Bimantara duduk di atas batu. Dia baru saja selesai mandi dan mengganti pakaiannya yang dipinjamkan oleh Gavin. Matanya tampak sayu memandangi aliran sungai yang mengalir tidak begitu deras. Tongkat hitamnya Ia sandarkan pada batu. Ujung tongkatnya tenggelam di aliran sungai. Wajahnya yang sudah bersih terlihat jelas dari permukaan sungai. Kuda putih yang ditemukannya di pinggir pantai tampak berdiri dengan keempat kakinya di pinggir sungai. Bimantara menoleh padanya.“Siapa kau sebenarnya? Kenapa kau menemuiku dan ingin ikut denganku? Apakah kau datang dari Nusantara? Apakah kau jelmaan dari para dewa yang sengaja ingin menemaniku?” tanya Bimantara pada kuda putih itu.Kuda putih itu hanya diam, tidak bersuara seperti biasanya.“Jika benar kau datang dari jelmaan para dewa atau dikirim dewa untukku, tugasku sebagai Chandaka Uddhiharta sudah selesai. Aku telah menyelamatkan Nusantara dari Penguasa Kegelapan. Kini aku ingin menjadi diriku sendiri. Aku akan melepaskan semua ilmu yang ak
Amita datang dari dalam hutan. Dia heran melihat pemuda itu tidak ada bersama kedua cucu kembarnya. Gavin dan Gala berdiri dengan bingung saat mendapati Neneknya sudah kembali ke sana.“Mana pemuda itu?” tanya Amita.“Dia sudah tidak ada lagi di sungai saat kami mencarinya ke sana, Nek,” jawab Gavin.Amita menatap wajah Gavin dengan lekat. Dia tahu kalau cucunya itu sedang berbohong.“Kalian pasti membiarkannya pergi dari sini kan?” tebak Amita yang membuat Gavin dan Gala semakin gugup.“Benar, Nek.” Kali ini Gala yang menyahut.“Hanya Chandaka Uddhiharta yang memiliki tongkat hitam itu dan hanya dia yang dapat mengendalikan tongkat hitam itu. Dia adalah utusan Maha Dewa untuk menyelamatkan negeri kita dari keangkara murkaan penguasa. Dia akan mengembalikan generasi penerus tahta yang sebenarnya dari negeri ini!” ucap Amita dengan penuh rasa percaya.Gavin dan Gala terkejut mendengarnya.“Benar kah itu, Nek?” tanya Gala tak percaya.“Jangan banyak tanya! Cepat cari dia sampai ketemu l
Bimantara melangkah menembus hutan belantara sambil memandangi burung hitam yang terbang rendah di atasnya. Dia takjub dengan keindahan burung itu. Selama tinggal di Nusantara, dia tak pernah melihat burung seindah itu. Warna hitamnya jika terkena terpaan sinar matahari akan memantulkan warna kebiruan dan kehijauan yang lembut.“Kau pasti diurus dengan baik oleh Tuanmu,” ucap Bimantara pada burung hitam itu.Burung hitam itu tak bersuara, Ia terus saja terbang rendah memberi petunjuk arah padanya. Seketika burung hitam itu mendarat di atas dahan pohon di dekatnya. Bimantara berhenti berjalan dengan heran. Wajah burung itu tampak panik.“Tuanmu memanggilmu?” tanya Bimantara.Burung itu akhirnya mengeluarkan suara yang merdu. Lelaki pincang itu mengerti. Tuannya pasti tengah memanggilnya dari jauh.“Apa perkambungan masih jauh?” tanya Bimantara. “Jika masih jauh, pulanglah pada Tuanmu.”Burung hitam itu kini diam. Wajahnya masih tampak bingung. Bimantara semakin heran.“Apa kau lelah?”
Kakek itu tampak selesai mencukur habis kumis dan jenggot Bimantara. Rambutnya yang panjang pun sudah dirapihkan oleh Sang Kakek.“Ternyata kau sangat tampan,” puji Sang Kakek.“Terima kasih,” ucap Bimantara.Bimantara mengeluarkan koin emas dalam kantong celananya. Koin yang dia bawa dari Nusantara. Bimantara tidak tahu koin-koin emas yang dia bawa dari Nusantara apakah berguna di negeri asing itu.“Apa ini?” tanya Kakek itu heran.“Untuk Kakek,” jawab Bimantara.Kakek itu meraih koin itu dengan lekat. Lambang naga di permukaan koin itu membuat dahinya mengernyit.“Kau mendapatkan ini dari Nusantara?” tanya Kakek itu tak percaya.Bimantara mengangguk. Seketika wajah Kakek itu berubah menjadi marah.“Kau perampok?” ujar Kakek itu menuduhnya. Bagaimana pun dia heran bagaimana Bimantara bisa mendapatkan koin emas dari Nusantara itu jika bukan merampok. Lagi pula Kakek itu tidak tahu kalau Bimantara memang berasal dari Nusantara, bukan penduduk setempat.“Tidak! Aku memang datang dari sa
Bimantara terus saja memacukan kudanya mengejar seorang gadis yang mirip Dahayu yang tengah menunggangi kudanya di hadapan. Keringatnya bercucuran. Angin malam tidak mempan mendinginkan dahinya.“Dahayu! Berhenti Dahayu!” teriak Bimantara. Entah karena sudah terlalu rindu, dia menjadi begitu percaya bahwa gadis yang wajahnya mirip Dahayu dianggapnya sebagai Dahayu. Padahal Bimantara sudah mengerti, yang telah kembali ke Nirwana tidak akan mungkin bisa hidup kembali. Kecuali jika ada yang menggunakan ajian pembangkit kematian. Itu pun yang kembali hanya arwahnya, seperti di masa sulitnya di Nusantara Dahulu.“Dahayu! Dahayu!” teriak Bimantara.Gadis yang menunggangi kuda hitam itu tidak menggubrisnya. Dia terus saja memacu kudanya. Seolah sengaja ingin diikuti Bimantara. Saat Gadis itu tiba di hadapan mulut gua, dia menghentikan kudanya lalu bergegas masuk ke dalam gua. Bimantara yang berhasil mengejarnya turut menghentikan kudanya juga. Dia turun dari kudanya dengan heran. Kuda putih
Bimantara memacukan kudanya dengan kencang. Hutan malam begitu gelap, namun kuda putih itu memacu gagah seolah sudah mengerti jalur yang akan Bimantara tempuh. Akhirnya kuda yang ditunggangi Bimantara tiba di pinggir lautan. Bimantara langsung turun dari kuda lalu memeriksa perahunya yang membawanya ke sana dahulu. Dia tidak menemukannya. Hanya ada pasir dan ombak malam yang menderu. Tak lama kemudian, dia melihat tiba-tiba laut bergelombang tinggi. Bimantara tetap berdiri dengan tongkat hitamnya, sementara kudanya bersuara sambil mengangkat kedua kaki depannya, seolah mengajak Bimantara untuk pergi dari terjangan tsunami yang sebentar lagi menerpa.“Kenapa kau halangi aku pergi dari daratan ini?!” teriak Bimantara menantang gelombang besar yang hendak datang. “Aku ingin pergi dari sini! Jangan halangi aku!” teriak Bimantara lagi.Kuda Putih itu terus saja bersuara. Bimantara tidak menggubrisnya. Sesaat kemudian Bimantara menoleh pada kuda putihnya.“Pergilah! Aku tidak membutuhkanmu
Gavin dan Gala tampak duduk di teras rumah sederhana itu dengan bingung. Neneknya tampak sibuk membakar ikan di halaman rumah.“Apa kau yakin dia benar-benar hilang ingatan?” tanya Gavin.“Sepertinya begitu. Mungkin dia mencoba pergi dari negeri ini dengan perahu, lalu ombak besar datang hingga dia terhempas dan kepalanya mengenai karang. Itu bisa saja terjadi,” jawab Gala.Tak lama kemudian terdengar langkah kaki dari belakang. Gavin dan Gala menoleh. Mereka terkejut melihat Bimantara keluar dari dalam rumah dengan tongkat hitamnya.“Kakak Pertama?” ucap Gavin dan Gala bersamaan.Amita yang sedang membakar ikan menoleh pada mereka, dia pun terkejut melihat Bimantara.“Kau sudah enakan?!” tanya Amita berteriak pada Bimantara.“Iya, Nek,” jawab Bimantara.Amita tampak lega.“Duduk lah di sana dengan adik-adikmu. Sebentar lagi kita akan makan,” pinta Amita.Bimantara mengangguk. Lalu dia duduk di dekat Gavin dan Gala dan memperhatikan wajah mereka dengan seksama. Gavin dan Gala tampak h
Istana tampak megah. Bebungaan tampak mekar di setiap jalan-jalan menuju bangunan istana. Sang Putri melangkah menembus bebungaan itu diikuti para pelayannya menuju kediaman Sang Raja. Saat mereka tiba di hadapan pintu kediaman raja, para Penjaga langsung berteriak, memberitahukan kedatangan Sang Putri. Pintu terbuka. Itu artinya Sang Putri diizinkan masuk.Saat Sang Putri memasuki ruangan itu meninggalkan para pelayannya yang menunggu di luar sana. Raja Abinawa tampak heran melihat mimik wajah kebingungan yang terlihat jelas di matanya. Saat itu Raja Abinawa tengah menikmati sarapan paginya ditemani para pelayannya.“Ada apa Putri tercantikku pagi-pagi ke sini menemuiku?” tanya Raja heran.“Ampun Yang Mulia,” ucap Putri. “Aku ingin bertanya sesuatu hal pada Yang Mulia.”“Duduklah dulu,” pinta Sang Raja.Sang Putri pun duduk penuh hormat. Sang Raja menunggu perkataan Sang Putri selanjutnya.“Apa benar ada sebuah ramalan yang mengatakan kita akan kedatangan lelaki pincang bertongkat hi
Bimantara berjalan dengan tongkat hitamnya di pedesaan pinggir laut itu. Dia sudah tidak lagi menggunakan kaki cahaya naganya. Dia melihat di pulau seberang sudah tidak ada lagi bangunan tinggi yang memiliki menara yang menjulang. Bagunan Perguruan Matarhari telah lenyap di sana. Perkampungannya tampak sunyi. Beberapa rumah tampak sudah hancur berkeping-keping. Hanya ada beberapa rumah yang tampak baik-baik saja.Bimantara tidak tahu siapa yang masih hidup di negeri itu. Setelah dia memeriksa tiga kerajaan Nusantara yang hancur berkeping-keping, dia mengendalikan naganya untuk kembali ke kampung halamanannya.Bimantara berdiri di sisi tebing itu. Dia teringat saat menemui Dahayu di sana dahulu."Tahun depan aku akan menjadi murid di sana!" ucap Bimantara tiba-tiba. Memecah lamunan tiga remaja di hadapannya itu. Seolah ingin menunjukkan pada Dahayu bahwa tanpa kaki satu, dia masih layak mengejar impiannya. Tiga remaja itu menoleh ke arah Bimantara bersamaan. Saat menyadari yang bicara
Setelah itu keadaan menjadi hening. Putra Mahkota Iblis dan keempat saudaranya benar-benar sudah mati. Bahari tersenyum.“Sekarang aku bisa mati dengan tenang,” ucap Bahari.Bahari pun memejamkan matanya. Kini Bimantara, Tanaka, Pendekar Dua Alam dan Pendekar Sungai Panjang kembali merasakan dingin.Sementara Bimantara langsung berlari menuju Raja Dawuh yang tidak lagi bernyawa itu. Dia memeriksa tubuhnya. Denyut nadinya sudah berhenti. Bimantara menangis sambil memeluk mayatnya.“Maafkan aku yang tidak bisa menjagamu!” isak Bimantara.Tanaka, Pendekar Dua Alam dan Pendekar Sungai Panjang berjalan mendekat ke arahnya.“Kita sudah berhasil Bimantara,” ucap Tanaka.Bimantara pun menutup mata Raja Dawuh lalu berdiri di hadapan ketiga Panglimanya yang tersisa itu.“Tapi kita tidak berhasil mencegah mereka menghancurkan setiap kerajaan di atas muka bumi ini,” ucap Bimantara menyayangkannya. “Dan aku tidak berhasil menjaga Bahari dan Raja Dawuh.”“Aku yakin mereka akan tenang di nirwana kar
“Aku bisa melakukannya tanpa harus membangkitkan Dahayu kembali,” ucap Bimantara.Pendekar Dua Alam mengernyit mendengarnya.“Cahaya di tubuh Dahayu sangat berguna untukmu, Bimantara. Jika cahaya kalian menyatu maka tidak ada satupun yang bisa melawan kalian, termasuk para Iblis itu,” protes Pendekar Dua Alam.“Dahayu telah mengalirkan cahayanya kepadaku,” ujar Bimantara.“Tapi cahayanya telah menyusut di tubuhmu,” protes Pendekar Dua Alam.Raja Dawuh pun bangkit.“Jika kau menolaknya karena sudah mengkhianatinya, aku rasa Dahayu akan mengerti, Bimantara. Kita tidak memiliki cara lain untuk membunuh mereka!” tambah Raja Dawuh.“Jangan paksa aku!” teriak Bimantara.Bimantara pun mengeluarkan tenaga dalamnya, dia pun langsung mengalirkannya pada Pendekar Dua Alam, Raja Dawuh, Bahari, Pendekar Sungai Panjang dan Tanaka.“Jangan lakukan itu, jika tidak tenagamu akan habis!” protes Tanaka yang menerima aliran tenaga dalam dari Bimantara.Bimantara tidak menggubris perkataan Tanaka. Tenaga
“Jangan menangis,” pinta Ki Walang.“Aku tidak berhasil menjadi Chandaka Uddhiharata, Tuan Guru,” isak Bimantara. “Dunia sudah dihancurkan anak-anak iblis itu. Tiga kerajaan Nusantara telah habis terbakar, juga istana-istana di kerajaan lain. Sebentar lagi semua manusia akan mati. Mungkin aku juga akan mati. Padahal aku sudah membawa kelima Panglima terbaik di dunia ini.”“Apakah seperti ini akhirnya seorang murid yang sangat aku banggakan itu?” ucap Ki Walang sedikit marah. “Dahulu aku kagum padanya karena keterbatasannya dia memiliki cita-cita begitu agung untuk menjadi seorang pendekar yang berguna bagi sesama. Pahadal dia hanya memiliki kaki satu, tapi dia ingin memiliki jurus tendangan seribu.”Bimantara terdiam mendengar itu.“Hal yang tidak mungkin. Siapapun yang mendengarnya pasti akan tertawa karena ketidakpercayaannya. Tapi aku percaya akan itu. Akhirnya aku ajarkan semua ilmuku padamu. Dan kini, kau mengeluh disaat nyawa masih berada di dalam ragamu?!” teriak Ki Walang.“Ap
Bimantara kembali menyerang Putra Mahkota Iblis yang tampak geram. Dia menggunakan segala jurus yang dia punya untuk melawannya. Sekuat tega Bimantara lakukan sendirian untuk melawannya. Berbagai serangan yang dilakukan Bimantara berhasil dilawannya dengan baik. Bimantara tampak kewalahan dan hampir saja kehilangan tenaga.“Kita harus membantunya,” pinta Raja Dawuh yang tampak khawatir pada Bimantara.“Aku tahu kau seorang raja,” sahut Tanaka. “Tapi yang paling penting dari sebuah tim adalah mengikuti arahan Pimpinannya. Sekarang kau bukan seorang raja lagi. Kau harus mengikuti permintaan Bimantara yang meminta kita menjaga Pendekar Dua Alam sampai dia selesai melakukan ritualnya. Nyawa kita sekarang untuk Pendekar Dua Alam.”“Tapi dia bisa mati melawan Putra Mahkota Iblis itu sendirian,” ucap Raja Dawuh semakin khawatir.“Percaya saja,” pinta Tanaka menenangkannya.Sementara Pendekar Sungai Panjang masih berusaha menggunakan tenaga dalamnya untuk mengembalikan tulang-tulang yang pata
Bimantara terbang ke atas langit. Tubuhnya mengeluarkan cahaya. Sesaat kemudian dia meluncur ke bawah lalu menggunakan jurus tendangan seribunya untuk menghalau roh-roh hitam yang menyerang mereka. Satu persatu dari roh-roh hitam itu terpelanting jauh dan terbakar.Bahari dan Pendekar Sungai Panjang terngaga melihatnya. Bimantara pun kembali mendarat di dekat mereka dengan sorot mata yang masih menyala. Putra Mahkota Iblis di dalam benteng itu tampak geram. Dia berteriak lalu mengeluarkan cahaya di tubuhnya. Gemanya hampir saja memecahkan dinding pembatas tak terlihat.“Sekarang saatnya kau harus memecahkan dinding pembatas tak terlihat itu,” pinta Bahari.Bimantara mengangguk.“Semuanya segera bersiap!” pinta Bimantara pada kedua Panglima yang menemaninya itu.Bahari dan Pendekar Sungai Panjang mengangguk. Mereka pun sudah bersiap dengan jurus masing-masing.Bimantara menoleh pada Tanaka dan Raja Dawuh yang masih menjaga Pendekar Dua Alam yang sedang membangkitkan para pendekar sakti
Putra Mahkota Iblis itu berhenti berlari menuju benteng yang terbuka itu. Iblis itu menatap kepada empat saudaranya yang ikut berhenti.“Berpencarlah kalian semuanya,” pinta Putra Mahkota Iblis. “Hancurkan semua kerajaan di muka bumi ini! Biar aku saja yang menghadapi musuh kita di depan benteng sana!”“Tapi mereka telah membunuh adik bungsu kita,” protes salah satu dari mereka. “Kita harus bersama-sama membunuh mereka sebelum kita keluar dari negeri ini dan menghancurkan semua kerajaan di atas muka bumi ini!”“Diriku sendiri sudah cukup untuk membunuh semuanya! Ikuti perintahku jika kalian masih menganggapku sebagai pengganti Raja!” teriak Putra Mahkota Iblis itu pada adik-adiknya.“Baiklah,” jawab salah satu dari mereka.Empat anak-anak Iblis yang perkasa itu pun langsung melompati benteng yang luas nan tinggi itu. Mereka berpencar ke empat penjuru untuk menghancurkan kerajaan-kerajaan di berbagai wilayah.Sementara Bimantara di luar benteng itu tampak terkejut melihat para Iblis it
“Biar aku saja yang menghadapinya,” ucap Tanaka pada Bimantara.Bimantara mengangguk. Tanaka pun langsung melompat dari punggung naga lalu terbang melawan Pendekar Tombak Angin. Tanaka mengeluarkan golok hitamnya, sementara Pendekar Tombak Angin mengeluarkan pedangnya. Mereka berdua bertarung di atas langit.Bimantara menoleh pada Bahari, Pendekar Sungai Panjang, Pendekar Dua Alam dan Raja Dawuh.“Kalian serang prajurit mereka!” perintah Bimantara.Keempat Panglimanya itu mengangguk. Mereka langsung mengendalikan naga masing-masing lalu naga-naga yang ditunggangi mereka itu menghembuskan api dari mulut mereka untuk membakar ribuan prajurit yang berusaha memecahkan benteng tinggi itu. Sebagian prajuritnya mati terbakar karenanya. Para prajurit yang lain berusaha menyerang mereka dengan senjata masing-masing.Dengan sigap Raja Dawuh menggunakan kekuatannya untuk melelehkan pedang dan senjata lainnya yang digunakan para prajurit itu. Seketika senjata mereka meleleh.Sementara Bimantara l
Ribuan burung besar yang membawa Pendekar Tombak Angin dan pasukan roh-nya telah tiba di daratan negeri salju itu. Angin dingin berhembus menusuk tulang. Pendekar Tombak angin yang berada paling depan di punggung burung besar itu tampak menggigil. Ribuan tentaranya pun tampak kedinginan. Burung-burung besar itu pun tampak sudah lemah memasuki negeri salju itu, mereka tidak kuat akan dinginnya negeri itu.Pendekar Tombak Angin melihat patung es raksasa yang sedang memegang tongkat di hadapan benteng tinggi yang memutih. Ribuan prajurit di dekatnya pun mematung, mereka bagai patung es yang dipahat oleh seorang seniman yang masyhur.“Apakah dia Bubungkala?” tanya Pendekar Tombak Angin pada tiga makhluk hitam yang kedinginan di dekatnya. Tiga makhluk hitam itu terbang mengikutinya.“Benar, Tuanku,” jawab Makhluk hitam itu. “Dia yang paling bungsu dari ke enam saudara Iblismu.”Pendekar Tombak Angin tampak tidak kuat lagi karena dinginnya tempat itu.“Sekarang keluarkan batu dari neraka it