seluruh dunia berhenti bergerak, membiarkan dia terperangkap dalam kekosongan ini.Nina akhirnya masuk ke dalam, melihat Aira yang tampak kehilangan harapan. “Aira, kita harus bawa Melati ke rumah sakit. Kita nggak punya waktu lagi,” kata Nina dengan cemas.Aira menatap Nina dengan mata penuh keputusasaan. “Nina, aku nggak punya uang. Dari mana lagi aku bisa cari uang? Aku sudah jual semua yang bisa dijual, mesin jahit, bahkan perhiasan warisan ibu. Apa lagi yang bisa aku lakukan?” Suaranya mulai pecah. Dia merasa terjebak