Senja sudah mulai datang. Bimantara duduk di bale kediaman Tabib kampung itu. Tongkat hitamnya di letakkan di sisi kanannya. Tabib datang membawa segelas air minum untuknya.“Minumlah,” pinta Tabib padanya.Bimantara pun meraih gelas itu di tangan Tabib itu lalu menyeruputnya perlahan.“Rekasi ramuan sedang bekerja,” ucap Tabib. “Tuan Putri akan mengalami demam untuk beberapa hari mendatang. Aku harap Tuan bisa bersabar dan tenang. Tuan Putri pasti sembuh seperti sedia kala.”“Terima kasih telah membantuku,” ucap Bimantara.Tabib itu menoleh pada Bimantara dan menatapnya dengan lekat.“Bagaimana Tuan bisa mengetahui tempatku?” tanya Tabib itu heran.“Naluriku yang mengantarkan Putri ke sini,” jawab Bimantara.“Apakah benar Tuan adalah Chandaka Uddhiharta yang selama ini ditunggu-tunggu para penduduk di sini?” tanya Tabib itu sekali lagi.“Putri memberitahumu akan hal ini?”Tuan Tabib menggeleng.“Aku sendiri yang mendengarnya. Saat angin puting beliung datang, aku lihat kau bicara pad
Kapal layar yang membentangkan bendera Nusantara tampak mengarungi samudera. Di ujung kapal itu berdiri Raja Dawuh dengan gagahnya. Panglima Adhira berdiri di sebelahnya dengan cemas dan was-was. Raja Dawuh telah menerima surat dari para prajurit utusan Raja Abinawa yang mengundangnya datang ke daratan Manggala. Dia membawa para prajurit yang banyak. Di sekeliling kapal layar terbesar itu, terlihat empat kapal yang mengiringinya. Satu di hadapan, dua di kiri kanan dan satu di belakang. Kapal-kapal itu diisi oleh para prajurit terbaiknya sebagai benteng jika dalam mengarungi samudera itu ada kapal musuh atau perompak yang menghalangi pelayaran mereka. Panglima Adhira menoleh pada Raja Dawuh. “Daratan Manggala sangat jauh, Yang Mulia. Apa yang membuat Yang Mulia tergerak untuk mengunjungi sahabat lama Nusantara itu?” tanya Panglima Adhira. Raja Dawuh menatap lautan di hadapannya dengan sorot mata sembabnya. “Dia ingin menanyakan tentang Chandaka Uddhiharta. Itulah yang membuat aku te
Bimantara mengangkat tongkat hitamnya di hadapan Gavin dan Gala yang sudah terikat di dua batang pohon itu. Seketika tongkat itu berubah menjadi rantai besi yang memiliki bola besi besar. Gavin dan Gala terbelalak mendengarnya.“Sekarang katakan padaku, apa yang kalian rencanakan dengan Panglima Indra?” tanya Bimantara yang seolah hendak mengancam dengan rantai besinya.Gavin dan Gala mencoba melepas ikatan mereka, namun karena ikatan itu telah dibacakan ajian oleh Bimantara, kekuatan mereka tampak tidak berguna.“Cepat ceritakan padaku kalau kalian tak ingin mati dengan rantai besiku ini!” ancam Bimantara.Gavin dan Gala ketakutan mendengarnya.“Ampun, Bimantara. Kami sebenarnya tidak ingin berurusan denganmu. Urusan kami adalah Yang Mulia Raja,” jawab Gavin.“Urusan apa?” tanya Bimantara penasaran.“Ayah dan ibu kami telah dihukum gantung oleh Yang Mulia raja dengan alasan yang tidak jelas,” jawab Gala. “Kami memasuki istana untuk membalaskan dendam kami!”“Lalu kenapa kalian ingin
“Kenapa tidak langsung saja bunuh Bubungkala di dalam gunung Nun sana?” tanya Gavin yang masih terikat di batang pohon itu pada Bimantara. “Bungkahkah itu tujuanmu menjadi Chandaka Uddhiharta? Itu lebih baik dibanding mencari Pangeran itu dan hendak membunuhnya. Dia tak akan bisa menghancurkan istana jika Bubungkala sudah mati.”“Kau pikir aku akan membuat gunung itu meletus?” tanya Bimantara. “Jika aku bunuh Bubungkala sekarang, gunung Nun akan meletus dan akan menghancurkan daratan manggala ini. Aku harus memikirkan caranya agar Bubungkala mati tanpa membuat gunung itu memuntahkan laharnya.”Gavin terdiam.“Kau akan membahayakan Tuan Putri jika meninggalkannya di sini! Kau tahu, Yang Mulia Raja telah mengutus para prajuritnya untuk mencari Tuan Putri!” ucap Gala yang seolah mencegahnya mencari Pangeran Padama. Bagaimana pun dia masih takut jika Pangeran itu akan menebas lehernya karena membuka rahasia itu pada Bimantara dan Tuan Putri.“Aku memiliki cara untuk melindunginya,” ucap B
Putra Mahkota mendatangi Pangeran Kedua di kediamannya dengan wajah geramnya. Pangeran Kedua berdiri dengan heran melihat kedatangan kakaknya.“Kau seperti tidak gusar melihat nasib adik perempuan kita satu-satunya tidak jelas bagaimana nasibnya sekarang,” ucap Pangeran Kedua padanya.“Aku hanya tidak menunjukkannya pada pengkhianat sepertimu,” jawab Putra Mahkota.Pangeran Kedua terbelalak mendengarnya.“Pengkhianat?”“Ya, aku tahu kau tengah bekerjasama dengan Panglima Indra dan dua pendekar terbaik yang kini menghilang dari istana itu?” cecar Putra Mahkota.Pangeran Kedua mengernyit mendengarnya. Dia tidak menyangka kalau Putra Mahkota akan mengendus hal itu.“Siapa yang berkhianat? Justru Kakak lah yang berkhianat! Sebagai Putra Mahkota tak seharusnya Kakak mendukung Bimantara, karena dialah pengkhianat sejati di kerajaan ini. Untunglah ayah cepat mengusirnya dan menggantikan posisinya sebagai panglima tertinggi ke Panglima Indra,” ujar Pangeran Kedua.“Apa surat dari Putri tidak
Bimantara tiba di hadapan pintu gua tempat persembunyian Pangeran Padama. Dia turun dari kuda putihnya. Ratusan hewan dan binatang yang mengiringinya tampak diam di belakangnya. Bimantara mendongak ke batu yang menutupi mulut gua itu.“Pangeran Padama! Keluarlah!” teriak Bimantara.Tak ada siapapun dari pengikut Pangeran Padama di sana. Tempat itu tampak sepi, hanya Bimantara dan sekawanan hewan dan binatang saja yang ada di sana. Saat tidak menemukan tanda-tanda adanya orang yang tinggal di sekitar gua itu, Bimantara mengulurkan tongkat hitamnya, lalu seketika batu yang menutupi mulut gua itu terbuka.Bimantara memasuki gua itu. Hewan dan binatang yang bersamanya tampak menunggu di depan gua sana. Bimantara tidak menemukan siapapun di sana. Di dalam gua itu tampak sepi. Hanya terdengar tetes-tetes air yang jatuh dari langit-langit gua saja.“Kemana mereka?” tanya Bimantara dengan herannya. “Apakah mereka sudah tahu bahwa aku hendak ke sini?”Bimantara pun bingung sendirian. Dia akhir
Bimantara mencoba memejamkan matanya, dia ingin menggunakan ilmu penerawangannya untuk mencari keberadaan Panglima Indra. Saat dia melihat Panglima Indra sedang mencoba berdiri sambil memegang pedangnya, dia pun langsung mengangkat tongkatnya hingga tongkat itu berubah menjadi rantai besi yang memiliki mata bola besi yang besar. Bimantara langsung memutar bola besi itu dengan rantainya lalu seketika bola besi itu dilesatkannya ke arah Panglima Indra.Panglima itu tampak terlihat di mata Bimantara. Dia tengah terpelanting jauh terkena bola besi itu hingga tubuhnya menghantam pohon besar lalu jatuh ke atas akarnya. Mulutnya mengeluarkan darah. Tangannya memegangi perutnya yang masih sakit bekas diinjak Bimantara tadi.Bimantara berjalan ke arahnya sambil menatap matanya yang lemah.“Ini kesempatan terakhirmu,” ucap Bimantara. “Kau mau ikut bersamaku untuk mencari Pangeran Padama atau tetap pada pendirianmu!”Panglima Padama malah melotot ke arah Bimantara. Bagaimana pun dendam masa lalu
“Tidak ada pengkhianat yang sedang menaiki puncak itu! Lagipula tidak ada siapapun yang bisa menaikinya,” ucap Pendekar Burung Merpati pada Bimantara.“Saat kalian lemah setelah bertarung denganku, pengkhianat itu berhasil menyusup dan menaiki puncak itu! Jika tak percaya, silakan kau periksa ke bawah sana!”Pendekar Burung Merpati malah tidak menggubris perkataan Bimantara. Dia malah mengeluarkan pedang di punggungnya lalu mulai menyerang Bimantara dengan pedang itu. Bimantara langsung menendang perut Pendekar itu hingga dia terdorong ke belakang masih dalam posisi terbang. Seketika tongkat hitamnya berubah menjadi selendang putih yang panjang lalu dililitkannya ke leher Pendekar Burung Merpati. Kini pendekar itu tampak tercekik.“Kau mau membantuku menghalangi pengkhianat itu atau kau aku bunuh sekarang juga?” ancam Bimantara.Pendekar Burung Merpati masih tidak menggubris ancaman Bimantara. Dia mencoba melepaskan lilitan selendang putih itu yang semakin mencekit lehernya. Dia tak a
Bimantara berjalan dengan tongkat hitamnya di pedesaan pinggir laut itu. Dia sudah tidak lagi menggunakan kaki cahaya naganya. Dia melihat di pulau seberang sudah tidak ada lagi bangunan tinggi yang memiliki menara yang menjulang. Bagunan Perguruan Matarhari telah lenyap di sana. Perkampungannya tampak sunyi. Beberapa rumah tampak sudah hancur berkeping-keping. Hanya ada beberapa rumah yang tampak baik-baik saja.Bimantara tidak tahu siapa yang masih hidup di negeri itu. Setelah dia memeriksa tiga kerajaan Nusantara yang hancur berkeping-keping, dia mengendalikan naganya untuk kembali ke kampung halamanannya.Bimantara berdiri di sisi tebing itu. Dia teringat saat menemui Dahayu di sana dahulu."Tahun depan aku akan menjadi murid di sana!" ucap Bimantara tiba-tiba. Memecah lamunan tiga remaja di hadapannya itu. Seolah ingin menunjukkan pada Dahayu bahwa tanpa kaki satu, dia masih layak mengejar impiannya. Tiga remaja itu menoleh ke arah Bimantara bersamaan. Saat menyadari yang bicara
Setelah itu keadaan menjadi hening. Putra Mahkota Iblis dan keempat saudaranya benar-benar sudah mati. Bahari tersenyum.“Sekarang aku bisa mati dengan tenang,” ucap Bahari.Bahari pun memejamkan matanya. Kini Bimantara, Tanaka, Pendekar Dua Alam dan Pendekar Sungai Panjang kembali merasakan dingin.Sementara Bimantara langsung berlari menuju Raja Dawuh yang tidak lagi bernyawa itu. Dia memeriksa tubuhnya. Denyut nadinya sudah berhenti. Bimantara menangis sambil memeluk mayatnya.“Maafkan aku yang tidak bisa menjagamu!” isak Bimantara.Tanaka, Pendekar Dua Alam dan Pendekar Sungai Panjang berjalan mendekat ke arahnya.“Kita sudah berhasil Bimantara,” ucap Tanaka.Bimantara pun menutup mata Raja Dawuh lalu berdiri di hadapan ketiga Panglimanya yang tersisa itu.“Tapi kita tidak berhasil mencegah mereka menghancurkan setiap kerajaan di atas muka bumi ini,” ucap Bimantara menyayangkannya. “Dan aku tidak berhasil menjaga Bahari dan Raja Dawuh.”“Aku yakin mereka akan tenang di nirwana kar
“Aku bisa melakukannya tanpa harus membangkitkan Dahayu kembali,” ucap Bimantara.Pendekar Dua Alam mengernyit mendengarnya.“Cahaya di tubuh Dahayu sangat berguna untukmu, Bimantara. Jika cahaya kalian menyatu maka tidak ada satupun yang bisa melawan kalian, termasuk para Iblis itu,” protes Pendekar Dua Alam.“Dahayu telah mengalirkan cahayanya kepadaku,” ujar Bimantara.“Tapi cahayanya telah menyusut di tubuhmu,” protes Pendekar Dua Alam.Raja Dawuh pun bangkit.“Jika kau menolaknya karena sudah mengkhianatinya, aku rasa Dahayu akan mengerti, Bimantara. Kita tidak memiliki cara lain untuk membunuh mereka!” tambah Raja Dawuh.“Jangan paksa aku!” teriak Bimantara.Bimantara pun mengeluarkan tenaga dalamnya, dia pun langsung mengalirkannya pada Pendekar Dua Alam, Raja Dawuh, Bahari, Pendekar Sungai Panjang dan Tanaka.“Jangan lakukan itu, jika tidak tenagamu akan habis!” protes Tanaka yang menerima aliran tenaga dalam dari Bimantara.Bimantara tidak menggubris perkataan Tanaka. Tenaga
“Jangan menangis,” pinta Ki Walang.“Aku tidak berhasil menjadi Chandaka Uddhiharata, Tuan Guru,” isak Bimantara. “Dunia sudah dihancurkan anak-anak iblis itu. Tiga kerajaan Nusantara telah habis terbakar, juga istana-istana di kerajaan lain. Sebentar lagi semua manusia akan mati. Mungkin aku juga akan mati. Padahal aku sudah membawa kelima Panglima terbaik di dunia ini.”“Apakah seperti ini akhirnya seorang murid yang sangat aku banggakan itu?” ucap Ki Walang sedikit marah. “Dahulu aku kagum padanya karena keterbatasannya dia memiliki cita-cita begitu agung untuk menjadi seorang pendekar yang berguna bagi sesama. Pahadal dia hanya memiliki kaki satu, tapi dia ingin memiliki jurus tendangan seribu.”Bimantara terdiam mendengar itu.“Hal yang tidak mungkin. Siapapun yang mendengarnya pasti akan tertawa karena ketidakpercayaannya. Tapi aku percaya akan itu. Akhirnya aku ajarkan semua ilmuku padamu. Dan kini, kau mengeluh disaat nyawa masih berada di dalam ragamu?!” teriak Ki Walang.“Ap
Bimantara kembali menyerang Putra Mahkota Iblis yang tampak geram. Dia menggunakan segala jurus yang dia punya untuk melawannya. Sekuat tega Bimantara lakukan sendirian untuk melawannya. Berbagai serangan yang dilakukan Bimantara berhasil dilawannya dengan baik. Bimantara tampak kewalahan dan hampir saja kehilangan tenaga.“Kita harus membantunya,” pinta Raja Dawuh yang tampak khawatir pada Bimantara.“Aku tahu kau seorang raja,” sahut Tanaka. “Tapi yang paling penting dari sebuah tim adalah mengikuti arahan Pimpinannya. Sekarang kau bukan seorang raja lagi. Kau harus mengikuti permintaan Bimantara yang meminta kita menjaga Pendekar Dua Alam sampai dia selesai melakukan ritualnya. Nyawa kita sekarang untuk Pendekar Dua Alam.”“Tapi dia bisa mati melawan Putra Mahkota Iblis itu sendirian,” ucap Raja Dawuh semakin khawatir.“Percaya saja,” pinta Tanaka menenangkannya.Sementara Pendekar Sungai Panjang masih berusaha menggunakan tenaga dalamnya untuk mengembalikan tulang-tulang yang pata
Bimantara terbang ke atas langit. Tubuhnya mengeluarkan cahaya. Sesaat kemudian dia meluncur ke bawah lalu menggunakan jurus tendangan seribunya untuk menghalau roh-roh hitam yang menyerang mereka. Satu persatu dari roh-roh hitam itu terpelanting jauh dan terbakar.Bahari dan Pendekar Sungai Panjang terngaga melihatnya. Bimantara pun kembali mendarat di dekat mereka dengan sorot mata yang masih menyala. Putra Mahkota Iblis di dalam benteng itu tampak geram. Dia berteriak lalu mengeluarkan cahaya di tubuhnya. Gemanya hampir saja memecahkan dinding pembatas tak terlihat.“Sekarang saatnya kau harus memecahkan dinding pembatas tak terlihat itu,” pinta Bahari.Bimantara mengangguk.“Semuanya segera bersiap!” pinta Bimantara pada kedua Panglima yang menemaninya itu.Bahari dan Pendekar Sungai Panjang mengangguk. Mereka pun sudah bersiap dengan jurus masing-masing.Bimantara menoleh pada Tanaka dan Raja Dawuh yang masih menjaga Pendekar Dua Alam yang sedang membangkitkan para pendekar sakti
Putra Mahkota Iblis itu berhenti berlari menuju benteng yang terbuka itu. Iblis itu menatap kepada empat saudaranya yang ikut berhenti.“Berpencarlah kalian semuanya,” pinta Putra Mahkota Iblis. “Hancurkan semua kerajaan di muka bumi ini! Biar aku saja yang menghadapi musuh kita di depan benteng sana!”“Tapi mereka telah membunuh adik bungsu kita,” protes salah satu dari mereka. “Kita harus bersama-sama membunuh mereka sebelum kita keluar dari negeri ini dan menghancurkan semua kerajaan di atas muka bumi ini!”“Diriku sendiri sudah cukup untuk membunuh semuanya! Ikuti perintahku jika kalian masih menganggapku sebagai pengganti Raja!” teriak Putra Mahkota Iblis itu pada adik-adiknya.“Baiklah,” jawab salah satu dari mereka.Empat anak-anak Iblis yang perkasa itu pun langsung melompati benteng yang luas nan tinggi itu. Mereka berpencar ke empat penjuru untuk menghancurkan kerajaan-kerajaan di berbagai wilayah.Sementara Bimantara di luar benteng itu tampak terkejut melihat para Iblis it
“Biar aku saja yang menghadapinya,” ucap Tanaka pada Bimantara.Bimantara mengangguk. Tanaka pun langsung melompat dari punggung naga lalu terbang melawan Pendekar Tombak Angin. Tanaka mengeluarkan golok hitamnya, sementara Pendekar Tombak Angin mengeluarkan pedangnya. Mereka berdua bertarung di atas langit.Bimantara menoleh pada Bahari, Pendekar Sungai Panjang, Pendekar Dua Alam dan Raja Dawuh.“Kalian serang prajurit mereka!” perintah Bimantara.Keempat Panglimanya itu mengangguk. Mereka langsung mengendalikan naga masing-masing lalu naga-naga yang ditunggangi mereka itu menghembuskan api dari mulut mereka untuk membakar ribuan prajurit yang berusaha memecahkan benteng tinggi itu. Sebagian prajuritnya mati terbakar karenanya. Para prajurit yang lain berusaha menyerang mereka dengan senjata masing-masing.Dengan sigap Raja Dawuh menggunakan kekuatannya untuk melelehkan pedang dan senjata lainnya yang digunakan para prajurit itu. Seketika senjata mereka meleleh.Sementara Bimantara l
Ribuan burung besar yang membawa Pendekar Tombak Angin dan pasukan roh-nya telah tiba di daratan negeri salju itu. Angin dingin berhembus menusuk tulang. Pendekar Tombak angin yang berada paling depan di punggung burung besar itu tampak menggigil. Ribuan tentaranya pun tampak kedinginan. Burung-burung besar itu pun tampak sudah lemah memasuki negeri salju itu, mereka tidak kuat akan dinginnya negeri itu.Pendekar Tombak Angin melihat patung es raksasa yang sedang memegang tongkat di hadapan benteng tinggi yang memutih. Ribuan prajurit di dekatnya pun mematung, mereka bagai patung es yang dipahat oleh seorang seniman yang masyhur.“Apakah dia Bubungkala?” tanya Pendekar Tombak Angin pada tiga makhluk hitam yang kedinginan di dekatnya. Tiga makhluk hitam itu terbang mengikutinya.“Benar, Tuanku,” jawab Makhluk hitam itu. “Dia yang paling bungsu dari ke enam saudara Iblismu.”Pendekar Tombak Angin tampak tidak kuat lagi karena dinginnya tempat itu.“Sekarang keluarkan batu dari neraka it