Amita langsung menarik Bimantara untuk menjauh dari Sang Putri.“Dia menipumu! Jangan terlalu gampang percaya Bimantara,” pinta Amita.“Aku tidak menipu. Dia kekasihku dan bahkan kami akan segera menikah,” ucap Sang Putri.Amita terbelalak mendengarnya. Sementara Bimantara tampak kebingung siapa yang hendak dia percayai.“Dia mengidap penyakit langka,” ucap Sang Putri berusaha meyakinkan Amita dan Bimantara. “Dia kerap hilang ingatan. Aku lah yang menjaganya selama ini.”“Kalau begitu, di mana pemuda ini tinggal dan di mana asalnya?” tanya Amita. Dia sebenarnya juga bingung dari mana asal sesungguhnya Bimantara. Apa benar dari Nusantara? Jika dipikir-pikir, jarak Nusantara dengan negeri itu sangatlah jauh. Bahkan ada beberpapa pelaut kerajaan mencoba mengunjungi Nusantara selama ini selalu gagal karena menuju ke sana harus melewati lautan luas yang dikenal penuh gelombang tinggi. Sangat tidak mungkin jika Bimantara benar-benar dari Nusantara. Pikir Amita kala itu.“Dia tinggal bersama
“Nenek! Nenek!” teriak Gavin dan Gala saat tiba di hadapan kediamannya.Amita keluar dari dalam rumah dengan heran.“Bagaimana?” tanya Amita penasaran.“Perempuan itu Tuan Putri Kidung Putih!” jawab Gavin.Amita terbelalak mendengarnya.“Yang Mulia Putri Kidung Putih?”“Benar, Nek. Sepertinya dia menyamar menjadi rakyat jelata. Tadi kami melihatnya di dalam hutan sana ada Panglima dan para pengawalnya sedang menjemputnya,” jawab Gala.“Lalu kenapa dia mengatakan pada kita bahwa Pemuda pincang itu kekasihnya?” tanya Amita heran.“Sepertinya Tuan Putri jatuh cinta pada rakyat jelata. Dia menyembunyikan pemuda itu dari istana karena cintanya. Tapi tadi kami melihat kehebatan pemuda itu mengeluarkan jurus ilmu bela diri hingga hampir saja dia membunuh Panglima. Tuan Putri bilang dialah yang mengajarkan pemuda pincang itu ilmu bela diri karena hendak membawanya ke istana,” jawab Gavin.Mendengar itu Nenek Amita semakin bingung. Kemudian dia pergi dari sana. Pergi ke markas persembunyian Sa
Dewa angin datang ke tengah lautan hingga menyebabkan angin puting beliung berputar mengangkat lautan ke atas langit. Tak lama kemudian Dewa Air keluar dari permukaan air laut dengan wajah geramnya.“Kenapa kau datang merusak lautku?” tanya Dewa air heran.“Aku datang ingin bertanya sesuatu padamu,” ucap Dewa angin dengan geram.“Aku tahu, kau pasti ingin menanyakan kenapa aku membuat Bimantara hilang ingatan kan?”“Kenapa kau lakukan itu?” tanya Dewa Angin heran.“Urusanmu dengannya telah selesai. Kini Maha Dewa tengah mengutusku untuk mengurusi anak itu. Dia tak tahu diri. Dia sudah kita angkat menjadi Chandaka Uddhiharta tapi lupa pada jati dirinya. Aku sengaja menghukumnya agar dia menjadi jati dirinya kembali.”“Tapi kenapa harus mencabut semua ingatannya? Bukankah dengan begitu kau menghambat tugasnya?” tanya Dewa Angin heran.“Justru aku berniat untuk mengembalikan semangatnya sebagai Chandaka Uddhiharta. Bimantara ingin pergi dari daratan itu, mengindahkah tugasnya sebagai Cha
Amita berlari menembus hutan gelap itu. Sinar matahari pun tak dapat menembus rimbunnya pepohonan di sana. Keringat di dahinya bercucuran. Napasnya terengah-engah. Dia kelelahan berlari jauh sudah setua itu. Saat dia tiba di semak-semak dekat mulut gua, dua penjaga tampak heran melihatnya. Tak biasanya Amita datang dengan terburu-buru begitu.“Aku ingin menemui Yang Mulia Padama,” ucap Amita sambil terengah-engah.“Masuklah,” ucap dua penjaga itu sambil melihat-lihat di kejauhan sana. Mereka khawatir ada yang diam-diam mengikuti Nenek itu. Jika sampai ada yang mengikutinya, tempat persembuyian itu akan diketahui pihak kerajaan. Itu sangat berbahaya bagi mereka. Rencana mereka selama ini untuk merebut kekuasaan di kerajaan akan rusak. Gua itu adalah gua tempat persembunyian Padama. Sang Pangeran yang terbuang, yang seharusnya meniti tahta di kerajaan negeri itu.Dahulu kala, Raja Brama yang sedang memimpin di kerajaan itu mendadak meninggal dunia, sementara Pangeran Padama masih kecil.
Bimantara keluar dari dalam rumah itu memandangi hujan yang baru saja turun. Dia melihat Lelaki Tua sedang memanggul sayuran dari kebun, yang baru masuk dari gerbang rumah itu. Lelaki Tua itu berhenti melangkah ketika melihat sosok Bimantara yang sedang berjalan menggunakan tongkatnya. Wajahnya tampak pucat melihatnya. Bimantara heran.“Bapak pelayan di rumah ini?” tanya Bimantara.Sebelum Lelaki Tua itu menjawab, Seorang Pelayan yang mengurus rumah itu berlari keluar dari dalam rumah menghampiri Bimantara.“Dia ayahku,” jawab Pelayan itu lalu segera membantu Lelaki Tua itu untuk memasukkan sayur mayurnya ke dalam rumah. “Tuan ini adalah kekasih Yang Mulia Putri,” lanjut Pelayan itu mengenalkan Bimantara pada Lelaki Tua itu.Lelaki Tua itu tampak terbelalak mendengarnya.“Ampun Tuan. Hamba tidak tahu siapa Tuan hingga Hamba tidak hormat pada Tuan,” ucap Lelaki Tua itu langsung bersimpuh di hadapan Bimantara.“Berdirilah,” pinta Bimantara.Lelaki Tua itupun berdiri. Pelayan masuk ke da
Sang Pelayan dan Lelaki Tua itu masuk ke dalam sana. Bimantara heran melihat Lelaki Tua itu datang dari luar. Seharusnya dia datang dari dalam karena pamit membuang air kecil di sana.“Ampun Tuan, kemana ayah hamba yang bicara dengan Tuan tadi?” tanya Sang Pelayan.“Bukannya tadi pamit buang air kecil ke dalam sana?” tanya Bimantara.Sang Pelayan dan Lelaki Tua itu tampak merinding mendengarnya.“Ampun Tuan. Hamba baru datang dari kebun,” ucap Lelaki Tua itu pada Bimantara.“Benar Tuan. Ini Ayah hamba yang asli. Tadi itu bukan ayah hamba, mungkin saja dia makhluk halus yang sengaja ingin menggangu Tuan,” tambah Sang Pelayan.Bimantara terbelalak mendengarnya.“Bapak tidak berbohong kan sama saya?” tanya Bimantara tak percaya.“Ampun, Tuan. Hamba benar-benar datang dari kebun.”“Kalau Bapak baru datang, siapa yang barusan tadi datang?” tanya Bimantara heran.Sang Pelayan dan Lelaki Tua itu tampak merinding. Lelaki Tua itu menatap Sang Pelayan dengan ketakutan.“Bakar kemenyan. Ayah har
Hujan telah berhenti. Pasukan Putri Kidung Putih hampir tiba di gerbang istana. Panglima dan para prajurit mengiringi kereta kencana yang di dalamnya ada Sang Putri ditemani Kepala Pelayannya. Kepala Pelayan yang tampak ketakutan rahasia Sang Putri diketahui Sang Raja menatapnya dengan khawatir.“Yang Mulia yakin bahwa Yang Mulia Raja tidak akan mengetahui rahasia ini? Bukan kah mata-mata Yang Mulia Raja sangat banyak?” tanya Kepala Pelayan padanya.“Jika ayahku sudah tahu pun, aku tidak takut. Justru aku pulang untuk memberitahukan soal pemuda itu pada ayah. Aku ingin meminta restu ayah agar bisa menikah dengannya. Mungkin itulah cara satu-satunya untuk mengendalikan Bimantara agar ramalan itu tidak akan terjadi,” jawab Sang Putri.“Apakah Yang Mulia yakin kalau Bimantara tidak akan kabur dari kediaman Yang Mulia di sana? Bagaimana jika ingatannya kembali pulih lalu dia kabur dari sana?”“Aku sudah mengutus para prajurit terbaik untuk menjaga kediaman itu. Aku juga sudah mengutus bin
Bimantara masih duduk menunggu Lelaki Tua dan Sang Pelayan melakukan ritual pengusiran arwah. Aroma kemenyan menyeruak, tercuim ke hidungnya. Tak lama kemudian ritual itu selesai dilakukan mereka. Lelaki Tua itu langsung bersimpuh di hadapan Bimantara.“Ampun, Tuan,” ucap Lelaki Tua itu. “Sepertinya hamba tidak menemukan roh jahat yang datang ke tempat ini. Hamba hanya melihat sebuah cahaya putih yang terang benderang. Sepertinya yang datang itu adalah roh baik yang ingin menyampaikan sesuatu pada Tuan.”Bimantara tercengang mendengar itu.“Roh baik yang ingin menyampaikan sesuatu padaku?” tanya Bimantara tak percaya.“Benar, Tuan,” jawab Lelaki Tua itu.Bimantara tampak berpikir mendengar itu. Roh baik yang menyamar menjadi Lelaki Tua itu menceritakan soal kerajaan Iblis padanya. Dia yakin pasti ada hubungan dengannya.“Ampun, Tuan. Jika hamba boleh tahu. Apa yang dikatakan roh yang menyamar menjadi hamba itu pada Tuan?” tanya Lelaki Tua itu. Dia memang sudah lama menjaga kediaman Pu
Bimantara berjalan dengan tongkat hitamnya di pedesaan pinggir laut itu. Dia sudah tidak lagi menggunakan kaki cahaya naganya. Dia melihat di pulau seberang sudah tidak ada lagi bangunan tinggi yang memiliki menara yang menjulang. Bagunan Perguruan Matarhari telah lenyap di sana. Perkampungannya tampak sunyi. Beberapa rumah tampak sudah hancur berkeping-keping. Hanya ada beberapa rumah yang tampak baik-baik saja.Bimantara tidak tahu siapa yang masih hidup di negeri itu. Setelah dia memeriksa tiga kerajaan Nusantara yang hancur berkeping-keping, dia mengendalikan naganya untuk kembali ke kampung halamanannya.Bimantara berdiri di sisi tebing itu. Dia teringat saat menemui Dahayu di sana dahulu."Tahun depan aku akan menjadi murid di sana!" ucap Bimantara tiba-tiba. Memecah lamunan tiga remaja di hadapannya itu. Seolah ingin menunjukkan pada Dahayu bahwa tanpa kaki satu, dia masih layak mengejar impiannya. Tiga remaja itu menoleh ke arah Bimantara bersamaan. Saat menyadari yang bicara
Setelah itu keadaan menjadi hening. Putra Mahkota Iblis dan keempat saudaranya benar-benar sudah mati. Bahari tersenyum.“Sekarang aku bisa mati dengan tenang,” ucap Bahari.Bahari pun memejamkan matanya. Kini Bimantara, Tanaka, Pendekar Dua Alam dan Pendekar Sungai Panjang kembali merasakan dingin.Sementara Bimantara langsung berlari menuju Raja Dawuh yang tidak lagi bernyawa itu. Dia memeriksa tubuhnya. Denyut nadinya sudah berhenti. Bimantara menangis sambil memeluk mayatnya.“Maafkan aku yang tidak bisa menjagamu!” isak Bimantara.Tanaka, Pendekar Dua Alam dan Pendekar Sungai Panjang berjalan mendekat ke arahnya.“Kita sudah berhasil Bimantara,” ucap Tanaka.Bimantara pun menutup mata Raja Dawuh lalu berdiri di hadapan ketiga Panglimanya yang tersisa itu.“Tapi kita tidak berhasil mencegah mereka menghancurkan setiap kerajaan di atas muka bumi ini,” ucap Bimantara menyayangkannya. “Dan aku tidak berhasil menjaga Bahari dan Raja Dawuh.”“Aku yakin mereka akan tenang di nirwana kar
“Aku bisa melakukannya tanpa harus membangkitkan Dahayu kembali,” ucap Bimantara.Pendekar Dua Alam mengernyit mendengarnya.“Cahaya di tubuh Dahayu sangat berguna untukmu, Bimantara. Jika cahaya kalian menyatu maka tidak ada satupun yang bisa melawan kalian, termasuk para Iblis itu,” protes Pendekar Dua Alam.“Dahayu telah mengalirkan cahayanya kepadaku,” ujar Bimantara.“Tapi cahayanya telah menyusut di tubuhmu,” protes Pendekar Dua Alam.Raja Dawuh pun bangkit.“Jika kau menolaknya karena sudah mengkhianatinya, aku rasa Dahayu akan mengerti, Bimantara. Kita tidak memiliki cara lain untuk membunuh mereka!” tambah Raja Dawuh.“Jangan paksa aku!” teriak Bimantara.Bimantara pun mengeluarkan tenaga dalamnya, dia pun langsung mengalirkannya pada Pendekar Dua Alam, Raja Dawuh, Bahari, Pendekar Sungai Panjang dan Tanaka.“Jangan lakukan itu, jika tidak tenagamu akan habis!” protes Tanaka yang menerima aliran tenaga dalam dari Bimantara.Bimantara tidak menggubris perkataan Tanaka. Tenaga
“Jangan menangis,” pinta Ki Walang.“Aku tidak berhasil menjadi Chandaka Uddhiharata, Tuan Guru,” isak Bimantara. “Dunia sudah dihancurkan anak-anak iblis itu. Tiga kerajaan Nusantara telah habis terbakar, juga istana-istana di kerajaan lain. Sebentar lagi semua manusia akan mati. Mungkin aku juga akan mati. Padahal aku sudah membawa kelima Panglima terbaik di dunia ini.”“Apakah seperti ini akhirnya seorang murid yang sangat aku banggakan itu?” ucap Ki Walang sedikit marah. “Dahulu aku kagum padanya karena keterbatasannya dia memiliki cita-cita begitu agung untuk menjadi seorang pendekar yang berguna bagi sesama. Pahadal dia hanya memiliki kaki satu, tapi dia ingin memiliki jurus tendangan seribu.”Bimantara terdiam mendengar itu.“Hal yang tidak mungkin. Siapapun yang mendengarnya pasti akan tertawa karena ketidakpercayaannya. Tapi aku percaya akan itu. Akhirnya aku ajarkan semua ilmuku padamu. Dan kini, kau mengeluh disaat nyawa masih berada di dalam ragamu?!” teriak Ki Walang.“Ap
Bimantara kembali menyerang Putra Mahkota Iblis yang tampak geram. Dia menggunakan segala jurus yang dia punya untuk melawannya. Sekuat tega Bimantara lakukan sendirian untuk melawannya. Berbagai serangan yang dilakukan Bimantara berhasil dilawannya dengan baik. Bimantara tampak kewalahan dan hampir saja kehilangan tenaga.“Kita harus membantunya,” pinta Raja Dawuh yang tampak khawatir pada Bimantara.“Aku tahu kau seorang raja,” sahut Tanaka. “Tapi yang paling penting dari sebuah tim adalah mengikuti arahan Pimpinannya. Sekarang kau bukan seorang raja lagi. Kau harus mengikuti permintaan Bimantara yang meminta kita menjaga Pendekar Dua Alam sampai dia selesai melakukan ritualnya. Nyawa kita sekarang untuk Pendekar Dua Alam.”“Tapi dia bisa mati melawan Putra Mahkota Iblis itu sendirian,” ucap Raja Dawuh semakin khawatir.“Percaya saja,” pinta Tanaka menenangkannya.Sementara Pendekar Sungai Panjang masih berusaha menggunakan tenaga dalamnya untuk mengembalikan tulang-tulang yang pata
Bimantara terbang ke atas langit. Tubuhnya mengeluarkan cahaya. Sesaat kemudian dia meluncur ke bawah lalu menggunakan jurus tendangan seribunya untuk menghalau roh-roh hitam yang menyerang mereka. Satu persatu dari roh-roh hitam itu terpelanting jauh dan terbakar.Bahari dan Pendekar Sungai Panjang terngaga melihatnya. Bimantara pun kembali mendarat di dekat mereka dengan sorot mata yang masih menyala. Putra Mahkota Iblis di dalam benteng itu tampak geram. Dia berteriak lalu mengeluarkan cahaya di tubuhnya. Gemanya hampir saja memecahkan dinding pembatas tak terlihat.“Sekarang saatnya kau harus memecahkan dinding pembatas tak terlihat itu,” pinta Bahari.Bimantara mengangguk.“Semuanya segera bersiap!” pinta Bimantara pada kedua Panglima yang menemaninya itu.Bahari dan Pendekar Sungai Panjang mengangguk. Mereka pun sudah bersiap dengan jurus masing-masing.Bimantara menoleh pada Tanaka dan Raja Dawuh yang masih menjaga Pendekar Dua Alam yang sedang membangkitkan para pendekar sakti
Putra Mahkota Iblis itu berhenti berlari menuju benteng yang terbuka itu. Iblis itu menatap kepada empat saudaranya yang ikut berhenti.“Berpencarlah kalian semuanya,” pinta Putra Mahkota Iblis. “Hancurkan semua kerajaan di muka bumi ini! Biar aku saja yang menghadapi musuh kita di depan benteng sana!”“Tapi mereka telah membunuh adik bungsu kita,” protes salah satu dari mereka. “Kita harus bersama-sama membunuh mereka sebelum kita keluar dari negeri ini dan menghancurkan semua kerajaan di atas muka bumi ini!”“Diriku sendiri sudah cukup untuk membunuh semuanya! Ikuti perintahku jika kalian masih menganggapku sebagai pengganti Raja!” teriak Putra Mahkota Iblis itu pada adik-adiknya.“Baiklah,” jawab salah satu dari mereka.Empat anak-anak Iblis yang perkasa itu pun langsung melompati benteng yang luas nan tinggi itu. Mereka berpencar ke empat penjuru untuk menghancurkan kerajaan-kerajaan di berbagai wilayah.Sementara Bimantara di luar benteng itu tampak terkejut melihat para Iblis it
“Biar aku saja yang menghadapinya,” ucap Tanaka pada Bimantara.Bimantara mengangguk. Tanaka pun langsung melompat dari punggung naga lalu terbang melawan Pendekar Tombak Angin. Tanaka mengeluarkan golok hitamnya, sementara Pendekar Tombak Angin mengeluarkan pedangnya. Mereka berdua bertarung di atas langit.Bimantara menoleh pada Bahari, Pendekar Sungai Panjang, Pendekar Dua Alam dan Raja Dawuh.“Kalian serang prajurit mereka!” perintah Bimantara.Keempat Panglimanya itu mengangguk. Mereka langsung mengendalikan naga masing-masing lalu naga-naga yang ditunggangi mereka itu menghembuskan api dari mulut mereka untuk membakar ribuan prajurit yang berusaha memecahkan benteng tinggi itu. Sebagian prajuritnya mati terbakar karenanya. Para prajurit yang lain berusaha menyerang mereka dengan senjata masing-masing.Dengan sigap Raja Dawuh menggunakan kekuatannya untuk melelehkan pedang dan senjata lainnya yang digunakan para prajurit itu. Seketika senjata mereka meleleh.Sementara Bimantara l
Ribuan burung besar yang membawa Pendekar Tombak Angin dan pasukan roh-nya telah tiba di daratan negeri salju itu. Angin dingin berhembus menusuk tulang. Pendekar Tombak angin yang berada paling depan di punggung burung besar itu tampak menggigil. Ribuan tentaranya pun tampak kedinginan. Burung-burung besar itu pun tampak sudah lemah memasuki negeri salju itu, mereka tidak kuat akan dinginnya negeri itu.Pendekar Tombak Angin melihat patung es raksasa yang sedang memegang tongkat di hadapan benteng tinggi yang memutih. Ribuan prajurit di dekatnya pun mematung, mereka bagai patung es yang dipahat oleh seorang seniman yang masyhur.“Apakah dia Bubungkala?” tanya Pendekar Tombak Angin pada tiga makhluk hitam yang kedinginan di dekatnya. Tiga makhluk hitam itu terbang mengikutinya.“Benar, Tuanku,” jawab Makhluk hitam itu. “Dia yang paling bungsu dari ke enam saudara Iblismu.”Pendekar Tombak Angin tampak tidak kuat lagi karena dinginnya tempat itu.“Sekarang keluarkan batu dari neraka it