Bubungkala masih berusaha merubuhkan benteng baja yang dilapisi salju di hadapannya itu. Para prajuritnya pun masih berusaha membantunya dengan kekuatan dan senjata yang mereka punya. Tak lama kemudian Bubungkala terkejut melihat para prajuritnya tampak tidak dapat menggerakkan kaki merka lagi.“Cepat rubuhkan benteng itu!” teriak Bubungkala.“Ampun, Yang Mulia!” ucap salah satu prajuritnya. “Kakiku tiba-tiba beku. Sekarang dindinnya tempat ini perlahan menjalar hendak menuju ubun-ubunku. Mungkin tak lama lagi bukan hanya kakiku saja yang beku, tapi seluruh tubuhku juga.”Bubungkala terbelalak mendengarnya. Dia menoleh pada prajuritnya yang lain, semua tampak terpaku di tempatnya masing-masing. Mereka terlihat tidak dapat menggerakkan kaki masing-masing. Bubungkala berteriak geram. Dia langsung menyemburkan api dari mulutnya untuk memanaskan kaki para prajuritnya itu, namun bukannya kaki mereka lekas membaik, tapi malah sebagiannya mati karena terbakar lalu terjatuh di atas salju dan
“Iya, Pendekar Tombak Angin yang bodoh. Dia tidak dapat digunakan menjadi Panglima Bimantara karena dia telah berpihak pada para Iblis itu. Pendekar itu sekarang tidak tahu kalau mereka tengah dikurung di sini. Jika utusan Bubungkala sampai padanya, dia akan melelehkan es di negeri ini dan menghidupkan Bubungkala kembali. Tidak mudah mencarinya, maka itulah masa yang dibisa digunakan Bimantara mencari para panglimanya. Aku menjawab semua pertanyaanmu ini karena sudah melihat apa yang akan terjadi kedepannya. Hanya Dewa Air yang dapat melihat masa depan.”“Apakah kau sudah tahu nasib Bimantara ke depan?”“Aku tidak dapat melihat sampai ke situ. Aku hanya melihat kelak Bimantara akan bertarung dengan mereka. Hanya sampai di situ. Maha Dewa tidak mengizinkanku untuk melihat sampai ke sana.”Dewa Angin melunak mendengar semua itu. Sekarang dia mengerti maksud dari Dewa Air melakukan semua itu.“Andai para Dewa diperbolehkan untuk ikut bertarung memerangi bangsa Iblis itu, mereka mungkin s
Gua itu tampak gelap. Seorang pendekar tengah bertapa di dalamnya dengan bergelayut di langit-langit gua bagai kekelawar tengah menikmati waktu tidurnya. Tak lama kemudian angin berembus kencang menyapu wajahnya. Seketika hawa panas terasa, seakan hendak memanggang kulitnya. Pendekar itu membuka mata lalu terjun dari atas langit-langit gua itu dan mendarat di dasar gua yang setiap genangan air di bawah kakinya tampak hendak mendidih saking panasnya.Pendekar itu menggerakkan tangannya lalu keluarlah putaran angin yang begitu dingin di tangannya. Dengan angin itu dia menyapu hawa panas yang menyusup masuk ke dalam tempat pertapaannya. Seketika terdengar teriakan tiga makhluk hitam lalu nampak jelas di matanya. Tiga makhluk hitam itu tampak tersungkur kesakitan di hadapannya.Beranglah pendekar itu menatap mereka.“Siapa kalian?” tanya pendekar itu dengan geram. Dialah Pendekar Tombak Angin yang terasing dan tidak pernah mengetahui tentang jati dirinya selama ini. “Kalian telah menggang
“Sekarang apa yang harus aku lakukan untuk membalaskan dendamku?” tanya Pendekar Tombak Angin dengan dendam yang begitu membara di hatinya.“Kau harus membangun kembali kerajaan roh,” pinta makhluk hitam itu. “Kau harus mengumpulkan kekuatan untuk menyelamatkan keenam saudaramu yang telah dikurung para Dewa di negeri salju. Setelah mereka berhasil kau keluarkan, maka kau akan memiliki kekuatan yang dahsyat untuk membunuh seluruh umat manusia di muka bumi ini hingga kerajaan kedua orang tuamu bersama Kakekmu akan kembali berdiri seperti dahulu.”Pendekar Tombak Angin mengangguk. Mereka pun keluar dari dalam gua itu.***Bimantara yang tegah berjalan bersama Raja Dawuh dan Kakek Tua itu tampak berhenti melangkah. Mereka hendak menuju ke tempat arena pertarungan yang diadakan di negeri tempatnya berdiri itu. Raja Dawuh heran.“Kau kenapa, Bimantara?” tanya Raja Dawuh dengan herannya.Bimantara belum menjawab pertanyaan Raja Dawuh karena dirinya melihat dalam penerawangan sekelebatnya ada
Saat semua penonton di arena pertarungan itu bubar, Kakek Tua itu mengejar Bahari dan memanggil namannya.“Cucuku!” teriak Kakek Tua itu pada Bahari. Bimantara dan Raja Dawuh berdiri tak jauh dari belakang kakek itu.Bahari yang mau pergi meninggalkan arena pertarungan itu tampak heran melihat kakeknya memanggil namanya.“Kenapa kakek menghadiri pertarunganku lagi? Bukankah kakek sudah tidak mau melihatku lagi? Katanya aku sudah bukan cucu kakek lagi?” tanya Bahari dengan wajah kesalnya.“Siapa bilang kau bukan cucuku lagi?! Darahku mengalir di dalam tubuhmu!” kesal Kakeknya itu.“Ingat, Kek. Jika kakek menyuruhku untuk berhenti bertarung, aku tak akan memenuhi permintaan kakek itu. Sampai kiamat pun kakek tak akan bisa mencegahku! Lagipula arena pertarungan itu diadakan oleh Yang Mulia Raja. Di panggung itulah aku bisa menjadi diriku sendiri. Bukankah itu lebih baik bagiku dari pada aku mengembara lalu mengadu ilmuku dengan sembarang orang hingga membuat keonaran?!” ucap Bahari denga
“Besok aku tunggu di arena pertarungan!” ucap Bahari lalu meninggalkan Bimantara, Raja Dawuh dan Kakeknya di sana.Saat Bahari sudah menghilang dari pandangan mereka, Raja Dawuh menatap Bimantara dengan khawatirnya. “Kenapa kau terima tawaran itu? Bukan kah itu akan menghambat kita untuk segera pergi ke negeri salju?”“Tidak ada cara lain selain menerima tawarannya,” jawab Bimantara.Raja Dawuh terpaksa mengalah. Kakek Tua itu menatap mereka dengan bingung. Untuk mengajaknya kembali ke rumahnya, jaraknya sangat jauh. Jika harus menunggu di sana, mereka terpaksa harus bermalam.“Apa kita cari penginapan saja untuk menunggu hari esok?” tawar kakek itu.“Apakah di sini ada penginapan?” tanya Raja Dawuh.“Ini negeri damai dan tentram,” jawab Kakek Tua itu. “Meski banyak pendekar, tidak ada penjahat di negeri ini. Makanya Yang Mulia Raja mengadakan arena pertarungan untuk menunjukkan kekuatan mereka dan menunjukkan keberadaan para pendekar terbaik di negeri ini.”“Memangnya kemana cucumu?”
Para prajurit itupun mengulurkan tombak ke arah kakek Tua itu. Tak lama kemudian seorang Panglima datang dari belakang para prajurit itu.“Di mana kau sembunyikan para penyusup itu?” tanya Sang Panglima.Kakek Tua itu tampak gemetar. Dia menoleh pada perempuan yang tampak menatapnya sambil tersenyum sinis. Dia yakin perempuan itulah yang melaporkannya pada para prajurit itu.“Mereka bukan penyusup,” jawab Kakek Tua itu.Sang Panglima itu mencabut pedangnya lalu mengarahkannya pada leher Kakek Tua itu. “Kau tahu hukumannya jika bekerjasama dengan penyusup? Kau akan dihukum penjara selama-lamanya.”Kakek Tua itu semakin gemetar mendengarnya. “Mereka ada di dalam kamar sana!” jawab Kakek Tua itu.Tak lama kemudian muncul Raja Dawuh keluar dari dalam kamar penginapan itu. Raja Dawuh tampak terkejut melihat para prajurit itu hendak menghunuskan pedang pada Kakek Tua itu.“Tangkaaap!” teriak Sang Panglima.Para prajurit itu pun langsung menyerang Raja Dawuh. Dengan kekuatannya, Raja Dawuh m
Pendekar Tombak Angin tampak tertawa puas melihat mayat-mayat manusia bergelimpangan di hadapannya. Sebuah desa baru saja habis terbakar olehnya. Dia telah membunuh banyak manusia di negeri itu. Tiga makhluk hitam berdiri di belakangnya dengan senang.“Kita telah mengembalikan keturunan berharga Yang Mulia,” bisik makhluk hitam itu pada temannya.“Aku rasa sebentar lagi kita bisa membangkitkan kembali Yang Mulia Bubungkala dan yang lainnya,” jawab Makhluk hitam lainnya.Pendekar Tombak Angin menoleh pada mereka bertiga.“Aku telah puas membunuh semuanya di negeri ini!” teriak Pendekar Tombak Angin. “Sekarang apa yang harus aku lakukan untuk menyelamatkan paman-pamanku?”“Kita harus pergi ke sebuah pulau, Tuanku. Kau harus membangkitkan para prajurit dari bangsa roh di sana dan kembali mengasah kemampuanmu untuk pergi ke negeri salju,” jawab makhluk hitam itu.“Kenapa tidak sekarang saja kita selamatkan paman-pamanku?” tanya Pendekar Tombak Angin dengan tidak sabarnya.“Negeri itu nege
Bimantara berjalan dengan tongkat hitamnya di pedesaan pinggir laut itu. Dia sudah tidak lagi menggunakan kaki cahaya naganya. Dia melihat di pulau seberang sudah tidak ada lagi bangunan tinggi yang memiliki menara yang menjulang. Bagunan Perguruan Matarhari telah lenyap di sana. Perkampungannya tampak sunyi. Beberapa rumah tampak sudah hancur berkeping-keping. Hanya ada beberapa rumah yang tampak baik-baik saja.Bimantara tidak tahu siapa yang masih hidup di negeri itu. Setelah dia memeriksa tiga kerajaan Nusantara yang hancur berkeping-keping, dia mengendalikan naganya untuk kembali ke kampung halamanannya.Bimantara berdiri di sisi tebing itu. Dia teringat saat menemui Dahayu di sana dahulu."Tahun depan aku akan menjadi murid di sana!" ucap Bimantara tiba-tiba. Memecah lamunan tiga remaja di hadapannya itu. Seolah ingin menunjukkan pada Dahayu bahwa tanpa kaki satu, dia masih layak mengejar impiannya. Tiga remaja itu menoleh ke arah Bimantara bersamaan. Saat menyadari yang bicara
Setelah itu keadaan menjadi hening. Putra Mahkota Iblis dan keempat saudaranya benar-benar sudah mati. Bahari tersenyum.“Sekarang aku bisa mati dengan tenang,” ucap Bahari.Bahari pun memejamkan matanya. Kini Bimantara, Tanaka, Pendekar Dua Alam dan Pendekar Sungai Panjang kembali merasakan dingin.Sementara Bimantara langsung berlari menuju Raja Dawuh yang tidak lagi bernyawa itu. Dia memeriksa tubuhnya. Denyut nadinya sudah berhenti. Bimantara menangis sambil memeluk mayatnya.“Maafkan aku yang tidak bisa menjagamu!” isak Bimantara.Tanaka, Pendekar Dua Alam dan Pendekar Sungai Panjang berjalan mendekat ke arahnya.“Kita sudah berhasil Bimantara,” ucap Tanaka.Bimantara pun menutup mata Raja Dawuh lalu berdiri di hadapan ketiga Panglimanya yang tersisa itu.“Tapi kita tidak berhasil mencegah mereka menghancurkan setiap kerajaan di atas muka bumi ini,” ucap Bimantara menyayangkannya. “Dan aku tidak berhasil menjaga Bahari dan Raja Dawuh.”“Aku yakin mereka akan tenang di nirwana kar
“Aku bisa melakukannya tanpa harus membangkitkan Dahayu kembali,” ucap Bimantara.Pendekar Dua Alam mengernyit mendengarnya.“Cahaya di tubuh Dahayu sangat berguna untukmu, Bimantara. Jika cahaya kalian menyatu maka tidak ada satupun yang bisa melawan kalian, termasuk para Iblis itu,” protes Pendekar Dua Alam.“Dahayu telah mengalirkan cahayanya kepadaku,” ujar Bimantara.“Tapi cahayanya telah menyusut di tubuhmu,” protes Pendekar Dua Alam.Raja Dawuh pun bangkit.“Jika kau menolaknya karena sudah mengkhianatinya, aku rasa Dahayu akan mengerti, Bimantara. Kita tidak memiliki cara lain untuk membunuh mereka!” tambah Raja Dawuh.“Jangan paksa aku!” teriak Bimantara.Bimantara pun mengeluarkan tenaga dalamnya, dia pun langsung mengalirkannya pada Pendekar Dua Alam, Raja Dawuh, Bahari, Pendekar Sungai Panjang dan Tanaka.“Jangan lakukan itu, jika tidak tenagamu akan habis!” protes Tanaka yang menerima aliran tenaga dalam dari Bimantara.Bimantara tidak menggubris perkataan Tanaka. Tenaga
“Jangan menangis,” pinta Ki Walang.“Aku tidak berhasil menjadi Chandaka Uddhiharata, Tuan Guru,” isak Bimantara. “Dunia sudah dihancurkan anak-anak iblis itu. Tiga kerajaan Nusantara telah habis terbakar, juga istana-istana di kerajaan lain. Sebentar lagi semua manusia akan mati. Mungkin aku juga akan mati. Padahal aku sudah membawa kelima Panglima terbaik di dunia ini.”“Apakah seperti ini akhirnya seorang murid yang sangat aku banggakan itu?” ucap Ki Walang sedikit marah. “Dahulu aku kagum padanya karena keterbatasannya dia memiliki cita-cita begitu agung untuk menjadi seorang pendekar yang berguna bagi sesama. Pahadal dia hanya memiliki kaki satu, tapi dia ingin memiliki jurus tendangan seribu.”Bimantara terdiam mendengar itu.“Hal yang tidak mungkin. Siapapun yang mendengarnya pasti akan tertawa karena ketidakpercayaannya. Tapi aku percaya akan itu. Akhirnya aku ajarkan semua ilmuku padamu. Dan kini, kau mengeluh disaat nyawa masih berada di dalam ragamu?!” teriak Ki Walang.“Ap
Bimantara kembali menyerang Putra Mahkota Iblis yang tampak geram. Dia menggunakan segala jurus yang dia punya untuk melawannya. Sekuat tega Bimantara lakukan sendirian untuk melawannya. Berbagai serangan yang dilakukan Bimantara berhasil dilawannya dengan baik. Bimantara tampak kewalahan dan hampir saja kehilangan tenaga.“Kita harus membantunya,” pinta Raja Dawuh yang tampak khawatir pada Bimantara.“Aku tahu kau seorang raja,” sahut Tanaka. “Tapi yang paling penting dari sebuah tim adalah mengikuti arahan Pimpinannya. Sekarang kau bukan seorang raja lagi. Kau harus mengikuti permintaan Bimantara yang meminta kita menjaga Pendekar Dua Alam sampai dia selesai melakukan ritualnya. Nyawa kita sekarang untuk Pendekar Dua Alam.”“Tapi dia bisa mati melawan Putra Mahkota Iblis itu sendirian,” ucap Raja Dawuh semakin khawatir.“Percaya saja,” pinta Tanaka menenangkannya.Sementara Pendekar Sungai Panjang masih berusaha menggunakan tenaga dalamnya untuk mengembalikan tulang-tulang yang pata
Bimantara terbang ke atas langit. Tubuhnya mengeluarkan cahaya. Sesaat kemudian dia meluncur ke bawah lalu menggunakan jurus tendangan seribunya untuk menghalau roh-roh hitam yang menyerang mereka. Satu persatu dari roh-roh hitam itu terpelanting jauh dan terbakar.Bahari dan Pendekar Sungai Panjang terngaga melihatnya. Bimantara pun kembali mendarat di dekat mereka dengan sorot mata yang masih menyala. Putra Mahkota Iblis di dalam benteng itu tampak geram. Dia berteriak lalu mengeluarkan cahaya di tubuhnya. Gemanya hampir saja memecahkan dinding pembatas tak terlihat.“Sekarang saatnya kau harus memecahkan dinding pembatas tak terlihat itu,” pinta Bahari.Bimantara mengangguk.“Semuanya segera bersiap!” pinta Bimantara pada kedua Panglima yang menemaninya itu.Bahari dan Pendekar Sungai Panjang mengangguk. Mereka pun sudah bersiap dengan jurus masing-masing.Bimantara menoleh pada Tanaka dan Raja Dawuh yang masih menjaga Pendekar Dua Alam yang sedang membangkitkan para pendekar sakti
Putra Mahkota Iblis itu berhenti berlari menuju benteng yang terbuka itu. Iblis itu menatap kepada empat saudaranya yang ikut berhenti.“Berpencarlah kalian semuanya,” pinta Putra Mahkota Iblis. “Hancurkan semua kerajaan di muka bumi ini! Biar aku saja yang menghadapi musuh kita di depan benteng sana!”“Tapi mereka telah membunuh adik bungsu kita,” protes salah satu dari mereka. “Kita harus bersama-sama membunuh mereka sebelum kita keluar dari negeri ini dan menghancurkan semua kerajaan di atas muka bumi ini!”“Diriku sendiri sudah cukup untuk membunuh semuanya! Ikuti perintahku jika kalian masih menganggapku sebagai pengganti Raja!” teriak Putra Mahkota Iblis itu pada adik-adiknya.“Baiklah,” jawab salah satu dari mereka.Empat anak-anak Iblis yang perkasa itu pun langsung melompati benteng yang luas nan tinggi itu. Mereka berpencar ke empat penjuru untuk menghancurkan kerajaan-kerajaan di berbagai wilayah.Sementara Bimantara di luar benteng itu tampak terkejut melihat para Iblis it
“Biar aku saja yang menghadapinya,” ucap Tanaka pada Bimantara.Bimantara mengangguk. Tanaka pun langsung melompat dari punggung naga lalu terbang melawan Pendekar Tombak Angin. Tanaka mengeluarkan golok hitamnya, sementara Pendekar Tombak Angin mengeluarkan pedangnya. Mereka berdua bertarung di atas langit.Bimantara menoleh pada Bahari, Pendekar Sungai Panjang, Pendekar Dua Alam dan Raja Dawuh.“Kalian serang prajurit mereka!” perintah Bimantara.Keempat Panglimanya itu mengangguk. Mereka langsung mengendalikan naga masing-masing lalu naga-naga yang ditunggangi mereka itu menghembuskan api dari mulut mereka untuk membakar ribuan prajurit yang berusaha memecahkan benteng tinggi itu. Sebagian prajuritnya mati terbakar karenanya. Para prajurit yang lain berusaha menyerang mereka dengan senjata masing-masing.Dengan sigap Raja Dawuh menggunakan kekuatannya untuk melelehkan pedang dan senjata lainnya yang digunakan para prajurit itu. Seketika senjata mereka meleleh.Sementara Bimantara l
Ribuan burung besar yang membawa Pendekar Tombak Angin dan pasukan roh-nya telah tiba di daratan negeri salju itu. Angin dingin berhembus menusuk tulang. Pendekar Tombak angin yang berada paling depan di punggung burung besar itu tampak menggigil. Ribuan tentaranya pun tampak kedinginan. Burung-burung besar itu pun tampak sudah lemah memasuki negeri salju itu, mereka tidak kuat akan dinginnya negeri itu.Pendekar Tombak Angin melihat patung es raksasa yang sedang memegang tongkat di hadapan benteng tinggi yang memutih. Ribuan prajurit di dekatnya pun mematung, mereka bagai patung es yang dipahat oleh seorang seniman yang masyhur.“Apakah dia Bubungkala?” tanya Pendekar Tombak Angin pada tiga makhluk hitam yang kedinginan di dekatnya. Tiga makhluk hitam itu terbang mengikutinya.“Benar, Tuanku,” jawab Makhluk hitam itu. “Dia yang paling bungsu dari ke enam saudara Iblismu.”Pendekar Tombak Angin tampak tidak kuat lagi karena dinginnya tempat itu.“Sekarang keluarkan batu dari neraka it