Saat Dahayu dan Dhaksayini sudah menghilang dari tempat itu, Panglima Sada dan pasukannya tiba di tempat itu.“Periksa semuanya!” tegas Panglima Sada pada pasukannya.Pasukannya pun mengitari tempat itu. Panglima Sada turun dari kuda. Dia memeriksa dua rumah di sana. Di dalam sudah tidak ada siapa-siapa lagi, hanya peralatan sederhana. Panglima Sada heran kemana Dahayu menghilang. Tak berapa lama kemudian para pasukannya mendatangi Panglima Sada.“Tuan Putri tidak ada di sini,” ucap salah satu pasukannya.“Sepertinya mereka baru saja meninggalkan tempat ini,” ucap prajurit lainnya.“Kembali ke kuda masing-masing! Kita cari sampai ketemu!” tegas Panglima Sada.Semua pun menaiki kuda masing-masing. Panglima Sada memacukan kudanya dengan kencang mencari keberadaan Dahayu bersama pasukannya.***Bimantara berjalan di atas rerumputan ditemani Aksara. Mereka berada di belakang istana batu. Pepohonan tampak rindang di sekitar mereka, yang jaraknya cukup berjauhan. Kuda-kuda putih dan hitam t
Bimantara memandangi kakinya. “Kaki cahayaku tidak tumbuh. Apakah aku akan tetap berdiri dengan kaki satuku?”Aksara mengangguk. “Justru dengan kaki satumulah kau akan semakin dikenal sebagai Chandaka Uddhiharta,” jawab Aksara.Setelah itu mereka keluar dari ruangan itu. Di luar sana. Seekor kuda hitam sudah menunggunya. Di belakang seekor kuda hitam itu ada dua puluh prajurit memakai pakaian baja sudah siap mengantarnya keluar dari alam Chandaka Uddhiharta.“Apakah mereka akan mengikuti perjalananku ke tempat kakekku?” tanya Bimantara heran.“Mereka akan mengawal perjalananmu dan menyiapkan segala kebutuhanmu di perjalanan. Mereka bukan prajurit biasa. Mereka semua adalah jelmaan dari harimau-harimau buas,” jawab Aksara.Bimantara terkejut mendengarnya. Para prajurit itu langsung berlutut hormat pada Bimantara. Bimantara pun menaiki kudanya.“Kau tidak ikut denganku?” tanya Bimantara.“Aku pasti datang jika memang Nalurimu menginginkan,” jawab Aksara.Bimantara mengangguk lalu memacu
Senja tampak heran melihat Pasukan Bimantara bersama Pengawalnya tengah mengarah ke kediamannya dengan menunganggi kuda. Senja pun memperhatikan mereka. Dia tampak semakin terkejut ketika melihat Bimantara yang berada paling depang menggunakan mahkota seperti seorang pangeran. Apalagi melihat pengawal yang dibawanya memakai pakaian perang.“Siapa mereka?” tanya Gadis itu dengan bingung. Setelah itu dia berlari hendak mencari Kakek Sangkala untuk memberitahukan itu.Sementara itu, Kakek Sangkala tengah melatih murid-muridnya ilmu bela diri di lapangan dalam pagar kediaman Tuan Kepala Wilayah. Tak lama kemudian, datang Senja sambil berlari ke arah mereka.“Kakek Guru! Kakek Guru!” teriak Senja.Kakek Sangkala berhenti mengajari murid-muridnya. Dia menoleh pada Senja dengan heran. Para murid pun tampak heran melihat gadis itu berlari dengan terengah-engah ke arah mereka.“Ada apa, Senja?” tanya Kakek Sangkala dengan heran.“Di luar sana ada sepasukan berkuda tengah menuju kemari,” jawab
Para pelayan di kediaman Tuan Kepala Wilayah sedang menjamu Bimantara bersama Pasukannya. Kakek Sangkala duduk di hadapan Bimantara dengan terheran-heran. Dia masih tak percaya jika pemuda pincang bermahkota itu adalah cucunya. Senja pun tampak tak percaya.“Seharusnya aku merahasiakan ini pada siapapun yang sudah dihapus ingatannya tentangku oleh para Dewa,” ucap Bimantara.Kakek Sangkala terdiam.“Aku hanya ingin tahu dan ingin melihat satu-satunya keluarga yang aku miliki saat ini,” lanjut Bimantara.“Siapapun engkau, jika memang para dewa telah mencabut ingatanku tentangmu, aku berterima kasih pada Sang Hyang Agung telah menjadikan keturunanku menjadi manusia suci,” ucap Kakek. “Aku berterima kasih telah memiliki seorang cucu yang perkasa sepertimu.” Kali ini air mata Kakek Sangkala berderai.Bimantara mendadak sedih melihatnya.“Tugasmu pasti berat, Nak. Aku tahu, Chandaka Uddhiharta memiliki tanggung jawab yang besar untuk melindungi bumi ini dari angkara murka. Kakek hanya dapa
“Bagaimana mungkin dia cucumu? Bukan kah kau sendiri bilang pada kami bahwa kau tidak memiliki seorang cucu?” tanya Tuan Kepala Wilayah dengan bingung.“Aku sendiri tidak tahu, Tuan,” jawab kakek Sangkala. “Aku tidak percaya apa yang diucapkan Yang Mulia Raja mengenai Chandaka Uddhiharta. Aku melihat di matanya tidak ada niat dan rencana kejahatan apapun yang ingin dilakukannya.”Tuan Kepala Wilayah tampak terdiam mendengar itu.“Aku juga tidak mau gegabah mempercayai semua perkataan Yang Mulia Raja. Kita lihat saja nanti,” ucap Tuan Kepala Wilayah lalu pamit pergi dari sana.Kini semua mata menatap Kakek Sangkala tak percaya. Senja pun datang mendekati Kakek Sangkala.“Rasanya tidak mungkin Bimantara akan melakukan itu,” ucap Senja. “Para Dewa memilihnya pasti karena sudah melihat siapa Bimantara sebenarnya.”“Aku juga berpikir begitu,” ucap Kakek Sangkala.Tak lama kemudian seorang prajurit datang menemui Kakek Sangkala yang hendak keluar dari ruangan itu.“Kakek Guru, Tuan ingin bi
Malam itu, semua penduduk kampung tengah dikumpulkan di tengah-tengah halaman rumah-rumah warga. Mereka berjongkok dikelilingin para prajurit. Panglima Sada berdiri di antara para prajurit itu.“Benar tidak ada Chandaka Uddhiharta yang bersembunyi di sini?” tanya Panglima Sada dengan tegasnya.“Tidak ada, Tuan, Panglima. Kami pun tidak pernah bertemu dengan Chandaka Uddhiharta, jangankan untuk menerima kehadirannya di kampung kami,” salah satu bapak-bapak yang cukup diketuakan di kampung itu.Tak lama kemudian seorang Prajurit yang baru datang dari menggeledah rumah warga mendekat ke Panglima Sada.“Lapor, Tuan, Panglima. Kami sudah menggeledah di seluruh rumah-rumah penduduk di kampung ini. Kami tidak menemukan satu tanda pun bahwa Chandaka Uddhiharta pernah hadir di sini,” ucap Prajurit itu.Panglima Sada pun mengangguk. Kemudian dia menatap para penduduk yang masih berjongkok dan berlutut di hadapannya.“Jika kalian terbukti menerima kehadiran Chandaka Uddhiharta, maka kalian akan
Bimantara masih mengawasi Panglima Sada dan Pasukannya yang tengah mengumpulkan para penduduk di perkampungan lainnya. Dia melihat para penduduk itu dikumpulkan di tengah-tengah lapangan pedesaan, dikelilingi oleh para prajuritnya. Sementara para prajurit lain tengah memasuki setiap rumah, mereka menggeledah dan mencari keberadaan dirinya.“Sepertinya mereka masih aman,” ucap Bimantara dalam hatinya. “Mereka tak akan menganiaya para penduduk. Aku harus melihat di dua kerajaan lainnya.”Bimantara pun diam-diam melompati pohon satu ke pohon lainnya dengan kaki cahaya naganya. Saat dia sudah jauh dari perkampungan itu, dia mengarahkan tongkatnya hingga membentuk bulatan cahaya yang besar. Bimantara memasuki bulatan cahaya itu lalu keluar di wilayah kerajaan Nusantara tengah.Bimantara langsung naik ke atas pohon. Dia melihat Panglima Adhira dan pasukannya sedang menggeledah rumah-rumah dan mengumpulkan para warga di lapangan pedesaan, sama yang dilakukan oleh Panglima Sada di kerajaan Nu
Raja Banggala tercengan melihat bulatan cahaya putih mendadak muncul di kediamannya. Seketika Bimantara keluar dari bulatan cahaya putih itu dengan tongkat hitamnya. Mahkota di kepalanya. Raja Banggala langsung meraih pedangnya untuk berjaga-jaga.“Chandaka Uddhiharta?” ucap Raja Banggala tak percaya.Seketika dari belakang, seorang pendekar datang berjalan di langit-langit ruangan itu sambil membawa pedangnya. Seketika dia melompat hendak mengarahkan pedangnya ke atas kepala Bimantara. Bimantara segera menghindar lalu merebut pedang di tangan pendekar itu dengan cepat. Kini Bimantara berhasil mengunci tubuh pendekar itu.Raja Banggala terkejut saat menyadari bahwa pendekar itu adalah Kancil alias Pangeran Pangaraban.“Putra Mahkota?”Kancil berusaha melepaskan diri dari kuncian Bimantara, namun sekuat tenaga dia melawan, dia tak mampu melepaskan dirinya.“Aku datang ke sini hanya untuk memberitahu kalian bahwa aku bukan musuh,” ucap Bimantara.“Jangan bohong! Kau ingin membunuh ayahk