Kepala Perguruan pun segera keluar lalu berlari dari ruangan ritual itu. Dia pun berlari ke tengah-tengah lapangan lalu berteriak memanggil seluruh penduduk perguruan. Tak lama kemudian penghuni perguruan matahari keluar dari kediaman masing-masing lalu berkumpul mengelilingi Kepala Perguruan dengan heran.“Ada apa, Tuan Guru Besar?” tanya Pendekar Pedang Emas heran.“Para leluhur telah memberitahuku bahwa Chandaka Uddhiharta adalah murid di perguruan matahari,” jawab Kepala Perguruan itu.Semua tampak tercengang dan tak percaya mendengarnya.“Bagaimana itu bisa terjadi?” tanya Pendekar Rambut Emas tak percaya. “Kita sudah tahu bahwa hanya ada tujuh murid baru di angakatan terbaru?”“Para Dewa telah menghapus ingatan siapapun yang pernah mengenal Chandaka Uddhiharta. Para Dewa pun menghapus ingatan Chandaka Uddhiharta pada orang-orang yang dahulu dikenalnya,” jawab Kepala Perguruan.Semua kembali tercengang mendengar itu.“Pantas saja selama ini saya merasa ada yang kurang dalam hidup
Kakek kepala Perguruan Elang Putih sedang melatih murid-muridnya di lapangan padepokan tempat yang dulu dijadikan markas Gajendra bersama murid-muridnya. Langit di atasnya tampak cerah. Kakek itu berjalan memperhatikan gerakan murid-muridnya dalam berlatih bertarung satu lawan satu. Di tangannya sebuah kendi berisi arak sedang dipengangnya. Tongkat bambu untuk memecut muridnya pun berada di tangannya. Sesekali dia menenggak minumannya lalu memukul bagian tubuh murid-muridnya yang salah melakukan gerakan yang dilatihnya.“Ingat baik-baik yang sudah aku ajarkan pada kalian!” tegas Kakek itu.Semua muridnya terdiam.“Sekali saja kalian salah mengeluarkan jurus, maka musuh akan menggunakan kesempatan itu untuk melumpuhkan kalian!” teriak Kakek itu lagi.“Siap, Tuan Guru!” teriak murid-muridnya.“Lanjutkaaan!” tegas Kakek itu.“Siaaap!” teriak murid-muridnya. Mereka kembali berlatih. Kakek itu kembali mengelilingi mereka, memperhatikan satu persatu gerakan murid-muridnya.Tak lama kemudian
Pangeran Sakai tampak bingung saat mendapatkan surat dari Perguruan Matahari yang mengundangnya untuk datang ke sana. Dia memanggil Pengawal Pribadinya. Pengawal Pribadinya datang menghadapnya.“Ampun, Pangeran. Apa yang Pangeran inginkan dari hamba, hamba siap menjalankan perintah,” ucap Pengawal Pribadinya.Pangeran Sakai menatap Pengawal Pribadinya dengan lekat.“Sejak kecil, ayah telah mempercayakan dirimu untuk menjagaku. Bahkan saat aku belajar ilmu bela diri di Perguruan Matahari, engkaulah yang selalu setia menjagaku dari mara bahaya di luar sana. Saat ini engkaulah yang paling aku percayai,” ucap Pangeran Sakai.Pengawal Pribadinya terdiam, menunggu kata-kata selanjutnya dari Pangeran Sakai.“Aku sedang bingung mana yang harus aku percayai, apakah ayahku atau ucapan dari Chandaka Uddhiharta itu sendiri? Sementara saat ini aku mendapatkan surat dari Perguruan Matahari, Guru Besar Kepala Perguruan mengundangku datang ke sana. Aku khawatir jika Perguruan Matahari membela Chandak
Bimantara masih menelusuri isi kitab yang sedang dibacanya di perpustakaan istana batu itu. Dia terhenti membaca ketika mendapati tulisan bahwa dinding pembatas yang dibuat oleh energi hitam harus memusnahkan Penguasa Kegelapan terlebih dahulu jika ingin meruntuhkannya. Bimantara pun memanggil Akasara setelah membaca itu.Aksara datang dengan heran.“Ada apa, Bimantara?” tanya Aksara.“Katanya aku harus memusnahkan Penguasa Kegelapan untuk meruntuhkan dinding pembatas tak terlihat itu,” ucap Bimantara.“Berarti kau harus menemukan tempat di mana para Dewa mengurungnya,” ucap Aksara.“Para Dewa mengurungnya?” tanya Bimantara tak percaya.“Iya,” jawab Aksara. “Para Dewa telah mengurungnya.”“Apakah aku harus meminta petunjuk kepada para Dewa untuk menemukannya?” tanya Bimantara penasaran.“Kau harus mencari tahu sendiri,” jawab Aksara.Bimantara bingung.“Memangnya kenapa jika aku hendak meminta petunjuk pada Dewata?”“Bukan kah mudah bagimu?”“Mudah bagaimana?”“Kau tinggal menggunakan
Raja Dwilaga tengah tertidur lelap saat dia mendengar panggilan dari Penguasa Kegelapan.“Walat! Bagunlah!”Raja Dwilaga terbangun dengan terkejut. Dia lalu duduk dengan heran.“Walat! Bangunlaaah!!!”Raja Dwilaga baru sadar ternyata yang memanggilnya adalah Tuan Gurunya. Dia pun memikirkan siasat bagaimana agar Raja Dwilaga tidak heran ketika dirinya harus keluar dari tubuh itu. Seketika dia membacakan sebuah ajian hingga dinding kamar itu terkurung oleh sebuah cahaya di dalamnya hingga Raja Dwilaga tak akan bisa keluar dari kamarnya dan siapapun yang berada di luar sana tidak dapat masuk ke dalam. Jika Raja Dwilaga harus berteriak pun, suaranya tak akan di dengar oleh orang-orang di luar kamarnya.Setelah itu, Walat langsung keluar dari tubuh Raja Dwilaga, secepat kilat dia menghilang dari ruangan itu. Raja Dwilaga tampak terkejut melihat dirinya seakan baru bangun. Dia memperhatikan tangan dan kakinya yang terasa kaku. Tubuhnya terasa pegal-gegal seperti sehabis melakukan perjalana
Penguasa Kegelapan berdiri menunggu kedatangan Walat. Tak lama kemudian Walat datang dengan berlutut padanya.“Ampun, Tuan Guru,” ucap Walat.Kakek Penguasa Kegelapan itu tampak geram. “Sampai berapa lama lagi aku akan menunggumu berhasil merebut tongkat hitam itu?”“Ampun, Tuan Guru. Hamba tengah melakukannya sekarang. Tuan Guru tunggu saja. Tongkat hitam itu pasti akan segera aku rebut dari Chandaka Uddhiharta,” ucap Walat.Penguasa Kegelapan pun menghentakkan tongkatnya ke tanah hingga dinding gua tempat mereka berada tampak bergetar dan meruntuhkan debu-debu dan sedikit bebatuan. Walat tampak gemetar melihatnya.“Cara yang kamu gunakan akan memakan waktu lama! Aku ingin segera keluar dari tempat ini! Aku ingin segera bebas dan melakukan apa yang aku mau di luar sana!” teriak Penguasa Kegelapan itu.“Hamba akan melakukan secepatnya, Tuan Guru!” jawab Walat dengan gemetar.“Laukan sekarang! Jika tidak aku akan mencari murid lain yang bisa lebih cepat merebut tongkat hitam itu!” anca
Bimantara menutup kitab terakhir yang berhasil dia baca di ruang perpustakaan itu. Wajahnya tampak pucat dan dahinya dipenuhi keringat.“Aksara! Aksara!” teriak Bimantara memanggilnya.Aksara pun datang menemuinya.“Ada apa, Bimantara?” tanya Aksara.“Benar kah kelemahan Penguasa Kegelapan adalah energi cahaya dari alam peri?” tanya Bimantara.Aksara mengernyit mendengarnya.“Kenapa kau bertanya begitu padaku?” tanya Aksara heran.“Aku membaca di kitab terakhir ini, katanya hanya penyatuan energi manusia dengan energi peri lah yang bisa melumpuhkan kekuatan Penguasa Kegelapan,” ucap Bimantara.Aksara terbelalak mendengarnya. Dia pun membuka kitab yang tadi dibaca oleh Bimantara.“Di tulisan yang mana kau menemukan itu?” tanya Aksara.Bimantara pun membuka kitab itu dan menunjukkan tulisan yang mengatakan itu. Aksara tercengan membacanya.“Mungkin inilah maksudnya Sang Hyang Agung menakdirkanmu untuk berjodoh dengan Dahayu,” ucap Aksara.Bimantara tercengang mendengarnya.“Apakah karen
Pasukan berkuda yang datang mendekat ke tempat persembunyian Dahayu terdengar. Bimantara dan Aksara keluar dari rumah kecil itu. Mereka melihat para prajurit dari alam Chandaka Uddhiharta yang diperintahkan Aksara untuk mengambil air dari mata air abadi menuju ke arah mereka di tengah-tengah lembah. debu-debu mengoar ke udara akibat dari hentakan kaki kuda.“Kapan engkau memerintahkan mereka?” tanya Bimantara heran yang berdiri dengan tongkat hitamnya.“Sebelum kita berangkat ke sini,” jawab Aksara.Pasukan itu pun akhirnya berhenti tepat di hadapan rumah kecil itu. Salah satu dari prajurit turun membawa kendi berisi air dari mata air abadi. Dia berjalan hati-hati menuju Bimantara dan Aksara.“Ini mata air abadinya, Tuan,” ucap Prajurit itu pada Aksara sambil menyerahkannya.“Terima kasih,” jawab Aksara lalu menerimanya dengan senang.Para prajurit itupun diperintahkan untuk kembali ke alam Chandaka Uddhiharta. Mereka pun kembali memacukan kuda masing-masing meninggalkan tempat itu.“