Saat Bimantara memanggil kuda putihnya, tiba-tiba Dewa Angin datang lalu berdiri di hadapannya.“Hendak kemana kau, Bimantara? Kejar Bubungkala itu sampai ketemu!” teriak Dewa Angin padanya.Bimantara heran melihat Dewa Angin malah memintanya mengejar Bubungkala, sementara Dewa Air memintanya mencari Panglimanya terlebih dahulu.“Dewa Angin memintaku untuk mencari lima pendekar di dalam kitab ini untuk membantuku mengejar Bubungkala,” jawab Bimantara.“Kau tidak boleh membiarkan Bubungkala berkeliaran sedetik pun! Jika kau mengabaikannya sementara, meskipun dia pergi dari negeri ini dan tidak menghancurkan negeri ini, dia akan menghancurkan negeri lain untuk mencari saudara-saudaranya!” teriak Dewa Angin.“Sekarang siapa yang mesti aku turuti?” tanya Bimantara dengan herannya.Tak lama kemudian kilat terdengar di langit sana. Awan mendadak menghitam. Dewa Air datang di antara mereka.“Sekarang aku yang mengurus Bimantara!” tegas Dewa Air pada Dewa Angin. “Kau sudah berkali-kali mencam
Tuan Putri menunggu di dekat gerbang istana bersama Sang Ratu dan Putra Mahkota. Mereka melihat Pendekar Pasir Putih dan Pendekar Bunga Teratai datang menuju gerbang membawa pasukannya. Saat mereka sudah tiba di depan gerbang, dua pendekar itu turun dari kuda lalu menghadap Sang Ratu dan Putra Mahkota.“Kemana Bimantara dan Pangeran Kedua? Apakah mereka selamat?” tanya Sang Putri dengan khawatirnya.“Ampun, Yang Mulia. Saat ini Pendekar Burung Merpati tengah mengawasi negeri ini dari atas langit untuk mencari keberadaan Bimantara. Namun untuk Pangeran Kedua, burung merpati telah mengirimkan surat pada kami dari Pendekar Gunung Nun, beliau mengabarkan saat ini tengah mencari Pangeran Kedua,” jawab Pendekar Pasir Putih.Sang Ratu, Putra Mahkota dan Sang Putri tampak panik mendengarnya.“Mungkin Bimantara sengaja membawa Bubungkala pergi jauh dari negeri ini agar pertarungan mereka tidak membuat bencana di negeri ini,” ucap Pendekar Bunga Teratai.Sang Putri menoleh pada Sang Ratu.“Izin
Langit tampak cerah. Salju berjatuhan darinya. Padang luas nan putih itu tampak begitu dingin. Angin yang berhembus mengeluarkan suara pilu itu terdengar dari arah utara. Di ujung padang es putih itu tampak lima gunung tinggi menjulang dibungkus oleh salju. Masing-masing puncak gunung itu terlihat bebatuan mengkilat yang dibungkus salju. Itulah negeri salju yang tidak ada manusia berani menghuninya. Cuaca di sana sangat dingin, semenit saja manusia tinggal di sana dia akan mati beku.Bubungkala tiba di negeri itu. Dia berdiri di hadapan benteng salju yang sangat tinggi. Seratus kali dari tinggi tubuhnya. Dia mendongak ke atas benteng itu sambil memegang tongkat hitam milik Bimantara. Sesaat kemudian air matanya menetes.“Kakak-kakakku! Aku datang untuk menyelamatkan kalian!” teriak Bubungkala dengan pilu.Seketika benteng itu tampak bergetar. Seolah saudara-saudaranya yang tengah di kurung di dalam lima gunung itu mendengar teriakannya.“Aku tahu kalian mendengar teriakanku!” teriak B
Pangeran Kedua membuka matanya. Dia terkejut berada di sebuah rumah sederhana. Dia pun mencoba bangkit sambil menahan kakinya yang masih terasa sakit. Di pandanginya kakinya yang terluka, dia melihat tumbukan tetumbuhan menempel di lukanya.“Di mana aku?” ucapnya.Tak lama kemudian seorang Tabib datang sambil membawa semangkuk air untuk membersihkan tubuh Pangeran Kedua. Matanya terbelalak saat melihat Pangeran Kedua sudah siuman. Tabib itu langsung berlutut di hadapannya.“Ampun, Yang Mulia. Engkau tengah berada di rumahku. Dua pemuda telah membawamu kemari untuk aku obati,” ucap Tabib itu.Pangeran Kedua terkejut mendengarnya.“Apa kau pengikut Bubungkala?” tanya Pangeran Kedua dengan heran. Dia mengira Bubungkala yang menyelamatkannya karena dia telah menancapkan tongkat itu untuk membebaskannya.“Bubungkala?” ucap Tabib itu dengan heran. “Hamba tidak tahu Yang Mulia.”Pangeran Kedua bingung mendengar jawaban itu. Dia mencoba turun dari atas kasur itu, namun kakinya belum bisa dia
Bimantara pun datang menghadap Sang Raja ditemani Putra Mahkota, Sang Ratu dan Putri Kidung Putih. Raja Abinawa langsung berdiri saat mendapati Bimantara.“Bagaimana dengan Pangeran Kedua?” tanya Raja Abinawa yang tampak khawatir dengan anak lelakinya itu.“Ampun, Yang Mulia, Pangeran Kedua sudah hamba selamatkan,” jawab Bimantara. “Sekarang sudah dibawa ke Tabib istana.”Raja Abinawa tampak lega mendengarnya.“Maafkan anakku yang telah membuat kekacauan ini,” ucap Raja Abinawa pada Bimantara.“Hamba mengerti yang mulia,” sahut Bimantara.“Lalu bagaimana tentang Bubungkala? Apa kau berhasil membunuhnya?” tanya Raja Abinawa penasaran. Sang Ratu, Putra Mahkota dan Sang Putri pun tampak penasaran mendengarnya.Bimantara tampak mengatur napas untuk menjawabnya. Dia tampak tak tega untuk pamit kepada Sang Raja dan meninggalkan negeri itu untuk mencari kelima kesatria untuk membantunya mengejar Bubungkala.“Bubungkala telah meninggalkan negeri ini menuju negeri salju tempat saudara-saudaran
Di hadapan Gerbang istana itu, Sang Raja dan penduduk istana melepas kepergian Bimantara dan Raja Dawuh. Dua pendekar itu telah menaiki kuda masing-masing sambil membawa perbekalan yang dibutuhkan dalam perjalanan nanti. Bimantara menatap Sang Putri dengan lekat.“Jaga dirimu baik-baik, aku pasti kembali,” ucap Bimantara pada Sang Putri.Putri Kidung Putih pun mengangguk sambil menahan air matanya yang hendak tumpah. Tak lama kemudian, Bimantara menoleh pada Raja Dawuh.“Kita harus segera pergi dari sini,” pinta Bimantara.Raja Dawuh mengangguk. Bimantara dan Raja Dawuh pun memacukan kudanya masing-masing menjauhi gerbang istana itu. Kini Putri Kidung Putih terduduk pilu. Dia menangisi kepergian Bimantara yang tidak tahu kapan akan kembalinya. Sang Ratu yang berada di dekatnya tampak menenangkannya. Istana sudah tenang sekarang. Pangeran Padama dan pengikutnya sudah mati terkena semburan letusan gunung Nun. Amita dan pengikutnya kini telah ditarik Sang Raja untuk bergabung dengan para
Bubungkala masih berusaha merubuhkan benteng baja yang dilapisi salju di hadapannya itu. Para prajuritnya pun masih berusaha membantunya dengan kekuatan dan senjata yang mereka punya. Tak lama kemudian Bubungkala terkejut melihat para prajuritnya tampak tidak dapat menggerakkan kaki merka lagi.“Cepat rubuhkan benteng itu!” teriak Bubungkala.“Ampun, Yang Mulia!” ucap salah satu prajuritnya. “Kakiku tiba-tiba beku. Sekarang dindinnya tempat ini perlahan menjalar hendak menuju ubun-ubunku. Mungkin tak lama lagi bukan hanya kakiku saja yang beku, tapi seluruh tubuhku juga.”Bubungkala terbelalak mendengarnya. Dia menoleh pada prajuritnya yang lain, semua tampak terpaku di tempatnya masing-masing. Mereka terlihat tidak dapat menggerakkan kaki masing-masing. Bubungkala berteriak geram. Dia langsung menyemburkan api dari mulutnya untuk memanaskan kaki para prajuritnya itu, namun bukannya kaki mereka lekas membaik, tapi malah sebagiannya mati karena terbakar lalu terjatuh di atas salju dan
“Iya, Pendekar Tombak Angin yang bodoh. Dia tidak dapat digunakan menjadi Panglima Bimantara karena dia telah berpihak pada para Iblis itu. Pendekar itu sekarang tidak tahu kalau mereka tengah dikurung di sini. Jika utusan Bubungkala sampai padanya, dia akan melelehkan es di negeri ini dan menghidupkan Bubungkala kembali. Tidak mudah mencarinya, maka itulah masa yang dibisa digunakan Bimantara mencari para panglimanya. Aku menjawab semua pertanyaanmu ini karena sudah melihat apa yang akan terjadi kedepannya. Hanya Dewa Air yang dapat melihat masa depan.”“Apakah kau sudah tahu nasib Bimantara ke depan?”“Aku tidak dapat melihat sampai ke situ. Aku hanya melihat kelak Bimantara akan bertarung dengan mereka. Hanya sampai di situ. Maha Dewa tidak mengizinkanku untuk melihat sampai ke sana.”Dewa Angin melunak mendengar semua itu. Sekarang dia mengerti maksud dari Dewa Air melakukan semua itu.“Andai para Dewa diperbolehkan untuk ikut bertarung memerangi bangsa Iblis itu, mereka mungkin s
Bimantara berjalan dengan tongkat hitamnya di pedesaan pinggir laut itu. Dia sudah tidak lagi menggunakan kaki cahaya naganya. Dia melihat di pulau seberang sudah tidak ada lagi bangunan tinggi yang memiliki menara yang menjulang. Bagunan Perguruan Matarhari telah lenyap di sana. Perkampungannya tampak sunyi. Beberapa rumah tampak sudah hancur berkeping-keping. Hanya ada beberapa rumah yang tampak baik-baik saja.Bimantara tidak tahu siapa yang masih hidup di negeri itu. Setelah dia memeriksa tiga kerajaan Nusantara yang hancur berkeping-keping, dia mengendalikan naganya untuk kembali ke kampung halamanannya.Bimantara berdiri di sisi tebing itu. Dia teringat saat menemui Dahayu di sana dahulu."Tahun depan aku akan menjadi murid di sana!" ucap Bimantara tiba-tiba. Memecah lamunan tiga remaja di hadapannya itu. Seolah ingin menunjukkan pada Dahayu bahwa tanpa kaki satu, dia masih layak mengejar impiannya. Tiga remaja itu menoleh ke arah Bimantara bersamaan. Saat menyadari yang bicara
Setelah itu keadaan menjadi hening. Putra Mahkota Iblis dan keempat saudaranya benar-benar sudah mati. Bahari tersenyum.“Sekarang aku bisa mati dengan tenang,” ucap Bahari.Bahari pun memejamkan matanya. Kini Bimantara, Tanaka, Pendekar Dua Alam dan Pendekar Sungai Panjang kembali merasakan dingin.Sementara Bimantara langsung berlari menuju Raja Dawuh yang tidak lagi bernyawa itu. Dia memeriksa tubuhnya. Denyut nadinya sudah berhenti. Bimantara menangis sambil memeluk mayatnya.“Maafkan aku yang tidak bisa menjagamu!” isak Bimantara.Tanaka, Pendekar Dua Alam dan Pendekar Sungai Panjang berjalan mendekat ke arahnya.“Kita sudah berhasil Bimantara,” ucap Tanaka.Bimantara pun menutup mata Raja Dawuh lalu berdiri di hadapan ketiga Panglimanya yang tersisa itu.“Tapi kita tidak berhasil mencegah mereka menghancurkan setiap kerajaan di atas muka bumi ini,” ucap Bimantara menyayangkannya. “Dan aku tidak berhasil menjaga Bahari dan Raja Dawuh.”“Aku yakin mereka akan tenang di nirwana kar
“Aku bisa melakukannya tanpa harus membangkitkan Dahayu kembali,” ucap Bimantara.Pendekar Dua Alam mengernyit mendengarnya.“Cahaya di tubuh Dahayu sangat berguna untukmu, Bimantara. Jika cahaya kalian menyatu maka tidak ada satupun yang bisa melawan kalian, termasuk para Iblis itu,” protes Pendekar Dua Alam.“Dahayu telah mengalirkan cahayanya kepadaku,” ujar Bimantara.“Tapi cahayanya telah menyusut di tubuhmu,” protes Pendekar Dua Alam.Raja Dawuh pun bangkit.“Jika kau menolaknya karena sudah mengkhianatinya, aku rasa Dahayu akan mengerti, Bimantara. Kita tidak memiliki cara lain untuk membunuh mereka!” tambah Raja Dawuh.“Jangan paksa aku!” teriak Bimantara.Bimantara pun mengeluarkan tenaga dalamnya, dia pun langsung mengalirkannya pada Pendekar Dua Alam, Raja Dawuh, Bahari, Pendekar Sungai Panjang dan Tanaka.“Jangan lakukan itu, jika tidak tenagamu akan habis!” protes Tanaka yang menerima aliran tenaga dalam dari Bimantara.Bimantara tidak menggubris perkataan Tanaka. Tenaga
“Jangan menangis,” pinta Ki Walang.“Aku tidak berhasil menjadi Chandaka Uddhiharata, Tuan Guru,” isak Bimantara. “Dunia sudah dihancurkan anak-anak iblis itu. Tiga kerajaan Nusantara telah habis terbakar, juga istana-istana di kerajaan lain. Sebentar lagi semua manusia akan mati. Mungkin aku juga akan mati. Padahal aku sudah membawa kelima Panglima terbaik di dunia ini.”“Apakah seperti ini akhirnya seorang murid yang sangat aku banggakan itu?” ucap Ki Walang sedikit marah. “Dahulu aku kagum padanya karena keterbatasannya dia memiliki cita-cita begitu agung untuk menjadi seorang pendekar yang berguna bagi sesama. Pahadal dia hanya memiliki kaki satu, tapi dia ingin memiliki jurus tendangan seribu.”Bimantara terdiam mendengar itu.“Hal yang tidak mungkin. Siapapun yang mendengarnya pasti akan tertawa karena ketidakpercayaannya. Tapi aku percaya akan itu. Akhirnya aku ajarkan semua ilmuku padamu. Dan kini, kau mengeluh disaat nyawa masih berada di dalam ragamu?!” teriak Ki Walang.“Ap
Bimantara kembali menyerang Putra Mahkota Iblis yang tampak geram. Dia menggunakan segala jurus yang dia punya untuk melawannya. Sekuat tega Bimantara lakukan sendirian untuk melawannya. Berbagai serangan yang dilakukan Bimantara berhasil dilawannya dengan baik. Bimantara tampak kewalahan dan hampir saja kehilangan tenaga.“Kita harus membantunya,” pinta Raja Dawuh yang tampak khawatir pada Bimantara.“Aku tahu kau seorang raja,” sahut Tanaka. “Tapi yang paling penting dari sebuah tim adalah mengikuti arahan Pimpinannya. Sekarang kau bukan seorang raja lagi. Kau harus mengikuti permintaan Bimantara yang meminta kita menjaga Pendekar Dua Alam sampai dia selesai melakukan ritualnya. Nyawa kita sekarang untuk Pendekar Dua Alam.”“Tapi dia bisa mati melawan Putra Mahkota Iblis itu sendirian,” ucap Raja Dawuh semakin khawatir.“Percaya saja,” pinta Tanaka menenangkannya.Sementara Pendekar Sungai Panjang masih berusaha menggunakan tenaga dalamnya untuk mengembalikan tulang-tulang yang pata
Bimantara terbang ke atas langit. Tubuhnya mengeluarkan cahaya. Sesaat kemudian dia meluncur ke bawah lalu menggunakan jurus tendangan seribunya untuk menghalau roh-roh hitam yang menyerang mereka. Satu persatu dari roh-roh hitam itu terpelanting jauh dan terbakar.Bahari dan Pendekar Sungai Panjang terngaga melihatnya. Bimantara pun kembali mendarat di dekat mereka dengan sorot mata yang masih menyala. Putra Mahkota Iblis di dalam benteng itu tampak geram. Dia berteriak lalu mengeluarkan cahaya di tubuhnya. Gemanya hampir saja memecahkan dinding pembatas tak terlihat.“Sekarang saatnya kau harus memecahkan dinding pembatas tak terlihat itu,” pinta Bahari.Bimantara mengangguk.“Semuanya segera bersiap!” pinta Bimantara pada kedua Panglima yang menemaninya itu.Bahari dan Pendekar Sungai Panjang mengangguk. Mereka pun sudah bersiap dengan jurus masing-masing.Bimantara menoleh pada Tanaka dan Raja Dawuh yang masih menjaga Pendekar Dua Alam yang sedang membangkitkan para pendekar sakti
Putra Mahkota Iblis itu berhenti berlari menuju benteng yang terbuka itu. Iblis itu menatap kepada empat saudaranya yang ikut berhenti.“Berpencarlah kalian semuanya,” pinta Putra Mahkota Iblis. “Hancurkan semua kerajaan di muka bumi ini! Biar aku saja yang menghadapi musuh kita di depan benteng sana!”“Tapi mereka telah membunuh adik bungsu kita,” protes salah satu dari mereka. “Kita harus bersama-sama membunuh mereka sebelum kita keluar dari negeri ini dan menghancurkan semua kerajaan di atas muka bumi ini!”“Diriku sendiri sudah cukup untuk membunuh semuanya! Ikuti perintahku jika kalian masih menganggapku sebagai pengganti Raja!” teriak Putra Mahkota Iblis itu pada adik-adiknya.“Baiklah,” jawab salah satu dari mereka.Empat anak-anak Iblis yang perkasa itu pun langsung melompati benteng yang luas nan tinggi itu. Mereka berpencar ke empat penjuru untuk menghancurkan kerajaan-kerajaan di berbagai wilayah.Sementara Bimantara di luar benteng itu tampak terkejut melihat para Iblis it
“Biar aku saja yang menghadapinya,” ucap Tanaka pada Bimantara.Bimantara mengangguk. Tanaka pun langsung melompat dari punggung naga lalu terbang melawan Pendekar Tombak Angin. Tanaka mengeluarkan golok hitamnya, sementara Pendekar Tombak Angin mengeluarkan pedangnya. Mereka berdua bertarung di atas langit.Bimantara menoleh pada Bahari, Pendekar Sungai Panjang, Pendekar Dua Alam dan Raja Dawuh.“Kalian serang prajurit mereka!” perintah Bimantara.Keempat Panglimanya itu mengangguk. Mereka langsung mengendalikan naga masing-masing lalu naga-naga yang ditunggangi mereka itu menghembuskan api dari mulut mereka untuk membakar ribuan prajurit yang berusaha memecahkan benteng tinggi itu. Sebagian prajuritnya mati terbakar karenanya. Para prajurit yang lain berusaha menyerang mereka dengan senjata masing-masing.Dengan sigap Raja Dawuh menggunakan kekuatannya untuk melelehkan pedang dan senjata lainnya yang digunakan para prajurit itu. Seketika senjata mereka meleleh.Sementara Bimantara l
Ribuan burung besar yang membawa Pendekar Tombak Angin dan pasukan roh-nya telah tiba di daratan negeri salju itu. Angin dingin berhembus menusuk tulang. Pendekar Tombak angin yang berada paling depan di punggung burung besar itu tampak menggigil. Ribuan tentaranya pun tampak kedinginan. Burung-burung besar itu pun tampak sudah lemah memasuki negeri salju itu, mereka tidak kuat akan dinginnya negeri itu.Pendekar Tombak Angin melihat patung es raksasa yang sedang memegang tongkat di hadapan benteng tinggi yang memutih. Ribuan prajurit di dekatnya pun mematung, mereka bagai patung es yang dipahat oleh seorang seniman yang masyhur.“Apakah dia Bubungkala?” tanya Pendekar Tombak Angin pada tiga makhluk hitam yang kedinginan di dekatnya. Tiga makhluk hitam itu terbang mengikutinya.“Benar, Tuanku,” jawab Makhluk hitam itu. “Dia yang paling bungsu dari ke enam saudara Iblismu.”Pendekar Tombak Angin tampak tidak kuat lagi karena dinginnya tempat itu.“Sekarang keluarkan batu dari neraka it