Bimantara masih menelusuri isi kitab yang sedang dibacanya di perpustakaan istana batu itu. Dia terhenti membaca ketika mendapati tulisan bahwa dinding pembatas yang dibuat oleh energi hitam harus memusnahkan Penguasa Kegelapan terlebih dahulu jika ingin meruntuhkannya. Bimantara pun memanggil Akasara setelah membaca itu.Aksara datang dengan heran.“Ada apa, Bimantara?” tanya Aksara.“Katanya aku harus memusnahkan Penguasa Kegelapan untuk meruntuhkan dinding pembatas tak terlihat itu,” ucap Bimantara.“Berarti kau harus menemukan tempat di mana para Dewa mengurungnya,” ucap Aksara.“Para Dewa mengurungnya?” tanya Bimantara tak percaya.“Iya,” jawab Aksara. “Para Dewa telah mengurungnya.”“Apakah aku harus meminta petunjuk kepada para Dewa untuk menemukannya?” tanya Bimantara penasaran.“Kau harus mencari tahu sendiri,” jawab Aksara.Bimantara bingung.“Memangnya kenapa jika aku hendak meminta petunjuk pada Dewata?”“Bukan kah mudah bagimu?”“Mudah bagaimana?”“Kau tinggal menggunakan
Raja Dwilaga tengah tertidur lelap saat dia mendengar panggilan dari Penguasa Kegelapan.“Walat! Bagunlah!”Raja Dwilaga terbangun dengan terkejut. Dia lalu duduk dengan heran.“Walat! Bangunlaaah!!!”Raja Dwilaga baru sadar ternyata yang memanggilnya adalah Tuan Gurunya. Dia pun memikirkan siasat bagaimana agar Raja Dwilaga tidak heran ketika dirinya harus keluar dari tubuh itu. Seketika dia membacakan sebuah ajian hingga dinding kamar itu terkurung oleh sebuah cahaya di dalamnya hingga Raja Dwilaga tak akan bisa keluar dari kamarnya dan siapapun yang berada di luar sana tidak dapat masuk ke dalam. Jika Raja Dwilaga harus berteriak pun, suaranya tak akan di dengar oleh orang-orang di luar kamarnya.Setelah itu, Walat langsung keluar dari tubuh Raja Dwilaga, secepat kilat dia menghilang dari ruangan itu. Raja Dwilaga tampak terkejut melihat dirinya seakan baru bangun. Dia memperhatikan tangan dan kakinya yang terasa kaku. Tubuhnya terasa pegal-gegal seperti sehabis melakukan perjalana
Penguasa Kegelapan berdiri menunggu kedatangan Walat. Tak lama kemudian Walat datang dengan berlutut padanya.“Ampun, Tuan Guru,” ucap Walat.Kakek Penguasa Kegelapan itu tampak geram. “Sampai berapa lama lagi aku akan menunggumu berhasil merebut tongkat hitam itu?”“Ampun, Tuan Guru. Hamba tengah melakukannya sekarang. Tuan Guru tunggu saja. Tongkat hitam itu pasti akan segera aku rebut dari Chandaka Uddhiharta,” ucap Walat.Penguasa Kegelapan pun menghentakkan tongkatnya ke tanah hingga dinding gua tempat mereka berada tampak bergetar dan meruntuhkan debu-debu dan sedikit bebatuan. Walat tampak gemetar melihatnya.“Cara yang kamu gunakan akan memakan waktu lama! Aku ingin segera keluar dari tempat ini! Aku ingin segera bebas dan melakukan apa yang aku mau di luar sana!” teriak Penguasa Kegelapan itu.“Hamba akan melakukan secepatnya, Tuan Guru!” jawab Walat dengan gemetar.“Laukan sekarang! Jika tidak aku akan mencari murid lain yang bisa lebih cepat merebut tongkat hitam itu!” anca
Bimantara menutup kitab terakhir yang berhasil dia baca di ruang perpustakaan itu. Wajahnya tampak pucat dan dahinya dipenuhi keringat.“Aksara! Aksara!” teriak Bimantara memanggilnya.Aksara pun datang menemuinya.“Ada apa, Bimantara?” tanya Aksara.“Benar kah kelemahan Penguasa Kegelapan adalah energi cahaya dari alam peri?” tanya Bimantara.Aksara mengernyit mendengarnya.“Kenapa kau bertanya begitu padaku?” tanya Aksara heran.“Aku membaca di kitab terakhir ini, katanya hanya penyatuan energi manusia dengan energi peri lah yang bisa melumpuhkan kekuatan Penguasa Kegelapan,” ucap Bimantara.Aksara terbelalak mendengarnya. Dia pun membuka kitab yang tadi dibaca oleh Bimantara.“Di tulisan yang mana kau menemukan itu?” tanya Aksara.Bimantara pun membuka kitab itu dan menunjukkan tulisan yang mengatakan itu. Aksara tercengan membacanya.“Mungkin inilah maksudnya Sang Hyang Agung menakdirkanmu untuk berjodoh dengan Dahayu,” ucap Aksara.Bimantara tercengang mendengarnya.“Apakah karen
Pasukan berkuda yang datang mendekat ke tempat persembunyian Dahayu terdengar. Bimantara dan Aksara keluar dari rumah kecil itu. Mereka melihat para prajurit dari alam Chandaka Uddhiharta yang diperintahkan Aksara untuk mengambil air dari mata air abadi menuju ke arah mereka di tengah-tengah lembah. debu-debu mengoar ke udara akibat dari hentakan kaki kuda.“Kapan engkau memerintahkan mereka?” tanya Bimantara heran yang berdiri dengan tongkat hitamnya.“Sebelum kita berangkat ke sini,” jawab Aksara.Pasukan itu pun akhirnya berhenti tepat di hadapan rumah kecil itu. Salah satu dari prajurit turun membawa kendi berisi air dari mata air abadi. Dia berjalan hati-hati menuju Bimantara dan Aksara.“Ini mata air abadinya, Tuan,” ucap Prajurit itu pada Aksara sambil menyerahkannya.“Terima kasih,” jawab Aksara lalu menerimanya dengan senang.Para prajurit itupun diperintahkan untuk kembali ke alam Chandaka Uddhiharta. Mereka pun kembali memacukan kuda masing-masing meninggalkan tempat itu.“
“Kau baik-baik saja, Bimantara?” tanya Dahayu khawatir.“Aku mengingat sesuatu, tapi aku tidak menyadari ingatanku itu pernah terjadi dalam hidupku,” ucap Bimantara.“Ingatan apa?” tanya Dahayu dengan penasaran.“Aku seperti berdiri di pinggir tebing. Di bawah tebing itu lautan luas. Di seberang lautan itu ada sebuah bangunan megah yang memiliki menara yang sangat tinggi. Aku mendekatimu lalu aku bilang bahwa suatu saat aku akan menjadi murid di perguruan itu. Lalu dua temanmu mendorongku ke bawah sana hingga aku tenggelam di lautan,” jawab Bimantara.Dahayu tampak heran mendengarnya.“Mungkin itu hanya halusinasimu saja,” ucap Dahayu.“Itu ingatan masa lalumu, Bimantara,” jawab Aksara.Bimantara pun menoleh pada Aksara. “Apakah peyatuannya berhasil?” tanya Aksara.Aksara tampak terdiam bingung.“Bagaimana?” tanya Bimantara sekali lagi.“Sepertinya tidak berhasil,” jawab Aksara.Bimantara dan Dahayu heran mendengarnya.“Kenapa?” tanya Bimantara bingung.“Biasanya jika berhasil akan ke
Bimantara dan Aksara pun pamit pergi pada Dahayu dan Dhaksayini. Dahayu tampak berat harus berpisah kembali dengan Bimantara. Namun karena sadar Bimantara itu siapa, dia pun melepaskan kepergian Bimantara bersama Aksara dengan senyuman ketegaran. “Aku tidak percaya jika aku dahulu seperti itu,” ucap Dhaksayini yang masih terngiang dengan penglihatan Bimantara sewaktu meminum campuran darahnya tadi. “Mungkin seperti yang dikatakan Aksara, dahulu Bibi sangat ingin menjadi manusia, jadi wajar saja,” jawab Dahayu. “Apakah sewaktu menjadi ratu peri aku sangat jahat?” tanya Dhaksayini mengkhawatirkannya. “Jika dahulu aku sangat jahat, aku sangat malu, Dahayu. Mungkin salah jika aku ingin kembali ke alam itu. Aku khawatir akan kembali seperti dahulu.” “Bibi tenang saja. Lagipula itu belum tentu seperti yang Bibi duga,” pinta Dahayu. “Semoga Bimantara menemukan jalan untuk masuk ke alam peri dan bisa mengalahkan Penguasa Kegelapan,” ucap Dhaksayini. “Aku juga berharap begitu,” ucap Dahay
Ratusan pendekar sudah berkumpul di lapangan Perguruan Matahari. Langit di atas sana tampak cerah hingga menara tinggi terlihat jelas di mata siapapun yang melihatnya. Semuanya menunggu kedatangan Kepala Perguruan. Para guru pembantu mengurus para pendekar yang sudah datang itu. Termasuk dari Perguruan Elang Putih. Kakek itu sudah hadir di sana bersama murid-muridnya. Tak lama kemudian, Kakek Sangkala bersama murid-muridnya dari kediaman Tuan Kepala Wilayah di ujung Nusantara juga datang. Dia membawa Senja. Mereka berjalan memasuki gerbang disambut oleh para guru pembantu.“Bagaimana jika ayahmu mencarimu?” tanya Kakek Sangkala pada Senja. Dia khawatir karena Senja diam-diam menyusul mereka saat mereka sudah berjalan jauh.“Ayah tak akan khawatir jika aku pergi bersama Kakek,” jawab Senja. “Lagipula aku sudah menuliskan surat dan aku letakkan di kamarku. Ayah pasti sudah membacanya dan dia akan tenang karena tahu tujuanku kemana.”“Tapi sebelumnya ayahmu tidak mengizinkan kau ikut kam