Amita datang dari dalam hutan. Dia heran melihat pemuda itu tidak ada bersama kedua cucu kembarnya. Gavin dan Gala berdiri dengan bingung saat mendapati Neneknya sudah kembali ke sana.“Mana pemuda itu?” tanya Amita.“Dia sudah tidak ada lagi di sungai saat kami mencarinya ke sana, Nek,” jawab Gavin.Amita menatap wajah Gavin dengan lekat. Dia tahu kalau cucunya itu sedang berbohong.“Kalian pasti membiarkannya pergi dari sini kan?” tebak Amita yang membuat Gavin dan Gala semakin gugup.“Benar, Nek.” Kali ini Gala yang menyahut.“Hanya Chandaka Uddhiharta yang memiliki tongkat hitam itu dan hanya dia yang dapat mengendalikan tongkat hitam itu. Dia adalah utusan Maha Dewa untuk menyelamatkan negeri kita dari keangkara murkaan penguasa. Dia akan mengembalikan generasi penerus tahta yang sebenarnya dari negeri ini!” ucap Amita dengan penuh rasa percaya.Gavin dan Gala terkejut mendengarnya.“Benar kah itu, Nek?” tanya Gala tak percaya.“Jangan banyak tanya! Cepat cari dia sampai ketemu l
Bimantara melangkah menembus hutan belantara sambil memandangi burung hitam yang terbang rendah di atasnya. Dia takjub dengan keindahan burung itu. Selama tinggal di Nusantara, dia tak pernah melihat burung seindah itu. Warna hitamnya jika terkena terpaan sinar matahari akan memantulkan warna kebiruan dan kehijauan yang lembut.“Kau pasti diurus dengan baik oleh Tuanmu,” ucap Bimantara pada burung hitam itu.Burung hitam itu tak bersuara, Ia terus saja terbang rendah memberi petunjuk arah padanya. Seketika burung hitam itu mendarat di atas dahan pohon di dekatnya. Bimantara berhenti berjalan dengan heran. Wajah burung itu tampak panik.“Tuanmu memanggilmu?” tanya Bimantara.Burung itu akhirnya mengeluarkan suara yang merdu. Lelaki pincang itu mengerti. Tuannya pasti tengah memanggilnya dari jauh.“Apa perkambungan masih jauh?” tanya Bimantara. “Jika masih jauh, pulanglah pada Tuanmu.”Burung hitam itu kini diam. Wajahnya masih tampak bingung. Bimantara semakin heran.“Apa kau lelah?”
Kakek itu tampak selesai mencukur habis kumis dan jenggot Bimantara. Rambutnya yang panjang pun sudah dirapihkan oleh Sang Kakek.“Ternyata kau sangat tampan,” puji Sang Kakek.“Terima kasih,” ucap Bimantara.Bimantara mengeluarkan koin emas dalam kantong celananya. Koin yang dia bawa dari Nusantara. Bimantara tidak tahu koin-koin emas yang dia bawa dari Nusantara apakah berguna di negeri asing itu.“Apa ini?” tanya Kakek itu heran.“Untuk Kakek,” jawab Bimantara.Kakek itu meraih koin itu dengan lekat. Lambang naga di permukaan koin itu membuat dahinya mengernyit.“Kau mendapatkan ini dari Nusantara?” tanya Kakek itu tak percaya.Bimantara mengangguk. Seketika wajah Kakek itu berubah menjadi marah.“Kau perampok?” ujar Kakek itu menuduhnya. Bagaimana pun dia heran bagaimana Bimantara bisa mendapatkan koin emas dari Nusantara itu jika bukan merampok. Lagi pula Kakek itu tidak tahu kalau Bimantara memang berasal dari Nusantara, bukan penduduk setempat.“Tidak! Aku memang datang dari sa
Bimantara terus saja memacukan kudanya mengejar seorang gadis yang mirip Dahayu yang tengah menunggangi kudanya di hadapan. Keringatnya bercucuran. Angin malam tidak mempan mendinginkan dahinya.“Dahayu! Berhenti Dahayu!” teriak Bimantara. Entah karena sudah terlalu rindu, dia menjadi begitu percaya bahwa gadis yang wajahnya mirip Dahayu dianggapnya sebagai Dahayu. Padahal Bimantara sudah mengerti, yang telah kembali ke Nirwana tidak akan mungkin bisa hidup kembali. Kecuali jika ada yang menggunakan ajian pembangkit kematian. Itu pun yang kembali hanya arwahnya, seperti di masa sulitnya di Nusantara Dahulu.“Dahayu! Dahayu!” teriak Bimantara.Gadis yang menunggangi kuda hitam itu tidak menggubrisnya. Dia terus saja memacu kudanya. Seolah sengaja ingin diikuti Bimantara. Saat Gadis itu tiba di hadapan mulut gua, dia menghentikan kudanya lalu bergegas masuk ke dalam gua. Bimantara yang berhasil mengejarnya turut menghentikan kudanya juga. Dia turun dari kudanya dengan heran. Kuda putih
Bimantara memacukan kudanya dengan kencang. Hutan malam begitu gelap, namun kuda putih itu memacu gagah seolah sudah mengerti jalur yang akan Bimantara tempuh. Akhirnya kuda yang ditunggangi Bimantara tiba di pinggir lautan. Bimantara langsung turun dari kuda lalu memeriksa perahunya yang membawanya ke sana dahulu. Dia tidak menemukannya. Hanya ada pasir dan ombak malam yang menderu. Tak lama kemudian, dia melihat tiba-tiba laut bergelombang tinggi. Bimantara tetap berdiri dengan tongkat hitamnya, sementara kudanya bersuara sambil mengangkat kedua kaki depannya, seolah mengajak Bimantara untuk pergi dari terjangan tsunami yang sebentar lagi menerpa.“Kenapa kau halangi aku pergi dari daratan ini?!” teriak Bimantara menantang gelombang besar yang hendak datang. “Aku ingin pergi dari sini! Jangan halangi aku!” teriak Bimantara lagi.Kuda Putih itu terus saja bersuara. Bimantara tidak menggubrisnya. Sesaat kemudian Bimantara menoleh pada kuda putihnya.“Pergilah! Aku tidak membutuhkanmu
Gavin dan Gala tampak duduk di teras rumah sederhana itu dengan bingung. Neneknya tampak sibuk membakar ikan di halaman rumah.“Apa kau yakin dia benar-benar hilang ingatan?” tanya Gavin.“Sepertinya begitu. Mungkin dia mencoba pergi dari negeri ini dengan perahu, lalu ombak besar datang hingga dia terhempas dan kepalanya mengenai karang. Itu bisa saja terjadi,” jawab Gala.Tak lama kemudian terdengar langkah kaki dari belakang. Gavin dan Gala menoleh. Mereka terkejut melihat Bimantara keluar dari dalam rumah dengan tongkat hitamnya.“Kakak Pertama?” ucap Gavin dan Gala bersamaan.Amita yang sedang membakar ikan menoleh pada mereka, dia pun terkejut melihat Bimantara.“Kau sudah enakan?!” tanya Amita berteriak pada Bimantara.“Iya, Nek,” jawab Bimantara.Amita tampak lega.“Duduk lah di sana dengan adik-adikmu. Sebentar lagi kita akan makan,” pinta Amita.Bimantara mengangguk. Lalu dia duduk di dekat Gavin dan Gala dan memperhatikan wajah mereka dengan seksama. Gavin dan Gala tampak h
Istana tampak megah. Bebungaan tampak mekar di setiap jalan-jalan menuju bangunan istana. Sang Putri melangkah menembus bebungaan itu diikuti para pelayannya menuju kediaman Sang Raja. Saat mereka tiba di hadapan pintu kediaman raja, para Penjaga langsung berteriak, memberitahukan kedatangan Sang Putri. Pintu terbuka. Itu artinya Sang Putri diizinkan masuk.Saat Sang Putri memasuki ruangan itu meninggalkan para pelayannya yang menunggu di luar sana. Raja Abinawa tampak heran melihat mimik wajah kebingungan yang terlihat jelas di matanya. Saat itu Raja Abinawa tengah menikmati sarapan paginya ditemani para pelayannya.“Ada apa Putri tercantikku pagi-pagi ke sini menemuiku?” tanya Raja heran.“Ampun Yang Mulia,” ucap Putri. “Aku ingin bertanya sesuatu hal pada Yang Mulia.”“Duduklah dulu,” pinta Sang Raja.Sang Putri pun duduk penuh hormat. Sang Raja menunggu perkataan Sang Putri selanjutnya.“Apa benar ada sebuah ramalan yang mengatakan kita akan kedatangan lelaki pincang bertongkat hi
Bimantara tengah makan bersama Amita, Gavin dan Gala. Mereka begitu menikmati ikan bakar yang dibakar dan diolah dengan lezat oleh Amita. Amita menatap Bimantara yang tampak tidak begitu semangat menikmati makanannya.“Jangan kau pikirkan. Nenek yakin, ingatanmu akan pulih,” pinta Amita.“Sekarang aku tidak tahu siapa yang haru aku percayai,” ucap Bimantara.Gavin dan Gala tampak berhenti makan. Mereka tampak kasihan padanya. Namun mereka harus menuruti permintaan Neneknya.“Kalau kami orang jahat dan bukan keluargamu, mana mungkin kami membawamu ke sini dan memberimu makan,” ucap Gavin mencoba meyakinkannya.“Siapa namaku?” tanya Bimantara.“Bimantara,” jawab Gavin.“Bimantara?” Dia mencoba mengingat sesuatu saat mendengar nama itu. Namun lagi dan lagi Bimantara tidak ingat apa-apa lagi.Tak lama kemudian terdengar suara burung di luar sana. Amita terkejut.“Burung mata-mata!” teriak Amita ketakutan.Bimantara sontak berdiri dan langsung keluar dari ruangan itu dengan tongkatnya. Ami