Tuan Putri menunggu di dekat gerbang istana bersama Sang Ratu dan Putra Mahkota. Mereka melihat Pendekar Pasir Putih dan Pendekar Bunga Teratai datang menuju gerbang membawa pasukannya. Saat mereka sudah tiba di depan gerbang, dua pendekar itu turun dari kuda lalu menghadap Sang Ratu dan Putra Mahkota.“Kemana Bimantara dan Pangeran Kedua? Apakah mereka selamat?” tanya Sang Putri dengan khawatirnya.“Ampun, Yang Mulia. Saat ini Pendekar Burung Merpati tengah mengawasi negeri ini dari atas langit untuk mencari keberadaan Bimantara. Namun untuk Pangeran Kedua, burung merpati telah mengirimkan surat pada kami dari Pendekar Gunung Nun, beliau mengabarkan saat ini tengah mencari Pangeran Kedua,” jawab Pendekar Pasir Putih.Sang Ratu, Putra Mahkota dan Sang Putri tampak panik mendengarnya.“Mungkin Bimantara sengaja membawa Bubungkala pergi jauh dari negeri ini agar pertarungan mereka tidak membuat bencana di negeri ini,” ucap Pendekar Bunga Teratai.Sang Putri menoleh pada Sang Ratu.“Izin
Langit tampak cerah. Salju berjatuhan darinya. Padang luas nan putih itu tampak begitu dingin. Angin yang berhembus mengeluarkan suara pilu itu terdengar dari arah utara. Di ujung padang es putih itu tampak lima gunung tinggi menjulang dibungkus oleh salju. Masing-masing puncak gunung itu terlihat bebatuan mengkilat yang dibungkus salju. Itulah negeri salju yang tidak ada manusia berani menghuninya. Cuaca di sana sangat dingin, semenit saja manusia tinggal di sana dia akan mati beku.Bubungkala tiba di negeri itu. Dia berdiri di hadapan benteng salju yang sangat tinggi. Seratus kali dari tinggi tubuhnya. Dia mendongak ke atas benteng itu sambil memegang tongkat hitam milik Bimantara. Sesaat kemudian air matanya menetes.“Kakak-kakakku! Aku datang untuk menyelamatkan kalian!” teriak Bubungkala dengan pilu.Seketika benteng itu tampak bergetar. Seolah saudara-saudaranya yang tengah di kurung di dalam lima gunung itu mendengar teriakannya.“Aku tahu kalian mendengar teriakanku!” teriak B
Pangeran Kedua membuka matanya. Dia terkejut berada di sebuah rumah sederhana. Dia pun mencoba bangkit sambil menahan kakinya yang masih terasa sakit. Di pandanginya kakinya yang terluka, dia melihat tumbukan tetumbuhan menempel di lukanya.“Di mana aku?” ucapnya.Tak lama kemudian seorang Tabib datang sambil membawa semangkuk air untuk membersihkan tubuh Pangeran Kedua. Matanya terbelalak saat melihat Pangeran Kedua sudah siuman. Tabib itu langsung berlutut di hadapannya.“Ampun, Yang Mulia. Engkau tengah berada di rumahku. Dua pemuda telah membawamu kemari untuk aku obati,” ucap Tabib itu.Pangeran Kedua terkejut mendengarnya.“Apa kau pengikut Bubungkala?” tanya Pangeran Kedua dengan heran. Dia mengira Bubungkala yang menyelamatkannya karena dia telah menancapkan tongkat itu untuk membebaskannya.“Bubungkala?” ucap Tabib itu dengan heran. “Hamba tidak tahu Yang Mulia.”Pangeran Kedua bingung mendengar jawaban itu. Dia mencoba turun dari atas kasur itu, namun kakinya belum bisa dia
Bimantara pun datang menghadap Sang Raja ditemani Putra Mahkota, Sang Ratu dan Putri Kidung Putih. Raja Abinawa langsung berdiri saat mendapati Bimantara.“Bagaimana dengan Pangeran Kedua?” tanya Raja Abinawa yang tampak khawatir dengan anak lelakinya itu.“Ampun, Yang Mulia, Pangeran Kedua sudah hamba selamatkan,” jawab Bimantara. “Sekarang sudah dibawa ke Tabib istana.”Raja Abinawa tampak lega mendengarnya.“Maafkan anakku yang telah membuat kekacauan ini,” ucap Raja Abinawa pada Bimantara.“Hamba mengerti yang mulia,” sahut Bimantara.“Lalu bagaimana tentang Bubungkala? Apa kau berhasil membunuhnya?” tanya Raja Abinawa penasaran. Sang Ratu, Putra Mahkota dan Sang Putri pun tampak penasaran mendengarnya.Bimantara tampak mengatur napas untuk menjawabnya. Dia tampak tak tega untuk pamit kepada Sang Raja dan meninggalkan negeri itu untuk mencari kelima kesatria untuk membantunya mengejar Bubungkala.“Bubungkala telah meninggalkan negeri ini menuju negeri salju tempat saudara-saudaran
Di hadapan Gerbang istana itu, Sang Raja dan penduduk istana melepas kepergian Bimantara dan Raja Dawuh. Dua pendekar itu telah menaiki kuda masing-masing sambil membawa perbekalan yang dibutuhkan dalam perjalanan nanti. Bimantara menatap Sang Putri dengan lekat.“Jaga dirimu baik-baik, aku pasti kembali,” ucap Bimantara pada Sang Putri.Putri Kidung Putih pun mengangguk sambil menahan air matanya yang hendak tumpah. Tak lama kemudian, Bimantara menoleh pada Raja Dawuh.“Kita harus segera pergi dari sini,” pinta Bimantara.Raja Dawuh mengangguk. Bimantara dan Raja Dawuh pun memacukan kudanya masing-masing menjauhi gerbang istana itu. Kini Putri Kidung Putih terduduk pilu. Dia menangisi kepergian Bimantara yang tidak tahu kapan akan kembalinya. Sang Ratu yang berada di dekatnya tampak menenangkannya. Istana sudah tenang sekarang. Pangeran Padama dan pengikutnya sudah mati terkena semburan letusan gunung Nun. Amita dan pengikutnya kini telah ditarik Sang Raja untuk bergabung dengan para
Bubungkala masih berusaha merubuhkan benteng baja yang dilapisi salju di hadapannya itu. Para prajuritnya pun masih berusaha membantunya dengan kekuatan dan senjata yang mereka punya. Tak lama kemudian Bubungkala terkejut melihat para prajuritnya tampak tidak dapat menggerakkan kaki merka lagi.“Cepat rubuhkan benteng itu!” teriak Bubungkala.“Ampun, Yang Mulia!” ucap salah satu prajuritnya. “Kakiku tiba-tiba beku. Sekarang dindinnya tempat ini perlahan menjalar hendak menuju ubun-ubunku. Mungkin tak lama lagi bukan hanya kakiku saja yang beku, tapi seluruh tubuhku juga.”Bubungkala terbelalak mendengarnya. Dia menoleh pada prajuritnya yang lain, semua tampak terpaku di tempatnya masing-masing. Mereka terlihat tidak dapat menggerakkan kaki masing-masing. Bubungkala berteriak geram. Dia langsung menyemburkan api dari mulutnya untuk memanaskan kaki para prajuritnya itu, namun bukannya kaki mereka lekas membaik, tapi malah sebagiannya mati karena terbakar lalu terjatuh di atas salju dan
“Iya, Pendekar Tombak Angin yang bodoh. Dia tidak dapat digunakan menjadi Panglima Bimantara karena dia telah berpihak pada para Iblis itu. Pendekar itu sekarang tidak tahu kalau mereka tengah dikurung di sini. Jika utusan Bubungkala sampai padanya, dia akan melelehkan es di negeri ini dan menghidupkan Bubungkala kembali. Tidak mudah mencarinya, maka itulah masa yang dibisa digunakan Bimantara mencari para panglimanya. Aku menjawab semua pertanyaanmu ini karena sudah melihat apa yang akan terjadi kedepannya. Hanya Dewa Air yang dapat melihat masa depan.”“Apakah kau sudah tahu nasib Bimantara ke depan?”“Aku tidak dapat melihat sampai ke situ. Aku hanya melihat kelak Bimantara akan bertarung dengan mereka. Hanya sampai di situ. Maha Dewa tidak mengizinkanku untuk melihat sampai ke sana.”Dewa Angin melunak mendengar semua itu. Sekarang dia mengerti maksud dari Dewa Air melakukan semua itu.“Andai para Dewa diperbolehkan untuk ikut bertarung memerangi bangsa Iblis itu, mereka mungkin s
Gua itu tampak gelap. Seorang pendekar tengah bertapa di dalamnya dengan bergelayut di langit-langit gua bagai kekelawar tengah menikmati waktu tidurnya. Tak lama kemudian angin berembus kencang menyapu wajahnya. Seketika hawa panas terasa, seakan hendak memanggang kulitnya. Pendekar itu membuka mata lalu terjun dari atas langit-langit gua itu dan mendarat di dasar gua yang setiap genangan air di bawah kakinya tampak hendak mendidih saking panasnya.Pendekar itu menggerakkan tangannya lalu keluarlah putaran angin yang begitu dingin di tangannya. Dengan angin itu dia menyapu hawa panas yang menyusup masuk ke dalam tempat pertapaannya. Seketika terdengar teriakan tiga makhluk hitam lalu nampak jelas di matanya. Tiga makhluk hitam itu tampak tersungkur kesakitan di hadapannya.Beranglah pendekar itu menatap mereka.“Siapa kalian?” tanya pendekar itu dengan geram. Dialah Pendekar Tombak Angin yang terasing dan tidak pernah mengetahui tentang jati dirinya selama ini. “Kalian telah menggang