Dewa Angin datang membuat gelombang laut di bawahnya kian membesar. Tak lama kemudian Dewa Air keluar dari persemayamannya dengan heran.“Ada apa lagi?” tanya Dewa Air dengan heran.“Segera kau kembalikan ingatan Bimantara!” tegas Dewa Angin.Dewa Air tertawa.“Sudah kubilang, jangan ikut campur dengan urusanku! Anak pincang itu sedang berada di dalam pengawasanku. Masamu bersama dia telah selesai. Sekarang Maha Dewa tengah menugaskan aku untuk membimbingnya,” tegas Dewa Air.“Tidakkah kau melihat, ulahmu ini telah memperlambat tugasnya sebagai Chandaka Uddhiharta. Seharusnya Bubungkala sudah lama mati di tangannya, sekarang kau malah mengulur waktunya dan membuat penghuni kerajaan itu menciptakan makar padanya!” ucap Dewa Angin dengan amarah.“Aku memiliki perhitungan atas ini! Kau tenang saja!”“Sampai kapan? Sampai kelima anak raja iblis lainnya keluar bersamaan dari kurungannya?!”Dewa Air tertawa.“Bersabarlah dan percayakan saja padaku!”Dewa Air langsung menghilang dari hadapan
Bimantara keluar dari rumah Tabib itu. Kedua tangannya mengepal kuat. Dia membenci semuanya. Dia benci telah dibohongi Sang Putri hingga menikah dengannya. Dia benci pada semua keadaan yang telah memanfaatkan dirinya hingga memfitnahnya.“Bimantara! Bimantara!” Suara teriakan dari Sang Putri di dalam sana masih terus terdengar.Bimantara kembali melangkah. Seketika angin puting beliung datang. Dia ternganga melihat puing-puing pepohonan berputar di atas langit. Tak lama kemudian kepalanya terasa sakit. Bimantara terduduk lemah sambil menahan sakit di kepalanya.Seketika semua ingatannya kembali. Ingatan saat pertama kali memasuki Perguruan Matahari, Ingatan bagaimana dia terdampar di pulau itu. Ingatan akan Dahayu. Ingatan akan Para Dewa yang telah memilihnya menjadi Chandaka Uddhiharta. Dan Ingatan saat dia hendak pergi dari daratan itu lalu dihalangi oleh Dewa Air. Seketika Bimantara mengerti, Dewa Air lah yang menghilangkan ingatannya agar Bimantara kembali pada pendiriannya dan ke
“Tunggu!” teriak Bimantara sekali lagi dengan tertatih mengejar gadis itu. Gadis itu terus saja berlari menembus rerumputan di kiri dan kanannya.“Tunggu aku dan tunjukkan siapa dirimu sebenarnya?” teriak Bimantara sekali lagi.Gadis itu berhenti. Bimantara pun berhenti mengejarnya dengan napas tak beraturan. Keringat mengalir di dahinya. Usahanya membuahkah hasil. Dia sangat penasaran siapa gadis itu sebenarnya.“Siapa kamu? Kenapa kamu selalu datang dalam mimpiku?” tanya Bimantara. Ya, gadis itu memang selalu ada dalam mimpinya saat dia kehilangan ingatannya selama ini.Gadis itu akhirnya menoleh. Dia tersenyum pada Bimantara. Bimantara terkejut saat mengetahui ternyata gadis itu adalah Dahayu.“Dahayu?” ucap Bimantara tak percaya.“Berhentilah mengejarku Bimantara,” pinta Dahayu.Air mata Bimantara kembali menetes melihatnya.“Bagaimana aku bisa berhenti, sementara hatimu masih berada di dalam hatiku?” tanya Bimantara sambil terisak.“Semua sudah tidak sama. Alam kita sudah berbeda
Putra Mahkota terkejut melihat kedatangan Sang Raja dengan mata geramnya.“Ayah?”Raja Abinawa mencengkram kerah pakaian kebesaran Putra Mahkota dengan geram.“Apa kamu yang membantu Putri Kidung Putih keluar dari istana?” tanya Sang Raja dengan geramnya.“Tidak, Ayah!”“Jangan bohong! Itu sama saja kamu menyerahkan adikmu sendiri pada pengkhianat kerajaan ini! Bagaimana jika Bimantara memanfaatkannya untuk menghancurkan kerajaan kita?!” teriak Raja Abinawa.“Aku yakin Bimantara tidak seperti yang ayah sangka! Aku yakin ayah sudah terhasut oleh para pengkhianat di kerajaan kita,” jawab Putra Mahkota.“Justru kamulah yang sudah terhasut dengan pengkhianat kerajaan itu! Bimantara diam-diam telah membangun banyak perguruan di negeri ini. Dia menentang aturanku! Apalagi sampai menyembunyikan perguruan itu dengan ajian ilmunya. Itu sama saja dia menantangku!” teriak Raja Abinawa.“Apa ayah sudah menyelidikinya dengan benar?”“Kalau kepala perguruan dan murid-muridnya sudah mengakui bahwa B
Bimantara berdiri sambil menghadap Dewa Air yang mengambang di atas langit sana. Tubuhnya mulai basah diguyur hujan yang turun deras.“Rupanya ingatanmu telah kembali,” ucap Dewa Air.“Kenapa engkau menghilangkan ingatanku?” tanya Bimantara masih menyimpan geram padanya.“Itu karena kamu menyerah dari tugasmu sebagai Chandaka Uddhiharta!” geram Dewa Air.“Aku tak akan menyerah! Aku akan membunuh para Iblis itu dengan segenap kekuatanku!” ucap Bimantara.“Bagus! Sekarang aku tunggu aksimu! Aku berharap tak ada lagi yang menghalangimu untuk itu!”Seketika Dewa Air menghilang dari hadapannya. Mendadak hujan berhenti. Bimantara kembali mendongak ke langit. Dia belum bisa bergerak untuk melakukan aksinya sebelum Putri Kidung Putih pulih kembali.Bimantara kembali masuk ke dalam kediaman Tabib itu. Dia melihat Putri Kidung Putih sudah terbangun.“Kau sudah bangun?” tanya Bimantara.Putri Kidung Putih mengangguk.“Aku harus mengirim surat pada Ibuku,” ucap Putri.“Kau tidak harus mengirim su
Senja sudah mulai datang. Bimantara duduk di bale kediaman Tabib kampung itu. Tongkat hitamnya di letakkan di sisi kanannya. Tabib datang membawa segelas air minum untuknya.“Minumlah,” pinta Tabib padanya.Bimantara pun meraih gelas itu di tangan Tabib itu lalu menyeruputnya perlahan.“Rekasi ramuan sedang bekerja,” ucap Tabib. “Tuan Putri akan mengalami demam untuk beberapa hari mendatang. Aku harap Tuan bisa bersabar dan tenang. Tuan Putri pasti sembuh seperti sedia kala.”“Terima kasih telah membantuku,” ucap Bimantara.Tabib itu menoleh pada Bimantara dan menatapnya dengan lekat.“Bagaimana Tuan bisa mengetahui tempatku?” tanya Tabib itu heran.“Naluriku yang mengantarkan Putri ke sini,” jawab Bimantara.“Apakah benar Tuan adalah Chandaka Uddhiharta yang selama ini ditunggu-tunggu para penduduk di sini?” tanya Tabib itu sekali lagi.“Putri memberitahumu akan hal ini?”Tuan Tabib menggeleng.“Aku sendiri yang mendengarnya. Saat angin puting beliung datang, aku lihat kau bicara pad
Kapal layar yang membentangkan bendera Nusantara tampak mengarungi samudera. Di ujung kapal itu berdiri Raja Dawuh dengan gagahnya. Panglima Adhira berdiri di sebelahnya dengan cemas dan was-was. Raja Dawuh telah menerima surat dari para prajurit utusan Raja Abinawa yang mengundangnya datang ke daratan Manggala. Dia membawa para prajurit yang banyak. Di sekeliling kapal layar terbesar itu, terlihat empat kapal yang mengiringinya. Satu di hadapan, dua di kiri kanan dan satu di belakang. Kapal-kapal itu diisi oleh para prajurit terbaiknya sebagai benteng jika dalam mengarungi samudera itu ada kapal musuh atau perompak yang menghalangi pelayaran mereka. Panglima Adhira menoleh pada Raja Dawuh. “Daratan Manggala sangat jauh, Yang Mulia. Apa yang membuat Yang Mulia tergerak untuk mengunjungi sahabat lama Nusantara itu?” tanya Panglima Adhira. Raja Dawuh menatap lautan di hadapannya dengan sorot mata sembabnya. “Dia ingin menanyakan tentang Chandaka Uddhiharta. Itulah yang membuat aku te
Bimantara mengangkat tongkat hitamnya di hadapan Gavin dan Gala yang sudah terikat di dua batang pohon itu. Seketika tongkat itu berubah menjadi rantai besi yang memiliki bola besi besar. Gavin dan Gala terbelalak mendengarnya.“Sekarang katakan padaku, apa yang kalian rencanakan dengan Panglima Indra?” tanya Bimantara yang seolah hendak mengancam dengan rantai besinya.Gavin dan Gala mencoba melepas ikatan mereka, namun karena ikatan itu telah dibacakan ajian oleh Bimantara, kekuatan mereka tampak tidak berguna.“Cepat ceritakan padaku kalau kalian tak ingin mati dengan rantai besiku ini!” ancam Bimantara.Gavin dan Gala ketakutan mendengarnya.“Ampun, Bimantara. Kami sebenarnya tidak ingin berurusan denganmu. Urusan kami adalah Yang Mulia Raja,” jawab Gavin.“Urusan apa?” tanya Bimantara penasaran.“Ayah dan ibu kami telah dihukum gantung oleh Yang Mulia raja dengan alasan yang tidak jelas,” jawab Gala. “Kami memasuki istana untuk membalaskan dendam kami!”“Lalu kenapa kalian ingin
Bimantara berjalan dengan tongkat hitamnya di pedesaan pinggir laut itu. Dia sudah tidak lagi menggunakan kaki cahaya naganya. Dia melihat di pulau seberang sudah tidak ada lagi bangunan tinggi yang memiliki menara yang menjulang. Bagunan Perguruan Matarhari telah lenyap di sana. Perkampungannya tampak sunyi. Beberapa rumah tampak sudah hancur berkeping-keping. Hanya ada beberapa rumah yang tampak baik-baik saja.Bimantara tidak tahu siapa yang masih hidup di negeri itu. Setelah dia memeriksa tiga kerajaan Nusantara yang hancur berkeping-keping, dia mengendalikan naganya untuk kembali ke kampung halamanannya.Bimantara berdiri di sisi tebing itu. Dia teringat saat menemui Dahayu di sana dahulu."Tahun depan aku akan menjadi murid di sana!" ucap Bimantara tiba-tiba. Memecah lamunan tiga remaja di hadapannya itu. Seolah ingin menunjukkan pada Dahayu bahwa tanpa kaki satu, dia masih layak mengejar impiannya. Tiga remaja itu menoleh ke arah Bimantara bersamaan. Saat menyadari yang bicara
Setelah itu keadaan menjadi hening. Putra Mahkota Iblis dan keempat saudaranya benar-benar sudah mati. Bahari tersenyum.“Sekarang aku bisa mati dengan tenang,” ucap Bahari.Bahari pun memejamkan matanya. Kini Bimantara, Tanaka, Pendekar Dua Alam dan Pendekar Sungai Panjang kembali merasakan dingin.Sementara Bimantara langsung berlari menuju Raja Dawuh yang tidak lagi bernyawa itu. Dia memeriksa tubuhnya. Denyut nadinya sudah berhenti. Bimantara menangis sambil memeluk mayatnya.“Maafkan aku yang tidak bisa menjagamu!” isak Bimantara.Tanaka, Pendekar Dua Alam dan Pendekar Sungai Panjang berjalan mendekat ke arahnya.“Kita sudah berhasil Bimantara,” ucap Tanaka.Bimantara pun menutup mata Raja Dawuh lalu berdiri di hadapan ketiga Panglimanya yang tersisa itu.“Tapi kita tidak berhasil mencegah mereka menghancurkan setiap kerajaan di atas muka bumi ini,” ucap Bimantara menyayangkannya. “Dan aku tidak berhasil menjaga Bahari dan Raja Dawuh.”“Aku yakin mereka akan tenang di nirwana kar
“Aku bisa melakukannya tanpa harus membangkitkan Dahayu kembali,” ucap Bimantara.Pendekar Dua Alam mengernyit mendengarnya.“Cahaya di tubuh Dahayu sangat berguna untukmu, Bimantara. Jika cahaya kalian menyatu maka tidak ada satupun yang bisa melawan kalian, termasuk para Iblis itu,” protes Pendekar Dua Alam.“Dahayu telah mengalirkan cahayanya kepadaku,” ujar Bimantara.“Tapi cahayanya telah menyusut di tubuhmu,” protes Pendekar Dua Alam.Raja Dawuh pun bangkit.“Jika kau menolaknya karena sudah mengkhianatinya, aku rasa Dahayu akan mengerti, Bimantara. Kita tidak memiliki cara lain untuk membunuh mereka!” tambah Raja Dawuh.“Jangan paksa aku!” teriak Bimantara.Bimantara pun mengeluarkan tenaga dalamnya, dia pun langsung mengalirkannya pada Pendekar Dua Alam, Raja Dawuh, Bahari, Pendekar Sungai Panjang dan Tanaka.“Jangan lakukan itu, jika tidak tenagamu akan habis!” protes Tanaka yang menerima aliran tenaga dalam dari Bimantara.Bimantara tidak menggubris perkataan Tanaka. Tenaga
“Jangan menangis,” pinta Ki Walang.“Aku tidak berhasil menjadi Chandaka Uddhiharata, Tuan Guru,” isak Bimantara. “Dunia sudah dihancurkan anak-anak iblis itu. Tiga kerajaan Nusantara telah habis terbakar, juga istana-istana di kerajaan lain. Sebentar lagi semua manusia akan mati. Mungkin aku juga akan mati. Padahal aku sudah membawa kelima Panglima terbaik di dunia ini.”“Apakah seperti ini akhirnya seorang murid yang sangat aku banggakan itu?” ucap Ki Walang sedikit marah. “Dahulu aku kagum padanya karena keterbatasannya dia memiliki cita-cita begitu agung untuk menjadi seorang pendekar yang berguna bagi sesama. Pahadal dia hanya memiliki kaki satu, tapi dia ingin memiliki jurus tendangan seribu.”Bimantara terdiam mendengar itu.“Hal yang tidak mungkin. Siapapun yang mendengarnya pasti akan tertawa karena ketidakpercayaannya. Tapi aku percaya akan itu. Akhirnya aku ajarkan semua ilmuku padamu. Dan kini, kau mengeluh disaat nyawa masih berada di dalam ragamu?!” teriak Ki Walang.“Ap
Bimantara kembali menyerang Putra Mahkota Iblis yang tampak geram. Dia menggunakan segala jurus yang dia punya untuk melawannya. Sekuat tega Bimantara lakukan sendirian untuk melawannya. Berbagai serangan yang dilakukan Bimantara berhasil dilawannya dengan baik. Bimantara tampak kewalahan dan hampir saja kehilangan tenaga.“Kita harus membantunya,” pinta Raja Dawuh yang tampak khawatir pada Bimantara.“Aku tahu kau seorang raja,” sahut Tanaka. “Tapi yang paling penting dari sebuah tim adalah mengikuti arahan Pimpinannya. Sekarang kau bukan seorang raja lagi. Kau harus mengikuti permintaan Bimantara yang meminta kita menjaga Pendekar Dua Alam sampai dia selesai melakukan ritualnya. Nyawa kita sekarang untuk Pendekar Dua Alam.”“Tapi dia bisa mati melawan Putra Mahkota Iblis itu sendirian,” ucap Raja Dawuh semakin khawatir.“Percaya saja,” pinta Tanaka menenangkannya.Sementara Pendekar Sungai Panjang masih berusaha menggunakan tenaga dalamnya untuk mengembalikan tulang-tulang yang pata
Bimantara terbang ke atas langit. Tubuhnya mengeluarkan cahaya. Sesaat kemudian dia meluncur ke bawah lalu menggunakan jurus tendangan seribunya untuk menghalau roh-roh hitam yang menyerang mereka. Satu persatu dari roh-roh hitam itu terpelanting jauh dan terbakar.Bahari dan Pendekar Sungai Panjang terngaga melihatnya. Bimantara pun kembali mendarat di dekat mereka dengan sorot mata yang masih menyala. Putra Mahkota Iblis di dalam benteng itu tampak geram. Dia berteriak lalu mengeluarkan cahaya di tubuhnya. Gemanya hampir saja memecahkan dinding pembatas tak terlihat.“Sekarang saatnya kau harus memecahkan dinding pembatas tak terlihat itu,” pinta Bahari.Bimantara mengangguk.“Semuanya segera bersiap!” pinta Bimantara pada kedua Panglima yang menemaninya itu.Bahari dan Pendekar Sungai Panjang mengangguk. Mereka pun sudah bersiap dengan jurus masing-masing.Bimantara menoleh pada Tanaka dan Raja Dawuh yang masih menjaga Pendekar Dua Alam yang sedang membangkitkan para pendekar sakti
Putra Mahkota Iblis itu berhenti berlari menuju benteng yang terbuka itu. Iblis itu menatap kepada empat saudaranya yang ikut berhenti.“Berpencarlah kalian semuanya,” pinta Putra Mahkota Iblis. “Hancurkan semua kerajaan di muka bumi ini! Biar aku saja yang menghadapi musuh kita di depan benteng sana!”“Tapi mereka telah membunuh adik bungsu kita,” protes salah satu dari mereka. “Kita harus bersama-sama membunuh mereka sebelum kita keluar dari negeri ini dan menghancurkan semua kerajaan di atas muka bumi ini!”“Diriku sendiri sudah cukup untuk membunuh semuanya! Ikuti perintahku jika kalian masih menganggapku sebagai pengganti Raja!” teriak Putra Mahkota Iblis itu pada adik-adiknya.“Baiklah,” jawab salah satu dari mereka.Empat anak-anak Iblis yang perkasa itu pun langsung melompati benteng yang luas nan tinggi itu. Mereka berpencar ke empat penjuru untuk menghancurkan kerajaan-kerajaan di berbagai wilayah.Sementara Bimantara di luar benteng itu tampak terkejut melihat para Iblis it
“Biar aku saja yang menghadapinya,” ucap Tanaka pada Bimantara.Bimantara mengangguk. Tanaka pun langsung melompat dari punggung naga lalu terbang melawan Pendekar Tombak Angin. Tanaka mengeluarkan golok hitamnya, sementara Pendekar Tombak Angin mengeluarkan pedangnya. Mereka berdua bertarung di atas langit.Bimantara menoleh pada Bahari, Pendekar Sungai Panjang, Pendekar Dua Alam dan Raja Dawuh.“Kalian serang prajurit mereka!” perintah Bimantara.Keempat Panglimanya itu mengangguk. Mereka langsung mengendalikan naga masing-masing lalu naga-naga yang ditunggangi mereka itu menghembuskan api dari mulut mereka untuk membakar ribuan prajurit yang berusaha memecahkan benteng tinggi itu. Sebagian prajuritnya mati terbakar karenanya. Para prajurit yang lain berusaha menyerang mereka dengan senjata masing-masing.Dengan sigap Raja Dawuh menggunakan kekuatannya untuk melelehkan pedang dan senjata lainnya yang digunakan para prajurit itu. Seketika senjata mereka meleleh.Sementara Bimantara l
Ribuan burung besar yang membawa Pendekar Tombak Angin dan pasukan roh-nya telah tiba di daratan negeri salju itu. Angin dingin berhembus menusuk tulang. Pendekar Tombak angin yang berada paling depan di punggung burung besar itu tampak menggigil. Ribuan tentaranya pun tampak kedinginan. Burung-burung besar itu pun tampak sudah lemah memasuki negeri salju itu, mereka tidak kuat akan dinginnya negeri itu.Pendekar Tombak Angin melihat patung es raksasa yang sedang memegang tongkat di hadapan benteng tinggi yang memutih. Ribuan prajurit di dekatnya pun mematung, mereka bagai patung es yang dipahat oleh seorang seniman yang masyhur.“Apakah dia Bubungkala?” tanya Pendekar Tombak Angin pada tiga makhluk hitam yang kedinginan di dekatnya. Tiga makhluk hitam itu terbang mengikutinya.“Benar, Tuanku,” jawab Makhluk hitam itu. “Dia yang paling bungsu dari ke enam saudara Iblismu.”Pendekar Tombak Angin tampak tidak kuat lagi karena dinginnya tempat itu.“Sekarang keluarkan batu dari neraka it