Saat Bimantara hampir tiba di puncak gunung Nun itu dengan menaiki Naga-nya bersama Pendekar Burung Merpati, seketika naga itu terhalang cahaya merah. Begitupun Pendekar Burung Merpati. Bimantara terpaksa membelokkan naganya untuk mundur ke belakang. Pendekar Burung Merpatipun mengikuti hal yang sama.“Ada apa, Panglimaku?” tanya Pendekar Burung Merpati dengan heran.“Bubungkala telah mengeluarkan kekuatannya untuk membuat dinding pembatasnya sendiri!” jawab Bimantara.Pendekar Burung Merpati terkejut mendengarnya.“Sekarang apa yang harus kita lakukan?”“Kita harus turun dan terpaksa menggunakan kuda untuk menaiki puncak gunung itu,” jawab Bimantara. “Kita tak dapat menembus cahaya merah itu, kecuali tongkat hitamku berada di tanganku.”Pendekar Burung Merpati terpaksa mengiyakannya. Mereka pun lalu turun dan mendarat di batas cahaya merah itu. Bimantara mengelus kepala naganya dengan lembut.“Pergilah!” pinta Bimantara.Naga itu bersuara lalu kembali terbang meninggalkan Bimantara.
Pangeran Kedua masih memacukan kudanya diikuti oleh Kakek Tua dan ketiga Panglima Bubungkala dari bangsa dedemit itu. Sesaat kemudian Kakek Tua itu mendengar suara langkah kuda di belakang mereka. Dia menghentikan kudanya, diikuti Pangeran Kedua dan yang lainnya.“Kenapa kita berhenti?” tanya Pangeran Kedua sambil memegang tongkat hitam itu dengan erat.“Sepertinya ada yang mengikuti kita!” jawab Kakek Tua itu.Pangeran Kedua dan Tiga Panglima Bubungkala itu tampak terkejut mendengarnya. Mereka menoleh ke belakang. Samar, suara langkah kuda-kuda itu terdengar di telinga mereka. Siluman Ular pun menatap Kakek Tua itu.“Lanjutkan perjalanan kalian! Biar aku yang menghadapi mereka!” pinta Siluman Ular itu.Kakek Tua mengangguk. Dia pun mengajak Pangeran Kedua dan Dua Panglima Bubungkala lainnya untuk melanjutkan perjalanan. Sebentar lagi mereka akan tiba ke puncak gunung sana melalui jalan rahasia itu.Saat Mereka sudah tidak terlihat di mata Siluman Ular itu, dia menatap ke rongga gua d
Mayat-mayat dari bangsa Peri yang hangus terbakar itu dilewati Bimantara dan Pendekar Burung Merpati. Mereka kembali berjalan menuju dinding pembatas cahaya merah yang menghalangi mereka menuju puncak.“Apa yang harus kita lakukan sekarang, Tuan Panglima?”“Kita harus mencoba sekuat tenaga untuk bisa memasuki dinding pembatas cahaya merah itu,” jawab Bimantara. “Jangan sampai Pangeran Kedua berhasil menancapkan tongkat hitamku di atas sana.”Pendekar Burung Merpati teringat dengan Pendekar Gunung Nun yang tengah mengejar Pangeran Kedua bersama pembantunya di dalam gua itu.“Apa sebaiknya kita lewat jalan rahasia itu saja?” tanya Pendekar Burung Merpati.“Sudah ada Pendekar Gunung Nun di sana. Biarkan dia yang mengejarnya,” jawab Bimantara.Pendekar Burung Merpati pun mengangguk. Tak lama kemudian terdengar suara kuda. Bimantara dan Pendekar Burung Merpati menoleh ke belakang. Mereka terkejut melihat kedatangan Pendekar Pasir Putih, Pendekar Bunga Teratai, Amita, Gavin dan Gala bersama
Ular besar itu dengan beringas melitit salah satu pasukan pendekar Gunung Nun. Saat Pendekar itu hendak memotong ekornya, Pendekar itu malah disabit lalu terpental mengenai dinding gua itu. Pendekar Gunung Nun berusaha bangkit dan kembali mengambil pedangnya, namun seketika pedangnya dilempar siluman ular dengan ujung ekornya hingga pedangnya melayang jauh darinya.Pendekar Gunung Nun geram saat melihat sebagian sisa prajuritnya bergelimpangan di dalam gua itu. Dia pun memejamkan matanya lalu mulai membacakan mantra untuk mengeluarkan kekuatan bebatuannya. Seketika bebatuan besar keluar dari dinding gua hingga gua itu tampak bergetar. Lalu bebatuan besar itu melesat cepat ke arah siluman ular itu hingga tubuhnya terhimpit bebatuan itu. Kini ular itu tampak tidak bisa lagi bergerak.Pendekar Gunung Nun pun melompat mengambil pedangnya kembali. Kemudian dia berlari menuju kepala ular yang sebagian tubuhnya terkunci karena tertindih bebatuan besar itu.“Aku terpaksa membunuhmu!” ucap Pen
Bimantara kembali mengeluarkan tenaga dalamnya. Dia pun menyerang dinding cahaya merah itu dengan lesatan cahaya dari tangannya. Kini dinding pembatas cahaya merah itu semakin retak. Tak lama kemudian pasukan Panglima Roh berdatangan membawa pasukannya yang menggunakan jubah hitam dan tidak nampak kepala mereka. Mereka laksana manusia tanpa kepala yang sedang menaiki kuda dengan pedang di tangan masing-masing. “Serang!” teriak Pendekar Pasir Putih. Semua pendekar pun menyerang pasukan Panglima Roh itu dengan senjata masing-masing. Sementara Gavin dan Gala berjaga di dekat Bimantara yang masih berusaha memecahkan dinding pembatas cahaya merah itu. Para Pendekar itu bertarung melawan Panglima Roh dengan sengitnya. Dua prajurit dari bangsa roh itu hendak menyerang Bimantara. Gavin dan Gala dengan sigap melindunginya. Mereka bertarung dengan prajurit dari bangsa roh itu hingga berhasil menebas leher mereka. Gavin dan Gala menoleh pada Bimantara yang masih berusaha memecahkan dinding pem
Pangeran Kedua pun turun dari kudanya lalu mencabut pedangnya dan mengulurkannya ke arah Pangeran Padama sambil memegang erat tongkat hitam itu.“Kalian yang bersamaku! Bantu aku membunuh mereka semua di sini!” teriak Pangeran Kedua Pada Kakek Tua dan satu Panglima Bubungkala yang berkepala kambing dan bertubuh manusia itu di belakangnya.Kakek Tua dan Panglima Bubungkala itu saling melihat.“Tugas kita telah selesai,” bisik Kakek Tua itu pada manusia berkepala kambing itu.“Bukankah kita harus melihat sampai tongkat hitam itu tertancap di dalam kawah itu?” tanya manusia berkepala kambing itu.“Kita tak perlu membantu Pangeran Kedua untuk melawan mereka. Jika dia ingin menyerang pasukan itu, biarkan saja, yang penting tongkat itu bisa tertancap, bukan siapa yang menancapkannya,” jawab Kakek Tua itu.Manusia berkepala kambing itu mengangguk. Mereka pun pergi dari sana, bersembunyi di suatu tempat sambil mengawasi siapa yang akan menang dalam pertarungan itu dan siapa yang akan menancap
Pangeran kedua yang masih terseok menuju kawah gunung itu tampak berhenti lalu menatap ke atas langit sana. Matanya terbelalak ketika melihat ratusan naga tampak menyemburkan api ke dinding pembatas tak terlihat. Dia tampak heran melihat semburan api itu terhalangi sesuatu yang tidak dapat dilihatnya.“Apakah gunung itu diselimuti dinding tak terlihat?” ucap Pangeran Kedua dengan heran. Melihat itu, dia kembali terseok membawa tongkat hitam itu menuju tepi kawah yang masih cukup jauh. Kakinya masih mengeluarkan banyak darah. Dia mencoba menahan sakitnya sekuat tenaganya.Sementara itu, Kakek Tua dan manusia berkepala kambing itu tampak khawatir dengan Pangeran Kedua. Dia khawatir Pangeran itu tak akan sampai ke tepi kawah melihat kakinya banyak mengeluarkan darah. Mereka bisa selamat dari ajian Amita karena berhasil menutupi telinganya.“Kenapa tidak kita rebut saja tongkat hitamnya lalu aku sendiri yang menancapkannya ke dalam kawah sana?” tanya manusia berkepala kambing itu pada Kak
Bimantara pun sekali lagi melesatkan cahaya di tangannya pada dua Panglima Bubungkala itu. Kini dua panglima itu benar-benar hangus dan tidak bernyawa lagi. Tiba-tiba terdengar teriakan Bubungkala di dalam sana. Bimantara pun tak peduli, dia melihat ke arah Pangeran Kedua. Bimantara terbelalak ketika mendapati Pangeran Kedua sudah tiba ke tepi kawah dalam keadaan lemas karena darah sudah banyak keluar dari kakinya.“Hentikan!” teriak Bimantara sambil melompat hendak merebut tongkatnya di tangan Pangeran Kedua.Pangeran Kedua berteriak. Dia mengeluarkan sisa tenaganya lalu melemparkan tongkat hitam itu ke dalam kawah.“Tidaaak!” teriak Bimantara yang kini sudah mendarat di dekat Pangeran Kedua.Tongkat itu melawang ke dalam kawah. Bimantara langsung melesat hendak meraihnya, namun tongkat itu akhirnya tertancam di pulau putih di tengah-tengah kawah itu. Pangeran Kedua tersenyum lega namun seketika dia rubuh karena kehabisan tenaga.Seketika kawah itu mulai meledak, Bimantara kembali te