Bimantara pun sekali lagi melesatkan cahaya di tangannya pada dua Panglima Bubungkala itu. Kini dua panglima itu benar-benar hangus dan tidak bernyawa lagi. Tiba-tiba terdengar teriakan Bubungkala di dalam sana. Bimantara pun tak peduli, dia melihat ke arah Pangeran Kedua. Bimantara terbelalak ketika mendapati Pangeran Kedua sudah tiba ke tepi kawah dalam keadaan lemas karena darah sudah banyak keluar dari kakinya.“Hentikan!” teriak Bimantara sambil melompat hendak merebut tongkatnya di tangan Pangeran Kedua.Pangeran Kedua berteriak. Dia mengeluarkan sisa tenaganya lalu melemparkan tongkat hitam itu ke dalam kawah.“Tidaaak!” teriak Bimantara yang kini sudah mendarat di dekat Pangeran Kedua.Tongkat itu melawang ke dalam kawah. Bimantara langsung melesat hendak meraihnya, namun tongkat itu akhirnya tertancam di pulau putih di tengah-tengah kawah itu. Pangeran Kedua tersenyum lega namun seketika dia rubuh karena kehabisan tenaga.Seketika kawah itu mulai meledak, Bimantara kembali te
Bimantara dan Bubungkala pun bertarung dengan sengitnya. Makhluk raksasa api itu kini sedang melawan Bimantara yang tampak kecil di matanya. Bubungkala hampir saja rubuh saat Bimantara menggunakan jurus tendangan seribunya. Saat Bimantara mencoba merebut kembali tongkat hitamnya, Bubungkala mampu mengelaknya hingga Bimantara tidak berhasil melakukannya.Seketika Bubungkala menyemburkan api di mulutnya ke arah Bimantara. Dengan gesit Bimantara bisa menghindarinya hingga makhluk raksasa itu tampak semakin geram dan kewalahan. Seketika Bubungkala mendengar suara teriakan dari kejauhan. Dia tahu itu suara saudara-saudaranya yang masih berada di dalam kurungan, entah di negeri mana mereka berada.Bubungkala tahu, niatnya belum untuk menghancurkan negeri itu, dia ingin mengeluarkan saudara-saudaranya terlebih dahulu dari kurungan yang dilakukan para Dewa. Bubungkala mencoba menendang Bimantara sekuat tenaganya, namun Bimantara berhasil mengelak lalu menyerangnya dengan tenaga dalamnya.“Men
Saat Bimantara memanggil kuda putihnya, tiba-tiba Dewa Angin datang lalu berdiri di hadapannya.“Hendak kemana kau, Bimantara? Kejar Bubungkala itu sampai ketemu!” teriak Dewa Angin padanya.Bimantara heran melihat Dewa Angin malah memintanya mengejar Bubungkala, sementara Dewa Air memintanya mencari Panglimanya terlebih dahulu.“Dewa Angin memintaku untuk mencari lima pendekar di dalam kitab ini untuk membantuku mengejar Bubungkala,” jawab Bimantara.“Kau tidak boleh membiarkan Bubungkala berkeliaran sedetik pun! Jika kau mengabaikannya sementara, meskipun dia pergi dari negeri ini dan tidak menghancurkan negeri ini, dia akan menghancurkan negeri lain untuk mencari saudara-saudaranya!” teriak Dewa Angin.“Sekarang siapa yang mesti aku turuti?” tanya Bimantara dengan herannya.Tak lama kemudian kilat terdengar di langit sana. Awan mendadak menghitam. Dewa Air datang di antara mereka.“Sekarang aku yang mengurus Bimantara!” tegas Dewa Air pada Dewa Angin. “Kau sudah berkali-kali mencam
Tuan Putri menunggu di dekat gerbang istana bersama Sang Ratu dan Putra Mahkota. Mereka melihat Pendekar Pasir Putih dan Pendekar Bunga Teratai datang menuju gerbang membawa pasukannya. Saat mereka sudah tiba di depan gerbang, dua pendekar itu turun dari kuda lalu menghadap Sang Ratu dan Putra Mahkota.“Kemana Bimantara dan Pangeran Kedua? Apakah mereka selamat?” tanya Sang Putri dengan khawatirnya.“Ampun, Yang Mulia. Saat ini Pendekar Burung Merpati tengah mengawasi negeri ini dari atas langit untuk mencari keberadaan Bimantara. Namun untuk Pangeran Kedua, burung merpati telah mengirimkan surat pada kami dari Pendekar Gunung Nun, beliau mengabarkan saat ini tengah mencari Pangeran Kedua,” jawab Pendekar Pasir Putih.Sang Ratu, Putra Mahkota dan Sang Putri tampak panik mendengarnya.“Mungkin Bimantara sengaja membawa Bubungkala pergi jauh dari negeri ini agar pertarungan mereka tidak membuat bencana di negeri ini,” ucap Pendekar Bunga Teratai.Sang Putri menoleh pada Sang Ratu.“Izin
Langit tampak cerah. Salju berjatuhan darinya. Padang luas nan putih itu tampak begitu dingin. Angin yang berhembus mengeluarkan suara pilu itu terdengar dari arah utara. Di ujung padang es putih itu tampak lima gunung tinggi menjulang dibungkus oleh salju. Masing-masing puncak gunung itu terlihat bebatuan mengkilat yang dibungkus salju. Itulah negeri salju yang tidak ada manusia berani menghuninya. Cuaca di sana sangat dingin, semenit saja manusia tinggal di sana dia akan mati beku.Bubungkala tiba di negeri itu. Dia berdiri di hadapan benteng salju yang sangat tinggi. Seratus kali dari tinggi tubuhnya. Dia mendongak ke atas benteng itu sambil memegang tongkat hitam milik Bimantara. Sesaat kemudian air matanya menetes.“Kakak-kakakku! Aku datang untuk menyelamatkan kalian!” teriak Bubungkala dengan pilu.Seketika benteng itu tampak bergetar. Seolah saudara-saudaranya yang tengah di kurung di dalam lima gunung itu mendengar teriakannya.“Aku tahu kalian mendengar teriakanku!” teriak B
Pangeran Kedua membuka matanya. Dia terkejut berada di sebuah rumah sederhana. Dia pun mencoba bangkit sambil menahan kakinya yang masih terasa sakit. Di pandanginya kakinya yang terluka, dia melihat tumbukan tetumbuhan menempel di lukanya.“Di mana aku?” ucapnya.Tak lama kemudian seorang Tabib datang sambil membawa semangkuk air untuk membersihkan tubuh Pangeran Kedua. Matanya terbelalak saat melihat Pangeran Kedua sudah siuman. Tabib itu langsung berlutut di hadapannya.“Ampun, Yang Mulia. Engkau tengah berada di rumahku. Dua pemuda telah membawamu kemari untuk aku obati,” ucap Tabib itu.Pangeran Kedua terkejut mendengarnya.“Apa kau pengikut Bubungkala?” tanya Pangeran Kedua dengan heran. Dia mengira Bubungkala yang menyelamatkannya karena dia telah menancapkan tongkat itu untuk membebaskannya.“Bubungkala?” ucap Tabib itu dengan heran. “Hamba tidak tahu Yang Mulia.”Pangeran Kedua bingung mendengar jawaban itu. Dia mencoba turun dari atas kasur itu, namun kakinya belum bisa dia
Bimantara pun datang menghadap Sang Raja ditemani Putra Mahkota, Sang Ratu dan Putri Kidung Putih. Raja Abinawa langsung berdiri saat mendapati Bimantara.“Bagaimana dengan Pangeran Kedua?” tanya Raja Abinawa yang tampak khawatir dengan anak lelakinya itu.“Ampun, Yang Mulia, Pangeran Kedua sudah hamba selamatkan,” jawab Bimantara. “Sekarang sudah dibawa ke Tabib istana.”Raja Abinawa tampak lega mendengarnya.“Maafkan anakku yang telah membuat kekacauan ini,” ucap Raja Abinawa pada Bimantara.“Hamba mengerti yang mulia,” sahut Bimantara.“Lalu bagaimana tentang Bubungkala? Apa kau berhasil membunuhnya?” tanya Raja Abinawa penasaran. Sang Ratu, Putra Mahkota dan Sang Putri pun tampak penasaran mendengarnya.Bimantara tampak mengatur napas untuk menjawabnya. Dia tampak tak tega untuk pamit kepada Sang Raja dan meninggalkan negeri itu untuk mencari kelima kesatria untuk membantunya mengejar Bubungkala.“Bubungkala telah meninggalkan negeri ini menuju negeri salju tempat saudara-saudaran
Di hadapan Gerbang istana itu, Sang Raja dan penduduk istana melepas kepergian Bimantara dan Raja Dawuh. Dua pendekar itu telah menaiki kuda masing-masing sambil membawa perbekalan yang dibutuhkan dalam perjalanan nanti. Bimantara menatap Sang Putri dengan lekat.“Jaga dirimu baik-baik, aku pasti kembali,” ucap Bimantara pada Sang Putri.Putri Kidung Putih pun mengangguk sambil menahan air matanya yang hendak tumpah. Tak lama kemudian, Bimantara menoleh pada Raja Dawuh.“Kita harus segera pergi dari sini,” pinta Bimantara.Raja Dawuh mengangguk. Bimantara dan Raja Dawuh pun memacukan kudanya masing-masing menjauhi gerbang istana itu. Kini Putri Kidung Putih terduduk pilu. Dia menangisi kepergian Bimantara yang tidak tahu kapan akan kembalinya. Sang Ratu yang berada di dekatnya tampak menenangkannya. Istana sudah tenang sekarang. Pangeran Padama dan pengikutnya sudah mati terkena semburan letusan gunung Nun. Amita dan pengikutnya kini telah ditarik Sang Raja untuk bergabung dengan para