Pasukan berkuda yang datang mendekat ke tempat persembunyian Dahayu terdengar. Bimantara dan Aksara keluar dari rumah kecil itu. Mereka melihat para prajurit dari alam Chandaka Uddhiharta yang diperintahkan Aksara untuk mengambil air dari mata air abadi menuju ke arah mereka di tengah-tengah lembah. debu-debu mengoar ke udara akibat dari hentakan kaki kuda.“Kapan engkau memerintahkan mereka?” tanya Bimantara heran yang berdiri dengan tongkat hitamnya.“Sebelum kita berangkat ke sini,” jawab Aksara.Pasukan itu pun akhirnya berhenti tepat di hadapan rumah kecil itu. Salah satu dari prajurit turun membawa kendi berisi air dari mata air abadi. Dia berjalan hati-hati menuju Bimantara dan Aksara.“Ini mata air abadinya, Tuan,” ucap Prajurit itu pada Aksara sambil menyerahkannya.“Terima kasih,” jawab Aksara lalu menerimanya dengan senang.Para prajurit itupun diperintahkan untuk kembali ke alam Chandaka Uddhiharta. Mereka pun kembali memacukan kuda masing-masing meninggalkan tempat itu.“
“Kau baik-baik saja, Bimantara?” tanya Dahayu khawatir.“Aku mengingat sesuatu, tapi aku tidak menyadari ingatanku itu pernah terjadi dalam hidupku,” ucap Bimantara.“Ingatan apa?” tanya Dahayu dengan penasaran.“Aku seperti berdiri di pinggir tebing. Di bawah tebing itu lautan luas. Di seberang lautan itu ada sebuah bangunan megah yang memiliki menara yang sangat tinggi. Aku mendekatimu lalu aku bilang bahwa suatu saat aku akan menjadi murid di perguruan itu. Lalu dua temanmu mendorongku ke bawah sana hingga aku tenggelam di lautan,” jawab Bimantara.Dahayu tampak heran mendengarnya.“Mungkin itu hanya halusinasimu saja,” ucap Dahayu.“Itu ingatan masa lalumu, Bimantara,” jawab Aksara.Bimantara pun menoleh pada Aksara. “Apakah peyatuannya berhasil?” tanya Aksara.Aksara tampak terdiam bingung.“Bagaimana?” tanya Bimantara sekali lagi.“Sepertinya tidak berhasil,” jawab Aksara.Bimantara dan Dahayu heran mendengarnya.“Kenapa?” tanya Bimantara bingung.“Biasanya jika berhasil akan ke
Bimantara dan Aksara pun pamit pergi pada Dahayu dan Dhaksayini. Dahayu tampak berat harus berpisah kembali dengan Bimantara. Namun karena sadar Bimantara itu siapa, dia pun melepaskan kepergian Bimantara bersama Aksara dengan senyuman ketegaran. “Aku tidak percaya jika aku dahulu seperti itu,” ucap Dhaksayini yang masih terngiang dengan penglihatan Bimantara sewaktu meminum campuran darahnya tadi. “Mungkin seperti yang dikatakan Aksara, dahulu Bibi sangat ingin menjadi manusia, jadi wajar saja,” jawab Dahayu. “Apakah sewaktu menjadi ratu peri aku sangat jahat?” tanya Dhaksayini mengkhawatirkannya. “Jika dahulu aku sangat jahat, aku sangat malu, Dahayu. Mungkin salah jika aku ingin kembali ke alam itu. Aku khawatir akan kembali seperti dahulu.” “Bibi tenang saja. Lagipula itu belum tentu seperti yang Bibi duga,” pinta Dahayu. “Semoga Bimantara menemukan jalan untuk masuk ke alam peri dan bisa mengalahkan Penguasa Kegelapan,” ucap Dhaksayini. “Aku juga berharap begitu,” ucap Dahay
Ratusan pendekar sudah berkumpul di lapangan Perguruan Matahari. Langit di atas sana tampak cerah hingga menara tinggi terlihat jelas di mata siapapun yang melihatnya. Semuanya menunggu kedatangan Kepala Perguruan. Para guru pembantu mengurus para pendekar yang sudah datang itu. Termasuk dari Perguruan Elang Putih. Kakek itu sudah hadir di sana bersama murid-muridnya. Tak lama kemudian, Kakek Sangkala bersama murid-muridnya dari kediaman Tuan Kepala Wilayah di ujung Nusantara juga datang. Dia membawa Senja. Mereka berjalan memasuki gerbang disambut oleh para guru pembantu.“Bagaimana jika ayahmu mencarimu?” tanya Kakek Sangkala pada Senja. Dia khawatir karena Senja diam-diam menyusul mereka saat mereka sudah berjalan jauh.“Ayah tak akan khawatir jika aku pergi bersama Kakek,” jawab Senja. “Lagipula aku sudah menuliskan surat dan aku letakkan di kamarku. Ayah pasti sudah membacanya dan dia akan tenang karena tahu tujuanku kemana.”“Tapi sebelumnya ayahmu tidak mengizinkan kau ikut kam
“Iya,” jawab Kakek Sangkala. “Begitu yang dikatakannya, sementara aku sangat sulit untuk percaya karena aku tahu, anakku yang menikah dengan bangsa peri tidak memiliki anak sama sekali.”Sarkam tampak berpikir. “Mungkin yang dikatakan di sebuah kitab itu benar.”“Kitab apa?”“Katanya siapapun yang menjadi Chandaka Uddhiharta akan lupa dari mana dia berasal dan orang-orang yang pernah mengenalnya akan melupannya juga,” jawab Sarkam.Kakek itu terkejut mendengarnya.“Tunggu!” ucap Sarkam terkejut.“Kenapa?”“Sepertinya aku pernah menuliskan sesuatu untuk diriku di atas bukit tempatku bersemayam saat ini,” ucap Sarkam.Kakek Sangkala mengernyit heran.“Menuliskan apa?”“Aku menuliskan rahasia untuk diriku sendiri mengenai Chandaka Uddhiharta. Jika pertemu ini sudah selesai, kau harus membawa murid-muridmu ke perguruanku. Mungkin apa yang aku tuliskan itu adalah mengenai Chandaka Uddhiharta karena aku tahu akan melupakan segala tentangnya jika Chandaka Uddhiharta sudah diutus. Mungkin wak
Di atas kapal itu berdiri Raja Dawuh bersama Panglima Adhira dan murid-muridnya. Matanya menatap pulau perguruan Matahari yang sudah terlihat meski agak samar.“Ampun Yang Mulia,” ucap Panglima Adhira pada Raja Dawuh. “Hamba hanya ingin mengingatkan bahwa Perguruan Matahari dijaga ketat oleh para leluhur. Hamba berharap Yang Mulia Raja tidak sembarang melakukan protes jika mereka benar ingin meyakinkan para pendekar bahwa Chandaka Udhiharta bukan musuh bersama kita.”“Tidak diingatkan pun aku sudah tahu itu,” jawab Raja Dawuh. “Kau jangan khawatir padaku.”Panglima Adhira tenang mendengarnya.“Justru aku ingin mendapatkan bukti dan jawaban apakah bisikan dari para leluhur padaku itu benar,” ucap Raja Dawuh.Kapal layar yang mereka naiki pun sebentar lagi tiba di dermaga. Para guru pembantu dan pengurus di perguruan matahari itu tampak berkumpul di atas dermaga, menyambut kedatangan mereka secara mendadak.“Segera bersiap-siap!” teriak Panglima Adhira pada para awak kapal.Para awak ka
Bimantara mengulurkan tongkat hitamnya, dia hendak membuka gerbang cahaya agar bisa langsung tiba ke pulau di hadapannya. Namun seketika Aksara datang secara tiba-tiba.“Jangan ke sana, Bimantara,” ucap Aksara.Bimantara kembali menarik tongkat hitamnya dengan heran. “Kenapa?”“Mereka hendak membelamu,” jawab Aksara.“Maksudnya?”“Para pendekar di perguruan itu sengaja mengundang pendekar-pendekar lainnya di seluruh Nusantara untuk menyakinkan mereka bahwa kau bukan musuh dan tidak pantas dijadikan musuh,” jawab Aksara.Bimantara mengernyit mendengarnya.“Jadi mereka bukan hendak melawanku?” tanya Bimantara tak percaya.“Bukan,” jawab Aksara. “Sekarang biarkan saja mereka mengumpulkan para pendekar di sana, yang harus kau lakukan sekarang adalah memikirkan bagaimana caranya agar menemukan tempat persembunyian Penguasa Kegelapan dan menghancurkannya.”Bimantara mengangguk.“Ayo kembali ke istana,” ajak Aksara.Bimantara pun mengulurkan tongkat hitamnya hingga membentuk bola cahaya yang
Tak lama kemudian langit di atas sana tampak gelap, namun tidak ada petir yang menyertainya. Udara dingin tiba-tiba membuat bulu kuduk siapapun yang berada di sana berdiri. Setelah itu peti pusaka itu terbuka lalu beterbangan lembar-lembar kain ke atas langit dan menuju ke tangan-tangan para pandekerat yang hadir di tempat itu. Lembar-lembar kain itu tak hentinya keluar dari dalam peti sampai semuanya yang berada di sana mendapatkan semuanya.Raja Dawuh terbelalak ketika mendapati pesan dari tulisan di permukaan kain itu yang mengatakan bahwa Chandaka Uddhiharta adalah sahabat lamanya, sahabat yang dahulu pernah menolongnya, kalau bukan karena Chandaka Uddhiharta, Raja Dawuh mungkin sudah meninggal.Sementara Kancil mendapat pesan bahwa Chandaka Uddhiharta adalah sahabat setianya yang rela berkorban deminya. Semua yang berada di sana mendapatkan pesan masing-masing yang berbeda-beda. Kini Kakek Sangkala percaya bahwa Bimantara adalah cucunya yang sebenar-benarnya. Para leluhur berpesa