"Ini, Salma sudah ada disini menemani anda," kata dokter menatap sosok diatas ranjang. Tangannya ingin meraih Salma. Air matanya mulai menetes. Salma berjalan mendekati sosok yang terkulai lemah itu. Dia pun melihat tubuh Rahma yang semakin tak berdaya karena kehabisan banyak darah. Padahal, kemarin masih bisa berjalan, tapi dalam waktu beberapa jam saja, Rahma sudah berubah tak berdaya.Perlahan Salma memegang tangan Rahma yang terus berusaha meraihnya sejak ia masuk ke dalam ruangan. Ada rasa tak sudi melihat perempuan yang telah menjadi madunya secara sembunyi-sembunyi. Namun, ada rasa kasihan dan tak tega melihat kondisinya. "Teh Salma." Dengan nada gemetar, Rahma berusaha menyebut nama itu. "Rahma." Salma pun mencoba memanggilnya. Lantas, duduk di kursi samping ranjang. Ia memegang kedua tangan wanita yang telah merebut suaminya. Wanita yang telah membuatnya murka. Namun, entah kenapa hatinya ikut merasa perih melihat kondisi Rahma yang semakin memburuk."Maaf," ujar Rahm
Papa mengernyitkan kening, ketika melihat wanita tua yang keluar dari ruangan.Sepertinya wajah itu tidak asing. Tapi, siapa?Ia mencoba meniliki-nilik wanita yang menghampiri Salma. Tidak, tidak mungkin.Laki-laki paruh baya itu mengerjapkan mata beberapa kali, meyakinkan bahwa perempuan tua yang ia lihat, bukanlah wanita yang ia kenal. Pasalnya tubuh Hamidah terlihat sedikit rengkuh dan lebih tua darinya. Bahkan bisa dibilang sangat tua. Sedangkan wanita yang ia kenal di masa lalu memiliki umur lebih muda darinya. Ia mencoba abai pada apa yang menganggu pikirannya. "Cepat kita pulang, Salma!" Suara bas Papa membuat orang di sekitar menoleh padanya. "Salma akan pulang pa, tapi izinkan Salma membantu Bu Hamidah sebentar. Dia sudah tua, tidak ada keluarga lain yang menemaninya. Setelah semua selesai, Salma akan pulang." ujar wanita menatap Sang Papa dengan tatapan memohon. Papanya pun tak tega melihat anaknya dengan kantung mata yang membentuk bulatan Seperti terlihat sangat
"Dan, satu hal lagi, kamu harus mendo'akan almarhumah istrimu!"Tama tercengang mendengar berita dari Salma. "Maksudmu, Rahma sudah meninggal?" tanyanya sambil mengernyitkan dahi. Tatapannya tetap pada Salma yang terus memalingkan wajah darinya. Salma menelan saliva dalam-dalam, lalu mengangguk perlahan. Sementara, Hamidah berusaha berdiri dengan tubuh bergetar. Ia berjalan mendekati Tama. Mengangkat tangan kanannya. PlakkSebuah tamparan melayang pada pipi lelaki yang berstatus menantunya itu. "Semua ini gara-gara kamu, tega sekali kamu memanfaatkan kepolosan putriku. Dia tidak mungkin mau merebut suami orang, kalau dari awal kamu mengatakan padanya bahwa kamu sudah beristri."Hamidah terisak, pikirannya masih tertuju pada putrinya yang kini sudah tak ada di dunia. Ada rasa perih yang tak terbendung, ketika mengingat kondisi terakhir Rahma yang seperti tersiksa menahan luka. Wanita tua itu mengusap wajah dengan pilu dan penuh rasa bersalah. Kenapa dulu dia menyetujui pernik
Bab 1[Happy 2nd anniversary sayang... Semoga kamu suka sama hadiah spesialnya.... Love you more and more my honey... Kekasih halalmu, Arkatama..]Kata-kata itu tertulis di memo yang terselip pada buket bunga mawar yang dikirim oleh kurir kerumahku. Anniversary? Bukannya hari ulang tahun pernikahanku dengan Mas Tama masih lama? Apa dia lupa sama bulan dan tanggalnya ya? Tumben juga Mas Tama seromantis ini. Bahkan selama hampir sepuluh tahun menikah, dia tidak pernah memberikan hadiah bunga seperti ini. Justru malah aku yang selalu mengingatkan dan meminta hadiah terlebih dahulu padanya, Setiap kali tiba hari Annyversary pernikahan kami. Selama beberapa detik, kubaca berulang-ulang isi memo yang ditulis Mas Tama. Dua tahun....Dua tahun....Dua tahun. Hanya kata itu yang membuatku mengerutkan kening merasa heran. Pernikahan kami sudah hampir sepuluh tahun. kenapa jadi dua tahun? apa Mas Tama memang salah tulis? Angka 2 dan 10 tahun itu sangat berbeda jauh, tidak mungkin
Bab 2Pov Arkatama[Mas ini serius hadiah untukku? Bukan bingkisan yang nyasar?]Dahiku mengerut saat membaca pesan yang dikirim Salma istriku. Aku tak mengerti apa maksud dari pesan yang dia kirim. Segera kukirim balasan. [Hadiah apa maksudnya?] Akupun terkaget saat melihat pesan balasan dari Salma yang berisi foto buket bunga mawar dan mobil jazz. Hadiah yang seharusnya kukirimkan untuk Rahma, wanita yang telah mengisi hari-hariku terbebas dari kejenuhan. Wanita yang selalu tahu bagaimana memanjakanku saat aku merasa lelah sepulang kerja. Dia tahu kalau aku sudah memiliki istri, karena memang kedekatan kami berawal saat aku sering curhat padanya tentang rumah tanggaku yang begitu-begitu saja. Hingga pada akhirnya aku dan Rahma saling mencintai. Rahma memintaku untuk menikahinya agar hubungan kami tidak terlarang. Dia rela menjadi yang kedua, asal cintaku padanya lebih besar daripada cintaku pada Salma, begitulah permintaannya. Akupun menyetujui pernikahan itu. Tidak ada ke
Hati istri mana yang rela jika sang suami membagi cintanya dengan wanita lain? Apalagi pernikahan yang sudah dibangun bertahun-tahun harus hancur seketika, akibat adanya pihak ketiga. Allah, kuatkan hati ini untuk bisa membuktikan semua prasangka buruk yang sudah menghantui pikiranku.Mas Tama kini sudah berani membohongiku. Entah mulai kapan dia menyembunyikan rahasia terbesar ini dariku. Lihat saja bingkisanku, Mas! Sesuai rencana, aku akan memberikan bingkisan terindah melebihi bingkisan mobil mewah yang diberikan Mas Tama untukku. Ups!!! Bukan bingkisan untukku, tapi terlanjur sampai ditanganku. Mas Tama sangat terkejut melihat kedatanganku yang tiba-tiba. Tentu saja, ini adalah kejutan pertama untuknya. Aku datang ke kantor, tanpa memberi tahunya terlebih dulu. Kulangkahkan kaki seanggun mungkin. Akan kubuktikan padanya, akupun bisa berdandan cantik dan elegan. Tidak hanya melulu diam di rumah mengenakan daster emak-emak yang setiap hari Mas Tama lihat sebagai pemandangan
Kugertakan gigi, amarah mulai naik ke ubun-ubun. Satu bukti jelas nampak terlihat dengan mata kepalaku sendiri. Mas Tama berani berselingkuh di pabrik yang kami rintis dari nol. Hal yang paling mengejutkan, wanita yang saat ini berada dalam pelukan Mas Tama, tengah berbadan dua. Itu berarti, hubungan mereka telah berlangsung lama. Bisa-bisanya aku kecolongan seperti ini.Kuusap dada sekali lagi, berusaha mengatur napas. Allah, Mas Tama yang selama ini sempurna dimataku dan keluarga. Mas Tama yang selama sepuluh tahun selalu romantis padaku. Mas Tama yang setiap malam mengatakan akan tetap mencintai dan setia padaku hingga ujung usia. Kini, semua perkataan itu sirna. Kepercayaan yang kujaga selama sepuluh tahun, seketika hancur berkeping-keping. Lekas kurogoh ponsel dari saku blazer. Berniat merekam video mereka. Bergerak pelan, berusaha tak mengeluarkan suara. Namun, saat kunyalakan kamera dan kuhadapakan kearah mereka, tiba-tiba mereka terdiam. Ah, apa mereka menyadari ada or
"Hallo!" suara wanita itu terdengar jelas dan tak asing ditelingaku. Ya, siapa lagi kalau bukan suara sekertaris Rahma. "Ada apa SEKERTARIS Rahma?!" kutanya to the point sambil menatap tajam Mas Tama. Dia terlihat salah tingkah dan gelisah. Lantas, Mas Tama mendekatiku, lalu berbisik lembut ditelinga kananku, "sini biar mas yang bicara!" Pelan-pelan dia berusaha mengambil alih ponselnya. Namun, segera kutangkis tangannya, mempertahankan ponsel yang masih menempel ditelingaku. "Ada apa? ngomong saja! Pak Tama disamping saya," Nadaku sedikit meninggi. Kekesalan dan kesakitan semakin menyeruak menusuk-nusuk dada. Mas Tama tak berkutik. Wajahnya terhenti disamping wajahku yang sedang berbicara dengan wanita itu, dia sangat kaku. hmmh Mas Tama, Mas Tama, kamu tak bisa menyembunyikan sikapmu, sungguh, kamu terlihat kerakutan. Takut, kalau wanita j*l*ng itu berbicara aneh-aneh padaku. "Ma-ma-maaf bu, saya mau memberi tahu jadwal sama bapak, kalau setelah makan siang ada pertemuan de
"Dan, satu hal lagi, kamu harus mendo'akan almarhumah istrimu!"Tama tercengang mendengar berita dari Salma. "Maksudmu, Rahma sudah meninggal?" tanyanya sambil mengernyitkan dahi. Tatapannya tetap pada Salma yang terus memalingkan wajah darinya. Salma menelan saliva dalam-dalam, lalu mengangguk perlahan. Sementara, Hamidah berusaha berdiri dengan tubuh bergetar. Ia berjalan mendekati Tama. Mengangkat tangan kanannya. PlakkSebuah tamparan melayang pada pipi lelaki yang berstatus menantunya itu. "Semua ini gara-gara kamu, tega sekali kamu memanfaatkan kepolosan putriku. Dia tidak mungkin mau merebut suami orang, kalau dari awal kamu mengatakan padanya bahwa kamu sudah beristri."Hamidah terisak, pikirannya masih tertuju pada putrinya yang kini sudah tak ada di dunia. Ada rasa perih yang tak terbendung, ketika mengingat kondisi terakhir Rahma yang seperti tersiksa menahan luka. Wanita tua itu mengusap wajah dengan pilu dan penuh rasa bersalah. Kenapa dulu dia menyetujui pernik
Papa mengernyitkan kening, ketika melihat wanita tua yang keluar dari ruangan.Sepertinya wajah itu tidak asing. Tapi, siapa?Ia mencoba meniliki-nilik wanita yang menghampiri Salma. Tidak, tidak mungkin.Laki-laki paruh baya itu mengerjapkan mata beberapa kali, meyakinkan bahwa perempuan tua yang ia lihat, bukanlah wanita yang ia kenal. Pasalnya tubuh Hamidah terlihat sedikit rengkuh dan lebih tua darinya. Bahkan bisa dibilang sangat tua. Sedangkan wanita yang ia kenal di masa lalu memiliki umur lebih muda darinya. Ia mencoba abai pada apa yang menganggu pikirannya. "Cepat kita pulang, Salma!" Suara bas Papa membuat orang di sekitar menoleh padanya. "Salma akan pulang pa, tapi izinkan Salma membantu Bu Hamidah sebentar. Dia sudah tua, tidak ada keluarga lain yang menemaninya. Setelah semua selesai, Salma akan pulang." ujar wanita menatap Sang Papa dengan tatapan memohon. Papanya pun tak tega melihat anaknya dengan kantung mata yang membentuk bulatan Seperti terlihat sangat
"Ini, Salma sudah ada disini menemani anda," kata dokter menatap sosok diatas ranjang. Tangannya ingin meraih Salma. Air matanya mulai menetes. Salma berjalan mendekati sosok yang terkulai lemah itu. Dia pun melihat tubuh Rahma yang semakin tak berdaya karena kehabisan banyak darah. Padahal, kemarin masih bisa berjalan, tapi dalam waktu beberapa jam saja, Rahma sudah berubah tak berdaya.Perlahan Salma memegang tangan Rahma yang terus berusaha meraihnya sejak ia masuk ke dalam ruangan. Ada rasa tak sudi melihat perempuan yang telah menjadi madunya secara sembunyi-sembunyi. Namun, ada rasa kasihan dan tak tega melihat kondisinya. "Teh Salma." Dengan nada gemetar, Rahma berusaha menyebut nama itu. "Rahma." Salma pun mencoba memanggilnya. Lantas, duduk di kursi samping ranjang. Ia memegang kedua tangan wanita yang telah merebut suaminya. Wanita yang telah membuatnya murka. Namun, entah kenapa hatinya ikut merasa perih melihat kondisi Rahma yang semakin memburuk."Maaf," ujar Rahm
Suster berlari ke dalam ruangan, ia meminta Salma serta Hamidah untuk segera meninggalkan ruangan. Sedetik kemudian, Hamidah dan Salma keluar dengan keadaan hati tak karuan. Pasalnya, mereka menyaksikan kondisi Rahma yang tiba-tiba kejang. Dengan telaten, Salma mencoba menuntun Hamidah. Lantas, dia membantu mendudukkan Hamidah di ruang tunggu. Wanita tua itu sedikit menepis. Namun, kondisi badan yang sudah tergopoh-gopoh membuatnya tak mampu menahan beban tubuh sendiri. Alhasil, tetap saja dia memegang tangan Salma. Meski dalam hatinya menolak pertolongan itu.Dari awal kedatangan Salma, dia mengira kalau Salma adalah wanita yang tiba-tiba datang, dan akan merusak hubungan anaknya dengan Arkatama. Tatapannya tajam menunjukkan kalau Hamidah benar-benar tidak menyukai kehadiran Salma. Hamidah mengernyitkan kening masih dipenuhi rasa penasaran. Selain dia mengira Salma adalah perebut suami dari anaknya, dia juga curiga tentang kejahatan Salma, sebab dia ditemani dua orang
Kemana kamu, Mas?Rahma kelimpungan, dia tak tahu siapa lagi yang harus dihubungi. Sedangkan, satu nomor kontak pun ia tak ingat. Hanya ada nomor kontak Arkatama yang selalu diingatnya. Tuhan!!! Wanita berpakaian pasien itu merintih. Namun, dalam hatinya ingin marah.Sekuat tenaga, ia menahan sakit yang semakin mendera. Rasa sakit yang telah mencabik-cabik raga. Raga yang dulu selalu ia jaga mati-matian. Serta rasa perih yang telah menusuk dada hingga ke ulu hati. Sebelumnya, ia tak pernah merasa sesakit ini. Pertahanannya semakin runtuh. Serapuh kayu yang sekian lama dimakan rayap, roboh seketika begitu waktunya sudah tiba. Keangkuhan yang selama ini melekat dalam dirinya, karena selalu dipuja-puja oleh lelaki kaya raya dan berparas tampan. Keangkuhan yang datang, ketika semua orang memujinya, bahwa dialah wanita yang paling beruntung karena telah menjadi Ratu Arkatama. Semua itu hancur seketika, dan berbalik menjadi perih yang tak berujung. "Kamu harus ingat pesan abah.
"Tidak, kamu tidak berhak masuk ke dalam rumah ini lagi. Kamu telah menjadi anak durhaka dan lebih pantas di penjara.""Ibu?"Tama terperanjat, menyaksikan ibu yang tiba-tiba keluar dari rumah Salma."Tolong ampuni Tama. Tama menyesal, Bu." "Tidak ada penyesalan yang terletak diawal, apalagi melakukan sesuatu yang tanpa kau sadari itu adalah dosa. Dibmana otakmu ? Di mana nuranimu, Tama?" Firda berbicara dengan gemetar. Dia menggertakkan gigi, tak mampu menahan amarah dan kesedihan yang menyatu. Dia merasa telah gagal menjadi seorang ibu. Gagal mendidik anak lelaki satu-satunya. "Ibuuu,, ampuni Tama! Tama janji akan menerima semua hukuman yang dijatuhkan. Tapi, Tama tidak ingin berpisah dengan Salma."Tama bersimpuh di kaki Firda yang nyaris terjatuh. Namun wanita yang sudah berkeriput itu tidak goyah. Dia tetap membuang pandangannya. Ia menahan bulir bening agar tidak terjun lagi. Air matanya telah habis tumpah ruah sejak mengetahui kelakuan anaknya. Kali ini, air mata itu tel
"Teh...Teh Salma!" Suara parau seseorang memanggilnya lemah membuat langkah Salma terhenti. Sedetik kemudian, dia menoleh. Rahma, Ya, Rahma telah berdiri di depan pintu kamar pasien dengan selang infus yang masih menempel. Hari ini ketegaran Salma terbukti. Meski dia membenci suami dan wanita simpanannya itu, tapi dia tak memperlihatkan kebencian itu pada mereka. Wanita bergamis ungu itu berjalan dengan tegak menghampiri mereka. Salma tertegun melihat dua insan yang terlihat lemah di hadapannya. Meski pada hakikatnya seharusnya dia yang paling lemah disini, karena dia lah yang paling tersakiti. Namun, dia tak memperlihatkan kelemahan di depan mereka. kekuatan telah mendominasi dalam dirinya. "Tidak ada wanita yang kuat, kecuali dia yang berdiri tegak dan menyembunyikan air mata di hadapan pria yang telah mengecewakannya."Begitu pesan Papa yang selalu Salma ingat. "Perempuan kuat adalah perempuan yang mampu bertahan dan bangkit ketika terpuruk. Bukan hanya menangis lemah dan mer
Salma mencoba menekan tombol power pada ponsel itu. "Jangan diaktifkan!" sergah lelaki paruh baya itu. Salma hanya mengernyitkan kening. Kenapa dia tidak boleh mengaktifkan ponselnya? Rahasia apa yang sebenarnya ada dalam ponsel itu? Bukannya sebagai penggugat wajib tahu apa saja barang bukti yang akan dipakai untuk sidang perceraian nanti? "Memangnya kenapa, Pa? Kan Salma juga wajib tahu barang buktinya apa saja, papa saja sudah tahu. Masa Salma nggak boleh tahu."Salma bersikukuh menyalakan ponsel itu. Papa mengehela napas pasrah. Bukan dia pelit. Dia hanya takut, anak perempuannya mengetahui semua video yang ada di dalam galeri ponsel milik Rahma itu. "Sayang, papa hanya nggak mau kamu sakit hati lagi melihatnya!"Papa berusaha mencegah Salma untuk tidak membuka galeri. "Tidak pa, Salma kan udah bilang, insya allah Salma kuat. Papa tenang saja!"Setelah ponsel berbunyi tanda menyala, Salma segera membuka aplikasi yang menurutnya sangat penting. Watsapp, dia membuka semu
"beres bos!"Kudengar percakapan Rio dengan lawan bicaranya di telepon. Aku sedikit curiga, dengan siapa dia berbicara? Sampai-sampai mengangkat telepon saja menjauh. Seharusnya kalau membahas soal bisnis, ya santai saja. Aku juga tidak akan ikut campur soal bisnisnya. Rio terkekeh menghampiriku. "Sorry bro! biassaa, bisnis." Aku hanya tersenyum kecut mambalasnya. Dari tingkahnya saja seperti ada sesuatu yang direncanakan. Cengar-cengir tidak jelas, seperti menyembunyikan sesuatu. Tapi, itu bukan urusanku. Yang terpenting sekarang aku harus segera mendapatkan uang dari hasil penjualan mobilku, untuk makan dan membayar biaya perawatan Rahma. "Gimana? Deal kan?" tanyaku cepat, karena aku sudah harus kembali melihat kondisi Rahma. " Oke deal, 50% gua bayar sekarang!""Oke!"Lalu dia menyodorkan uang tujuh puluh lima juta rupiah padaku. Setelah mendapatkan uang itu, aku segera mencari ojek untuk mengantarku ke klinik. "Gua antar ya, bro?" tawar Rio padaku. "Ah, nggak usah, gua