Bimantara tengah makan bersama Amita, Gavin dan Gala. Mereka begitu menikmati ikan bakar yang dibakar dan diolah dengan lezat oleh Amita. Amita menatap Bimantara yang tampak tidak begitu semangat menikmati makanannya.“Jangan kau pikirkan. Nenek yakin, ingatanmu akan pulih,” pinta Amita.“Sekarang aku tidak tahu siapa yang haru aku percayai,” ucap Bimantara.Gavin dan Gala tampak berhenti makan. Mereka tampak kasihan padanya. Namun mereka harus menuruti permintaan Neneknya.“Kalau kami orang jahat dan bukan keluargamu, mana mungkin kami membawamu ke sini dan memberimu makan,” ucap Gavin mencoba meyakinkannya.“Siapa namaku?” tanya Bimantara.“Bimantara,” jawab Gavin.“Bimantara?” Dia mencoba mengingat sesuatu saat mendengar nama itu. Namun lagi dan lagi Bimantara tidak ingat apa-apa lagi.Tak lama kemudian terdengar suara burung di luar sana. Amita terkejut.“Burung mata-mata!” teriak Amita ketakutan.Bimantara sontak berdiri dan langsung keluar dari ruangan itu dengan tongkatnya. Ami
Amita langsung menarik Bimantara untuk menjauh dari Sang Putri.“Dia menipumu! Jangan terlalu gampang percaya Bimantara,” pinta Amita.“Aku tidak menipu. Dia kekasihku dan bahkan kami akan segera menikah,” ucap Sang Putri.Amita terbelalak mendengarnya. Sementara Bimantara tampak kebingung siapa yang hendak dia percayai.“Dia mengidap penyakit langka,” ucap Sang Putri berusaha meyakinkan Amita dan Bimantara. “Dia kerap hilang ingatan. Aku lah yang menjaganya selama ini.”“Kalau begitu, di mana pemuda ini tinggal dan di mana asalnya?” tanya Amita. Dia sebenarnya juga bingung dari mana asal sesungguhnya Bimantara. Apa benar dari Nusantara? Jika dipikir-pikir, jarak Nusantara dengan negeri itu sangatlah jauh. Bahkan ada beberpapa pelaut kerajaan mencoba mengunjungi Nusantara selama ini selalu gagal karena menuju ke sana harus melewati lautan luas yang dikenal penuh gelombang tinggi. Sangat tidak mungkin jika Bimantara benar-benar dari Nusantara. Pikir Amita kala itu.“Dia tinggal bersama
“Nenek! Nenek!” teriak Gavin dan Gala saat tiba di hadapan kediamannya.Amita keluar dari dalam rumah dengan heran.“Bagaimana?” tanya Amita penasaran.“Perempuan itu Tuan Putri Kidung Putih!” jawab Gavin.Amita terbelalak mendengarnya.“Yang Mulia Putri Kidung Putih?”“Benar, Nek. Sepertinya dia menyamar menjadi rakyat jelata. Tadi kami melihatnya di dalam hutan sana ada Panglima dan para pengawalnya sedang menjemputnya,” jawab Gala.“Lalu kenapa dia mengatakan pada kita bahwa Pemuda pincang itu kekasihnya?” tanya Amita heran.“Sepertinya Tuan Putri jatuh cinta pada rakyat jelata. Dia menyembunyikan pemuda itu dari istana karena cintanya. Tapi tadi kami melihat kehebatan pemuda itu mengeluarkan jurus ilmu bela diri hingga hampir saja dia membunuh Panglima. Tuan Putri bilang dialah yang mengajarkan pemuda pincang itu ilmu bela diri karena hendak membawanya ke istana,” jawab Gavin.Mendengar itu Nenek Amita semakin bingung. Kemudian dia pergi dari sana. Pergi ke markas persembunyian Sa
Dewa angin datang ke tengah lautan hingga menyebabkan angin puting beliung berputar mengangkat lautan ke atas langit. Tak lama kemudian Dewa Air keluar dari permukaan air laut dengan wajah geramnya.“Kenapa kau datang merusak lautku?” tanya Dewa air heran.“Aku datang ingin bertanya sesuatu padamu,” ucap Dewa angin dengan geram.“Aku tahu, kau pasti ingin menanyakan kenapa aku membuat Bimantara hilang ingatan kan?”“Kenapa kau lakukan itu?” tanya Dewa Angin heran.“Urusanmu dengannya telah selesai. Kini Maha Dewa tengah mengutusku untuk mengurusi anak itu. Dia tak tahu diri. Dia sudah kita angkat menjadi Chandaka Uddhiharta tapi lupa pada jati dirinya. Aku sengaja menghukumnya agar dia menjadi jati dirinya kembali.”“Tapi kenapa harus mencabut semua ingatannya? Bukankah dengan begitu kau menghambat tugasnya?” tanya Dewa Angin heran.“Justru aku berniat untuk mengembalikan semangatnya sebagai Chandaka Uddhiharta. Bimantara ingin pergi dari daratan itu, mengindahkah tugasnya sebagai Cha
Amita berlari menembus hutan gelap itu. Sinar matahari pun tak dapat menembus rimbunnya pepohonan di sana. Keringat di dahinya bercucuran. Napasnya terengah-engah. Dia kelelahan berlari jauh sudah setua itu. Saat dia tiba di semak-semak dekat mulut gua, dua penjaga tampak heran melihatnya. Tak biasanya Amita datang dengan terburu-buru begitu.“Aku ingin menemui Yang Mulia Padama,” ucap Amita sambil terengah-engah.“Masuklah,” ucap dua penjaga itu sambil melihat-lihat di kejauhan sana. Mereka khawatir ada yang diam-diam mengikuti Nenek itu. Jika sampai ada yang mengikutinya, tempat persembuyian itu akan diketahui pihak kerajaan. Itu sangat berbahaya bagi mereka. Rencana mereka selama ini untuk merebut kekuasaan di kerajaan akan rusak. Gua itu adalah gua tempat persembunyian Padama. Sang Pangeran yang terbuang, yang seharusnya meniti tahta di kerajaan negeri itu.Dahulu kala, Raja Brama yang sedang memimpin di kerajaan itu mendadak meninggal dunia, sementara Pangeran Padama masih kecil.
Bimantara keluar dari dalam rumah itu memandangi hujan yang baru saja turun. Dia melihat Lelaki Tua sedang memanggul sayuran dari kebun, yang baru masuk dari gerbang rumah itu. Lelaki Tua itu berhenti melangkah ketika melihat sosok Bimantara yang sedang berjalan menggunakan tongkatnya. Wajahnya tampak pucat melihatnya. Bimantara heran.“Bapak pelayan di rumah ini?” tanya Bimantara.Sebelum Lelaki Tua itu menjawab, Seorang Pelayan yang mengurus rumah itu berlari keluar dari dalam rumah menghampiri Bimantara.“Dia ayahku,” jawab Pelayan itu lalu segera membantu Lelaki Tua itu untuk memasukkan sayur mayurnya ke dalam rumah. “Tuan ini adalah kekasih Yang Mulia Putri,” lanjut Pelayan itu mengenalkan Bimantara pada Lelaki Tua itu.Lelaki Tua itu tampak terbelalak mendengarnya.“Ampun Tuan. Hamba tidak tahu siapa Tuan hingga Hamba tidak hormat pada Tuan,” ucap Lelaki Tua itu langsung bersimpuh di hadapan Bimantara.“Berdirilah,” pinta Bimantara.Lelaki Tua itupun berdiri. Pelayan masuk ke da
Sang Pelayan dan Lelaki Tua itu masuk ke dalam sana. Bimantara heran melihat Lelaki Tua itu datang dari luar. Seharusnya dia datang dari dalam karena pamit membuang air kecil di sana.“Ampun Tuan, kemana ayah hamba yang bicara dengan Tuan tadi?” tanya Sang Pelayan.“Bukannya tadi pamit buang air kecil ke dalam sana?” tanya Bimantara.Sang Pelayan dan Lelaki Tua itu tampak merinding mendengarnya.“Ampun Tuan. Hamba baru datang dari kebun,” ucap Lelaki Tua itu pada Bimantara.“Benar Tuan. Ini Ayah hamba yang asli. Tadi itu bukan ayah hamba, mungkin saja dia makhluk halus yang sengaja ingin menggangu Tuan,” tambah Sang Pelayan.Bimantara terbelalak mendengarnya.“Bapak tidak berbohong kan sama saya?” tanya Bimantara tak percaya.“Ampun, Tuan. Hamba benar-benar datang dari kebun.”“Kalau Bapak baru datang, siapa yang barusan tadi datang?” tanya Bimantara heran.Sang Pelayan dan Lelaki Tua itu tampak merinding. Lelaki Tua itu menatap Sang Pelayan dengan ketakutan.“Bakar kemenyan. Ayah har
Hujan telah berhenti. Pasukan Putri Kidung Putih hampir tiba di gerbang istana. Panglima dan para prajurit mengiringi kereta kencana yang di dalamnya ada Sang Putri ditemani Kepala Pelayannya. Kepala Pelayan yang tampak ketakutan rahasia Sang Putri diketahui Sang Raja menatapnya dengan khawatir.“Yang Mulia yakin bahwa Yang Mulia Raja tidak akan mengetahui rahasia ini? Bukan kah mata-mata Yang Mulia Raja sangat banyak?” tanya Kepala Pelayan padanya.“Jika ayahku sudah tahu pun, aku tidak takut. Justru aku pulang untuk memberitahukan soal pemuda itu pada ayah. Aku ingin meminta restu ayah agar bisa menikah dengannya. Mungkin itulah cara satu-satunya untuk mengendalikan Bimantara agar ramalan itu tidak akan terjadi,” jawab Sang Putri.“Apakah Yang Mulia yakin kalau Bimantara tidak akan kabur dari kediaman Yang Mulia di sana? Bagaimana jika ingatannya kembali pulih lalu dia kabur dari sana?”“Aku sudah mengutus para prajurit terbaik untuk menjaga kediaman itu. Aku juga sudah mengutus bin