Raja Abinawa tampak lega saat mendengar laporan dari Pejabat Istana bahwa utusan dari Nusantara sudah tiba di pelabuhan.“Sambut kedatangan mereka dan kirimkan kereta kencana untuk membawa mereka ke istana,” pinta Raja pada mereka.Pejabat istana itu pun langsung bergegas menunaikan perintah Sang Raja. Sang Raja sudah tidak sabar lagi untuk menyambut kedatangan utusan dari Nusantara itu. Dia segera ingin tahu sosok Candaka Uddhiharta yang sudah terdengar di telinganya itu.Sementara itu, Sang Ratu datang menemui Putri Kidung Putih di kediamannya. Dia datang dengan lega dan bercampur khawatir.“Aku dengar utusan dari Nusantara itu sudah datang, anakku,” ucap Sang Ratu pada Sang Putri.Sang Putri terkejut mendengarnya.“Kalau begitu, sebentar lagi Bimantara bisa dikeluarkan dari dalam penjara,” ucap Sang Putri dengan lega.“Tapi ibu khawatir jika bukan Bimantara yang dimaksud utusan dari Nusantara itu,” ucap Sang Ratu.“Tapi aku yakin, Bu. Aku yakin Bimantara adalah Chandaka Uddhiharta.
Kereta kencana itu melaju ditarik kuda-kuda terbaik istana. Para pengawal dari kerajaan Warih dan dari pasukan Raja Dawuh mengiringinya. Hewan dan binatang buas masih mengikuti mereka di kiri, kanan dan belakang mereka. Panglima Adhihra duduk di sebelah Raja Dawuh. Raja itu sendiri yang memintanya. Dia ingin Panglimanya yang paling setia itu berada di dekatnya, agar jika terjadi sesuatu yang buruk, Panglima itu bisa dengan sigap melindunginya.“Apakah binatang-binatang buas itu utusan dari Raja Abinawa, Yang Mulia?” tanya Panglima Adhira di dalam kereta kencana itu dengan heran pada Raja Dawuh.“Aku rasa bukan,” jawab Raja Dawuh.Panglima Adhira heran.“Jikan bukan, siapakah yang mengirim mereka untuk menemani perjalanan kita ke istana kerajaan Warih? Apakah Yang Mulia sendiri yang mengutus mereka dengan sebuah ajian?” Panglima Adhira sangat penasaran.“Aku rasa Bimantara yang mengirimnya kemari,” jawab Raja Dawuh.Panglima Adhira terbelalak mendengarnya.“Bimantara?”“Ya, hanya dia y
Sebagian pasukan itu pun memacukan kudanya dengan kencang. Dua harimau dan dua serigala berlari mengikuti mereka dari belakang. Saat mereka tiba di kawasan jalan yang sudah dinanti oleh para pendekar perempuan asuhan Amita, tiba-tiba anak-anak panah meluncur dari atas pohon, semak-semak dan balik bebatuan. Sebagian prajurit tertusuk anak panah itu lalu terjatuh dari kudanya. Sebagiannya lagi menghindar lalu kembali menyerang mereka dengan anak panah.Harimau-harimau dan dua serigala itu tampak berlarian ke arah semak-semak. Mereka menerkam para pendekar perempuan itu hingga sebagian para pendekar itu berlarian lalu dikejar binatang buas itu. Sementara pasukan kerajaan Warih yang lain tampak bergelimpangan terkena anak panah, tak ada satupun yang tersisa.Panglima Adhira menunggu di dekat kereta kencana Raja Dawuh.“Ada apa di luar sana?” tanya Raja Dawuh heran.“Harimau itu sepertinya memberi petunjuk bahwa ada bahaya di hadapan sana,” jawab Panglima Adhira.“Bahaya? Bukankah di neger
Andini datang menemui Amita di tempat persembunyian yang tak jauh dari pasukan Raja Dawuh yang sedang berhenti di jalanan menuju istana. “Pasukan kita banyak yang mati,” ucap Andini. “Sekarang tinggal tersisa sedikit, mereka tengah bertarung dengan para prajurit istana dan hewan buas yang mengikutinya.” Amita terbelalak mendengar itu. “Hewan buas?” “Benar, Guruku,” jawab Amita. Amita geram mendengarnya. Dia pun memejamkan mata lalu bergumam. Sesaat kemudian dia menggerak-gerakkan tangannya. Seketika mengarahkan tangannya ke arah pasukan Raja Dawuh. Seketika hewan-hewan buas yang semula melindungi Raja Dawuh berlarian menjauhi mereka. Hewan buas itu telah terkena mantra dari Amita. Raja Dawuh dan Panglima Adhira heran. “Kenapa para binatang buas itu pergi meninggalkan kita?” tanya Raja Dawuh dengan heran. “Mungkin mereka datang untuk memberitahukan ada bahaya saja, Yang Mulia,” jawab Panglima Adhira. Raja Dawuh tampak bingung. “Apa sebaiknya kita mundur saja lalu kembali ke pe
“Kau tak perlu membebaskannya!” teriak Raja Abinawa pada Putra Mahkota. “Dia pasti ingin berlari karena dia tahu bahwa dia bukan Chandaka Uddhiharta!”Putra Mahkota pun urung membuka ikatan rantai di kaki dan tangan Bimantara. Dia berdiri lalu berjalan mendekat ke Raja Abinawa.“Dia ingin menyelamatkan utusan dari Nusantara itu, Ayah. Dia tahu ada pengkhianat yang mencoba membunuh utusan itu,” ucap Putra Mahkota.“Pengawal! Bawa Putra Mahkota keluar dari sini!” teriak Raja Abinawa yang tidak mau mendengarkan penjelasan dari Putra Mahkota.Para pengawal itupun membawa paksa Putra Mahkota keluar dari penjara bawah tanah itu. Putra Mahkota pun pasrah. Saat pengawal sudah membawa Putra Mahkota pergi dari sana, Raja Abinawa berjalan mendekat ke Bimantara dengan sorot mata geramnya.“Sejak kehadiranmu di istana ini, banyak sekali masalah yang harus saya hadapi!” teriak Raja Abinawa. “Tunggu saja! Aku pasti akan membunuhmu jika kau tidak terbukti seperti yang dikatakan putriku padaku.”Raja
Pertarungan antara Amita bersama pasukannya melawan Panglima Adhira bersama para prajuritnya dibantu prajurit kerajaan Warih berlangsung dengan sengit. Satu persatu prajurit dari kerajaan Warih dan prajurit yang dibawa Panglima Adhira dari Nusantara tumbang. Pelindung kereta kencana kini tersisa satu barisan saja. Panglima Adhira mulai terdesak. Rupanya Amita dan para pendekar perempuannya benar-benar sakti, bukan lawan yang diragukan.Saat Panglima Adhira mulai terdesak, akhirnya Pendekar Burung Merpati datang bersama Pendekar Bunga Teratai. Mereka terbang dari langit lalu mendarat di dekat kereta kencana.Raja Dawuh tampak terkejut melihat mereka. Pendekar Burung Merpati yang langsung mengetahui bahwa di dalam kereta kencana itu adalah utusan dari Nusantara, dia langsung menghadap ke Raja Dawuh.“Kami datang diutus Yang Mulia Raja Abinawa untuk membantu Tuan,” ucap Pendekar Burung Merpati.“Terima kasih dan tolong bantu Panglimaku menghadapi mereka,” pinta Raja Dawuh.“Baik, Tuanku,
Pangeran Kedua yang hendak keluar dari kediamannya tampak terkejut melihat Bimantara terbang melesat ke atas langit dari atap penjara bawah tanah. “Dia telah berhasil meloloskan diri! Aku harus segera menyelamatkan tongkat hitam itu!” Pangeran Kedua pun kembali memasuki kediamannya. Dia mengambil tongkat hitam itu dari tempat persembunyiannya. Saat sudah menemukannya, dia bergegas membungkusnya lalu membawanya pergi dengan kuda lalu keluar dari dalam istana melalui pintu rahasia yang diketahuinya. “Aku harus pergi ke atas gunung itu! Aku harus menancapkan tongkat hitam ini agar Bubungkala keluar dari dalam gunung itu dan tunduk padaku! Aku harus menjadi Raja di negeri ini!” ucap Pangeran Kedua yang kini sedang memacukan kudanya dengan kencang menembus hutan sambil membawa tongkat hitam itu. *** Sementara itu, Raja Abinawa terbelalak ketika mendapatkan laporan dari prajurit bahwa Bimantara berhasil meloloskan diri dari dalam penjara. Dia mengirimkan prajuritnya yang lain untuk mena
Amita terbelalak melihat kehadiran Bimantara.“Rupanya kau cahaya itu?!” ucap Amita dengan sorot mata penuh amarahnya. “Kau pikir aku takut denganmu?!”“Bangunkan semua yang telah kau bacakan mantra tidur itu! Dan pergilah dari sini! Bawa pasukanmu! Sebelum aku melakukan hal yang tidak Nenek pikirkan sebelumnya!” ancam Bimantara, mengabaikan Raja Dawuh yang masih berada di dalam kereta kencana.Amita semakin geram mendengarnya.“Kau pikir aku diam saja melihat kedua cucuku yang sekarang tengah dikurung Yang Mulia Raja?! Setelah Raja kejam itu membunuh kedua orang tuanya, kini dia malah ingin menghukum mati kedua cucu kesayangku!” teriak Amita tidak menerima.“Kedua anakmu mati karena mereka bersalah! Bukan karena kekejaman Yang Mulia Raja!” tegas Bimantara.“Mereka dihukum gantung tanpa salah!” bela Amita.“Mereka berkhianat pada Sang Raja. Namun karena nama baik mereka, Yang Mulia Raja tidak mengumumkan kesalahan mereka dan hukuman gantung itupun tidak disaksikan oleh banyak orang!”