Pertarungan antara Amita bersama pasukannya melawan Panglima Adhira bersama para prajuritnya dibantu prajurit kerajaan Warih berlangsung dengan sengit. Satu persatu prajurit dari kerajaan Warih dan prajurit yang dibawa Panglima Adhira dari Nusantara tumbang. Pelindung kereta kencana kini tersisa satu barisan saja. Panglima Adhira mulai terdesak. Rupanya Amita dan para pendekar perempuannya benar-benar sakti, bukan lawan yang diragukan.Saat Panglima Adhira mulai terdesak, akhirnya Pendekar Burung Merpati datang bersama Pendekar Bunga Teratai. Mereka terbang dari langit lalu mendarat di dekat kereta kencana.Raja Dawuh tampak terkejut melihat mereka. Pendekar Burung Merpati yang langsung mengetahui bahwa di dalam kereta kencana itu adalah utusan dari Nusantara, dia langsung menghadap ke Raja Dawuh.“Kami datang diutus Yang Mulia Raja Abinawa untuk membantu Tuan,” ucap Pendekar Burung Merpati.“Terima kasih dan tolong bantu Panglimaku menghadapi mereka,” pinta Raja Dawuh.“Baik, Tuanku,
Pangeran Kedua yang hendak keluar dari kediamannya tampak terkejut melihat Bimantara terbang melesat ke atas langit dari atap penjara bawah tanah. “Dia telah berhasil meloloskan diri! Aku harus segera menyelamatkan tongkat hitam itu!” Pangeran Kedua pun kembali memasuki kediamannya. Dia mengambil tongkat hitam itu dari tempat persembunyiannya. Saat sudah menemukannya, dia bergegas membungkusnya lalu membawanya pergi dengan kuda lalu keluar dari dalam istana melalui pintu rahasia yang diketahuinya. “Aku harus pergi ke atas gunung itu! Aku harus menancapkan tongkat hitam ini agar Bubungkala keluar dari dalam gunung itu dan tunduk padaku! Aku harus menjadi Raja di negeri ini!” ucap Pangeran Kedua yang kini sedang memacukan kudanya dengan kencang menembus hutan sambil membawa tongkat hitam itu. *** Sementara itu, Raja Abinawa terbelalak ketika mendapatkan laporan dari prajurit bahwa Bimantara berhasil meloloskan diri dari dalam penjara. Dia mengirimkan prajuritnya yang lain untuk mena
Amita terbelalak melihat kehadiran Bimantara.“Rupanya kau cahaya itu?!” ucap Amita dengan sorot mata penuh amarahnya. “Kau pikir aku takut denganmu?!”“Bangunkan semua yang telah kau bacakan mantra tidur itu! Dan pergilah dari sini! Bawa pasukanmu! Sebelum aku melakukan hal yang tidak Nenek pikirkan sebelumnya!” ancam Bimantara, mengabaikan Raja Dawuh yang masih berada di dalam kereta kencana.Amita semakin geram mendengarnya.“Kau pikir aku diam saja melihat kedua cucuku yang sekarang tengah dikurung Yang Mulia Raja?! Setelah Raja kejam itu membunuh kedua orang tuanya, kini dia malah ingin menghukum mati kedua cucu kesayangku!” teriak Amita tidak menerima.“Kedua anakmu mati karena mereka bersalah! Bukan karena kekejaman Yang Mulia Raja!” tegas Bimantara.“Mereka dihukum gantung tanpa salah!” bela Amita.“Mereka berkhianat pada Sang Raja. Namun karena nama baik mereka, Yang Mulia Raja tidak mengumumkan kesalahan mereka dan hukuman gantung itupun tidak disaksikan oleh banyak orang!”
“Sekarang mari kita bawa Yang Mulia Raja Dawuh menghadap Yang Mulia Raja,” pinta Bimantara.Pendekar Burung Merpati dan Pendekar Bunga Teratai mengangguk. Raja Dawuh pun kembali menaiki kereta kencananya. Bimantara pun bersiul, kuda putihnya datang. Bimantara pun bergegas menaiki kudanya. Mereka pun kembali melanjutkan perjalanan menuju istana kerajaan Warih, dikawal Bimantara, Pendekar Burung Merpati dan Pendekar Bunga Teratai. Para prajurit yang tersisa pun mengiringi mereka dari belakang.“Aku benar-benar tidak percaya bisa bertemu dengan Bimantara kembali ke negeri ini,” ucap Raja Dawuh pada Panglima Adhira yang duduk di dekatnya di dalam kereta kencana itu.“Mungkin karena itulah Yang Mulia Raja sangat ingin memenuhi undangan Yang Mulia Raja di kerajaan ini,” sahut Panglima Adhihra.“Ya, mungkin Dewata telah menakdirkan kami untuk bertemu kembali,” ucap Raja Dawuh dengan tenang dan leganya.Sementara itu, Bimantara terus saja memacukan kudanya berada paling depan. Di belakang ker
Putra Mahkota dan pasukannya tiba di depan gerbang pertama pendakian gunung Nun bersama Pasukannya. Pendekar Gunung Nun yang tengah berjaga di sana tampak heran dan langsung menghadap Putra Mahkota. “Ampun, Yang Mulia. Ada apa gerangan Yang Mulia ke gunung ini?” tanya Pendekar Gunung Nun dengan heran. “Apakah kau melihat Pangeran Kedua datang ke sini?” tanya Putra Mahkota. “Hamba tidak melihatnya, Yang Mulia. Memangnya kenapa?” tanya Pendekar Gunung Nun dengan heran. “Dia telah membawa tongkat hitam miliki Bimantara. Dia ingin membangunkan Bubungkala di dalam gunung ini,” jawab Putra Mahkota. Pendekar Gunung Nun tampak terkejut mendengarnya. “Ampun, Yang Mulia. Kami tidak melihatnya. Jika dia memang ingin membawa tongkat hitam milik Bimantara itu ke gunung ini, dia pasti tidak akan bisa melewati kami,” ucap Pendekar Gunung Nun. Putra Mahkota pun tampak bingung. “Sekarang tolong periksa di setiap penjagaan di kaki gunung ini!” perintah Putra Mahkota. “Jangan sampai dia memasuki
“Kau harus kesana, Bimantara. Kau harus merebut kembali tongkat hitammu,” pinta Tuan Putri.Bimantara mengangguk.“Temuilah Ayahmu di acara penyambutan Yang Mulia Raja Dawuh,” pinta Bimantara. “Raja itu sahabatku di Nusantara. Katakan pada Ayahmu, aku tidak bisa turut hadir dalam acara itu karena harus merebut kembali tongkat hitamku. Dan mohonlah pada Ayahmu untuk membebaskan Gavin dan Gala, mereka sekarang sudah berpihak padaku. Jika Yang Mulia Raja sudah membebaskan mereka, pintalah kepada Gavin dan Gala agar segera menemui Neneknya Amita. Jika mereka tidak menemui Neneknya, aku khawatir Amita akan berbuat yang tidak-tidak lagi.”Sang Putri pun mengangguk.Bimantara pun berjalan ke teras kediaman Sang Putri. Dia memandang langit.“Maha Dewa, aku meminta izin padamu untuk memanggil nagaku! Agar aku bisa mencari tongkat hitamku dengan mudah,” gumam Bimantara. Kemudian dia membaca mantra.Sang Putri mendekatinya. Dia menatap Bimantara dengan heran. Dia tidak tahu apa yang sedang dilak
Raja berhenti saat mendengar panggilan dari Putri.“Ada apa?” tanya Raja Abinawa dengan heran.“Bimantara memohon pada Ayah untuk melepaskan Gavin dan Gala,” ucap Sang Putri. “Bimantara bilang mereka sudah patuh pada Bimantara. Mereka sudah bisa dipercaya bahwa sudah berpihak pada kita.”“Kalau begitu, temui penjaga penjara setelah acara penyambutan ini selesai. Kau minta mereka untuk melepaskan dua pendekar kembar itu,” jawab Raja Abinawa.“Terima kasih, Ayah.” Putri tampak lega mendengar itu. Dia pun kembali ke Sang Ratu yang tengah menemani Raja Dawuh bersama Panglima Adhira.***Sementara itu, Pangeran Padama yang hampir tiba ke atas puncak sana tampak terkejut mendengar suara naga di kejauhan sana. Dia menghentikan kudanya yang tertatih menanjaki gunung Nun itu. Para Tetua di belakangnya pun turut menghentikan kuda masing-masing. Mereka pun heran mendengar suara Naga di langit sana.Pangeran Padama pun mendongak ke sumber suara. Di kejauhan sana dia melihat Sang Naga sedang berus
Empat Panglima dari bangsa dedemit itu datang menghadap Bubungkala yang tengah terikat oleh rantai besi di dalam perut gunung itu. Bubungkala membuka mata dengan heran ketika melihat empat panglimanya datang.“Apakah utusan yang hendak menyelamatkanku telah datang?” tanya Bubungkala dengan suara bergemanya.“Saat ini Panglima kelima telah menuntunya melewati jalan rahasia menuju puncak gunung sana, Yang Mulia,” ucap Ratu Peri pada Bubungkala.Bubungkala tampak senang mendengarnya. Dia tertawa yang terdengar begitu menyeramkan dan membuat gunung itu bergetar.“Sebentar lagi aku akan keluar dari penjara ini!” teriak Bubungkala dengan senangnya. “Sebentar lagi aku akan dapat membalaskan dendamku pada manusia yang telah membunuh Ayahku!”Keempat Panglima itu saling menatap dengan heran. Siluman ular lalu menatap Bubungkala dengan gemetar. “Bukankah Manusia Buruk Rupa itu telah tiada, Yang Mulia? Dia telah mati.”Bubunglala tertawa.“Dia belum mati! Para Dewa telah menjadikannya sebuah pat