Bimantara datang dengan kuda putihnya ke hadapan gerbang istana kerajaan Nusantara Timur. Para prajurit yang berjaga di atas pagar istana tampak terkejut melihat seorang pemuda bermahkota, berkaki pincang yang membawa tongkat hitam itu berada di sana.“Chandaka Uddhiharta!” teriak salah satu prajurit di atas sana.Melihanynya berada di sana, para prajurit langsung bersiap dengan anak panah masing-masing. Bimantara heran, dia tidak bisa memasuki kawasan istana itu. Ada dinding pembatas tak terlihat yang tidak bisa ditembusnya meski dia sudah mencoba memasuki ruang Raja Dwilaga dengan gerbang cahaya. Makanya dia berdiri di sana dengan heran.“Aku bukan musuh kalian!” teriak Bimantara.“Seraaang!” teriak salah satu prajurit di atas sana. Panglima Sada dan pasukan yang lain masih berkeliling kampung. Saat ini yang berjaga di seluruh pagar istana para prajurit yang tersisa, yang diperintahkan oleh Panglima Sada.Serangan anak panah itupun langsung mengarah ke Bimantara. Ratusan anak panah
Salah satu prajurit datang menghadap Raja Dwilaga.“Ampun, Yang Mulia! Di depan gerbang istana telah datang Chandaka Uddhiharta! Sepertinya beliau hendak menyerang istana!” ucap prajurit itu penuh hormat pada Sang Raja.Raja Dwilaga yang dirasuki Walat itu tampak terkejut mendengarnya.“Apakah dia berhasil memasuki gerbang?” tanya Raja Dwilaga.“Beliau masih berada di depan gerbang istana saat hamba datang ke sini untuk menemui Yang Mulia,” jawab prajurit itu.Raja Dwilaga penasaran, apakah ajian dinding pembatas tak terlihat yang dibuatnya untuk melindungi istana berhasil dilakukannya atau tidak.“Aku harus ke sana,” ucap Raja Dwilaga.Prajurit pun mengangguk dengan hormat. Raja Dwilaga pun keluar dari kediamannya. Kuda dan kereta kencana sudah menunggunya di depan kediamannya. Raja Dwilaga menaiki kereta kecana itu untuk menuju gerbang pertama. Pengawal itu langsung memacukan kudanya, menarik kereta kencana yang sudah duduk Sang Raja di dalamnya, prajurit lain mengiringi mereka dari
Pangeran Sakai kembali menyerang Bimantara dengan pedangnya. Kini pedang itu bercahaya. Bimantara pun kembali bertahan dari serangannya. Pertarungan hebat kembali terjadi. Tendangan demi tendangan dilakukan Pangeran Sakai untuk menyerang Bimantara, namun dengan sigap Bimantara mampu menghindarinya. Mudah bagi Bimantara untuk mengalahkannya, namun dia masih mencoba bertahan karena dia sudah tahu bahwa Pangeran Sakai tengah diracuni oleh energi hitam.“Kembalilah,” suara itu terdengar dari telinga Bimantara. Suara dari Aksara. Tidak ada pilihan lain, Bimantara pun terpaksa menghadirkan bulatan cahaya lalu segera memasuki gerbang cahayanya itu. Dia menghilang secepat kilat di hadapan Pangeran Sakai.Pangeran Sakai berdiri dengan napas terengah-engah. Pedang masih di tangannya. Dia heran kenapa Bimantara menghilang dan pergi darinya. Yang paling membuat Pangeran Sakai heran adalah Bimantara selalu menahan serangan demi serangan darinya. Bimantara sama sekali tidak melakukan serangan balik
Saat Aksara hampir saja melangkah keluar dari pintu kamar itu, langkahnya terhenti ketika mendengar igauan dari Bimantara.“Dahayu...”Aksara mengernyit lalu menoleh ke arah Bimantara yang masih tidur terlelap di atas ranjang.“Dahayu... kaulah jodohku... bukan Pangeran Sakai...”Aksara pun mendekat ke sisi ranjang Bimantara kembali. Tangannya mengulur ke kepala Bimantara. Dia penasaran tentang mimpi yang dialami Bimantara saat itu. Aksara tercengang ketika melihat Bimantara tengah berlari di padang Bunga sambil menarik tangan Dahayu yang sedang berseri-seri menatap Bimantara.“Kau ingin membawa aku ke mana, Bimantara?” tanya Dahayu dalam penghlihatan Aksara.“Aku ingin membawamu keluar dari alam peri ini karena kaulah jodohku,” jawab Bimantara.“Aku tidak bisa keluar dari sini,” ucap Dahayu sambil melepas tarikan tangan Bimantara. Dahayu dan Bimanatra berhenti berlari.“Kenapa?” tanya Bimantara dengan heran.“Aku ditakdirkan untuk menetap di sini. Aku tidak bisa kembali ke alam dunia
Kepala Perguruan pun segera keluar lalu berlari dari ruangan ritual itu. Dia pun berlari ke tengah-tengah lapangan lalu berteriak memanggil seluruh penduduk perguruan. Tak lama kemudian penghuni perguruan matahari keluar dari kediaman masing-masing lalu berkumpul mengelilingi Kepala Perguruan dengan heran.“Ada apa, Tuan Guru Besar?” tanya Pendekar Pedang Emas heran.“Para leluhur telah memberitahuku bahwa Chandaka Uddhiharta adalah murid di perguruan matahari,” jawab Kepala Perguruan itu.Semua tampak tercengang dan tak percaya mendengarnya.“Bagaimana itu bisa terjadi?” tanya Pendekar Rambut Emas tak percaya. “Kita sudah tahu bahwa hanya ada tujuh murid baru di angakatan terbaru?”“Para Dewa telah menghapus ingatan siapapun yang pernah mengenal Chandaka Uddhiharta. Para Dewa pun menghapus ingatan Chandaka Uddhiharta pada orang-orang yang dahulu dikenalnya,” jawab Kepala Perguruan.Semua kembali tercengang mendengar itu.“Pantas saja selama ini saya merasa ada yang kurang dalam hidup
Kakek kepala Perguruan Elang Putih sedang melatih murid-muridnya di lapangan padepokan tempat yang dulu dijadikan markas Gajendra bersama murid-muridnya. Langit di atasnya tampak cerah. Kakek itu berjalan memperhatikan gerakan murid-muridnya dalam berlatih bertarung satu lawan satu. Di tangannya sebuah kendi berisi arak sedang dipengangnya. Tongkat bambu untuk memecut muridnya pun berada di tangannya. Sesekali dia menenggak minumannya lalu memukul bagian tubuh murid-muridnya yang salah melakukan gerakan yang dilatihnya.“Ingat baik-baik yang sudah aku ajarkan pada kalian!” tegas Kakek itu.Semua muridnya terdiam.“Sekali saja kalian salah mengeluarkan jurus, maka musuh akan menggunakan kesempatan itu untuk melumpuhkan kalian!” teriak Kakek itu lagi.“Siap, Tuan Guru!” teriak murid-muridnya.“Lanjutkaaan!” tegas Kakek itu.“Siaaap!” teriak murid-muridnya. Mereka kembali berlatih. Kakek itu kembali mengelilingi mereka, memperhatikan satu persatu gerakan murid-muridnya.Tak lama kemudian
Pangeran Sakai tampak bingung saat mendapatkan surat dari Perguruan Matahari yang mengundangnya untuk datang ke sana. Dia memanggil Pengawal Pribadinya. Pengawal Pribadinya datang menghadapnya.“Ampun, Pangeran. Apa yang Pangeran inginkan dari hamba, hamba siap menjalankan perintah,” ucap Pengawal Pribadinya.Pangeran Sakai menatap Pengawal Pribadinya dengan lekat.“Sejak kecil, ayah telah mempercayakan dirimu untuk menjagaku. Bahkan saat aku belajar ilmu bela diri di Perguruan Matahari, engkaulah yang selalu setia menjagaku dari mara bahaya di luar sana. Saat ini engkaulah yang paling aku percayai,” ucap Pangeran Sakai.Pengawal Pribadinya terdiam, menunggu kata-kata selanjutnya dari Pangeran Sakai.“Aku sedang bingung mana yang harus aku percayai, apakah ayahku atau ucapan dari Chandaka Uddhiharta itu sendiri? Sementara saat ini aku mendapatkan surat dari Perguruan Matahari, Guru Besar Kepala Perguruan mengundangku datang ke sana. Aku khawatir jika Perguruan Matahari membela Chandak
Bimantara masih menelusuri isi kitab yang sedang dibacanya di perpustakaan istana batu itu. Dia terhenti membaca ketika mendapati tulisan bahwa dinding pembatas yang dibuat oleh energi hitam harus memusnahkan Penguasa Kegelapan terlebih dahulu jika ingin meruntuhkannya. Bimantara pun memanggil Akasara setelah membaca itu.Aksara datang dengan heran.“Ada apa, Bimantara?” tanya Aksara.“Katanya aku harus memusnahkan Penguasa Kegelapan untuk meruntuhkan dinding pembatas tak terlihat itu,” ucap Bimantara.“Berarti kau harus menemukan tempat di mana para Dewa mengurungnya,” ucap Aksara.“Para Dewa mengurungnya?” tanya Bimantara tak percaya.“Iya,” jawab Aksara. “Para Dewa telah mengurungnya.”“Apakah aku harus meminta petunjuk kepada para Dewa untuk menemukannya?” tanya Bimantara penasaran.“Kau harus mencari tahu sendiri,” jawab Aksara.Bimantara bingung.“Memangnya kenapa jika aku hendak meminta petunjuk pada Dewata?”“Bukan kah mudah bagimu?”“Mudah bagaimana?”“Kau tinggal menggunakan