Bimantara dan Aksara masih memacukan kuda hitamnya menembus hutan malam yang gelap. Di ujung tongkat Bimantara keluar cahaya yang menerangi jalan mereka. Lima pasukan berpakaian perang mengiringi mereka dari belakang. Setelah menempuh perjalanan cukup lama, mereka akhirnya tiba di hadapan dua bukit yang di tengah-tengahnya terdapat sebuah lembah.“Di mana ini?” tanya Bimantara pada Aksara.“Di sinilah tempat tinggalmu,” jawab Aksara.Bimantara menoleh pada Aksara dengan heran. “Di lembah ini?” tanya Bimantara tak percaya.Aksara tersenyum. Langit perlahan terang. Matahari pagi sepertinya mau datang. Tak lama kemudian kabut menyelimuti lembah di antara dua bukit itu.“Saat kita memasuki lembah itu,” pinta Aksara.Aksara pun memacukan kuda hitamnya. Bimantara pun menyusulnya. Lima puluh pasukan di belakangnya pun berderap mengikuti dari belakang. Saat Bimantara sudah memasuki lembah berkabut di antara dua bukit itu, dia tidak bisa melihat apapun kecuali kabut. Tak lama kemudian dia meli
Dewa Angin mendekat pada Bimantara.“Siapapun yang menjadi Candaka Uddhiharta, akan melupakan siapa dirinya sebelumnya dan orang-orang yang pernah mengenalnya juga akan lupa dengannya,” jawab Dewa Angin. “Ini sudah menjadi ketentuan dari Sang Hyang Agung yang berada di langit tertinggi di alam ini.“Apakah selamanya aku akan melupakan masalaluku?” tanya Bimantara.Dewa Angin kembali tersenyum mendengarnya.“Jika Sang Hyang Agung mengizinkan,” jawab Dewa Angin.“Aku penasaran siapa diriku sebelumnya dan bagaimana aku bisa terpilih menjadi Candaka Uddhiharta,” ucap Bimantara.“Berdoalah, semoga Sang Hyang Agung di langit tertinggi sana mengabulkan keinginanmu,” ucap Dewa Angin.“Semoga Sang Hyang Agung mengabulkan doaku,” ucap Bimantara kemudian.Tiba-tiba Dewa angin menghilang dari hadapannya. Aksara menoleh pada Bimantara.“Saatnya aku mengantarmu ke kamarmu,” ucap Aksara.Bimantara mengangguk. Aksara pun membawa Bimantara ke kamarnya. Kamar itu begitu luas. Di dinding sebelah utara t
Seusai menikmati hidangan di ruangan itu, Aksara pun membawa Bimantara menuju patung pemuda yang diceritakannya pada Bimantara tadi. Bimantara tercengang melihat patung pemuda kurus yang sedang memegang pedang.“Apakah dia berhasil mengalahkan para dewa dan menjadi dewa terhebat di alam ini?” tanya Bimantara penasaran.“Konon katanya dia berhasil mengalahkan para dewa hingga Sang Hyang Agung memberi gelar padanya,” jawab Aksara.“Gelar apa?” tanya Bimantara penasaran.“Gelar manusia pembangkang,” jawab Aksara sambil tertawa.Bimantara mengernyit mendengarnya.“Apakah Sang Hyang Agung menghukumnya?” tanya Bimantara.“Sang Hyang Agung tidak menghukumnya, malah Sang Hyang Agung salut dengan keberaniannya. Dan setelah itu dia tak terkalahkan di muka bumi. Naluri kebaikannnya menghapus angkara murka di muka bumi ini. Dia menjadi Candaka Uddhiharta terhebat di sepanjang gelar Candaka Uddhiharta diberikan pada manusia,” jawab Aksara.Bimantara tercengang mendengarnya.“Kau ingin seperti dia?
Dahayu dan Dhaksayini masih tampak tidak percaya dengan apa yang dikatakan Kancil di hadapannya.“Bimantara tidak ada di sini,” jawab Dahayu pada Kancil.“Kau menyembunyikannya?” tanya Kancil tak percaya.“Aku tidak menyembunyikannya,” jawab Dahayu. “Dia telah pergi semalam. Jika tidak percaya, periksa saja arena ini.”Kancil pun menoleh pada para prajuritnya.“Periksa semuanya di area ini!” tegas Kancil.Prajuritnya pun bergerak mencari keberadaan Bimantara. Saat para prajuritnya bergerak mencari keberadaan Bimantara di mana-mana, Dhaksayini mendekat pada Kancil.“Apa yang membuatmu percaya kalau Bimantara musuh utama para raja?” tanya Dhaksayini dengan heran.“Arwah kakekku telah datang menemui ayahku. Kakekku berpesan pada ayahku untuk berhati-hati terhadap Chandaka Uddhiharta karena dia akan melenyapkan seluruh kerajaan di dunia dan akan membuat satu kerajaan yang akan dipimpinnya sendiri,” jawan Kancil.“Kau yakin yang datang itu arwah kakekmu?” tanya Dhaksayini.Kancil heran. “A
Saat Dahayu dan Dhaksayini sudah menghilang dari tempat itu, Panglima Sada dan pasukannya tiba di tempat itu.“Periksa semuanya!” tegas Panglima Sada pada pasukannya.Pasukannya pun mengitari tempat itu. Panglima Sada turun dari kuda. Dia memeriksa dua rumah di sana. Di dalam sudah tidak ada siapa-siapa lagi, hanya peralatan sederhana. Panglima Sada heran kemana Dahayu menghilang. Tak berapa lama kemudian para pasukannya mendatangi Panglima Sada.“Tuan Putri tidak ada di sini,” ucap salah satu pasukannya.“Sepertinya mereka baru saja meninggalkan tempat ini,” ucap prajurit lainnya.“Kembali ke kuda masing-masing! Kita cari sampai ketemu!” tegas Panglima Sada.Semua pun menaiki kuda masing-masing. Panglima Sada memacukan kudanya dengan kencang mencari keberadaan Dahayu bersama pasukannya.***Bimantara berjalan di atas rerumputan ditemani Aksara. Mereka berada di belakang istana batu. Pepohonan tampak rindang di sekitar mereka, yang jaraknya cukup berjauhan. Kuda-kuda putih dan hitam t
Bimantara memandangi kakinya. “Kaki cahayaku tidak tumbuh. Apakah aku akan tetap berdiri dengan kaki satuku?”Aksara mengangguk. “Justru dengan kaki satumulah kau akan semakin dikenal sebagai Chandaka Uddhiharta,” jawab Aksara.Setelah itu mereka keluar dari ruangan itu. Di luar sana. Seekor kuda hitam sudah menunggunya. Di belakang seekor kuda hitam itu ada dua puluh prajurit memakai pakaian baja sudah siap mengantarnya keluar dari alam Chandaka Uddhiharta.“Apakah mereka akan mengikuti perjalananku ke tempat kakekku?” tanya Bimantara heran.“Mereka akan mengawal perjalananmu dan menyiapkan segala kebutuhanmu di perjalanan. Mereka bukan prajurit biasa. Mereka semua adalah jelmaan dari harimau-harimau buas,” jawab Aksara.Bimantara terkejut mendengarnya. Para prajurit itu langsung berlutut hormat pada Bimantara. Bimantara pun menaiki kudanya.“Kau tidak ikut denganku?” tanya Bimantara.“Aku pasti datang jika memang Nalurimu menginginkan,” jawab Aksara.Bimantara mengangguk lalu memacu
Senja tampak heran melihat Pasukan Bimantara bersama Pengawalnya tengah mengarah ke kediamannya dengan menunganggi kuda. Senja pun memperhatikan mereka. Dia tampak semakin terkejut ketika melihat Bimantara yang berada paling depang menggunakan mahkota seperti seorang pangeran. Apalagi melihat pengawal yang dibawanya memakai pakaian perang.“Siapa mereka?” tanya Gadis itu dengan bingung. Setelah itu dia berlari hendak mencari Kakek Sangkala untuk memberitahukan itu.Sementara itu, Kakek Sangkala tengah melatih murid-muridnya ilmu bela diri di lapangan dalam pagar kediaman Tuan Kepala Wilayah. Tak lama kemudian, datang Senja sambil berlari ke arah mereka.“Kakek Guru! Kakek Guru!” teriak Senja.Kakek Sangkala berhenti mengajari murid-muridnya. Dia menoleh pada Senja dengan heran. Para murid pun tampak heran melihat gadis itu berlari dengan terengah-engah ke arah mereka.“Ada apa, Senja?” tanya Kakek Sangkala dengan heran.“Di luar sana ada sepasukan berkuda tengah menuju kemari,” jawab
Para pelayan di kediaman Tuan Kepala Wilayah sedang menjamu Bimantara bersama Pasukannya. Kakek Sangkala duduk di hadapan Bimantara dengan terheran-heran. Dia masih tak percaya jika pemuda pincang bermahkota itu adalah cucunya. Senja pun tampak tak percaya.“Seharusnya aku merahasiakan ini pada siapapun yang sudah dihapus ingatannya tentangku oleh para Dewa,” ucap Bimantara.Kakek Sangkala terdiam.“Aku hanya ingin tahu dan ingin melihat satu-satunya keluarga yang aku miliki saat ini,” lanjut Bimantara.“Siapapun engkau, jika memang para dewa telah mencabut ingatanku tentangmu, aku berterima kasih pada Sang Hyang Agung telah menjadikan keturunanku menjadi manusia suci,” ucap Kakek. “Aku berterima kasih telah memiliki seorang cucu yang perkasa sepertimu.” Kali ini air mata Kakek Sangkala berderai.Bimantara mendadak sedih melihatnya.“Tugasmu pasti berat, Nak. Aku tahu, Chandaka Uddhiharta memiliki tanggung jawab yang besar untuk melindungi bumi ini dari angkara murka. Kakek hanya dapa
Bimantara berjalan dengan tongkat hitamnya di pedesaan pinggir laut itu. Dia sudah tidak lagi menggunakan kaki cahaya naganya. Dia melihat di pulau seberang sudah tidak ada lagi bangunan tinggi yang memiliki menara yang menjulang. Bagunan Perguruan Matarhari telah lenyap di sana. Perkampungannya tampak sunyi. Beberapa rumah tampak sudah hancur berkeping-keping. Hanya ada beberapa rumah yang tampak baik-baik saja.Bimantara tidak tahu siapa yang masih hidup di negeri itu. Setelah dia memeriksa tiga kerajaan Nusantara yang hancur berkeping-keping, dia mengendalikan naganya untuk kembali ke kampung halamanannya.Bimantara berdiri di sisi tebing itu. Dia teringat saat menemui Dahayu di sana dahulu."Tahun depan aku akan menjadi murid di sana!" ucap Bimantara tiba-tiba. Memecah lamunan tiga remaja di hadapannya itu. Seolah ingin menunjukkan pada Dahayu bahwa tanpa kaki satu, dia masih layak mengejar impiannya. Tiga remaja itu menoleh ke arah Bimantara bersamaan. Saat menyadari yang bicara
Setelah itu keadaan menjadi hening. Putra Mahkota Iblis dan keempat saudaranya benar-benar sudah mati. Bahari tersenyum.“Sekarang aku bisa mati dengan tenang,” ucap Bahari.Bahari pun memejamkan matanya. Kini Bimantara, Tanaka, Pendekar Dua Alam dan Pendekar Sungai Panjang kembali merasakan dingin.Sementara Bimantara langsung berlari menuju Raja Dawuh yang tidak lagi bernyawa itu. Dia memeriksa tubuhnya. Denyut nadinya sudah berhenti. Bimantara menangis sambil memeluk mayatnya.“Maafkan aku yang tidak bisa menjagamu!” isak Bimantara.Tanaka, Pendekar Dua Alam dan Pendekar Sungai Panjang berjalan mendekat ke arahnya.“Kita sudah berhasil Bimantara,” ucap Tanaka.Bimantara pun menutup mata Raja Dawuh lalu berdiri di hadapan ketiga Panglimanya yang tersisa itu.“Tapi kita tidak berhasil mencegah mereka menghancurkan setiap kerajaan di atas muka bumi ini,” ucap Bimantara menyayangkannya. “Dan aku tidak berhasil menjaga Bahari dan Raja Dawuh.”“Aku yakin mereka akan tenang di nirwana kar
“Aku bisa melakukannya tanpa harus membangkitkan Dahayu kembali,” ucap Bimantara.Pendekar Dua Alam mengernyit mendengarnya.“Cahaya di tubuh Dahayu sangat berguna untukmu, Bimantara. Jika cahaya kalian menyatu maka tidak ada satupun yang bisa melawan kalian, termasuk para Iblis itu,” protes Pendekar Dua Alam.“Dahayu telah mengalirkan cahayanya kepadaku,” ujar Bimantara.“Tapi cahayanya telah menyusut di tubuhmu,” protes Pendekar Dua Alam.Raja Dawuh pun bangkit.“Jika kau menolaknya karena sudah mengkhianatinya, aku rasa Dahayu akan mengerti, Bimantara. Kita tidak memiliki cara lain untuk membunuh mereka!” tambah Raja Dawuh.“Jangan paksa aku!” teriak Bimantara.Bimantara pun mengeluarkan tenaga dalamnya, dia pun langsung mengalirkannya pada Pendekar Dua Alam, Raja Dawuh, Bahari, Pendekar Sungai Panjang dan Tanaka.“Jangan lakukan itu, jika tidak tenagamu akan habis!” protes Tanaka yang menerima aliran tenaga dalam dari Bimantara.Bimantara tidak menggubris perkataan Tanaka. Tenaga
“Jangan menangis,” pinta Ki Walang.“Aku tidak berhasil menjadi Chandaka Uddhiharata, Tuan Guru,” isak Bimantara. “Dunia sudah dihancurkan anak-anak iblis itu. Tiga kerajaan Nusantara telah habis terbakar, juga istana-istana di kerajaan lain. Sebentar lagi semua manusia akan mati. Mungkin aku juga akan mati. Padahal aku sudah membawa kelima Panglima terbaik di dunia ini.”“Apakah seperti ini akhirnya seorang murid yang sangat aku banggakan itu?” ucap Ki Walang sedikit marah. “Dahulu aku kagum padanya karena keterbatasannya dia memiliki cita-cita begitu agung untuk menjadi seorang pendekar yang berguna bagi sesama. Pahadal dia hanya memiliki kaki satu, tapi dia ingin memiliki jurus tendangan seribu.”Bimantara terdiam mendengar itu.“Hal yang tidak mungkin. Siapapun yang mendengarnya pasti akan tertawa karena ketidakpercayaannya. Tapi aku percaya akan itu. Akhirnya aku ajarkan semua ilmuku padamu. Dan kini, kau mengeluh disaat nyawa masih berada di dalam ragamu?!” teriak Ki Walang.“Ap
Bimantara kembali menyerang Putra Mahkota Iblis yang tampak geram. Dia menggunakan segala jurus yang dia punya untuk melawannya. Sekuat tega Bimantara lakukan sendirian untuk melawannya. Berbagai serangan yang dilakukan Bimantara berhasil dilawannya dengan baik. Bimantara tampak kewalahan dan hampir saja kehilangan tenaga.“Kita harus membantunya,” pinta Raja Dawuh yang tampak khawatir pada Bimantara.“Aku tahu kau seorang raja,” sahut Tanaka. “Tapi yang paling penting dari sebuah tim adalah mengikuti arahan Pimpinannya. Sekarang kau bukan seorang raja lagi. Kau harus mengikuti permintaan Bimantara yang meminta kita menjaga Pendekar Dua Alam sampai dia selesai melakukan ritualnya. Nyawa kita sekarang untuk Pendekar Dua Alam.”“Tapi dia bisa mati melawan Putra Mahkota Iblis itu sendirian,” ucap Raja Dawuh semakin khawatir.“Percaya saja,” pinta Tanaka menenangkannya.Sementara Pendekar Sungai Panjang masih berusaha menggunakan tenaga dalamnya untuk mengembalikan tulang-tulang yang pata
Bimantara terbang ke atas langit. Tubuhnya mengeluarkan cahaya. Sesaat kemudian dia meluncur ke bawah lalu menggunakan jurus tendangan seribunya untuk menghalau roh-roh hitam yang menyerang mereka. Satu persatu dari roh-roh hitam itu terpelanting jauh dan terbakar.Bahari dan Pendekar Sungai Panjang terngaga melihatnya. Bimantara pun kembali mendarat di dekat mereka dengan sorot mata yang masih menyala. Putra Mahkota Iblis di dalam benteng itu tampak geram. Dia berteriak lalu mengeluarkan cahaya di tubuhnya. Gemanya hampir saja memecahkan dinding pembatas tak terlihat.“Sekarang saatnya kau harus memecahkan dinding pembatas tak terlihat itu,” pinta Bahari.Bimantara mengangguk.“Semuanya segera bersiap!” pinta Bimantara pada kedua Panglima yang menemaninya itu.Bahari dan Pendekar Sungai Panjang mengangguk. Mereka pun sudah bersiap dengan jurus masing-masing.Bimantara menoleh pada Tanaka dan Raja Dawuh yang masih menjaga Pendekar Dua Alam yang sedang membangkitkan para pendekar sakti
Putra Mahkota Iblis itu berhenti berlari menuju benteng yang terbuka itu. Iblis itu menatap kepada empat saudaranya yang ikut berhenti.“Berpencarlah kalian semuanya,” pinta Putra Mahkota Iblis. “Hancurkan semua kerajaan di muka bumi ini! Biar aku saja yang menghadapi musuh kita di depan benteng sana!”“Tapi mereka telah membunuh adik bungsu kita,” protes salah satu dari mereka. “Kita harus bersama-sama membunuh mereka sebelum kita keluar dari negeri ini dan menghancurkan semua kerajaan di atas muka bumi ini!”“Diriku sendiri sudah cukup untuk membunuh semuanya! Ikuti perintahku jika kalian masih menganggapku sebagai pengganti Raja!” teriak Putra Mahkota Iblis itu pada adik-adiknya.“Baiklah,” jawab salah satu dari mereka.Empat anak-anak Iblis yang perkasa itu pun langsung melompati benteng yang luas nan tinggi itu. Mereka berpencar ke empat penjuru untuk menghancurkan kerajaan-kerajaan di berbagai wilayah.Sementara Bimantara di luar benteng itu tampak terkejut melihat para Iblis it
“Biar aku saja yang menghadapinya,” ucap Tanaka pada Bimantara.Bimantara mengangguk. Tanaka pun langsung melompat dari punggung naga lalu terbang melawan Pendekar Tombak Angin. Tanaka mengeluarkan golok hitamnya, sementara Pendekar Tombak Angin mengeluarkan pedangnya. Mereka berdua bertarung di atas langit.Bimantara menoleh pada Bahari, Pendekar Sungai Panjang, Pendekar Dua Alam dan Raja Dawuh.“Kalian serang prajurit mereka!” perintah Bimantara.Keempat Panglimanya itu mengangguk. Mereka langsung mengendalikan naga masing-masing lalu naga-naga yang ditunggangi mereka itu menghembuskan api dari mulut mereka untuk membakar ribuan prajurit yang berusaha memecahkan benteng tinggi itu. Sebagian prajuritnya mati terbakar karenanya. Para prajurit yang lain berusaha menyerang mereka dengan senjata masing-masing.Dengan sigap Raja Dawuh menggunakan kekuatannya untuk melelehkan pedang dan senjata lainnya yang digunakan para prajurit itu. Seketika senjata mereka meleleh.Sementara Bimantara l
Ribuan burung besar yang membawa Pendekar Tombak Angin dan pasukan roh-nya telah tiba di daratan negeri salju itu. Angin dingin berhembus menusuk tulang. Pendekar Tombak angin yang berada paling depan di punggung burung besar itu tampak menggigil. Ribuan tentaranya pun tampak kedinginan. Burung-burung besar itu pun tampak sudah lemah memasuki negeri salju itu, mereka tidak kuat akan dinginnya negeri itu.Pendekar Tombak Angin melihat patung es raksasa yang sedang memegang tongkat di hadapan benteng tinggi yang memutih. Ribuan prajurit di dekatnya pun mematung, mereka bagai patung es yang dipahat oleh seorang seniman yang masyhur.“Apakah dia Bubungkala?” tanya Pendekar Tombak Angin pada tiga makhluk hitam yang kedinginan di dekatnya. Tiga makhluk hitam itu terbang mengikutinya.“Benar, Tuanku,” jawab Makhluk hitam itu. “Dia yang paling bungsu dari ke enam saudara Iblismu.”Pendekar Tombak Angin tampak tidak kuat lagi karena dinginnya tempat itu.“Sekarang keluarkan batu dari neraka it