Putra Mahkota sedang memperhatikan Tabib istana yang sedang berusaha mengeluarkan racun di dalam tubuh Bimantara. Di dalam penjara itu hanya mereka bertiga. Pendekar Burung Merpati telah kembali ke kediamannya. Hanya beberapa prajurit penjaga saja yang terlihat berdiri dengan senjata masing-masing di hadapan penjara itu.Tabib itu menoleh pada Putra Mahkota.“Semua racun sudah keluar dari dalam tubuhnya,” ucap Tabib itu pada Putra Mahkota. “Kita tinggal menunggu dia sadar kembali saja.”Putra Mahkota lega melihatnya. Saat ini Bimantara tengah diikat dengan rantai. Tangan dan kakinya diikat dengan rantai itu atas perintah Raja. Putra Mahkota sebenarnya kasihan melihatnya, namun dia tidak dapat berbuat apa-apa. Dia tampak tenang karena Sang Raja masih membiarkannya hidup dan masih ingin membuktikan kebenaran siapa Bimantara sesungguhnya.“Berapa lama kita akan menunggu?” tanya Putra Mahkota penasaran.“Ampun, Yang Mulia,” jawab Tabib itu. “Mungkin bisa menunggu sehari atau dua hari lama
Pangeran kedua perlahan mendekati Bimantara yang masih terbaring belum sadarkan diri. Dia menoleh ke belakang saat sudah berada di dekat Bimantara, memastikan tidak ada prajurit lain yang mendekat ke sana. Saat merasa sudah aman, dia langsung meraih tongkat hitam itu yang diletakkan di bahu Bimantara. Tongkat itu dengan mudah diraihnya. Dia tersenyum karena sudah mendapatkannya. Setelah itu dia bergegas pergi dari sana sambil membawa tongkat itu.Pangeran Kedua berjalan hati-hati melewati para prajurit yang tengah pingsang terkena hembusan jarum racun darinya. Dia pun mencari jalan yang lain, sebuah lorong di sebelah kirinya yang tampak gelap dan pengap. Lorong yang akan menuju pintu lain dari tempatnya memasuki penjara bawah tanah itu.“Aku harus menyembunyikannya terlebih dahulu ke kamarku,” ucap Pangeran Kedua sambil melewati lorong gelap itu.Tak lama kemudian dia mendengar suara langkah kaki dari arah lorong yang lain, Pangeran Kedua bergegas mempercepat langkahnya menuju pintu r
Pendekar Bunga Teratai terkejut melihat kedatangan Putra Mahkota di kediamannya. Pendekar Pasir Putih yang tengah berada bersamanya di sana juga tampak heran. Mereka langsung berlutut hormat pada Putra Mahkota itu.Tak lama kemudian Putra Mahkota langsung menarik pedang di punggungnya lalu mengarahkannya ke leher Pendekar Bunga Teratai.“Di mana kau sembunyikan tongkat hitam milik Bimantara?” ancam Putra Mahkota.Pendekar Bunga Teratai dan Pendekar Pasir Putih terkejut mendengar pertanyaan dan ancaman pedang itu.“Ampun, Yang Mulia. Ada apa semua ini? Kenapa yang mulia menuduh hamba menyembunyikan tongkat hitam milik Bimantara itu? Bukankah adab setiap pendekar tidak diperbolehkan merebut senjata masing-masing. Jika pun pendekar itu bertarung dan telah membunuh pendekar lainnya, dia harus mengubur pendekar itu bersama senjata andalannya. Menguasai senjata pendekar lain adalah bukan seorang pendekar sejati,” ucap Pendekar Bunga Teratai.“Tongkat hitam Bimantara telah hilang di penjara
Pangeran Kedua menyimpan tongkat hitam itu ke dalam sebuah peti di bawah kasurnya.“Aku haru menyimpan tongkat ini hingga aku tahu siapa Bimantara sesungguhnya,” ucapnya. “Jika Bimantara benar-benar pengkhianat di negeri ini, aku akan mengeluarkan sendiri Bubungkala dari dalam gunung Nun agar dia membantuku untuk menjadikan aku sebagai Raja di istana ini.”Pangeran Kedua tampak tersenyum sinis. Panglima Indra sudah berhasil membuatnya begitu. Memang selama ini Pangeran Kedua merasa istana tidak adil kepadanya. Dia merasa ayah dan ibunya sangat pilih kasih kepadanya.“Kau akan hanya menjadi pecundang jika tidak bertindak untuk mendapatkan posisimu sebagai Putra Mahkota,” ucap Panglima Indra kala itu.Sesaat kemudian, dia teringat Gavin dan Gala. Dia tahu selama ini Gavin dan Gala bekerjasama dengan mendiang Panglima Indra. Pangeran Kedua itupun bergegas pergi menemui Gavin dan Gala yang diketahuinya sedang dikurung karena mereka terbukti bekerjasama dengan Bimantara.***Sementara itu,
Pangeran Kedua mendatangi Gavin dan Gala di tempat mereka dikurung di dalam istana itu. Prajurit penjaga membiarkan Pangeran Kedua menemuinya. Gavin dan Gala yang diikat di dalam ruangan itu tampak terkejut melihat kedatangan Pangeran Kedua. “Benar kah kalian sudah bekerjasama dengan Bimantara?” tanya Pangeran Kedua. “Bagaimana kami tidak mau bekerjasama dengannya jika mantan Panglima tertinggi itu adalah utusan para Dewa,” jawab Gavin. “Kalian percaya itu?” tanya Pangeran Kedua. “Iya, kami percaya itu karena kami telah melihatnya sendiri.” Kali ini Gala yang menjawabnya. Pangeran Kedua tampak berpikir lalu menatap keduanya. “Jika kalian sampai memberitahukan yang lainnya bahwa sebelumnya kita pernah bekerjasama, aku tak akan membiarkan kalian berdua hidup,” ancam Pangeran Kedua. Gavin dan Gala terbelalak mendengar itu. Pangeran Kedua pun langsung pergi dari sana. Sementara itu Gavin dan Gala saling menatap dengan bingung. “Bagaimana jika Bimantara benar-benar mati?” tanya Gala
Di dekat gerbang pendakian gunung Nun itu, Pendekar Gunung Nun bersama prajuritnya tengah bertarung melawan para pendekar dari sepuluh perguruan yang diam-diam didirikan oleh Pangeran Padama. Pendekar Gunung Nun mengangkat bebatuan di sana lalu melemparnya ke para pendekar itu. Para prajurit pun beradu pedang dengan mereka.Mayat-mayat dari dua kubu bergelimpangan. Kini para pendekar itu tampak terdesak, sebagian dari mereka berlari ke dalam hutan, menaiki puncak itu untuk menyusul Pangeran Padama di atas sana. Beruntung, para siluman menyelamatkan mereka hingga Pendekar Gunung Nun dan para prajurit yang tersisa tidak dapat mengejarnya.“Kita hanya bisa sampai ke batas ini saja,” ucap Pendekar Gunung Nun kepada prajuritnya yang tersisa.“Bagimana dengan mereka, Tuan?” tanya Prajuritnya.“Biarlah!” jawab Pendekar Gunung Nun.”Kita tunggu mereka di bawah saja. Mereka tidak bisa akan turun ke bawah kecuali setelah membangunkan Bubungkala.”Para Prajurit yang tersisa itu tampak gemetar men
Putra Mahkota diam-diam datang menemui Bimantara yang sedang dirantai di dalam penjara bawah tanah itu. Tabib Istana langsung pergi dari sana saat mengetahui kedatangan Sang Putra Mahkota. Bimantara menatap Putra Mahkota dengan bingung.“Siapa yang mencuri tongkat hitamku?” tanya Bimantara dengan bingung.“Sampai saat ini saya dan prajurit setia saya masih mencari pelakunya,” jawab Putra Mahkota.Bimantara tampak semakin bingung mendengarnya.“Aku telah mencoba untuk menerawang siapa pelakukanya, namun karena tanganku terikat, aku tidak dapat mengumpulkan tenaga dalamku dan tidak dapat melakukannya,” jawab Bimantara.“Bersabarlah sebentar, jika aku membuka rantai itu sekarang, aku pasti akan dihukum ayahku dan masalah akan semakin besar. Harapan kita satu-satunya adalah utusan dari Nusantara itu. Jika utusan dari Nusantara itu mengenalimu sebagai Chandaka Uddhiharta, ayahku pasti akan membebaskanmu dan tongkat hitam itu pasti akan mudah mendapatkannya,” ucap Putra Mahkota.“Kenapa tid
Putra Mahkota tiba di kediaman Pangeran Kedua setelah Pangeran Kedua berhasil menyimpan tongkat hitamnya di tempat yang lebih aman lagi. Pangeran Kedua langsung menyambutnya dengan hangat.“Kenapa kau datang ke tempatku?” tanya Pangeran Kedua berpura-pura heran.“Apa benar selama ini kau bekerjasama dengan Panglima Indra?” tegas Putra Mahkota.“Aku memang dekat dengannya, itu kulakukan untuk memastikan apakah dia benar-benar setia pada ayah, karena ayah begitu saja memaafkannya setelah dia melakukan kesalahan di saat bertarung dengan Bimantara dahulu,” jawab Pangeran Kedua berbohong padanya.“Jujurlah padaku,” desak Putra Mahkota. “Jika kau berkhianat pada kerajaan ini karena ambisimu, kau akan menyesal nantinya.”“Apa yang membuat Kakak menuduhku seperti itu? Bagaimana mungkin aku berkhianat pada kerajaan ini? Aku bagian dari keluarga ini! Dan aku setia pada ayah dan ibu!” bela Pangeran Kedua.“Jangan-jangan kaulah yang mencuri tongkat hitam milik Bimantara itu!” ucap Putra Mahkota y
Bimantara berjalan dengan tongkat hitamnya di pedesaan pinggir laut itu. Dia sudah tidak lagi menggunakan kaki cahaya naganya. Dia melihat di pulau seberang sudah tidak ada lagi bangunan tinggi yang memiliki menara yang menjulang. Bagunan Perguruan Matarhari telah lenyap di sana. Perkampungannya tampak sunyi. Beberapa rumah tampak sudah hancur berkeping-keping. Hanya ada beberapa rumah yang tampak baik-baik saja.Bimantara tidak tahu siapa yang masih hidup di negeri itu. Setelah dia memeriksa tiga kerajaan Nusantara yang hancur berkeping-keping, dia mengendalikan naganya untuk kembali ke kampung halamanannya.Bimantara berdiri di sisi tebing itu. Dia teringat saat menemui Dahayu di sana dahulu."Tahun depan aku akan menjadi murid di sana!" ucap Bimantara tiba-tiba. Memecah lamunan tiga remaja di hadapannya itu. Seolah ingin menunjukkan pada Dahayu bahwa tanpa kaki satu, dia masih layak mengejar impiannya. Tiga remaja itu menoleh ke arah Bimantara bersamaan. Saat menyadari yang bicara
Setelah itu keadaan menjadi hening. Putra Mahkota Iblis dan keempat saudaranya benar-benar sudah mati. Bahari tersenyum.“Sekarang aku bisa mati dengan tenang,” ucap Bahari.Bahari pun memejamkan matanya. Kini Bimantara, Tanaka, Pendekar Dua Alam dan Pendekar Sungai Panjang kembali merasakan dingin.Sementara Bimantara langsung berlari menuju Raja Dawuh yang tidak lagi bernyawa itu. Dia memeriksa tubuhnya. Denyut nadinya sudah berhenti. Bimantara menangis sambil memeluk mayatnya.“Maafkan aku yang tidak bisa menjagamu!” isak Bimantara.Tanaka, Pendekar Dua Alam dan Pendekar Sungai Panjang berjalan mendekat ke arahnya.“Kita sudah berhasil Bimantara,” ucap Tanaka.Bimantara pun menutup mata Raja Dawuh lalu berdiri di hadapan ketiga Panglimanya yang tersisa itu.“Tapi kita tidak berhasil mencegah mereka menghancurkan setiap kerajaan di atas muka bumi ini,” ucap Bimantara menyayangkannya. “Dan aku tidak berhasil menjaga Bahari dan Raja Dawuh.”“Aku yakin mereka akan tenang di nirwana kar
“Aku bisa melakukannya tanpa harus membangkitkan Dahayu kembali,” ucap Bimantara.Pendekar Dua Alam mengernyit mendengarnya.“Cahaya di tubuh Dahayu sangat berguna untukmu, Bimantara. Jika cahaya kalian menyatu maka tidak ada satupun yang bisa melawan kalian, termasuk para Iblis itu,” protes Pendekar Dua Alam.“Dahayu telah mengalirkan cahayanya kepadaku,” ujar Bimantara.“Tapi cahayanya telah menyusut di tubuhmu,” protes Pendekar Dua Alam.Raja Dawuh pun bangkit.“Jika kau menolaknya karena sudah mengkhianatinya, aku rasa Dahayu akan mengerti, Bimantara. Kita tidak memiliki cara lain untuk membunuh mereka!” tambah Raja Dawuh.“Jangan paksa aku!” teriak Bimantara.Bimantara pun mengeluarkan tenaga dalamnya, dia pun langsung mengalirkannya pada Pendekar Dua Alam, Raja Dawuh, Bahari, Pendekar Sungai Panjang dan Tanaka.“Jangan lakukan itu, jika tidak tenagamu akan habis!” protes Tanaka yang menerima aliran tenaga dalam dari Bimantara.Bimantara tidak menggubris perkataan Tanaka. Tenaga
“Jangan menangis,” pinta Ki Walang.“Aku tidak berhasil menjadi Chandaka Uddhiharata, Tuan Guru,” isak Bimantara. “Dunia sudah dihancurkan anak-anak iblis itu. Tiga kerajaan Nusantara telah habis terbakar, juga istana-istana di kerajaan lain. Sebentar lagi semua manusia akan mati. Mungkin aku juga akan mati. Padahal aku sudah membawa kelima Panglima terbaik di dunia ini.”“Apakah seperti ini akhirnya seorang murid yang sangat aku banggakan itu?” ucap Ki Walang sedikit marah. “Dahulu aku kagum padanya karena keterbatasannya dia memiliki cita-cita begitu agung untuk menjadi seorang pendekar yang berguna bagi sesama. Pahadal dia hanya memiliki kaki satu, tapi dia ingin memiliki jurus tendangan seribu.”Bimantara terdiam mendengar itu.“Hal yang tidak mungkin. Siapapun yang mendengarnya pasti akan tertawa karena ketidakpercayaannya. Tapi aku percaya akan itu. Akhirnya aku ajarkan semua ilmuku padamu. Dan kini, kau mengeluh disaat nyawa masih berada di dalam ragamu?!” teriak Ki Walang.“Ap
Bimantara kembali menyerang Putra Mahkota Iblis yang tampak geram. Dia menggunakan segala jurus yang dia punya untuk melawannya. Sekuat tega Bimantara lakukan sendirian untuk melawannya. Berbagai serangan yang dilakukan Bimantara berhasil dilawannya dengan baik. Bimantara tampak kewalahan dan hampir saja kehilangan tenaga.“Kita harus membantunya,” pinta Raja Dawuh yang tampak khawatir pada Bimantara.“Aku tahu kau seorang raja,” sahut Tanaka. “Tapi yang paling penting dari sebuah tim adalah mengikuti arahan Pimpinannya. Sekarang kau bukan seorang raja lagi. Kau harus mengikuti permintaan Bimantara yang meminta kita menjaga Pendekar Dua Alam sampai dia selesai melakukan ritualnya. Nyawa kita sekarang untuk Pendekar Dua Alam.”“Tapi dia bisa mati melawan Putra Mahkota Iblis itu sendirian,” ucap Raja Dawuh semakin khawatir.“Percaya saja,” pinta Tanaka menenangkannya.Sementara Pendekar Sungai Panjang masih berusaha menggunakan tenaga dalamnya untuk mengembalikan tulang-tulang yang pata
Bimantara terbang ke atas langit. Tubuhnya mengeluarkan cahaya. Sesaat kemudian dia meluncur ke bawah lalu menggunakan jurus tendangan seribunya untuk menghalau roh-roh hitam yang menyerang mereka. Satu persatu dari roh-roh hitam itu terpelanting jauh dan terbakar.Bahari dan Pendekar Sungai Panjang terngaga melihatnya. Bimantara pun kembali mendarat di dekat mereka dengan sorot mata yang masih menyala. Putra Mahkota Iblis di dalam benteng itu tampak geram. Dia berteriak lalu mengeluarkan cahaya di tubuhnya. Gemanya hampir saja memecahkan dinding pembatas tak terlihat.“Sekarang saatnya kau harus memecahkan dinding pembatas tak terlihat itu,” pinta Bahari.Bimantara mengangguk.“Semuanya segera bersiap!” pinta Bimantara pada kedua Panglima yang menemaninya itu.Bahari dan Pendekar Sungai Panjang mengangguk. Mereka pun sudah bersiap dengan jurus masing-masing.Bimantara menoleh pada Tanaka dan Raja Dawuh yang masih menjaga Pendekar Dua Alam yang sedang membangkitkan para pendekar sakti
Putra Mahkota Iblis itu berhenti berlari menuju benteng yang terbuka itu. Iblis itu menatap kepada empat saudaranya yang ikut berhenti.“Berpencarlah kalian semuanya,” pinta Putra Mahkota Iblis. “Hancurkan semua kerajaan di muka bumi ini! Biar aku saja yang menghadapi musuh kita di depan benteng sana!”“Tapi mereka telah membunuh adik bungsu kita,” protes salah satu dari mereka. “Kita harus bersama-sama membunuh mereka sebelum kita keluar dari negeri ini dan menghancurkan semua kerajaan di atas muka bumi ini!”“Diriku sendiri sudah cukup untuk membunuh semuanya! Ikuti perintahku jika kalian masih menganggapku sebagai pengganti Raja!” teriak Putra Mahkota Iblis itu pada adik-adiknya.“Baiklah,” jawab salah satu dari mereka.Empat anak-anak Iblis yang perkasa itu pun langsung melompati benteng yang luas nan tinggi itu. Mereka berpencar ke empat penjuru untuk menghancurkan kerajaan-kerajaan di berbagai wilayah.Sementara Bimantara di luar benteng itu tampak terkejut melihat para Iblis it
“Biar aku saja yang menghadapinya,” ucap Tanaka pada Bimantara.Bimantara mengangguk. Tanaka pun langsung melompat dari punggung naga lalu terbang melawan Pendekar Tombak Angin. Tanaka mengeluarkan golok hitamnya, sementara Pendekar Tombak Angin mengeluarkan pedangnya. Mereka berdua bertarung di atas langit.Bimantara menoleh pada Bahari, Pendekar Sungai Panjang, Pendekar Dua Alam dan Raja Dawuh.“Kalian serang prajurit mereka!” perintah Bimantara.Keempat Panglimanya itu mengangguk. Mereka langsung mengendalikan naga masing-masing lalu naga-naga yang ditunggangi mereka itu menghembuskan api dari mulut mereka untuk membakar ribuan prajurit yang berusaha memecahkan benteng tinggi itu. Sebagian prajuritnya mati terbakar karenanya. Para prajurit yang lain berusaha menyerang mereka dengan senjata masing-masing.Dengan sigap Raja Dawuh menggunakan kekuatannya untuk melelehkan pedang dan senjata lainnya yang digunakan para prajurit itu. Seketika senjata mereka meleleh.Sementara Bimantara l
Ribuan burung besar yang membawa Pendekar Tombak Angin dan pasukan roh-nya telah tiba di daratan negeri salju itu. Angin dingin berhembus menusuk tulang. Pendekar Tombak angin yang berada paling depan di punggung burung besar itu tampak menggigil. Ribuan tentaranya pun tampak kedinginan. Burung-burung besar itu pun tampak sudah lemah memasuki negeri salju itu, mereka tidak kuat akan dinginnya negeri itu.Pendekar Tombak Angin melihat patung es raksasa yang sedang memegang tongkat di hadapan benteng tinggi yang memutih. Ribuan prajurit di dekatnya pun mematung, mereka bagai patung es yang dipahat oleh seorang seniman yang masyhur.“Apakah dia Bubungkala?” tanya Pendekar Tombak Angin pada tiga makhluk hitam yang kedinginan di dekatnya. Tiga makhluk hitam itu terbang mengikutinya.“Benar, Tuanku,” jawab Makhluk hitam itu. “Dia yang paling bungsu dari ke enam saudara Iblismu.”Pendekar Tombak Angin tampak tidak kuat lagi karena dinginnya tempat itu.“Sekarang keluarkan batu dari neraka it