Aira berjalan keluar dari rumah sakit, tubuhnya terasa lelah dan lemas. Di tangannya, sebuah amplop tipis berisi tagihan yang tak terbayangkan. Sisa waktu yang diberikan dokter hanya satu hari. Hanya satu hari lagi untuk bisa menyelamatkan Melati, anaknya yang terbaring lemah di ruang perawatan.
Nina berjalan di sampingnya, diam, memberi ruang bagi Aira untuk berpikir. Namun, mereka tahu waktu terus berjalan, dan semakin sedikit yang bisa mereka lakukan.
“Bagaimana kita bisa mendapatkan uang sebanyak itu dalam waktu yang sesingkat ini, Aira?” Nina akhirnya bertanya, suaranya penuh kecemasan.
Aira menggenggam amplop itu lebih erat, matanya berkerut, berusaha mencari solusi di tengah kepanikan yang merasuki dirinya. “Aku harus bisa. Aku tidak punya pilihan lain.” Suaranya terdengar tegas, meski hatinya penuh keraguan. “Melati tidak boleh mati karena kekurangan uang. Aku harus cari cara apapun.”
Nina menepuk bahu Aira dengan lembut. “Kamu kuat, Aira. Kita akan cari jalan.”
Aira menatap Nina, menyusun rencana dalam pikirannya. “Aku akan mulai dengan pergi ke pasar. Mungkin ada yang membutuhkan bantuan, atau mungkin ada barang yang bisa aku jual lagi.”
Tanpa menunggu jawaban, Aira segera melangkah pergi menuju pasar. Langkahnya cepat, tergesa-gesa, dan hampir tak terarah. Setiap detik terasa seperti berlalu terlalu lama, dan setiap langkahnya semakin terasa berat. Waktu semakin menipis.
Pasar tradisional yang ramai dengan hiruk-pikuk pedagang dan pembeli tidak membuat Aira merasa lebih baik. Ia berhenti di depan salah satu lapak, memandangi barang-barang yang dijual. Setiap barang yang terlihat justru membuatnya merasa lebih tertekan. “Aku harus jual apa lagi?” gumamnya pelan. Setiap benda yang ia lihat adalah kenangan kenangan akan kehidupan yang pernah ia miliki bersama suaminya, kenangan akan masa-masa yang lebih baik.
Seorang pedagang tua mendekatinya dan tersenyum ramah. “Beli apa, Neng? Murah, kok.”
Aira hanya mengangguk, masih terbenam dalam pikirannya. “Saya… saya butuh uang. Mungkin Anda tahu di mana saya bisa meminjam uang atau mencari pekerjaan?”
Pedagang itu menatap Aira dengan sorot mata prihatin. “Apa kamu tidak bisa jual sesuatu yang lebih berharga? Punya barang-barang berharga, Neng? Kalau nggak ada, kamu bisa coba bantu di warung saya.”
Aira menggelengkan kepala. “Tidak, saya tidak punya apa-apa lagi. Tapi… saya bisa bantu di warung. Bisa kerja apa saja.”
Pedagang itu berpikir sejenak, lalu mengangguk. “Baiklah, kamu bantu saya di sini beberapa jam. Saya bayar setelah kamu bantu bersihkan lapak saya dan rapikan barang-barang. Kalau kamu siap, mari.”
Aira tidak berpikir panjang lagi. “Terima kasih. Saya akan bantu, semampu saya.”
Beberapa jam berlalu, Aira bekerja keras membantu pedagang itu merapikan lapaknya, meski keringat bercucuran dan tubuhnya semakin terasa lelah. Setelah pekerjaan selesai, pedagang itu memberi Aira sejumlah uang kecil lebih sedikit dari yang ia harapkan, namun lebih baik daripada tidak sama sekali.
“Terima kasih, Neng,” kata pedagang itu sambil tersenyum. “Semoga uang ini bisa sedikit membantu.”
Aira menatap uang yang diberikan pedagang itu, hati merasa campur aduk. Hanya sedikit, tapi ini adalah usaha pertamanya. “Terima kasih, Pak. Ini sangat berarti,” jawab Aira, meski ia tahu itu tidak cukup.
Namun, ia tidak bisa berhenti. Satu tempat belum cukup, dan ia harus terus mencari. Waktu terus berjalan.
Aira melanjutkan pencariannya, pergi dari satu tempat ke tempat lain meminta pekerjaan, menawarkan bantuannya, berusaha mengumpulkan uang secepat mungkin. Beberapa kali, ia berhasil mendapatkan pekerjaan sementara di kedai atau membantu tetangga, meski bayaran yang diterima tidak sebanding dengan apa yang dibutuhkannya.
“Masih kurang, masih jauh dari cukup,” bisiknya saat menghitung sisa uang yang didapatkan. “Harus lebih banyak lagi.”
Dengan tekad yang semakin kuat, Aira akhirnya memutuskan untuk pergi ke rumah orang kaya di dekat perumahan mereka. Selama ini, mereka hanya dikenal sebagai tetangga biasa, namun Aira tahu, mereka mungkin bisa membantu, meski itu terasa memalukan. Ia menggigit bibir, menekan rasa gengsinya.
Ketika sampai di depan pagar besar rumah itu, Aira merasakan ketegangan yang luar biasa. Langkahnya terhenti sejenak, namun ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. “Ini untuk Melati, ini untuk Melati,” katanya berulang-ulang dalam hati, meneguhkan tekadnya.
Dengan langkah tegas, Aira mengetuk pintu. Tak lama kemudian, seorang wanita berkerudung membuka pintu. Wanita itu menatap Aira dengan heran. “Ada apa? Kamu mencari siapa?”
Aira mencoba menahan rasa malu yang menghimpitnya. “Saya Aira. Saya… saya butuh bantuan. Anak saya, Melati, sakit parah dan kami nggak punya uang untuk membawanya ke rumah sakit. Bisa kah Anda membantu?”
Wanita itu menatap Aira dengan tatapan penuh simpati, namun ada keraguan di matanya. “Saya… saya benar-benar tidak tahu bagaimana membantu. Kami sendiri juga tidak banyak uang, dan… maafkan saya.”
Hati Aira merasa hancur mendengar jawaban itu, namun ia tidak bisa menyerah. “Tolong, saya tidak punya pilihan lain. Melati sangat membutuhkan perawatan, dan saya benar-benar sudah kehabisan cara.”
Wanita itu terdiam sejenak, kemudian melihat ke arah dalam rumahnya. Setelah beberapa saat, ia menatap Aira dengan sedikit ragu, lalu berkata, “Saya bisa memberi sedikit saja, tapi itu sudah hampir semuanya yang bisa saya bantu.”
Aira hampir tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. “Terima kasih, terima kasih banyak. Ini sudah lebih dari cukup.”
Wanita itu mengangguk, lalu masuk ke dalam rumah sebentar, kemudian keluar membawa sejumlah uang. Aira menerima uang itu dengan tangan gemetar, mata berkaca-kaca. “Terima kasih. Terima kasih sekali lagi.”
Dengan uang yang kini di tangannya, Aira berlari kembali menuju rumah sakit, napasnya terengah-engah, tetapi rasa harapan semakin menyala. Setiap langkahnya kini terasa lebih ringan.
Setibanya di rumah sakit, Aira menuju meja pendaftaran dan menyerahkan uang yang baru saja ia kumpulkan. “Dokter, saya… saya punya uang untuk perawatan. Tolong, selamatkan anak saya,” katanya dengan suara bergetar, namun penuh harapan.
Dokter yang tadi menangani Melati menatap Aira sejenak, lalu mengangguk. “Kita akan lakukan yang terbaik, Ibu. Terima kasih telah berusaha.”
Aira tersenyum tipis, matanya basah oleh air mata yang hampir jatuh. "Ini belum selesai. Melati akan baik-baik saja."
Di balik senyum tipis itu, Aira tahu satu hal: ia akan berjuang sekuat tenaga untuk anaknya. Tidak ada yang bisa menghentikan perjuangannya.
Aira duduk diam di ruang tunggu rumah sakit, matanya kosong menatap dinding yang tampak buram di depannya. Tangannya menggenggam tas plastik yang berisi beberapa baju yang baru saja diambil di rumah, namun hatinya kosong, jauh dari kenyamanan apapun. Di luar sana, kehidupan berjalan seperti biasa, sementara di dalam dirinya, dunia seakan runtuh.Nina, sahabat sekaligus teman dekat yang selalu ada di sisi Aira, duduk di sampingnya, menatap Aira dengan penuh perhatian. “Aira, kamu harus kuat. Melati butuh kamu,” kata Nina pelan, berusaha memberi semangat meski di balik kata-kata itu ada rasa takut yang sama.Aira menatap Nina, matanya mulai basah. “Aku takut, Nina. Aku takut aku nggak bisa membantu Melati. Aku nggak tahu harus berbuat apa lagi,” jawab Aira, suara penuh kecemasan.Tak lama setelah itu, seorang perawat keluar dari ruang perawatan dengan wajah yang serius. "Ibu Aira? Dokter meminta Anda segera masuk. Kami sudah melakukan beberapa pemeriksaan lanjutan." Perawat itu terseny
Aira terjaga sepanjang malam, pikirannya terus berputar tak henti. Setiap detik yang berlalu semakin menambah rasa berat di dadanya. Melati masih terbaring tak berdaya di ruang perawatan rumah sakit, dan meskipun dokter sudah berusaha menenangkan, kenyataan bahwa pengobatan untuk kanker otak membutuhkan biaya yang sangat besar terus menggelayuti pikirannya.Pagi itu, Aira duduk di sisi tempat tidur Melati, memandangi wajah putrinya yang pucat dan lemah. Ia tahu, jika tidak ada uang untuk pengobatan lebih lanjut, hidup Melati mungkin hanya tinggal beberapa hari saja. Apa yang bisa ia lakukan? Hanya Tuhan yang tahu, dan Aira merasa seolah berada di ujung jurang yang tak terjangkau.Tiba-tiba, pintu kamar rumah sakit terbuka, dan Nina masuk dengan wajah penuh kekhawatiran. "Aira, aku bawa sarapan. Kamu harus makan," kata Nina lembut sambil membawa kantong plastik berisi roti dan segelas air. Namun, Aira hanya menggelengkan kepala, matanya kosong, seakan tak mampu menerima kenyataan.Nina
Aira menggenggam erat tas plastik yang berisi uang yang dikumpulkan oleh Nina, teman terbaiknya. Setiap lembar uang itu terasa begitu berat di tangannya. Setelah berhari-hari terjebak dalam kebingungan dan rasa putus asa, kini ia memiliki sedikit harapan. Meskipun jumlah uang yang terkumpul belum cukup untuk membayar seluruh biaya pengobatan, namun setidaknya itu memberi mereka kesempatan untuk memulai langkah pertama operasi untuk mengangkat tumor di otak Melati.Aira bergegas menuju meja administrasi rumah sakit, hatinya berdegup kencang. Setiap langkah terasa seperti ujian yang lebih berat. Begitu sampai di meja, Aira menyerahkan uang itu kepada petugas, matanya masih penuh kecemasan.“Saya ingin membayar biaya untuk tindakan operasi Melati,” kata Aira dengan suara bergetar. “Ini semua yang saya punya. Mohon, bantu kami.”Petugas itu melihat uang yang diberikan, lalu menatap Aira dengan ekspresi serius. “Kami mengerti, Ibu. Kami akan segera memprosesnya. Namun, biaya untuk tindakan
Waktu terasa berjalan begitu lambat. Aira duduk di ruang tunggu rumah sakit, matanya tak lepas dari pintu ruang operasi yang terkunci rapat. Dengan setiap suara langkah kaki di lorong, jantungnya berdegup lebih cepat. Operasi untuk mengangkat tumor Melati sudah dimulai beberapa jam yang lalu, dan meskipun dokter telah memberi penjelasan tentang semua kemungkinan, Aira merasa setiap detik semakin sulit untuk ditunggu. Semua yang ada di dalam dirinya hanyalah satu hal Melati harus selamat. Ia tidak bisa membayangkan kehilangan anak itu.Nina duduk di samping Aira, mencoba menenangkan sahabatnya. Wajah Nina juga tampak tegang, matanya berkaca-kaca. "Aira, kita harus tetap percaya. Melati kuat, dia pasti bisa melalui ini."Aira menatap Nina dengan mata yang lelah. "Aku hanya ingin dia baik-baik saja, Nina. Aku ingin dia bisa kembali bermain, tertawa seperti dulu." Suaranya bergetar, tetapi ia berusaha untuk tetap kuat di hadapan sahabatnya.Tiba-tiba, pintu ruang tunggu terbuka, dan seora
“Aira! Melati… kenapa dia nggak bangun?” suara Nina terdengar panik dari luar rumah. Aira tak menjawab. Dia hanya berdiri di samping ranjang kecil itu, memegangi tangan Melati yang semakin dingin. Rasa takut semakin menggerogoti hatinya. Tubuh kecil itu terbaring lemah, mata terpejam rapat, napasnya semakin berat, dan Aira tidak tahu harus berbuat apa lagi.“Melati… sayang, bangun… ibu di sini.” Suara Aira bergetar, mencoba menenangkan dirinya, tapi percuma. Seolah seluruh dunia berhenti bergerak, membiarkan dia terperangkap dalam kekosongan ini.Nina akhirnya masuk ke dalam, melihat Aira yang tampak kehilangan harapan. “Aira, kita harus bawa Melati ke rumah sakit. Kita nggak punya waktu lagi,” kata Nina dengan cemas.Aira menatap Nina dengan mata penuh keputusasaan. “Nina, aku nggak punya uang. Dari mana lagi aku bisa cari uang? Aku sudah jual semua yang bisa dijual, mesin jahit, bahkan perhiasan warisan ibu. Apa lagi yang bisa aku lakukan?” Suaranya mulai pecah. Dia merasa terjebak
Waktu terasa berjalan begitu lambat. Aira duduk di ruang tunggu rumah sakit, matanya tak lepas dari pintu ruang operasi yang terkunci rapat. Dengan setiap suara langkah kaki di lorong, jantungnya berdegup lebih cepat. Operasi untuk mengangkat tumor Melati sudah dimulai beberapa jam yang lalu, dan meskipun dokter telah memberi penjelasan tentang semua kemungkinan, Aira merasa setiap detik semakin sulit untuk ditunggu. Semua yang ada di dalam dirinya hanyalah satu hal Melati harus selamat. Ia tidak bisa membayangkan kehilangan anak itu.Nina duduk di samping Aira, mencoba menenangkan sahabatnya. Wajah Nina juga tampak tegang, matanya berkaca-kaca. "Aira, kita harus tetap percaya. Melati kuat, dia pasti bisa melalui ini."Aira menatap Nina dengan mata yang lelah. "Aku hanya ingin dia baik-baik saja, Nina. Aku ingin dia bisa kembali bermain, tertawa seperti dulu." Suaranya bergetar, tetapi ia berusaha untuk tetap kuat di hadapan sahabatnya.Tiba-tiba, pintu ruang tunggu terbuka, dan seora
Aira menggenggam erat tas plastik yang berisi uang yang dikumpulkan oleh Nina, teman terbaiknya. Setiap lembar uang itu terasa begitu berat di tangannya. Setelah berhari-hari terjebak dalam kebingungan dan rasa putus asa, kini ia memiliki sedikit harapan. Meskipun jumlah uang yang terkumpul belum cukup untuk membayar seluruh biaya pengobatan, namun setidaknya itu memberi mereka kesempatan untuk memulai langkah pertama operasi untuk mengangkat tumor di otak Melati.Aira bergegas menuju meja administrasi rumah sakit, hatinya berdegup kencang. Setiap langkah terasa seperti ujian yang lebih berat. Begitu sampai di meja, Aira menyerahkan uang itu kepada petugas, matanya masih penuh kecemasan.“Saya ingin membayar biaya untuk tindakan operasi Melati,” kata Aira dengan suara bergetar. “Ini semua yang saya punya. Mohon, bantu kami.”Petugas itu melihat uang yang diberikan, lalu menatap Aira dengan ekspresi serius. “Kami mengerti, Ibu. Kami akan segera memprosesnya. Namun, biaya untuk tindakan
Aira terjaga sepanjang malam, pikirannya terus berputar tak henti. Setiap detik yang berlalu semakin menambah rasa berat di dadanya. Melati masih terbaring tak berdaya di ruang perawatan rumah sakit, dan meskipun dokter sudah berusaha menenangkan, kenyataan bahwa pengobatan untuk kanker otak membutuhkan biaya yang sangat besar terus menggelayuti pikirannya.Pagi itu, Aira duduk di sisi tempat tidur Melati, memandangi wajah putrinya yang pucat dan lemah. Ia tahu, jika tidak ada uang untuk pengobatan lebih lanjut, hidup Melati mungkin hanya tinggal beberapa hari saja. Apa yang bisa ia lakukan? Hanya Tuhan yang tahu, dan Aira merasa seolah berada di ujung jurang yang tak terjangkau.Tiba-tiba, pintu kamar rumah sakit terbuka, dan Nina masuk dengan wajah penuh kekhawatiran. "Aira, aku bawa sarapan. Kamu harus makan," kata Nina lembut sambil membawa kantong plastik berisi roti dan segelas air. Namun, Aira hanya menggelengkan kepala, matanya kosong, seakan tak mampu menerima kenyataan.Nina
Aira duduk diam di ruang tunggu rumah sakit, matanya kosong menatap dinding yang tampak buram di depannya. Tangannya menggenggam tas plastik yang berisi beberapa baju yang baru saja diambil di rumah, namun hatinya kosong, jauh dari kenyamanan apapun. Di luar sana, kehidupan berjalan seperti biasa, sementara di dalam dirinya, dunia seakan runtuh.Nina, sahabat sekaligus teman dekat yang selalu ada di sisi Aira, duduk di sampingnya, menatap Aira dengan penuh perhatian. “Aira, kamu harus kuat. Melati butuh kamu,” kata Nina pelan, berusaha memberi semangat meski di balik kata-kata itu ada rasa takut yang sama.Aira menatap Nina, matanya mulai basah. “Aku takut, Nina. Aku takut aku nggak bisa membantu Melati. Aku nggak tahu harus berbuat apa lagi,” jawab Aira, suara penuh kecemasan.Tak lama setelah itu, seorang perawat keluar dari ruang perawatan dengan wajah yang serius. "Ibu Aira? Dokter meminta Anda segera masuk. Kami sudah melakukan beberapa pemeriksaan lanjutan." Perawat itu terseny
Aira berjalan keluar dari rumah sakit, tubuhnya terasa lelah dan lemas. Di tangannya, sebuah amplop tipis berisi tagihan yang tak terbayangkan. Sisa waktu yang diberikan dokter hanya satu hari. Hanya satu hari lagi untuk bisa menyelamatkan Melati, anaknya yang terbaring lemah di ruang perawatan.Nina berjalan di sampingnya, diam, memberi ruang bagi Aira untuk berpikir. Namun, mereka tahu waktu terus berjalan, dan semakin sedikit yang bisa mereka lakukan.“Bagaimana kita bisa mendapatkan uang sebanyak itu dalam waktu yang sesingkat ini, Aira?” Nina akhirnya bertanya, suaranya penuh kecemasan.Aira menggenggam amplop itu lebih erat, matanya berkerut, berusaha mencari solusi di tengah kepanikan yang merasuki dirinya. “Aku harus bisa. Aku tidak punya pilihan lain.” Suaranya terdengar tegas, meski hatinya penuh keraguan. “Melati tidak boleh mati karena kekurangan uang. Aku harus cari cara apapun.”Nina menepuk bahu Aira dengan lembut. “Kamu kuat, Aira. Kita akan cari jalan.”Aira menatap N
“Aira! Melati… kenapa dia nggak bangun?” suara Nina terdengar panik dari luar rumah. Aira tak menjawab. Dia hanya berdiri di samping ranjang kecil itu, memegangi tangan Melati yang semakin dingin. Rasa takut semakin menggerogoti hatinya. Tubuh kecil itu terbaring lemah, mata terpejam rapat, napasnya semakin berat, dan Aira tidak tahu harus berbuat apa lagi.“Melati… sayang, bangun… ibu di sini.” Suara Aira bergetar, mencoba menenangkan dirinya, tapi percuma. Seolah seluruh dunia berhenti bergerak, membiarkan dia terperangkap dalam kekosongan ini.Nina akhirnya masuk ke dalam, melihat Aira yang tampak kehilangan harapan. “Aira, kita harus bawa Melati ke rumah sakit. Kita nggak punya waktu lagi,” kata Nina dengan cemas.Aira menatap Nina dengan mata penuh keputusasaan. “Nina, aku nggak punya uang. Dari mana lagi aku bisa cari uang? Aku sudah jual semua yang bisa dijual, mesin jahit, bahkan perhiasan warisan ibu. Apa lagi yang bisa aku lakukan?” Suaranya mulai pecah. Dia merasa terjebak