Bimantara tiba di hadapan pintu gua tempat persembunyian Pangeran Padama. Dia turun dari kuda putihnya. Ratusan hewan dan binatang yang mengiringinya tampak diam di belakangnya. Bimantara mendongak ke batu yang menutupi mulut gua itu.“Pangeran Padama! Keluarlah!” teriak Bimantara.Tak ada siapapun dari pengikut Pangeran Padama di sana. Tempat itu tampak sepi, hanya Bimantara dan sekawanan hewan dan binatang saja yang ada di sana. Saat tidak menemukan tanda-tanda adanya orang yang tinggal di sekitar gua itu, Bimantara mengulurkan tongkat hitamnya, lalu seketika batu yang menutupi mulut gua itu terbuka.Bimantara memasuki gua itu. Hewan dan binatang yang bersamanya tampak menunggu di depan gua sana. Bimantara tidak menemukan siapapun di sana. Di dalam gua itu tampak sepi. Hanya terdengar tetes-tetes air yang jatuh dari langit-langit gua saja.“Kemana mereka?” tanya Bimantara dengan herannya. “Apakah mereka sudah tahu bahwa aku hendak ke sini?”Bimantara pun bingung sendirian. Dia akhir
Bimantara mencoba memejamkan matanya, dia ingin menggunakan ilmu penerawangannya untuk mencari keberadaan Panglima Indra. Saat dia melihat Panglima Indra sedang mencoba berdiri sambil memegang pedangnya, dia pun langsung mengangkat tongkatnya hingga tongkat itu berubah menjadi rantai besi yang memiliki mata bola besi yang besar. Bimantara langsung memutar bola besi itu dengan rantainya lalu seketika bola besi itu dilesatkannya ke arah Panglima Indra.Panglima itu tampak terlihat di mata Bimantara. Dia tengah terpelanting jauh terkena bola besi itu hingga tubuhnya menghantam pohon besar lalu jatuh ke atas akarnya. Mulutnya mengeluarkan darah. Tangannya memegangi perutnya yang masih sakit bekas diinjak Bimantara tadi.Bimantara berjalan ke arahnya sambil menatap matanya yang lemah.“Ini kesempatan terakhirmu,” ucap Bimantara. “Kau mau ikut bersamaku untuk mencari Pangeran Padama atau tetap pada pendirianmu!”Panglima Padama malah melotot ke arah Bimantara. Bagaimana pun dendam masa lalu
“Tidak ada pengkhianat yang sedang menaiki puncak itu! Lagipula tidak ada siapapun yang bisa menaikinya,” ucap Pendekar Burung Merpati pada Bimantara.“Saat kalian lemah setelah bertarung denganku, pengkhianat itu berhasil menyusup dan menaiki puncak itu! Jika tak percaya, silakan kau periksa ke bawah sana!”Pendekar Burung Merpati malah tidak menggubris perkataan Bimantara. Dia malah mengeluarkan pedang di punggungnya lalu mulai menyerang Bimantara dengan pedang itu. Bimantara langsung menendang perut Pendekar itu hingga dia terdorong ke belakang masih dalam posisi terbang. Seketika tongkat hitamnya berubah menjadi selendang putih yang panjang lalu dililitkannya ke leher Pendekar Burung Merpati. Kini pendekar itu tampak tercekik.“Kau mau membantuku menghalangi pengkhianat itu atau kau aku bunuh sekarang juga?” ancam Bimantara.Pendekar Burung Merpati masih tidak menggubris ancaman Bimantara. Dia mencoba melepaskan lilitan selendang putih itu yang semakin mencekit lehernya. Dia tak a
Kedua bola mata Sang Raja terbelalak ketika mendapati Pendekar Burung Merpati datang membawa Bimantara yang tengah pingsan. Pendekar itu menidurkan Bimantara di lantai, lalu meletakkan tongkatnya di atas dadanya.“Kemana Putriku?” tanya Sang Raja dengan amarah.“Ampun, Yang Mulia. Tuan Putri sedang dicari para pendekar lainnya,” jawab Pendekar Burung Merpati. “Dan hamba hendak mengabarkan bahwa Panglima Indra telah mati terbunuh Bimantara.”Raja Abinawa terbelalak mendengarnya. Dia tidak percaya pendekar terbaiknya itu akan kalah dengan Bimantara.“Di mana mayatnya?” tanya Sang Raja.“Ampun, Yang Mulia. Hamba tidak tahu dan belum sempat mencarinya,” jawab Pendekar Burung Merpati dengan ketakutan.“Kurang ajar!” teriak Raja Abinawa sembari menatap Bimantara dengan geram. “Kenapa Panglima Indra bisa sampai terbunuh? Bukankah dia lebih hebat dari kalian?”“Hamba tidak tahu, Yang Mulia. Namun ada yang aneh saat hamba bertarung dengannya,” ucap Pendekar Burung Merpati.“Aneh bagaimana?”“H
Gavin dan Gala duduk menunggu di hadapan rumah Tabib itu. Di dalam sana Putri Kidung Putih tengah bersembunyi bersama pelayannya dan Tuan Tabib. Gavin menoleh pada Gala.“Apa yang harus kita lakukan sekarang?” tanya Gala dengan gusar.“Kita sudah berjanji untuk bergabung dengan Bimantara. Kita harus menepati janji kita,” ucap Gavin.“Bagiaman kalau Pangeran Padama benar-benar bisa mengeluarkan Bubungkala dari dalam gua itu? Dan dia bisa membunuh Bimantara? Kita pasti akan mati dan kita akan dianggap pengkhianat oleh Pangeran Padama,” tanya Gala dengan bingung.“Adikku! Kita sudah mendengar sendiri penjelasan dari Tuan Putri kenapa kedua orang tua kita dihukum mati. Sekarang kita sudah tahu alasannya, harusnya kita harus melupakan dendam itu dan harus berpihak pada yang benar. Kita sendiri tahu ternyata Bubungkala buka maha dewa kemakmuran yang selama ini kita percaya. Bubungkala rupanya Iblis yang hendak menghancurkan negeri ini. Dan bukan hanya negeri ini saja, tapi seluruh isi bumi
“Tidak,” jawab Pendekar Bunga Teratai. “Kami hanya membuatnya pingsan saja! Untuk itu Tuan Putri harus pulang agar dapat membuktikan pada Yang Mulia raja siapa Bimantara sebenarnya. Sebelum Yang Mulia Raja berubah pikiran untuk membunuhnya.”Mendengar itu Tuan Putri mengalah. Dia pamit pada Tabib dan berterima kasih padanya. Setelah itu Tuan Putri mengikuti mereka untuk kembali ke istana.***Pendekar Gunung Nun tiba di dekat gerbang pendakian pertama Gunung Nun. Dia terkejut melihat banyak pendekar sudah berjaga di sana. Dia ingat para pendekar itu adalah pendekar dari perguruan tersembunyi yang dituduhkan ke Bimantara yang membentuknya. Pendekar heran melihat mayat-mayat prajurit penjaga bergelimpangan di sekitar mereka. Ada yang ditumpuk dan sudah dibakar.“Rupanya mereka telah membunuh para prajurit terbaikku,” ucap Pendekar Gunung Nun tak percaya. “Mereka pasti melakukannya di saat aku sekarat sehabis bertarung dengan Bimantara. Aku harus kembali ke istana dan mencari bantuan di
Putra Mahkota sedang memperhatikan Tabib istana yang sedang berusaha mengeluarkan racun di dalam tubuh Bimantara. Di dalam penjara itu hanya mereka bertiga. Pendekar Burung Merpati telah kembali ke kediamannya. Hanya beberapa prajurit penjaga saja yang terlihat berdiri dengan senjata masing-masing di hadapan penjara itu.Tabib itu menoleh pada Putra Mahkota.“Semua racun sudah keluar dari dalam tubuhnya,” ucap Tabib itu pada Putra Mahkota. “Kita tinggal menunggu dia sadar kembali saja.”Putra Mahkota lega melihatnya. Saat ini Bimantara tengah diikat dengan rantai. Tangan dan kakinya diikat dengan rantai itu atas perintah Raja. Putra Mahkota sebenarnya kasihan melihatnya, namun dia tidak dapat berbuat apa-apa. Dia tampak tenang karena Sang Raja masih membiarkannya hidup dan masih ingin membuktikan kebenaran siapa Bimantara sesungguhnya.“Berapa lama kita akan menunggu?” tanya Putra Mahkota penasaran.“Ampun, Yang Mulia,” jawab Tabib itu. “Mungkin bisa menunggu sehari atau dua hari lama
Pangeran kedua perlahan mendekati Bimantara yang masih terbaring belum sadarkan diri. Dia menoleh ke belakang saat sudah berada di dekat Bimantara, memastikan tidak ada prajurit lain yang mendekat ke sana. Saat merasa sudah aman, dia langsung meraih tongkat hitam itu yang diletakkan di bahu Bimantara. Tongkat itu dengan mudah diraihnya. Dia tersenyum karena sudah mendapatkannya. Setelah itu dia bergegas pergi dari sana sambil membawa tongkat itu.Pangeran Kedua berjalan hati-hati melewati para prajurit yang tengah pingsang terkena hembusan jarum racun darinya. Dia pun mencari jalan yang lain, sebuah lorong di sebelah kirinya yang tampak gelap dan pengap. Lorong yang akan menuju pintu lain dari tempatnya memasuki penjara bawah tanah itu.“Aku harus menyembunyikannya terlebih dahulu ke kamarku,” ucap Pangeran Kedua sambil melewati lorong gelap itu.Tak lama kemudian dia mendengar suara langkah kaki dari arah lorong yang lain, Pangeran Kedua bergegas mempercepat langkahnya menuju pintu r