Pangeran Kedua mendatangi Gavin dan Gala di tempat mereka dikurung di dalam istana itu. Prajurit penjaga membiarkan Pangeran Kedua menemuinya. Gavin dan Gala yang diikat di dalam ruangan itu tampak terkejut melihat kedatangan Pangeran Kedua. “Benar kah kalian sudah bekerjasama dengan Bimantara?” tanya Pangeran Kedua. “Bagaimana kami tidak mau bekerjasama dengannya jika mantan Panglima tertinggi itu adalah utusan para Dewa,” jawab Gavin. “Kalian percaya itu?” tanya Pangeran Kedua. “Iya, kami percaya itu karena kami telah melihatnya sendiri.” Kali ini Gala yang menjawabnya. Pangeran Kedua tampak berpikir lalu menatap keduanya. “Jika kalian sampai memberitahukan yang lainnya bahwa sebelumnya kita pernah bekerjasama, aku tak akan membiarkan kalian berdua hidup,” ancam Pangeran Kedua. Gavin dan Gala terbelalak mendengar itu. Pangeran Kedua pun langsung pergi dari sana. Sementara itu Gavin dan Gala saling menatap dengan bingung. “Bagaimana jika Bimantara benar-benar mati?” tanya Gala
Di dekat gerbang pendakian gunung Nun itu, Pendekar Gunung Nun bersama prajuritnya tengah bertarung melawan para pendekar dari sepuluh perguruan yang diam-diam didirikan oleh Pangeran Padama. Pendekar Gunung Nun mengangkat bebatuan di sana lalu melemparnya ke para pendekar itu. Para prajurit pun beradu pedang dengan mereka.Mayat-mayat dari dua kubu bergelimpangan. Kini para pendekar itu tampak terdesak, sebagian dari mereka berlari ke dalam hutan, menaiki puncak itu untuk menyusul Pangeran Padama di atas sana. Beruntung, para siluman menyelamatkan mereka hingga Pendekar Gunung Nun dan para prajurit yang tersisa tidak dapat mengejarnya.“Kita hanya bisa sampai ke batas ini saja,” ucap Pendekar Gunung Nun kepada prajuritnya yang tersisa.“Bagimana dengan mereka, Tuan?” tanya Prajuritnya.“Biarlah!” jawab Pendekar Gunung Nun.”Kita tunggu mereka di bawah saja. Mereka tidak bisa akan turun ke bawah kecuali setelah membangunkan Bubungkala.”Para Prajurit yang tersisa itu tampak gemetar men
Putra Mahkota diam-diam datang menemui Bimantara yang sedang dirantai di dalam penjara bawah tanah itu. Tabib Istana langsung pergi dari sana saat mengetahui kedatangan Sang Putra Mahkota. Bimantara menatap Putra Mahkota dengan bingung.“Siapa yang mencuri tongkat hitamku?” tanya Bimantara dengan bingung.“Sampai saat ini saya dan prajurit setia saya masih mencari pelakunya,” jawab Putra Mahkota.Bimantara tampak semakin bingung mendengarnya.“Aku telah mencoba untuk menerawang siapa pelakukanya, namun karena tanganku terikat, aku tidak dapat mengumpulkan tenaga dalamku dan tidak dapat melakukannya,” jawab Bimantara.“Bersabarlah sebentar, jika aku membuka rantai itu sekarang, aku pasti akan dihukum ayahku dan masalah akan semakin besar. Harapan kita satu-satunya adalah utusan dari Nusantara itu. Jika utusan dari Nusantara itu mengenalimu sebagai Chandaka Uddhiharta, ayahku pasti akan membebaskanmu dan tongkat hitam itu pasti akan mudah mendapatkannya,” ucap Putra Mahkota.“Kenapa tid
Putra Mahkota tiba di kediaman Pangeran Kedua setelah Pangeran Kedua berhasil menyimpan tongkat hitamnya di tempat yang lebih aman lagi. Pangeran Kedua langsung menyambutnya dengan hangat.“Kenapa kau datang ke tempatku?” tanya Pangeran Kedua berpura-pura heran.“Apa benar selama ini kau bekerjasama dengan Panglima Indra?” tegas Putra Mahkota.“Aku memang dekat dengannya, itu kulakukan untuk memastikan apakah dia benar-benar setia pada ayah, karena ayah begitu saja memaafkannya setelah dia melakukan kesalahan di saat bertarung dengan Bimantara dahulu,” jawab Pangeran Kedua berbohong padanya.“Jujurlah padaku,” desak Putra Mahkota. “Jika kau berkhianat pada kerajaan ini karena ambisimu, kau akan menyesal nantinya.”“Apa yang membuat Kakak menuduhku seperti itu? Bagaimana mungkin aku berkhianat pada kerajaan ini? Aku bagian dari keluarga ini! Dan aku setia pada ayah dan ibu!” bela Pangeran Kedua.“Jangan-jangan kaulah yang mencuri tongkat hitam milik Bimantara itu!” ucap Putra Mahkota y
Raja Abinawa tampak lega saat mendengar laporan dari Pejabat Istana bahwa utusan dari Nusantara sudah tiba di pelabuhan.“Sambut kedatangan mereka dan kirimkan kereta kencana untuk membawa mereka ke istana,” pinta Raja pada mereka.Pejabat istana itu pun langsung bergegas menunaikan perintah Sang Raja. Sang Raja sudah tidak sabar lagi untuk menyambut kedatangan utusan dari Nusantara itu. Dia segera ingin tahu sosok Candaka Uddhiharta yang sudah terdengar di telinganya itu.Sementara itu, Sang Ratu datang menemui Putri Kidung Putih di kediamannya. Dia datang dengan lega dan bercampur khawatir.“Aku dengar utusan dari Nusantara itu sudah datang, anakku,” ucap Sang Ratu pada Sang Putri.Sang Putri terkejut mendengarnya.“Kalau begitu, sebentar lagi Bimantara bisa dikeluarkan dari dalam penjara,” ucap Sang Putri dengan lega.“Tapi ibu khawatir jika bukan Bimantara yang dimaksud utusan dari Nusantara itu,” ucap Sang Ratu.“Tapi aku yakin, Bu. Aku yakin Bimantara adalah Chandaka Uddhiharta.
Kereta kencana itu melaju ditarik kuda-kuda terbaik istana. Para pengawal dari kerajaan Warih dan dari pasukan Raja Dawuh mengiringinya. Hewan dan binatang buas masih mengikuti mereka di kiri, kanan dan belakang mereka. Panglima Adhihra duduk di sebelah Raja Dawuh. Raja itu sendiri yang memintanya. Dia ingin Panglimanya yang paling setia itu berada di dekatnya, agar jika terjadi sesuatu yang buruk, Panglima itu bisa dengan sigap melindunginya.“Apakah binatang-binatang buas itu utusan dari Raja Abinawa, Yang Mulia?” tanya Panglima Adhira di dalam kereta kencana itu dengan heran pada Raja Dawuh.“Aku rasa bukan,” jawab Raja Dawuh.Panglima Adhira heran.“Jikan bukan, siapakah yang mengirim mereka untuk menemani perjalanan kita ke istana kerajaan Warih? Apakah Yang Mulia sendiri yang mengutus mereka dengan sebuah ajian?” Panglima Adhira sangat penasaran.“Aku rasa Bimantara yang mengirimnya kemari,” jawab Raja Dawuh.Panglima Adhira terbelalak mendengarnya.“Bimantara?”“Ya, hanya dia y
Sebagian pasukan itu pun memacukan kudanya dengan kencang. Dua harimau dan dua serigala berlari mengikuti mereka dari belakang. Saat mereka tiba di kawasan jalan yang sudah dinanti oleh para pendekar perempuan asuhan Amita, tiba-tiba anak-anak panah meluncur dari atas pohon, semak-semak dan balik bebatuan. Sebagian prajurit tertusuk anak panah itu lalu terjatuh dari kudanya. Sebagiannya lagi menghindar lalu kembali menyerang mereka dengan anak panah.Harimau-harimau dan dua serigala itu tampak berlarian ke arah semak-semak. Mereka menerkam para pendekar perempuan itu hingga sebagian para pendekar itu berlarian lalu dikejar binatang buas itu. Sementara pasukan kerajaan Warih yang lain tampak bergelimpangan terkena anak panah, tak ada satupun yang tersisa.Panglima Adhira menunggu di dekat kereta kencana Raja Dawuh.“Ada apa di luar sana?” tanya Raja Dawuh heran.“Harimau itu sepertinya memberi petunjuk bahwa ada bahaya di hadapan sana,” jawab Panglima Adhira.“Bahaya? Bukankah di neger
Andini datang menemui Amita di tempat persembunyian yang tak jauh dari pasukan Raja Dawuh yang sedang berhenti di jalanan menuju istana. “Pasukan kita banyak yang mati,” ucap Andini. “Sekarang tinggal tersisa sedikit, mereka tengah bertarung dengan para prajurit istana dan hewan buas yang mengikutinya.” Amita terbelalak mendengar itu. “Hewan buas?” “Benar, Guruku,” jawab Amita. Amita geram mendengarnya. Dia pun memejamkan mata lalu bergumam. Sesaat kemudian dia menggerak-gerakkan tangannya. Seketika mengarahkan tangannya ke arah pasukan Raja Dawuh. Seketika hewan-hewan buas yang semula melindungi Raja Dawuh berlarian menjauhi mereka. Hewan buas itu telah terkena mantra dari Amita. Raja Dawuh dan Panglima Adhira heran. “Kenapa para binatang buas itu pergi meninggalkan kita?” tanya Raja Dawuh dengan heran. “Mungkin mereka datang untuk memberitahukan ada bahaya saja, Yang Mulia,” jawab Panglima Adhira. Raja Dawuh tampak bingung. “Apa sebaiknya kita mundur saja lalu kembali ke pe