Bimantara berdiri sambil menghadap Dewa Air yang mengambang di atas langit sana. Tubuhnya mulai basah diguyur hujan yang turun deras.“Rupanya ingatanmu telah kembali,” ucap Dewa Air.“Kenapa engkau menghilangkan ingatanku?” tanya Bimantara masih menyimpan geram padanya.“Itu karena kamu menyerah dari tugasmu sebagai Chandaka Uddhiharta!” geram Dewa Air.“Aku tak akan menyerah! Aku akan membunuh para Iblis itu dengan segenap kekuatanku!” ucap Bimantara.“Bagus! Sekarang aku tunggu aksimu! Aku berharap tak ada lagi yang menghalangimu untuk itu!”Seketika Dewa Air menghilang dari hadapannya. Mendadak hujan berhenti. Bimantara kembali mendongak ke langit. Dia belum bisa bergerak untuk melakukan aksinya sebelum Putri Kidung Putih pulih kembali.Bimantara kembali masuk ke dalam kediaman Tabib itu. Dia melihat Putri Kidung Putih sudah terbangun.“Kau sudah bangun?” tanya Bimantara.Putri Kidung Putih mengangguk.“Aku harus mengirim surat pada Ibuku,” ucap Putri.“Kau tidak harus mengirim su
Senja sudah mulai datang. Bimantara duduk di bale kediaman Tabib kampung itu. Tongkat hitamnya di letakkan di sisi kanannya. Tabib datang membawa segelas air minum untuknya.“Minumlah,” pinta Tabib padanya.Bimantara pun meraih gelas itu di tangan Tabib itu lalu menyeruputnya perlahan.“Rekasi ramuan sedang bekerja,” ucap Tabib. “Tuan Putri akan mengalami demam untuk beberapa hari mendatang. Aku harap Tuan bisa bersabar dan tenang. Tuan Putri pasti sembuh seperti sedia kala.”“Terima kasih telah membantuku,” ucap Bimantara.Tabib itu menoleh pada Bimantara dan menatapnya dengan lekat.“Bagaimana Tuan bisa mengetahui tempatku?” tanya Tabib itu heran.“Naluriku yang mengantarkan Putri ke sini,” jawab Bimantara.“Apakah benar Tuan adalah Chandaka Uddhiharta yang selama ini ditunggu-tunggu para penduduk di sini?” tanya Tabib itu sekali lagi.“Putri memberitahumu akan hal ini?”Tuan Tabib menggeleng.“Aku sendiri yang mendengarnya. Saat angin puting beliung datang, aku lihat kau bicara pad
Kapal layar yang membentangkan bendera Nusantara tampak mengarungi samudera. Di ujung kapal itu berdiri Raja Dawuh dengan gagahnya. Panglima Adhira berdiri di sebelahnya dengan cemas dan was-was. Raja Dawuh telah menerima surat dari para prajurit utusan Raja Abinawa yang mengundangnya datang ke daratan Manggala. Dia membawa para prajurit yang banyak. Di sekeliling kapal layar terbesar itu, terlihat empat kapal yang mengiringinya. Satu di hadapan, dua di kiri kanan dan satu di belakang. Kapal-kapal itu diisi oleh para prajurit terbaiknya sebagai benteng jika dalam mengarungi samudera itu ada kapal musuh atau perompak yang menghalangi pelayaran mereka. Panglima Adhira menoleh pada Raja Dawuh. “Daratan Manggala sangat jauh, Yang Mulia. Apa yang membuat Yang Mulia tergerak untuk mengunjungi sahabat lama Nusantara itu?” tanya Panglima Adhira. Raja Dawuh menatap lautan di hadapannya dengan sorot mata sembabnya. “Dia ingin menanyakan tentang Chandaka Uddhiharta. Itulah yang membuat aku te
Bimantara mengangkat tongkat hitamnya di hadapan Gavin dan Gala yang sudah terikat di dua batang pohon itu. Seketika tongkat itu berubah menjadi rantai besi yang memiliki bola besi besar. Gavin dan Gala terbelalak mendengarnya.“Sekarang katakan padaku, apa yang kalian rencanakan dengan Panglima Indra?” tanya Bimantara yang seolah hendak mengancam dengan rantai besinya.Gavin dan Gala mencoba melepas ikatan mereka, namun karena ikatan itu telah dibacakan ajian oleh Bimantara, kekuatan mereka tampak tidak berguna.“Cepat ceritakan padaku kalau kalian tak ingin mati dengan rantai besiku ini!” ancam Bimantara.Gavin dan Gala ketakutan mendengarnya.“Ampun, Bimantara. Kami sebenarnya tidak ingin berurusan denganmu. Urusan kami adalah Yang Mulia Raja,” jawab Gavin.“Urusan apa?” tanya Bimantara penasaran.“Ayah dan ibu kami telah dihukum gantung oleh Yang Mulia raja dengan alasan yang tidak jelas,” jawab Gala. “Kami memasuki istana untuk membalaskan dendam kami!”“Lalu kenapa kalian ingin
“Kenapa tidak langsung saja bunuh Bubungkala di dalam gunung Nun sana?” tanya Gavin yang masih terikat di batang pohon itu pada Bimantara. “Bungkahkah itu tujuanmu menjadi Chandaka Uddhiharta? Itu lebih baik dibanding mencari Pangeran itu dan hendak membunuhnya. Dia tak akan bisa menghancurkan istana jika Bubungkala sudah mati.”“Kau pikir aku akan membuat gunung itu meletus?” tanya Bimantara. “Jika aku bunuh Bubungkala sekarang, gunung Nun akan meletus dan akan menghancurkan daratan manggala ini. Aku harus memikirkan caranya agar Bubungkala mati tanpa membuat gunung itu memuntahkan laharnya.”Gavin terdiam.“Kau akan membahayakan Tuan Putri jika meninggalkannya di sini! Kau tahu, Yang Mulia Raja telah mengutus para prajuritnya untuk mencari Tuan Putri!” ucap Gala yang seolah mencegahnya mencari Pangeran Padama. Bagaimana pun dia masih takut jika Pangeran itu akan menebas lehernya karena membuka rahasia itu pada Bimantara dan Tuan Putri.“Aku memiliki cara untuk melindunginya,” ucap B
Putra Mahkota mendatangi Pangeran Kedua di kediamannya dengan wajah geramnya. Pangeran Kedua berdiri dengan heran melihat kedatangan kakaknya.“Kau seperti tidak gusar melihat nasib adik perempuan kita satu-satunya tidak jelas bagaimana nasibnya sekarang,” ucap Pangeran Kedua padanya.“Aku hanya tidak menunjukkannya pada pengkhianat sepertimu,” jawab Putra Mahkota.Pangeran Kedua terbelalak mendengarnya.“Pengkhianat?”“Ya, aku tahu kau tengah bekerjasama dengan Panglima Indra dan dua pendekar terbaik yang kini menghilang dari istana itu?” cecar Putra Mahkota.Pangeran Kedua mengernyit mendengarnya. Dia tidak menyangka kalau Putra Mahkota akan mengendus hal itu.“Siapa yang berkhianat? Justru Kakak lah yang berkhianat! Sebagai Putra Mahkota tak seharusnya Kakak mendukung Bimantara, karena dialah pengkhianat sejati di kerajaan ini. Untunglah ayah cepat mengusirnya dan menggantikan posisinya sebagai panglima tertinggi ke Panglima Indra,” ujar Pangeran Kedua.“Apa surat dari Putri tidak
Bimantara tiba di hadapan pintu gua tempat persembunyian Pangeran Padama. Dia turun dari kuda putihnya. Ratusan hewan dan binatang yang mengiringinya tampak diam di belakangnya. Bimantara mendongak ke batu yang menutupi mulut gua itu.“Pangeran Padama! Keluarlah!” teriak Bimantara.Tak ada siapapun dari pengikut Pangeran Padama di sana. Tempat itu tampak sepi, hanya Bimantara dan sekawanan hewan dan binatang saja yang ada di sana. Saat tidak menemukan tanda-tanda adanya orang yang tinggal di sekitar gua itu, Bimantara mengulurkan tongkat hitamnya, lalu seketika batu yang menutupi mulut gua itu terbuka.Bimantara memasuki gua itu. Hewan dan binatang yang bersamanya tampak menunggu di depan gua sana. Bimantara tidak menemukan siapapun di sana. Di dalam gua itu tampak sepi. Hanya terdengar tetes-tetes air yang jatuh dari langit-langit gua saja.“Kemana mereka?” tanya Bimantara dengan herannya. “Apakah mereka sudah tahu bahwa aku hendak ke sini?”Bimantara pun bingung sendirian. Dia akhir
Bimantara mencoba memejamkan matanya, dia ingin menggunakan ilmu penerawangannya untuk mencari keberadaan Panglima Indra. Saat dia melihat Panglima Indra sedang mencoba berdiri sambil memegang pedangnya, dia pun langsung mengangkat tongkatnya hingga tongkat itu berubah menjadi rantai besi yang memiliki mata bola besi yang besar. Bimantara langsung memutar bola besi itu dengan rantainya lalu seketika bola besi itu dilesatkannya ke arah Panglima Indra.Panglima itu tampak terlihat di mata Bimantara. Dia tengah terpelanting jauh terkena bola besi itu hingga tubuhnya menghantam pohon besar lalu jatuh ke atas akarnya. Mulutnya mengeluarkan darah. Tangannya memegangi perutnya yang masih sakit bekas diinjak Bimantara tadi.Bimantara berjalan ke arahnya sambil menatap matanya yang lemah.“Ini kesempatan terakhirmu,” ucap Bimantara. “Kau mau ikut bersamaku untuk mencari Pangeran Padama atau tetap pada pendirianmu!”Panglima Padama malah melotot ke arah Bimantara. Bagaimana pun dendam masa lalu