Bimantara masih mengawasi Panglima Sada dan Pasukannya yang tengah mengumpulkan para penduduk di perkampungan lainnya. Dia melihat para penduduk itu dikumpulkan di tengah-tengah lapangan pedesaan, dikelilingi oleh para prajuritnya. Sementara para prajurit lain tengah memasuki setiap rumah, mereka menggeledah dan mencari keberadaan dirinya.“Sepertinya mereka masih aman,” ucap Bimantara dalam hatinya. “Mereka tak akan menganiaya para penduduk. Aku harus melihat di dua kerajaan lainnya.”Bimantara pun diam-diam melompati pohon satu ke pohon lainnya dengan kaki cahaya naganya. Saat dia sudah jauh dari perkampungan itu, dia mengarahkan tongkatnya hingga membentuk bulatan cahaya yang besar. Bimantara memasuki bulatan cahaya itu lalu keluar di wilayah kerajaan Nusantara tengah.Bimantara langsung naik ke atas pohon. Dia melihat Panglima Adhira dan pasukannya sedang menggeledah rumah-rumah dan mengumpulkan para warga di lapangan pedesaan, sama yang dilakukan oleh Panglima Sada di kerajaan Nu
Raja Banggala tercengan melihat bulatan cahaya putih mendadak muncul di kediamannya. Seketika Bimantara keluar dari bulatan cahaya putih itu dengan tongkat hitamnya. Mahkota di kepalanya. Raja Banggala langsung meraih pedangnya untuk berjaga-jaga.“Chandaka Uddhiharta?” ucap Raja Banggala tak percaya.Seketika dari belakang, seorang pendekar datang berjalan di langit-langit ruangan itu sambil membawa pedangnya. Seketika dia melompat hendak mengarahkan pedangnya ke atas kepala Bimantara. Bimantara segera menghindar lalu merebut pedang di tangan pendekar itu dengan cepat. Kini Bimantara berhasil mengunci tubuh pendekar itu.Raja Banggala terkejut saat menyadari bahwa pendekar itu adalah Kancil alias Pangeran Pangaraban.“Putra Mahkota?”Kancil berusaha melepaskan diri dari kuncian Bimantara, namun sekuat tenaga dia melawan, dia tak mampu melepaskan dirinya.“Aku datang ke sini hanya untuk memberitahu kalian bahwa aku bukan musuh,” ucap Bimantara.“Jangan bohong! Kau ingin membunuh ayahk
“Menyingkirlah dari kami,” pinta Panglima Sada pada Pendekar Pedang Emas dan pasukannya. “Bagaimana pun perintah Yang Mulia Raja adalah yang utama. Aku tidak ingin percaya begitu saja sebelum mendapatkan buktinya bahwa apa yang dilihat Raja adalah ada yang mengadu domba.”Angin berembus begitu dingin, menyapu semua yang berada di tempat itu. Pendekar Pedang Emas tampak terdiam. Para Pendekar lainnya dari Perguruan Matahari pun terdiam. Para penduduk yang dikumpulkan oleh Panglima Sada tampak masih berlutut di kelilingi oleh para prajurit pasukan dari Panglima Sada.Pendekar Pedang Emas pun menarik napas berat lalu menghembuskannya. Sesaat kemudian dia bicara pada Panglima Sada. “Kaulah harapan kami satu-satunya,” ucap Pendekar Pedang Emas. “Kaulah yang bisa menjadi jembatan di antara kami dengan kerajaan Nusantara Timur. Kami berharap kau memikirkan apa yang kami katakan dan jangan sampai menyesal setelah semuanya hancur berantakan.”Panglima Sada terdiam mendengar itu. Bagaimana pun
Bimantara datang dengan kuda putihnya ke hadapan gerbang istana kerajaan Nusantara Timur. Para prajurit yang berjaga di atas pagar istana tampak terkejut melihat seorang pemuda bermahkota, berkaki pincang yang membawa tongkat hitam itu berada di sana.“Chandaka Uddhiharta!” teriak salah satu prajurit di atas sana.Melihanynya berada di sana, para prajurit langsung bersiap dengan anak panah masing-masing. Bimantara heran, dia tidak bisa memasuki kawasan istana itu. Ada dinding pembatas tak terlihat yang tidak bisa ditembusnya meski dia sudah mencoba memasuki ruang Raja Dwilaga dengan gerbang cahaya. Makanya dia berdiri di sana dengan heran.“Aku bukan musuh kalian!” teriak Bimantara.“Seraaang!” teriak salah satu prajurit di atas sana. Panglima Sada dan pasukan yang lain masih berkeliling kampung. Saat ini yang berjaga di seluruh pagar istana para prajurit yang tersisa, yang diperintahkan oleh Panglima Sada.Serangan anak panah itupun langsung mengarah ke Bimantara. Ratusan anak panah
Salah satu prajurit datang menghadap Raja Dwilaga.“Ampun, Yang Mulia! Di depan gerbang istana telah datang Chandaka Uddhiharta! Sepertinya beliau hendak menyerang istana!” ucap prajurit itu penuh hormat pada Sang Raja.Raja Dwilaga yang dirasuki Walat itu tampak terkejut mendengarnya.“Apakah dia berhasil memasuki gerbang?” tanya Raja Dwilaga.“Beliau masih berada di depan gerbang istana saat hamba datang ke sini untuk menemui Yang Mulia,” jawab prajurit itu.Raja Dwilaga penasaran, apakah ajian dinding pembatas tak terlihat yang dibuatnya untuk melindungi istana berhasil dilakukannya atau tidak.“Aku harus ke sana,” ucap Raja Dwilaga.Prajurit pun mengangguk dengan hormat. Raja Dwilaga pun keluar dari kediamannya. Kuda dan kereta kencana sudah menunggunya di depan kediamannya. Raja Dwilaga menaiki kereta kecana itu untuk menuju gerbang pertama. Pengawal itu langsung memacukan kudanya, menarik kereta kencana yang sudah duduk Sang Raja di dalamnya, prajurit lain mengiringi mereka dari
Pangeran Sakai kembali menyerang Bimantara dengan pedangnya. Kini pedang itu bercahaya. Bimantara pun kembali bertahan dari serangannya. Pertarungan hebat kembali terjadi. Tendangan demi tendangan dilakukan Pangeran Sakai untuk menyerang Bimantara, namun dengan sigap Bimantara mampu menghindarinya. Mudah bagi Bimantara untuk mengalahkannya, namun dia masih mencoba bertahan karena dia sudah tahu bahwa Pangeran Sakai tengah diracuni oleh energi hitam.“Kembalilah,” suara itu terdengar dari telinga Bimantara. Suara dari Aksara. Tidak ada pilihan lain, Bimantara pun terpaksa menghadirkan bulatan cahaya lalu segera memasuki gerbang cahayanya itu. Dia menghilang secepat kilat di hadapan Pangeran Sakai.Pangeran Sakai berdiri dengan napas terengah-engah. Pedang masih di tangannya. Dia heran kenapa Bimantara menghilang dan pergi darinya. Yang paling membuat Pangeran Sakai heran adalah Bimantara selalu menahan serangan demi serangan darinya. Bimantara sama sekali tidak melakukan serangan balik
Saat Aksara hampir saja melangkah keluar dari pintu kamar itu, langkahnya terhenti ketika mendengar igauan dari Bimantara.“Dahayu...”Aksara mengernyit lalu menoleh ke arah Bimantara yang masih tidur terlelap di atas ranjang.“Dahayu... kaulah jodohku... bukan Pangeran Sakai...”Aksara pun mendekat ke sisi ranjang Bimantara kembali. Tangannya mengulur ke kepala Bimantara. Dia penasaran tentang mimpi yang dialami Bimantara saat itu. Aksara tercengang ketika melihat Bimantara tengah berlari di padang Bunga sambil menarik tangan Dahayu yang sedang berseri-seri menatap Bimantara.“Kau ingin membawa aku ke mana, Bimantara?” tanya Dahayu dalam penghlihatan Aksara.“Aku ingin membawamu keluar dari alam peri ini karena kaulah jodohku,” jawab Bimantara.“Aku tidak bisa keluar dari sini,” ucap Dahayu sambil melepas tarikan tangan Bimantara. Dahayu dan Bimanatra berhenti berlari.“Kenapa?” tanya Bimantara dengan heran.“Aku ditakdirkan untuk menetap di sini. Aku tidak bisa kembali ke alam dunia
Kepala Perguruan pun segera keluar lalu berlari dari ruangan ritual itu. Dia pun berlari ke tengah-tengah lapangan lalu berteriak memanggil seluruh penduduk perguruan. Tak lama kemudian penghuni perguruan matahari keluar dari kediaman masing-masing lalu berkumpul mengelilingi Kepala Perguruan dengan heran.“Ada apa, Tuan Guru Besar?” tanya Pendekar Pedang Emas heran.“Para leluhur telah memberitahuku bahwa Chandaka Uddhiharta adalah murid di perguruan matahari,” jawab Kepala Perguruan itu.Semua tampak tercengang dan tak percaya mendengarnya.“Bagaimana itu bisa terjadi?” tanya Pendekar Rambut Emas tak percaya. “Kita sudah tahu bahwa hanya ada tujuh murid baru di angakatan terbaru?”“Para Dewa telah menghapus ingatan siapapun yang pernah mengenal Chandaka Uddhiharta. Para Dewa pun menghapus ingatan Chandaka Uddhiharta pada orang-orang yang dahulu dikenalnya,” jawab Kepala Perguruan.Semua kembali tercengang mendengar itu.“Pantas saja selama ini saya merasa ada yang kurang dalam hidup