Empat Panglima dari bangsa dedemit itu datang menghadap Bubungkala yang tengah terikat oleh rantai besi di dalam perut gunung itu. Bubungkala membuka mata dengan heran ketika melihat empat panglimanya datang.“Apakah utusan yang hendak menyelamatkanku telah datang?” tanya Bubungkala dengan suara bergemanya.“Saat ini Panglima kelima telah menuntunya melewati jalan rahasia menuju puncak gunung sana, Yang Mulia,” ucap Ratu Peri pada Bubungkala.Bubungkala tampak senang mendengarnya. Dia tertawa yang terdengar begitu menyeramkan dan membuat gunung itu bergetar.“Sebentar lagi aku akan keluar dari penjara ini!” teriak Bubungkala dengan senangnya. “Sebentar lagi aku akan dapat membalaskan dendamku pada manusia yang telah membunuh Ayahku!”Keempat Panglima itu saling menatap dengan heran. Siluman ular lalu menatap Bubungkala dengan gemetar. “Bukankah Manusia Buruk Rupa itu telah tiada, Yang Mulia? Dia telah mati.”Bubunglala tertawa.“Dia belum mati! Para Dewa telah menjadikannya sebuah pat
Bimantara memacukan kuda putihnya bersama Putra Mahkota dan Pendekar Gunung Nun. Para Prajurit mengiringi mereka dari belakang. Saat mereka tiba di depan mulut gua itu, mereka turun dari kuda masing-masing. Bimantara terbelalak ketika melihat batu penutup gua itu tampak pecah dan ada bekas telapak kaki kuda di tanah yang berlumpur di hadapan mulut gua itu. Bimantara menatap rongga gua dari celah batu pecah itu. Di dalam sana tampak begitu gelap.“Mungkin Pangeran Kedua memasuki rongga gua ini!” ucap Bimantara.Putra Mahkota dan Pendekar Gunung Nun terbelalak mendengarnya.“Bagaimana bisa dia tahu gua ini? Sementara Pendekar Gunung Nun saja tidak pernah mengetahuinya?” tanya Putra Mahkota dengan herannya.“Aku rasa ada yang membantunya,” tebak Bimantara. “Sepertinya ada dua kuda yang memasuki gua itu! Putra Mahkota mungkin dibantu seseorang untuk mendapatkan jalan rahasia ini. Aku yakin yang membantunya dari bangsa dedemit.”Putra Mahkota dan Pendekar Gunung Nun tampak terkejut tak per
Saat Bimantara hampir tiba di puncak gunung Nun itu dengan menaiki Naga-nya bersama Pendekar Burung Merpati, seketika naga itu terhalang cahaya merah. Begitupun Pendekar Burung Merpati. Bimantara terpaksa membelokkan naganya untuk mundur ke belakang. Pendekar Burung Merpatipun mengikuti hal yang sama.“Ada apa, Panglimaku?” tanya Pendekar Burung Merpati dengan heran.“Bubungkala telah mengeluarkan kekuatannya untuk membuat dinding pembatasnya sendiri!” jawab Bimantara.Pendekar Burung Merpati terkejut mendengarnya.“Sekarang apa yang harus kita lakukan?”“Kita harus turun dan terpaksa menggunakan kuda untuk menaiki puncak gunung itu,” jawab Bimantara. “Kita tak dapat menembus cahaya merah itu, kecuali tongkat hitamku berada di tanganku.”Pendekar Burung Merpati terpaksa mengiyakannya. Mereka pun lalu turun dan mendarat di batas cahaya merah itu. Bimantara mengelus kepala naganya dengan lembut.“Pergilah!” pinta Bimantara.Naga itu bersuara lalu kembali terbang meninggalkan Bimantara.
Pangeran Kedua masih memacukan kudanya diikuti oleh Kakek Tua dan ketiga Panglima Bubungkala dari bangsa dedemit itu. Sesaat kemudian Kakek Tua itu mendengar suara langkah kuda di belakang mereka. Dia menghentikan kudanya, diikuti Pangeran Kedua dan yang lainnya.“Kenapa kita berhenti?” tanya Pangeran Kedua sambil memegang tongkat hitam itu dengan erat.“Sepertinya ada yang mengikuti kita!” jawab Kakek Tua itu.Pangeran Kedua dan Tiga Panglima Bubungkala itu tampak terkejut mendengarnya. Mereka menoleh ke belakang. Samar, suara langkah kuda-kuda itu terdengar di telinga mereka. Siluman Ular pun menatap Kakek Tua itu.“Lanjutkan perjalanan kalian! Biar aku yang menghadapi mereka!” pinta Siluman Ular itu.Kakek Tua mengangguk. Dia pun mengajak Pangeran Kedua dan Dua Panglima Bubungkala lainnya untuk melanjutkan perjalanan. Sebentar lagi mereka akan tiba ke puncak gunung sana melalui jalan rahasia itu.Saat Mereka sudah tidak terlihat di mata Siluman Ular itu, dia menatap ke rongga gua d
Mayat-mayat dari bangsa Peri yang hangus terbakar itu dilewati Bimantara dan Pendekar Burung Merpati. Mereka kembali berjalan menuju dinding pembatas cahaya merah yang menghalangi mereka menuju puncak.“Apa yang harus kita lakukan sekarang, Tuan Panglima?”“Kita harus mencoba sekuat tenaga untuk bisa memasuki dinding pembatas cahaya merah itu,” jawab Bimantara. “Jangan sampai Pangeran Kedua berhasil menancapkan tongkat hitamku di atas sana.”Pendekar Burung Merpati teringat dengan Pendekar Gunung Nun yang tengah mengejar Pangeran Kedua bersama pembantunya di dalam gua itu.“Apa sebaiknya kita lewat jalan rahasia itu saja?” tanya Pendekar Burung Merpati.“Sudah ada Pendekar Gunung Nun di sana. Biarkan dia yang mengejarnya,” jawab Bimantara.Pendekar Burung Merpati pun mengangguk. Tak lama kemudian terdengar suara kuda. Bimantara dan Pendekar Burung Merpati menoleh ke belakang. Mereka terkejut melihat kedatangan Pendekar Pasir Putih, Pendekar Bunga Teratai, Amita, Gavin dan Gala bersama
Ular besar itu dengan beringas melitit salah satu pasukan pendekar Gunung Nun. Saat Pendekar itu hendak memotong ekornya, Pendekar itu malah disabit lalu terpental mengenai dinding gua itu. Pendekar Gunung Nun berusaha bangkit dan kembali mengambil pedangnya, namun seketika pedangnya dilempar siluman ular dengan ujung ekornya hingga pedangnya melayang jauh darinya.Pendekar Gunung Nun geram saat melihat sebagian sisa prajuritnya bergelimpangan di dalam gua itu. Dia pun memejamkan matanya lalu mulai membacakan mantra untuk mengeluarkan kekuatan bebatuannya. Seketika bebatuan besar keluar dari dinding gua hingga gua itu tampak bergetar. Lalu bebatuan besar itu melesat cepat ke arah siluman ular itu hingga tubuhnya terhimpit bebatuan itu. Kini ular itu tampak tidak bisa lagi bergerak.Pendekar Gunung Nun pun melompat mengambil pedangnya kembali. Kemudian dia berlari menuju kepala ular yang sebagian tubuhnya terkunci karena tertindih bebatuan besar itu.“Aku terpaksa membunuhmu!” ucap Pen
Bimantara kembali mengeluarkan tenaga dalamnya. Dia pun menyerang dinding cahaya merah itu dengan lesatan cahaya dari tangannya. Kini dinding pembatas cahaya merah itu semakin retak. Tak lama kemudian pasukan Panglima Roh berdatangan membawa pasukannya yang menggunakan jubah hitam dan tidak nampak kepala mereka. Mereka laksana manusia tanpa kepala yang sedang menaiki kuda dengan pedang di tangan masing-masing. “Serang!” teriak Pendekar Pasir Putih. Semua pendekar pun menyerang pasukan Panglima Roh itu dengan senjata masing-masing. Sementara Gavin dan Gala berjaga di dekat Bimantara yang masih berusaha memecahkan dinding pembatas cahaya merah itu. Para Pendekar itu bertarung melawan Panglima Roh dengan sengitnya. Dua prajurit dari bangsa roh itu hendak menyerang Bimantara. Gavin dan Gala dengan sigap melindunginya. Mereka bertarung dengan prajurit dari bangsa roh itu hingga berhasil menebas leher mereka. Gavin dan Gala menoleh pada Bimantara yang masih berusaha memecahkan dinding pem
Pangeran Kedua pun turun dari kudanya lalu mencabut pedangnya dan mengulurkannya ke arah Pangeran Padama sambil memegang erat tongkat hitam itu.“Kalian yang bersamaku! Bantu aku membunuh mereka semua di sini!” teriak Pangeran Kedua Pada Kakek Tua dan satu Panglima Bubungkala yang berkepala kambing dan bertubuh manusia itu di belakangnya.Kakek Tua dan Panglima Bubungkala itu saling melihat.“Tugas kita telah selesai,” bisik Kakek Tua itu pada manusia berkepala kambing itu.“Bukankah kita harus melihat sampai tongkat hitam itu tertancap di dalam kawah itu?” tanya manusia berkepala kambing itu.“Kita tak perlu membantu Pangeran Kedua untuk melawan mereka. Jika dia ingin menyerang pasukan itu, biarkan saja, yang penting tongkat itu bisa tertancap, bukan siapa yang menancapkannya,” jawab Kakek Tua itu.Manusia berkepala kambing itu mengangguk. Mereka pun pergi dari sana, bersembunyi di suatu tempat sambil mengawasi siapa yang akan menang dalam pertarungan itu dan siapa yang akan menancap