All, Bimantara masuk nominasi novel favorit genre Pendekar di Goodnovel Vaganza. Jangan lupa ikuti votingnya di inst4gr4m Godnovelindonesia dengan menulis ; GNV Pendekar 1 beserta hastag percayagoodnovel, agar Bimantara menjadi novel pavorit di Goodnovel. Selengkapnya cek di postingan inst4gr4m goodnovel ya. Voting dimulai dari tgl 19 hingga 31 Desember 2022. Voting dari pembaca setia sangat dibutuhkan Bimantara untuk terus semangat update novel ini. Terima kasih semuanya. Sehat selalu!
Pangeran Kedua pun turun dari kudanya lalu mencabut pedangnya dan mengulurkannya ke arah Pangeran Padama sambil memegang erat tongkat hitam itu.“Kalian yang bersamaku! Bantu aku membunuh mereka semua di sini!” teriak Pangeran Kedua Pada Kakek Tua dan satu Panglima Bubungkala yang berkepala kambing dan bertubuh manusia itu di belakangnya.Kakek Tua dan Panglima Bubungkala itu saling melihat.“Tugas kita telah selesai,” bisik Kakek Tua itu pada manusia berkepala kambing itu.“Bukankah kita harus melihat sampai tongkat hitam itu tertancap di dalam kawah itu?” tanya manusia berkepala kambing itu.“Kita tak perlu membantu Pangeran Kedua untuk melawan mereka. Jika dia ingin menyerang pasukan itu, biarkan saja, yang penting tongkat itu bisa tertancap, bukan siapa yang menancapkannya,” jawab Kakek Tua itu.Manusia berkepala kambing itu mengangguk. Mereka pun pergi dari sana, bersembunyi di suatu tempat sambil mengawasi siapa yang akan menang dalam pertarungan itu dan siapa yang akan menancap
Pangeran kedua yang masih terseok menuju kawah gunung itu tampak berhenti lalu menatap ke atas langit sana. Matanya terbelalak ketika melihat ratusan naga tampak menyemburkan api ke dinding pembatas tak terlihat. Dia tampak heran melihat semburan api itu terhalangi sesuatu yang tidak dapat dilihatnya.“Apakah gunung itu diselimuti dinding tak terlihat?” ucap Pangeran Kedua dengan heran. Melihat itu, dia kembali terseok membawa tongkat hitam itu menuju tepi kawah yang masih cukup jauh. Kakinya masih mengeluarkan banyak darah. Dia mencoba menahan sakitnya sekuat tenaganya.Sementara itu, Kakek Tua dan manusia berkepala kambing itu tampak khawatir dengan Pangeran Kedua. Dia khawatir Pangeran itu tak akan sampai ke tepi kawah melihat kakinya banyak mengeluarkan darah. Mereka bisa selamat dari ajian Amita karena berhasil menutupi telinganya.“Kenapa tidak kita rebut saja tongkat hitamnya lalu aku sendiri yang menancapkannya ke dalam kawah sana?” tanya manusia berkepala kambing itu pada Kak
Bimantara pun sekali lagi melesatkan cahaya di tangannya pada dua Panglima Bubungkala itu. Kini dua panglima itu benar-benar hangus dan tidak bernyawa lagi. Tiba-tiba terdengar teriakan Bubungkala di dalam sana. Bimantara pun tak peduli, dia melihat ke arah Pangeran Kedua. Bimantara terbelalak ketika mendapati Pangeran Kedua sudah tiba ke tepi kawah dalam keadaan lemas karena darah sudah banyak keluar dari kakinya.“Hentikan!” teriak Bimantara sambil melompat hendak merebut tongkatnya di tangan Pangeran Kedua.Pangeran Kedua berteriak. Dia mengeluarkan sisa tenaganya lalu melemparkan tongkat hitam itu ke dalam kawah.“Tidaaak!” teriak Bimantara yang kini sudah mendarat di dekat Pangeran Kedua.Tongkat itu melawang ke dalam kawah. Bimantara langsung melesat hendak meraihnya, namun tongkat itu akhirnya tertancam di pulau putih di tengah-tengah kawah itu. Pangeran Kedua tersenyum lega namun seketika dia rubuh karena kehabisan tenaga.Seketika kawah itu mulai meledak, Bimantara kembali te
Bimantara dan Bubungkala pun bertarung dengan sengitnya. Makhluk raksasa api itu kini sedang melawan Bimantara yang tampak kecil di matanya. Bubungkala hampir saja rubuh saat Bimantara menggunakan jurus tendangan seribunya. Saat Bimantara mencoba merebut kembali tongkat hitamnya, Bubungkala mampu mengelaknya hingga Bimantara tidak berhasil melakukannya.Seketika Bubungkala menyemburkan api di mulutnya ke arah Bimantara. Dengan gesit Bimantara bisa menghindarinya hingga makhluk raksasa itu tampak semakin geram dan kewalahan. Seketika Bubungkala mendengar suara teriakan dari kejauhan. Dia tahu itu suara saudara-saudaranya yang masih berada di dalam kurungan, entah di negeri mana mereka berada.Bubungkala tahu, niatnya belum untuk menghancurkan negeri itu, dia ingin mengeluarkan saudara-saudaranya terlebih dahulu dari kurungan yang dilakukan para Dewa. Bubungkala mencoba menendang Bimantara sekuat tenaganya, namun Bimantara berhasil mengelak lalu menyerangnya dengan tenaga dalamnya.“Men
Saat Bimantara memanggil kuda putihnya, tiba-tiba Dewa Angin datang lalu berdiri di hadapannya.“Hendak kemana kau, Bimantara? Kejar Bubungkala itu sampai ketemu!” teriak Dewa Angin padanya.Bimantara heran melihat Dewa Angin malah memintanya mengejar Bubungkala, sementara Dewa Air memintanya mencari Panglimanya terlebih dahulu.“Dewa Angin memintaku untuk mencari lima pendekar di dalam kitab ini untuk membantuku mengejar Bubungkala,” jawab Bimantara.“Kau tidak boleh membiarkan Bubungkala berkeliaran sedetik pun! Jika kau mengabaikannya sementara, meskipun dia pergi dari negeri ini dan tidak menghancurkan negeri ini, dia akan menghancurkan negeri lain untuk mencari saudara-saudaranya!” teriak Dewa Angin.“Sekarang siapa yang mesti aku turuti?” tanya Bimantara dengan herannya.Tak lama kemudian kilat terdengar di langit sana. Awan mendadak menghitam. Dewa Air datang di antara mereka.“Sekarang aku yang mengurus Bimantara!” tegas Dewa Air pada Dewa Angin. “Kau sudah berkali-kali mencam
Tuan Putri menunggu di dekat gerbang istana bersama Sang Ratu dan Putra Mahkota. Mereka melihat Pendekar Pasir Putih dan Pendekar Bunga Teratai datang menuju gerbang membawa pasukannya. Saat mereka sudah tiba di depan gerbang, dua pendekar itu turun dari kuda lalu menghadap Sang Ratu dan Putra Mahkota.“Kemana Bimantara dan Pangeran Kedua? Apakah mereka selamat?” tanya Sang Putri dengan khawatirnya.“Ampun, Yang Mulia. Saat ini Pendekar Burung Merpati tengah mengawasi negeri ini dari atas langit untuk mencari keberadaan Bimantara. Namun untuk Pangeran Kedua, burung merpati telah mengirimkan surat pada kami dari Pendekar Gunung Nun, beliau mengabarkan saat ini tengah mencari Pangeran Kedua,” jawab Pendekar Pasir Putih.Sang Ratu, Putra Mahkota dan Sang Putri tampak panik mendengarnya.“Mungkin Bimantara sengaja membawa Bubungkala pergi jauh dari negeri ini agar pertarungan mereka tidak membuat bencana di negeri ini,” ucap Pendekar Bunga Teratai.Sang Putri menoleh pada Sang Ratu.“Izin
Langit tampak cerah. Salju berjatuhan darinya. Padang luas nan putih itu tampak begitu dingin. Angin yang berhembus mengeluarkan suara pilu itu terdengar dari arah utara. Di ujung padang es putih itu tampak lima gunung tinggi menjulang dibungkus oleh salju. Masing-masing puncak gunung itu terlihat bebatuan mengkilat yang dibungkus salju. Itulah negeri salju yang tidak ada manusia berani menghuninya. Cuaca di sana sangat dingin, semenit saja manusia tinggal di sana dia akan mati beku.Bubungkala tiba di negeri itu. Dia berdiri di hadapan benteng salju yang sangat tinggi. Seratus kali dari tinggi tubuhnya. Dia mendongak ke atas benteng itu sambil memegang tongkat hitam milik Bimantara. Sesaat kemudian air matanya menetes.“Kakak-kakakku! Aku datang untuk menyelamatkan kalian!” teriak Bubungkala dengan pilu.Seketika benteng itu tampak bergetar. Seolah saudara-saudaranya yang tengah di kurung di dalam lima gunung itu mendengar teriakannya.“Aku tahu kalian mendengar teriakanku!” teriak B
Pangeran Kedua membuka matanya. Dia terkejut berada di sebuah rumah sederhana. Dia pun mencoba bangkit sambil menahan kakinya yang masih terasa sakit. Di pandanginya kakinya yang terluka, dia melihat tumbukan tetumbuhan menempel di lukanya.“Di mana aku?” ucapnya.Tak lama kemudian seorang Tabib datang sambil membawa semangkuk air untuk membersihkan tubuh Pangeran Kedua. Matanya terbelalak saat melihat Pangeran Kedua sudah siuman. Tabib itu langsung berlutut di hadapannya.“Ampun, Yang Mulia. Engkau tengah berada di rumahku. Dua pemuda telah membawamu kemari untuk aku obati,” ucap Tabib itu.Pangeran Kedua terkejut mendengarnya.“Apa kau pengikut Bubungkala?” tanya Pangeran Kedua dengan heran. Dia mengira Bubungkala yang menyelamatkannya karena dia telah menancapkan tongkat itu untuk membebaskannya.“Bubungkala?” ucap Tabib itu dengan heran. “Hamba tidak tahu Yang Mulia.”Pangeran Kedua bingung mendengar jawaban itu. Dia mencoba turun dari atas kasur itu, namun kakinya belum bisa dia