Hati istri mana yang rela jika sang suami membagi cintanya dengan wanita lain? Apalagi pernikahan yang sudah dibangun bertahun-tahun harus hancur seketika, akibat adanya pihak ketiga. Allah, kuatkan hati ini untuk bisa membuktikan semua prasangka buruk yang sudah menghantui pikiranku.
Mas Tama kini sudah berani membohongiku. Entah mulai kapan dia menyembunyikan rahasia terbesar ini dariku.
Lihat saja bingkisanku, Mas!Sesuai rencana, aku akan memberikan bingkisan terindah melebihi bingkisan mobil mewah yang diberikan Mas Tama untukku.
Ups!!! Bukan bingkisan untukku, tapi terlanjur sampai ditanganku.
Mas Tama sangat terkejut melihat kedatanganku yang tiba-tiba. Tentu saja, ini adalah kejutan pertama untuknya. Aku datang ke kantor, tanpa memberi tahunya terlebih dulu.
Kulangkahkan kaki seanggun mungkin. Akan kubuktikan padanya, akupun bisa berdandan cantik dan elegan. Tidak hanya melulu diam di rumah mengenakan daster emak-emak yang setiap hari Mas Tama lihat sebagai pemandangan di rumah.Dulu, sebelum Mas Tama menikahiku orang-orang menyebutku mirip penyanyi pop terkenal fathin sidqia Lubis, dari penampilan hingga suaraku saat menyanyi. Namun setelah aku menikah dan memutuskan menjadi ibu rumah tangga full di rumah, aku jadi tak sebebas dulu. Karena aku tahu, kewajiban seorang istri adalah menaati suami.
Satu langkah saja keluar rumah tanpa seizin suami. Maka akan dilaknat oleh Allah. Begitu menurut salah satu hadits yang pernah kudengar.
Terlihat jelas kegugupan menguasai Mas Tama. Sungguh kasihan suamiku, Ia tak pandai menutupi salah tingkahnya.Ponsel milik Mas Tama terus bergetar. Herannya, Mas Tama tak langsung mengangkatnya, padahal ponsel itu ia genggam sejak tadi.
"Angkat saja Mas!"
Mas Tama masih salah tingkah didepanku. Dia mengusap wajahnya yang tak berkeringat. Sudah bisa ditebak. Siapa lagi kalau bukan wanita yang semalam menelepon. Kalau bukan wanita itu, tak mungkin Mas Tama mendiamkan panggilan itu didepanku.
"Angkat saja Mas! Apa perlu, aku keluar dulu?" tanyaku santai. Aku tersenyum semanis mungkin.
Mas, Mas, begitu saja kamu sudah kelihatan kikuk.
"Tidak sayang. Duduk saja! Mas angkat teleponnya dulu ya sayang."
Sayang? Memang Mas Tama tidak pandai menyembunyikan rahasia. Tidak seperti biasanya dia memanggilku sayang. Mungkin saking gugupnya, dia jadi salah manggil.
Kutarik kursi depan meja Mas Tama. Duduk, sambil memperhatikan tingkah Mas Tama yang membuatku semakin risih untuk mendekatinya.
Sungguh tak kusangka, baru beberapa tahun Mas Tama menggapai kesuksesan, dia sudah bertingkah di belakangku. Dia hampir lupa, akulah yang pertama kali membantunya membangun perusahaan hingga sebesar sekarang.
Berkat ilmu yang kudapat di bangku kuliah, semua manajemen di Perusahaan bisa dikelola dengan baik. Dari mulai strategi, rencan, prosedur, hingga meluncurkan produk makanan yang berkualitas serta menghasilkan keuntungan yang lumayan. Bahkan bisa merekrut orang-orang yang membutuhkan pekerjaan. Sehingga memberi keuntungan juga untuk pekerja serta toko-toko yang kami pasok. Semua telah kurancang sedemikan rupa hingga memiliki anak cabang dibeberapa kota.
Sungguh Mas Tama lupa akan hal itu.
"Oke, atur saja jadwalnya ya! Oke oke Ko, nanti saya hubungi lagi."
Dia mengakhiri panggilannya secepat kilat, lalu memasukkan ponselnya kedalam saku celananya.
"Siapa Mas?"
aku pura-pura tak tahu, meski dalam hati tak mungkin itu Koko. Biasanya kalau Koko yang menelepon, selalu berbincang lama, dan tak hanya membahas bisnis. Terkadang mereka saling bertukar pikiran bahkan mmengobrol tentang keluarga.
"Itu sayang, biasalah koko."
O....!!!
Mulutku membulat.
Oke Mas, aku akan mengikuti permainan yang kau mulai.
"Sayang, ko tumben datang ke kantor gak bilang-bilang." Mas Tama beranjak dari kursinya, lalu mendekati dan menarik lenganku.
"Duduk sini sayang!"
Dia menddukkanku diatas pangkuannya. Sejujurnya aku sudah tak ingin lagi sedekat ini dengannya. Tapi dia masih suamiku, aku pun menjalankan misi demi membuka kebohongannya selama ini.
Mas Tama mendekatkan wajahnya dengan wajahku. Hidung kami beradu. Bibirnya sudah hampir terpaut dengan bibirku. Namun aku segera berdiri dan berpindah ke sampingnya.
"Malu Mas, ini di kantor. Nanti saja ya di rumah." Rayuku sambil menyandarkan kepalaku dibahunya.
"Ah, maaf sayang. Mas lupa."
Apa dia sering melakukan hal seperti ini dengan si sekertaris itu, di ruangan ini ? Ah, Mas Tama semakin membuat hasratku hilang. Tapi, aku harus tenang, jangan sampai Mas Tama tahu rencanaku. Setidaknya, aku harus bersikap baik padanya sebelum bukti-bukti kecurigaanku terkumpul.
"Mas, aku bosan dirumah terus, aku pengen menyibukkan diri di kantor ini Mas, boleh?"
"Apa sayang? Apa Mas tidak salah denger? bukannya kamu memutuskan untuk tetap di rumah?" Mas Tama malah bertanya balik, ada rasa tak suka tersirat diwajahnya.
Mas Tama terus memanggilku dengan panggilan sayang, romantis memang. Tapi sayang, sepertinya dia sudah keceplosan, karena sudah terlanjur keceplosan, jadi terpaksa dia harus memangilku sayang terus.
"Tidak mas, Mas tidak salah dengar. aku bosan dirumah terus, lagi pula aku kan belum mulai program lagi Mas, sambil menunggu rejeki momongan. Aku pengen ada kegiatan." Aku menggelayut manja ditangannya.
"Yaa kalau memang itu keinginanmu, Mas setuju-setuju aja. Asal kamu tidak boleh cape-cape ya sayang!" Dia mencolek ujung hidungku.
Aku mengangguk menjawabnya.
Yes, rencana pertama berhasil. Itu artinya aku leluasa mencari kebenaran di kantor.
***
Seminggu setelah aku datang dan bergabung di kantor, Mas Tama menjadi lebih sering bersamaku. Berangkat dan pulang pun bersama. Aku tidak pernah membawa mobil sendiri. Akupun tak pernah melihat ada wanita masuk atau pun menelepon Mas Tama saat dia bersamaku.
"Sayang, kamu nggak mau pakai mobil barunya?" Tanyanya saat dalam perjalanan menuju kantor.
"Sayang Mas, nanti lecet itu kan hadiah paling bagus yang pernah Mas kasih." sindirku, aku melirik kearahnya yang masih fokus menyetir. Sengaja aku berkata seperti itu, sebab Mas Tama tak mungkin memberikan mobil itu kalau saja tidak salah kirim alamat.
"Pakai dong sekali-kali! Kan bagus."
Bilang saja Mas kamu nggak mau aku buntuti terus!!
Tak ada sedikitpun keinginan untuk memakainya. Mobilnya pun masih terbalut pita seperti pertama aku terima.
"Sayang Mas, kalau pitanya dibuka nanti jadi jelek."
Mas Tama tertawa renyah mendengar penuturanku. Tak tahu, hatinya berkata apa, karena sungguh itu bingkisan memang bukan untukku.
Arkatama arkatama!!!
"Mas, gimana kalau aku buka cabang, aku pengen buka pabrik japanese cake serta perpaduan dengan cake khas sunda. Sepertinya pangsa pasarnya lumayan Mas." Aku mengutarakan ide ku yang sudah muncul dari bebrapa hari ke belakang
"Bagus sayang coba aja!" Dia memandang lalu memegang daguku.
"Kamu memang pintar sayang, gak salah Mas memilih kamu sebagai istri mas."
Hmmh.. Bisa aja mas kamu gombal.
Setelah tiga puluh menit perjalanan, kami sampai di kantor. Aku menuju ruanganku dan Mas Tama menuju ruanganya. Kerap sekali dia selalu romantis padaku di depan karyawan. Membuat para karyawan iri dengan keromantisan kami.
Heran, sejak awal aku tidak menemukan dimana wanita itu. Wanita dengan nama sekertaris Rahma di ponsel Mas Tama. Seharusnya dia berada dekat Mas Tama kalau memang dia adalah sekertaris. Bahkan, kata sekertaris Gun, tidak ada nama Rahma dalam data pegawai staf kantor.
Dimana wanita itu?
AKu mendesah kasar. Lalu kujatuhkan tas ku diatas sofa.
Jadwalku hari ini mengunjungi bagian pabrik produksi roti dan donat, untuk mengecek perkembangan produksi di lapangan.
Aku segera memakai seragam khusus untuk terjun ke lapangan.
Kulangkahkan kaki sedikit lebih cepat. Tak lupa senyum pada tim karyawan yang sedang sibuk dengn komputernya masing-masing adalah salah satu kewajibanku sebagai istri Mas Tama.
Tiba di ruangan pabrik yang cukup luas, kupanggil Ujang salah satu kepala bagian gudang.
"Jang, aku mau ke gudang sebentar ya ngecek bahan. Berikan saja kuncinya biar saya sendiri yang mengecek. Kamu bisa lanjutkan pekerjaanmu yang lain."
Ujang pun memebrikan kunci gudan padaku.
Saat aku memasukkan kunci, ternyata pintu sudah tak dikunci.alhasil aku melepas kembali kunci itu dari lubangnya.
Ah ujang mungkin lupa menguncinya. Meski dikatakan gudang tapi ke sterillannya terjamin. Karena pabrik makanan, otomatis kebersihan adalah tombak utama.
Terdengar remang-remang suara orang berbicara. Ah, bukannya gudang ini hanya Ujang yang menyimpan kuncinya.
Kudekati sumber suara dari balik rak tinggi."Mas, aku gak bisa terus bersembunyi seperti ini. Lama-lama Teh Salma akan tahu. Apalagi sekarang aku sedang mengandung anakmu Mas!"
Kuintip siapa yang berada dibalik rak itu.
Astagfirullah Mas Tama. Ternyata Mas Tama bersembunyi disini. Apa Mungkin setiap pagi dia berkunjung ke bagian pabrik?
Kuusap dada mengatur nafas.
Aku mengendap-ngendap agar tidak ketahuan oleh mereka lalu aku beringsut duduk dilantai sambil terua menguping pembicaraan mereka.
Dengan hati bergemuruh aku mencoba menenangkan diri. Karena memang ini tujuan pertamaku, membuka kedok Mas Tama yang pura-pura mesra padaku.
Mas Tama!!!
Kugertakan gigi, amarah mulai naik ke ubun ubun. Satu bukti jelas nampak terlihat dengan mata kepalaku sendiri.
Kugertakan gigi, amarah mulai naik ke ubun-ubun. Satu bukti jelas nampak terlihat dengan mata kepalaku sendiri. Mas Tama berani berselingkuh di pabrik yang kami rintis dari nol. Hal yang paling mengejutkan, wanita yang saat ini berada dalam pelukan Mas Tama, tengah berbadan dua. Itu berarti, hubungan mereka telah berlangsung lama. Bisa-bisanya aku kecolongan seperti ini.Kuusap dada sekali lagi, berusaha mengatur napas. Allah, Mas Tama yang selama ini sempurna dimataku dan keluarga. Mas Tama yang selama sepuluh tahun selalu romantis padaku. Mas Tama yang setiap malam mengatakan akan tetap mencintai dan setia padaku hingga ujung usia. Kini, semua perkataan itu sirna. Kepercayaan yang kujaga selama sepuluh tahun, seketika hancur berkeping-keping. Lekas kurogoh ponsel dari saku blazer. Berniat merekam video mereka. Bergerak pelan, berusaha tak mengeluarkan suara. Namun, saat kunyalakan kamera dan kuhadapakan kearah mereka, tiba-tiba mereka terdiam. Ah, apa mereka menyadari ada or
"Hallo!" suara wanita itu terdengar jelas dan tak asing ditelingaku. Ya, siapa lagi kalau bukan suara sekertaris Rahma. "Ada apa SEKERTARIS Rahma?!" kutanya to the point sambil menatap tajam Mas Tama. Dia terlihat salah tingkah dan gelisah. Lantas, Mas Tama mendekatiku, lalu berbisik lembut ditelinga kananku, "sini biar mas yang bicara!" Pelan-pelan dia berusaha mengambil alih ponselnya. Namun, segera kutangkis tangannya, mempertahankan ponsel yang masih menempel ditelingaku. "Ada apa? ngomong saja! Pak Tama disamping saya," Nadaku sedikit meninggi. Kekesalan dan kesakitan semakin menyeruak menusuk-nusuk dada. Mas Tama tak berkutik. Wajahnya terhenti disamping wajahku yang sedang berbicara dengan wanita itu, dia sangat kaku. hmmh Mas Tama, Mas Tama, kamu tak bisa menyembunyikan sikapmu, sungguh, kamu terlihat kerakutan. Takut, kalau wanita j*l*ng itu berbicara aneh-aneh padaku. "Ma-ma-maaf bu, saya mau memberi tahu jadwal sama bapak, kalau setelah makan siang ada pertemuan de
Kutatap wajahku didepan cermin. Hatiku terasa remuk tak tersisa. Mengingat kelakuan Mas Tama yang benar-benar diluar dugaan. Mas Tama begitu pintar merayu, akhir-akhir ini dia lebih sering memanggilku dengan panggilan sayang. Lantas, dia berikan pula gelar itu untuk wanita lain. Kubuka jilbab yang sedikit basah, karena cipratan air. Saat aku hendak berkumur, tiba-tiba pintu terbuka, Mas Tama melangkah cepat menghampiriku. "Sayang, kamu tidak apa-apa?" Dia memijit-mijit bahuku yang sedikit membungkuk. "Nggak mas, mungkin aku belum terbiasa berlama-lama di kantor, jadi sedikit lelah." Kulepas tangan Mas Tama dari bahuku. "Yasudah, Mas antar pulang ya!" Mas Tama memegang bahuku lagi."Tidak Mas, aku baik-baik saja, aku minta tolong bawain jilbab dimejaku Mas! jilbabku yang ini basah.""Pakai jas mas aja dulu!" pintanya seraya membuka jas yang masih membalut tubuhnya. Lalu menutupkannya pada kepalaku. Dia menutup auratku agar tidak dilihat orang lain, tapi dia sendiri menikmati au
Pov RahmaMenjadi istri kedua yang disembunyikan, memang bukanlah sesuatu hal yang patut dibanggakan. Namun, bagaimanapun juga aku membutuhkan Mas Arka.***Mas Arka, seorang bos yang baik hati, semua karyawan tahu itu. Dia selalu memberikan bantuan pada setiap karyawan yang kesusahan. Begitupun denganku, aku termasuk karyawan yang selalu menerima bantuan darinya. Sejak itu pula, aku selalu dihantui rasa hutang budi padanya. Masih teringat jelas, pesan terakhir bapak sebelum beliau meninggal. Meskipun kita bukan berasal dari orang kaya, kita tetap harus pandai menjaga harga diri. Perkataan itu yang selalu terngiang dipikiranku. Sebagai seorang gadis yang menjaga kesucian, aku tak mau melakukan dosa indah itu dengan lelaki yang bukan muhrim. Karenanya, aku meminta Mas Arka menikahiku detik itu juga, saat dia hendak mendekatiku penuh hasrat.Setelah dia menjelaskan tentang kehidupannya, aku pun rela dijadikan yang kedua. Asal aku tidak berdosa, dan kami menikmatinya dengan halal. Set
Pov Rahma"Mas kenapa Mas?"Aku menghampiri Mas Arka yang terlihat kelimpungan. Dia membolak-balikkan kartu persegi kecil dan mengganti dengan kartu yang lain dari dompetnya. lalu memberikannya pada petugas kasir."Maaf, ini juga tidak bisa pak!" Kasir itu menyerahkan kembali kartu yang tadi diberikan Mas Arka. Mas Arka menyambar kartu itu dan terlihat frustasi. Darahku mendidih, rasanya ingin ku tumpahkan didihan darah itu pada Mas Arka yang saat ini ekspresinya seperti orang yang idiot. Aku langsung berlari menghampiri dan mengambil dompet yang dipegang Mas Arka. "Coba lagi Mba kartu yang satu ini!" pintaku memaksa kasir untuk menggesekkan satu kartu lagi yang terselip di dompet Mas Arka. "Sudah, sudah Rahma, hentikan! itu tidak bisa digunakan Rahma!" bentak Mas Arka membuat seluruh karyawan yang ada di dealer melihat ke arah kami. Kugertakan gigi. Beraninya Mas Arka membentakku di depan umum? Aku tidak bisa menyembunyikan rasa malu yang sudah terlanjur terlihat oleh banya
Aku memaksa Mas Arka putar balik.Jangan sampai ponsel itu pindah tangan pada orang lain. Akan tamat riwayatku.Hatiku tak tenang.Mas Arka meraih tanganku yang mulai gemetar."Kenapa tanganmu dingin sayang?"Aku mengigit bibir bawah. Ketakutan menjalar pada seluruh tubuhku. Bagaimana jika ponsel itu tidak ditemukan?"Mas, gimana kalau ponsel itu hilang?" suaraku melemah dan hampir menghilang, lemas tubuh ini, membayangkan berbagai kemungkinan jika ponsel itu benar-benar hilang.aku menatap Mas Arka yang sesekali melirikku.Mas Arka menarik napas panjang, lantas mengangkat kening dan mengembuskan napasnya."Nanti kita pikirkan ya sayang, yang terpenting sekarang kamu tenangkan diri dulu. Mas juga akan mengurus rekening mas dulu ya."Mas Arka menggenggam erat tanganku. Lalu menciumnya berkali-kali. Tidak biasanya Mas Arka mengeluh seperti itu. Dia selalu mengatakan tenang saja sayang, nanti kita beli yang baru. Namun, kali ini tidak. Mas Arka tidak mengatakan itu. Dia masih kebingu
My Last BreathKutatap nama itu di layar ponsel, mendesah pelan, dulu kami pernah berjanji satu sama lain. Cinta kami tidak boleh terpisahkan hingga maut menjemput. Apapun rintangan yang dihadapi, kami akan melaluinya bersama. Hingga, aku dan Mas Tama memberi nama yang cukup romantis di ponsel masing-masing.Ah, bulshitt!!! Semua lelaki sama saja. Tidak ada lelaki setia, saat sudah tergoda wanita lain.Kutelan saliva dalam-dalam, lalu kusentuh nama itu. Bukan khawatir, hanya untuk memastikan posisi Mas Tama dimana. Karena, aku harus menyelesaikan misiku sebelum dia benar-benar datang. Namun, kuurungkan kembali niat untuk menghubunginya. Kugagalkan panggilan yang sudah mulai terhubung. Biarkan saja dia tahu, kalau aku sedang menghukumnya. Mungkin dia akan sadar, apa yang telah dilakukannya merupakan kesalahan fatal. Allah, maafkan hamba yang tak bisa sabar jika di khianati. Kusimpan kembali ponsel diatas nakas, lantas turun menemui Gun. "Kenapa kamu tidak pernah mengatakannya pad
Pov TamaRahma, kutinggalkan wanita itu dalam keadaan nelangsa. Kasihan memang, tapi bagaimana lagi, aku belum bisa berkutik sebelum rekeningku bisa digunakan lagi.Dia selalu menatapku sendu, setiap kali aku pergi meninggalkannya. Bergelayut manja tidak mau lepas dariku."Mas, janji ya setelah urusan rekening selesai mas langsung kesini lagi."Aku mengangguk dan melepaskan tangannya. Lalu kuelus kepalanya sekedar menenangkan hatinya. Entah, aku merasa tidak enak hati. Perasaanku mulai tidak nyaman dengan kondisi seperti ini. Sepanjang jalan, aku tidak bisa fokus mengemudi. Bahkan hampir menabrak pengendara motor. Aku tidak mengerti kenapa rekening tidak bisa digunakan? Bertanya pada Gun, dia bilang tidak mengetahuinya, lagi pula aku sudah menyuruhnya untuk meeting ke kantor cabang di Cianjur. Mana mungkin dia mengurus rekening.Aku mendesah kasar,Apa jangan-jangan Salma yang sudah memblokir rekening ini? tiba-tiba pertanyaan itu terbesit dalam hati.Siittt!!Kupukul setir penuh
"Dan, satu hal lagi, kamu harus mendo'akan almarhumah istrimu!"Tama tercengang mendengar berita dari Salma. "Maksudmu, Rahma sudah meninggal?" tanyanya sambil mengernyitkan dahi. Tatapannya tetap pada Salma yang terus memalingkan wajah darinya. Salma menelan saliva dalam-dalam, lalu mengangguk perlahan. Sementara, Hamidah berusaha berdiri dengan tubuh bergetar. Ia berjalan mendekati Tama. Mengangkat tangan kanannya. PlakkSebuah tamparan melayang pada pipi lelaki yang berstatus menantunya itu. "Semua ini gara-gara kamu, tega sekali kamu memanfaatkan kepolosan putriku. Dia tidak mungkin mau merebut suami orang, kalau dari awal kamu mengatakan padanya bahwa kamu sudah beristri."Hamidah terisak, pikirannya masih tertuju pada putrinya yang kini sudah tak ada di dunia. Ada rasa perih yang tak terbendung, ketika mengingat kondisi terakhir Rahma yang seperti tersiksa menahan luka. Wanita tua itu mengusap wajah dengan pilu dan penuh rasa bersalah. Kenapa dulu dia menyetujui pernik
Papa mengernyitkan kening, ketika melihat wanita tua yang keluar dari ruangan.Sepertinya wajah itu tidak asing. Tapi, siapa?Ia mencoba meniliki-nilik wanita yang menghampiri Salma. Tidak, tidak mungkin.Laki-laki paruh baya itu mengerjapkan mata beberapa kali, meyakinkan bahwa perempuan tua yang ia lihat, bukanlah wanita yang ia kenal. Pasalnya tubuh Hamidah terlihat sedikit rengkuh dan lebih tua darinya. Bahkan bisa dibilang sangat tua. Sedangkan wanita yang ia kenal di masa lalu memiliki umur lebih muda darinya. Ia mencoba abai pada apa yang menganggu pikirannya. "Cepat kita pulang, Salma!" Suara bas Papa membuat orang di sekitar menoleh padanya. "Salma akan pulang pa, tapi izinkan Salma membantu Bu Hamidah sebentar. Dia sudah tua, tidak ada keluarga lain yang menemaninya. Setelah semua selesai, Salma akan pulang." ujar wanita menatap Sang Papa dengan tatapan memohon. Papanya pun tak tega melihat anaknya dengan kantung mata yang membentuk bulatan Seperti terlihat sangat
"Ini, Salma sudah ada disini menemani anda," kata dokter menatap sosok diatas ranjang. Tangannya ingin meraih Salma. Air matanya mulai menetes. Salma berjalan mendekati sosok yang terkulai lemah itu. Dia pun melihat tubuh Rahma yang semakin tak berdaya karena kehabisan banyak darah. Padahal, kemarin masih bisa berjalan, tapi dalam waktu beberapa jam saja, Rahma sudah berubah tak berdaya.Perlahan Salma memegang tangan Rahma yang terus berusaha meraihnya sejak ia masuk ke dalam ruangan. Ada rasa tak sudi melihat perempuan yang telah menjadi madunya secara sembunyi-sembunyi. Namun, ada rasa kasihan dan tak tega melihat kondisinya. "Teh Salma." Dengan nada gemetar, Rahma berusaha menyebut nama itu. "Rahma." Salma pun mencoba memanggilnya. Lantas, duduk di kursi samping ranjang. Ia memegang kedua tangan wanita yang telah merebut suaminya. Wanita yang telah membuatnya murka. Namun, entah kenapa hatinya ikut merasa perih melihat kondisi Rahma yang semakin memburuk."Maaf," ujar Rahm
Suster berlari ke dalam ruangan, ia meminta Salma serta Hamidah untuk segera meninggalkan ruangan. Sedetik kemudian, Hamidah dan Salma keluar dengan keadaan hati tak karuan. Pasalnya, mereka menyaksikan kondisi Rahma yang tiba-tiba kejang. Dengan telaten, Salma mencoba menuntun Hamidah. Lantas, dia membantu mendudukkan Hamidah di ruang tunggu. Wanita tua itu sedikit menepis. Namun, kondisi badan yang sudah tergopoh-gopoh membuatnya tak mampu menahan beban tubuh sendiri. Alhasil, tetap saja dia memegang tangan Salma. Meski dalam hatinya menolak pertolongan itu.Dari awal kedatangan Salma, dia mengira kalau Salma adalah wanita yang tiba-tiba datang, dan akan merusak hubungan anaknya dengan Arkatama. Tatapannya tajam menunjukkan kalau Hamidah benar-benar tidak menyukai kehadiran Salma. Hamidah mengernyitkan kening masih dipenuhi rasa penasaran. Selain dia mengira Salma adalah perebut suami dari anaknya, dia juga curiga tentang kejahatan Salma, sebab dia ditemani dua orang
Kemana kamu, Mas?Rahma kelimpungan, dia tak tahu siapa lagi yang harus dihubungi. Sedangkan, satu nomor kontak pun ia tak ingat. Hanya ada nomor kontak Arkatama yang selalu diingatnya. Tuhan!!! Wanita berpakaian pasien itu merintih. Namun, dalam hatinya ingin marah.Sekuat tenaga, ia menahan sakit yang semakin mendera. Rasa sakit yang telah mencabik-cabik raga. Raga yang dulu selalu ia jaga mati-matian. Serta rasa perih yang telah menusuk dada hingga ke ulu hati. Sebelumnya, ia tak pernah merasa sesakit ini. Pertahanannya semakin runtuh. Serapuh kayu yang sekian lama dimakan rayap, roboh seketika begitu waktunya sudah tiba. Keangkuhan yang selama ini melekat dalam dirinya, karena selalu dipuja-puja oleh lelaki kaya raya dan berparas tampan. Keangkuhan yang datang, ketika semua orang memujinya, bahwa dialah wanita yang paling beruntung karena telah menjadi Ratu Arkatama. Semua itu hancur seketika, dan berbalik menjadi perih yang tak berujung. "Kamu harus ingat pesan abah.
"Tidak, kamu tidak berhak masuk ke dalam rumah ini lagi. Kamu telah menjadi anak durhaka dan lebih pantas di penjara.""Ibu?"Tama terperanjat, menyaksikan ibu yang tiba-tiba keluar dari rumah Salma."Tolong ampuni Tama. Tama menyesal, Bu." "Tidak ada penyesalan yang terletak diawal, apalagi melakukan sesuatu yang tanpa kau sadari itu adalah dosa. Dibmana otakmu ? Di mana nuranimu, Tama?" Firda berbicara dengan gemetar. Dia menggertakkan gigi, tak mampu menahan amarah dan kesedihan yang menyatu. Dia merasa telah gagal menjadi seorang ibu. Gagal mendidik anak lelaki satu-satunya. "Ibuuu,, ampuni Tama! Tama janji akan menerima semua hukuman yang dijatuhkan. Tapi, Tama tidak ingin berpisah dengan Salma."Tama bersimpuh di kaki Firda yang nyaris terjatuh. Namun wanita yang sudah berkeriput itu tidak goyah. Dia tetap membuang pandangannya. Ia menahan bulir bening agar tidak terjun lagi. Air matanya telah habis tumpah ruah sejak mengetahui kelakuan anaknya. Kali ini, air mata itu tel
"Teh...Teh Salma!" Suara parau seseorang memanggilnya lemah membuat langkah Salma terhenti. Sedetik kemudian, dia menoleh. Rahma, Ya, Rahma telah berdiri di depan pintu kamar pasien dengan selang infus yang masih menempel. Hari ini ketegaran Salma terbukti. Meski dia membenci suami dan wanita simpanannya itu, tapi dia tak memperlihatkan kebencian itu pada mereka. Wanita bergamis ungu itu berjalan dengan tegak menghampiri mereka. Salma tertegun melihat dua insan yang terlihat lemah di hadapannya. Meski pada hakikatnya seharusnya dia yang paling lemah disini, karena dia lah yang paling tersakiti. Namun, dia tak memperlihatkan kelemahan di depan mereka. kekuatan telah mendominasi dalam dirinya. "Tidak ada wanita yang kuat, kecuali dia yang berdiri tegak dan menyembunyikan air mata di hadapan pria yang telah mengecewakannya."Begitu pesan Papa yang selalu Salma ingat. "Perempuan kuat adalah perempuan yang mampu bertahan dan bangkit ketika terpuruk. Bukan hanya menangis lemah dan mer
Salma mencoba menekan tombol power pada ponsel itu. "Jangan diaktifkan!" sergah lelaki paruh baya itu. Salma hanya mengernyitkan kening. Kenapa dia tidak boleh mengaktifkan ponselnya? Rahasia apa yang sebenarnya ada dalam ponsel itu? Bukannya sebagai penggugat wajib tahu apa saja barang bukti yang akan dipakai untuk sidang perceraian nanti? "Memangnya kenapa, Pa? Kan Salma juga wajib tahu barang buktinya apa saja, papa saja sudah tahu. Masa Salma nggak boleh tahu."Salma bersikukuh menyalakan ponsel itu. Papa mengehela napas pasrah. Bukan dia pelit. Dia hanya takut, anak perempuannya mengetahui semua video yang ada di dalam galeri ponsel milik Rahma itu. "Sayang, papa hanya nggak mau kamu sakit hati lagi melihatnya!"Papa berusaha mencegah Salma untuk tidak membuka galeri. "Tidak pa, Salma kan udah bilang, insya allah Salma kuat. Papa tenang saja!"Setelah ponsel berbunyi tanda menyala, Salma segera membuka aplikasi yang menurutnya sangat penting. Watsapp, dia membuka semu
"beres bos!"Kudengar percakapan Rio dengan lawan bicaranya di telepon. Aku sedikit curiga, dengan siapa dia berbicara? Sampai-sampai mengangkat telepon saja menjauh. Seharusnya kalau membahas soal bisnis, ya santai saja. Aku juga tidak akan ikut campur soal bisnisnya. Rio terkekeh menghampiriku. "Sorry bro! biassaa, bisnis." Aku hanya tersenyum kecut mambalasnya. Dari tingkahnya saja seperti ada sesuatu yang direncanakan. Cengar-cengir tidak jelas, seperti menyembunyikan sesuatu. Tapi, itu bukan urusanku. Yang terpenting sekarang aku harus segera mendapatkan uang dari hasil penjualan mobilku, untuk makan dan membayar biaya perawatan Rahma. "Gimana? Deal kan?" tanyaku cepat, karena aku sudah harus kembali melihat kondisi Rahma. " Oke deal, 50% gua bayar sekarang!""Oke!"Lalu dia menyodorkan uang tujuh puluh lima juta rupiah padaku. Setelah mendapatkan uang itu, aku segera mencari ojek untuk mengantarku ke klinik. "Gua antar ya, bro?" tawar Rio padaku. "Ah, nggak usah, gua