Bimantara keluar dari rumah Tabib itu. Kedua tangannya mengepal kuat. Dia membenci semuanya. Dia benci telah dibohongi Sang Putri hingga menikah dengannya. Dia benci pada semua keadaan yang telah memanfaatkan dirinya hingga memfitnahnya.“Bimantara! Bimantara!” Suara teriakan dari Sang Putri di dalam sana masih terus terdengar.Bimantara kembali melangkah. Seketika angin puting beliung datang. Dia ternganga melihat puing-puing pepohonan berputar di atas langit. Tak lama kemudian kepalanya terasa sakit. Bimantara terduduk lemah sambil menahan sakit di kepalanya.Seketika semua ingatannya kembali. Ingatan saat pertama kali memasuki Perguruan Matahari, Ingatan bagaimana dia terdampar di pulau itu. Ingatan akan Dahayu. Ingatan akan Para Dewa yang telah memilihnya menjadi Chandaka Uddhiharta. Dan Ingatan saat dia hendak pergi dari daratan itu lalu dihalangi oleh Dewa Air. Seketika Bimantara mengerti, Dewa Air lah yang menghilangkan ingatannya agar Bimantara kembali pada pendiriannya dan ke
“Tunggu!” teriak Bimantara sekali lagi dengan tertatih mengejar gadis itu. Gadis itu terus saja berlari menembus rerumputan di kiri dan kanannya.“Tunggu aku dan tunjukkan siapa dirimu sebenarnya?” teriak Bimantara sekali lagi.Gadis itu berhenti. Bimantara pun berhenti mengejarnya dengan napas tak beraturan. Keringat mengalir di dahinya. Usahanya membuahkah hasil. Dia sangat penasaran siapa gadis itu sebenarnya.“Siapa kamu? Kenapa kamu selalu datang dalam mimpiku?” tanya Bimantara. Ya, gadis itu memang selalu ada dalam mimpinya saat dia kehilangan ingatannya selama ini.Gadis itu akhirnya menoleh. Dia tersenyum pada Bimantara. Bimantara terkejut saat mengetahui ternyata gadis itu adalah Dahayu.“Dahayu?” ucap Bimantara tak percaya.“Berhentilah mengejarku Bimantara,” pinta Dahayu.Air mata Bimantara kembali menetes melihatnya.“Bagaimana aku bisa berhenti, sementara hatimu masih berada di dalam hatiku?” tanya Bimantara sambil terisak.“Semua sudah tidak sama. Alam kita sudah berbeda
Putra Mahkota terkejut melihat kedatangan Sang Raja dengan mata geramnya.“Ayah?”Raja Abinawa mencengkram kerah pakaian kebesaran Putra Mahkota dengan geram.“Apa kamu yang membantu Putri Kidung Putih keluar dari istana?” tanya Sang Raja dengan geramnya.“Tidak, Ayah!”“Jangan bohong! Itu sama saja kamu menyerahkan adikmu sendiri pada pengkhianat kerajaan ini! Bagaimana jika Bimantara memanfaatkannya untuk menghancurkan kerajaan kita?!” teriak Raja Abinawa.“Aku yakin Bimantara tidak seperti yang ayah sangka! Aku yakin ayah sudah terhasut oleh para pengkhianat di kerajaan kita,” jawab Putra Mahkota.“Justru kamulah yang sudah terhasut dengan pengkhianat kerajaan itu! Bimantara diam-diam telah membangun banyak perguruan di negeri ini. Dia menentang aturanku! Apalagi sampai menyembunyikan perguruan itu dengan ajian ilmunya. Itu sama saja dia menantangku!” teriak Raja Abinawa.“Apa ayah sudah menyelidikinya dengan benar?”“Kalau kepala perguruan dan murid-muridnya sudah mengakui bahwa B
Bimantara berdiri sambil menghadap Dewa Air yang mengambang di atas langit sana. Tubuhnya mulai basah diguyur hujan yang turun deras.“Rupanya ingatanmu telah kembali,” ucap Dewa Air.“Kenapa engkau menghilangkan ingatanku?” tanya Bimantara masih menyimpan geram padanya.“Itu karena kamu menyerah dari tugasmu sebagai Chandaka Uddhiharta!” geram Dewa Air.“Aku tak akan menyerah! Aku akan membunuh para Iblis itu dengan segenap kekuatanku!” ucap Bimantara.“Bagus! Sekarang aku tunggu aksimu! Aku berharap tak ada lagi yang menghalangimu untuk itu!”Seketika Dewa Air menghilang dari hadapannya. Mendadak hujan berhenti. Bimantara kembali mendongak ke langit. Dia belum bisa bergerak untuk melakukan aksinya sebelum Putri Kidung Putih pulih kembali.Bimantara kembali masuk ke dalam kediaman Tabib itu. Dia melihat Putri Kidung Putih sudah terbangun.“Kau sudah bangun?” tanya Bimantara.Putri Kidung Putih mengangguk.“Aku harus mengirim surat pada Ibuku,” ucap Putri.“Kau tidak harus mengirim su
Senja sudah mulai datang. Bimantara duduk di bale kediaman Tabib kampung itu. Tongkat hitamnya di letakkan di sisi kanannya. Tabib datang membawa segelas air minum untuknya.“Minumlah,” pinta Tabib padanya.Bimantara pun meraih gelas itu di tangan Tabib itu lalu menyeruputnya perlahan.“Rekasi ramuan sedang bekerja,” ucap Tabib. “Tuan Putri akan mengalami demam untuk beberapa hari mendatang. Aku harap Tuan bisa bersabar dan tenang. Tuan Putri pasti sembuh seperti sedia kala.”“Terima kasih telah membantuku,” ucap Bimantara.Tabib itu menoleh pada Bimantara dan menatapnya dengan lekat.“Bagaimana Tuan bisa mengetahui tempatku?” tanya Tabib itu heran.“Naluriku yang mengantarkan Putri ke sini,” jawab Bimantara.“Apakah benar Tuan adalah Chandaka Uddhiharta yang selama ini ditunggu-tunggu para penduduk di sini?” tanya Tabib itu sekali lagi.“Putri memberitahumu akan hal ini?”Tuan Tabib menggeleng.“Aku sendiri yang mendengarnya. Saat angin puting beliung datang, aku lihat kau bicara pad
Kapal layar yang membentangkan bendera Nusantara tampak mengarungi samudera. Di ujung kapal itu berdiri Raja Dawuh dengan gagahnya. Panglima Adhira berdiri di sebelahnya dengan cemas dan was-was. Raja Dawuh telah menerima surat dari para prajurit utusan Raja Abinawa yang mengundangnya datang ke daratan Manggala. Dia membawa para prajurit yang banyak. Di sekeliling kapal layar terbesar itu, terlihat empat kapal yang mengiringinya. Satu di hadapan, dua di kiri kanan dan satu di belakang. Kapal-kapal itu diisi oleh para prajurit terbaiknya sebagai benteng jika dalam mengarungi samudera itu ada kapal musuh atau perompak yang menghalangi pelayaran mereka. Panglima Adhira menoleh pada Raja Dawuh. “Daratan Manggala sangat jauh, Yang Mulia. Apa yang membuat Yang Mulia tergerak untuk mengunjungi sahabat lama Nusantara itu?” tanya Panglima Adhira. Raja Dawuh menatap lautan di hadapannya dengan sorot mata sembabnya. “Dia ingin menanyakan tentang Chandaka Uddhiharta. Itulah yang membuat aku te
Bimantara mengangkat tongkat hitamnya di hadapan Gavin dan Gala yang sudah terikat di dua batang pohon itu. Seketika tongkat itu berubah menjadi rantai besi yang memiliki bola besi besar. Gavin dan Gala terbelalak mendengarnya.“Sekarang katakan padaku, apa yang kalian rencanakan dengan Panglima Indra?” tanya Bimantara yang seolah hendak mengancam dengan rantai besinya.Gavin dan Gala mencoba melepas ikatan mereka, namun karena ikatan itu telah dibacakan ajian oleh Bimantara, kekuatan mereka tampak tidak berguna.“Cepat ceritakan padaku kalau kalian tak ingin mati dengan rantai besiku ini!” ancam Bimantara.Gavin dan Gala ketakutan mendengarnya.“Ampun, Bimantara. Kami sebenarnya tidak ingin berurusan denganmu. Urusan kami adalah Yang Mulia Raja,” jawab Gavin.“Urusan apa?” tanya Bimantara penasaran.“Ayah dan ibu kami telah dihukum gantung oleh Yang Mulia raja dengan alasan yang tidak jelas,” jawab Gala. “Kami memasuki istana untuk membalaskan dendam kami!”“Lalu kenapa kalian ingin
“Kenapa tidak langsung saja bunuh Bubungkala di dalam gunung Nun sana?” tanya Gavin yang masih terikat di batang pohon itu pada Bimantara. “Bungkahkah itu tujuanmu menjadi Chandaka Uddhiharta? Itu lebih baik dibanding mencari Pangeran itu dan hendak membunuhnya. Dia tak akan bisa menghancurkan istana jika Bubungkala sudah mati.”“Kau pikir aku akan membuat gunung itu meletus?” tanya Bimantara. “Jika aku bunuh Bubungkala sekarang, gunung Nun akan meletus dan akan menghancurkan daratan manggala ini. Aku harus memikirkan caranya agar Bubungkala mati tanpa membuat gunung itu memuntahkan laharnya.”Gavin terdiam.“Kau akan membahayakan Tuan Putri jika meninggalkannya di sini! Kau tahu, Yang Mulia Raja telah mengutus para prajuritnya untuk mencari Tuan Putri!” ucap Gala yang seolah mencegahnya mencari Pangeran Padama. Bagaimana pun dia masih takut jika Pangeran itu akan menebas lehernya karena membuka rahasia itu pada Bimantara dan Tuan Putri.“Aku memiliki cara untuk melindunginya,” ucap B