Hampir tengah malam. Langit di atas laut tak ada bulan dan bintang. Awan gelap telah menutupinya. Laut tampak tenang. Ki Walang dan Bimantara memperhatikan apa yang ada di hadapan mereka dengan heran. Di hadapan mereka terlihat begitu gelap. Tak lama kemudian ombak perlahan membesar. Perahu yang mereka naiki mulai bergoyang. Bimantara ketakutan. Dia memiliki firasat buruk.
“Apa yang ada di hadapan kita, Tuan Guru?” tanya Bimantara pada Ki Walang dengan khawatir.
Ki Walang malah tertawa. “Di hadapan kita adalah hujan badai. Sebentar lagi perahu ini akan menembusnya. Di balik hujan badai itu adalah pulau yang akan kita tuju. Kita sudah hampir sampai, Bimantara. Kau jangan takut!”
Bimantara mengangguk. Tak lama kemudian ombak semakin besar. Perahu yang mereka naiki semakin bergoyang. Ki Walang memainkan dayungnya untuk mendapatkan keseimbangan agar perahunya tidak terbalik. Bimantara berpengangan erat pada perahunya. Jantungnya memompa
Saat Matahari mulai bersinar terang, Ki Walang membangunkan Bimantara yang tertidur lelap di dalam gubuk tua.“Bangun, anak muda!” teriak Ki Walang.Bimantara terbangun dalam keadaan napas terengah-engah. Dia bangkit dengan wajah pucat dipenuhi ketakutan.Ki Walang heran. “Apa kau bermimpi buruk?” tanya Ki Walang.Keringat mengucur di dahi Bimantara. Dia mengangguk pada Ki Walang. “Aku bermimpi melihat tiga kerajaan Nusantara saling memerangi karena ulah Perguruan Tengkorak, Tuan Guru,” jawab Bimantara.Ki Walang tertawa. “Itu tidak akan terjadi. Arti mimpi adalah kebalikan dari apa yang kau mimpikan. Sudah, jangan kau pikirkan. Tiga kerajaan Nusantara akan tetap bersatu. Bersiaplah untuk latihan hari ini.”“Siap, Tuan Guru!”Di saat matahari sudah mulai meninggi. Ki Walang dan Bimantara duduk bersila saling menghadap di depan gubuk tua. Mereka menduduki tanah basah yan
Keesolan harinya, Bimantara masih terbaring lemah di atas jerami. Wajahnya terlihat pucat.“Apa hari ini aku sudah bisa berlatih denganmu, Tuan Guru?” tanya Bimantara lemah.“Kau masih lemah. Tunggu tubuhmu pulih dengan sempurna dulu,” jawab Ki Walang.Bimantara terdiam. Dia sudah tidak sabar mengikuti segala ajaran Ki Walang. Ki Walang mencampurkan ramuan yang baru saja ditumbuknya ke dalam gelas bambu lalu mengulurkannya pada Bimantara.“Minum ini,” pinta Ki Walang.Bimantara mencoba bangkit. Kali ini tenaganya sudah mulai terkumpul hingga dia berhasil duduk. Bimantara meraih gelas bambu yang diulurkan Ki Walang. “Terima kasih, Tuan Guru,” ucap Bimantara. Dia pun langsung meminum ramuan itu. Meski pahit dia mencoba untuk menghabiskannya. Hampir saja dia muntah, namun akhirnya seluruh air ramuan itu berhasil diminumnya sampai habis.Tak lama kemudian Ki Walang menoleh ke atas langit-langit gub
Adji Darma berdiri gagah di hadapan gerbang keluar hutan terlarang itu. Di sebalahnya Pendekar Tangan Besi berdiri sambil menatap gerbang dengan penasaran. Para guru utama berada di belakang mereka. Pangeran Sakai berdiri di dekat Pendekar Pedang Emas. Ratusan murid lainnya juga sedang menunggu dengan rasa penasaran. Siapakah yang akan keluar duluan dari gerbang keluar hutan terlarang itu?Adji Darma menoleh pada Pendekar Tangan Besi. “Kenapa sampai detik ini Ki Walang dan muridnya belum menampakkan batang hidungnya?” tanya Adji Darma pada Pendekar Tangan Besi dengan heran.“Ampun, Tuan Guru. Tadi hamba sudah memeriksa ke sana, namun pintu gua tertutup oleh batu, hanya Ki Walang yang bisa membukanya. Saya tidak tahu kenapa mereka tak hadir di sini,” jawab Pendekar Tangan Besi.Adji Darma terdiam sesaat. Dia curiga ada sesuatu yang disimpan Ki Walang padanya. Sesaat dia menoleh lagi pada Pendekar Tangan Besi. “Apakah kapal layar suda
Ki Walang berhasil menombak ikan yang besar. Dia menunjukkannya pada Bimantara.“Bimantara! Lihat ini! Kita dapat ikan besar!” teriak Ki Walang begitu bahagia.Teriakan itu membuyarkan lamunanya. Bimantara langsung berjalan menuju Ki Walang. Kini dengan keberadaan kaki cahaya, membuatnya seolah memiliki kaki normal. Dia tak perlu lagi menggunakan tongkat untuk berjalan.“Ikannya besar sekali, Tuan Guru,” ucap Bimantara sangat bahagia.Ki Walang tersenyum lalu menatap kedua matanya yang terlihat memikirkan sesuatu. Ki Walang bisa menangkap itu. “Sedang apa tadi kau di sana?” tanya Ki Walang kemudian.“Aku belajar untuk mendengarkan sesuatu yang jauh di sana. Seperti yang Tuan Guru lakukan,” jawab Bimantara berbohong.Ki Walang tertawa. “Kau pikir itu bisa dilakukan dengan mudah?” ucap Ki Walang sambil mengulurkan ikan besar itu pada Bimantara.Bimantara meraihnya. “Meman
Bimantara melahap ikan bakarnya dengan cepat. Ki Walang yang duduk di dekatnya sambil tersenyum melihatnya. Mereka sedang duduk menghadap api unggun yang menyala besar.“Pelan-pelan. Nanti kau tertusuk tulang ikan,” ucap Ki Walang.“Ikannya enak sekali, Tuan Guru,” jawab Bimantara sambil tersenyum senang.Sesaat Ki Walang kembali teringat dengan mendiang anak lelakinya. Mungkin jika masih hidup, dia akan sebesar Bimantara. Bimantara heran melihat Ki Walang menatapnya sedih. Dia tak berani bertanya.“Siapa gadis yang datang bersamamu ke Perguruan Matahari itu?” tanya Ki Walang tiba-tiba, seolah bertanya kepada anaknya sendiri. Malam itu hubungan mereka sudah tak terlihat lagi seperti guru dan murid. Ki Walang mulai akrab dengannya. Bimantara pun merasakan kasih sayang Ki Walang padanya mirip kasih sayang seorang ayah kepada anaknya.Bimantara gugup mendengar pertanyaan itu, “Maksud guru… Dahayu?&rdquo
Dahayu terbaring di atas jerami. Matanya menerawang ke atas langit-langit kamarnya. Dia teringat di hari itu, hari ketika dia mulai memikirkan untuk menjadi seorang pendekar perempuan. Karena di hari itu dia mendengar sebuah kenyatakan pahit dalam hidupnya yang dirahasiakan oleh Sada dan Sukma – kedua orang tuanya.Dahayu tidak sengaja mendengar pertengkaran Sada dan Sukma saat dia pulang dari pasar membawa bakul kosong yang semula di isi penuh dagangannya.“Sampai kapan kita harus merahasiakan ini dari Dahayu, Kakang?" tanya Sukma pada Sada.Dahayu heran mendengar pertanyaan ibunya itu. Langkahnya terhenti tepat di depan kamar kedua orangtuanya lalu berusaha mencuri dengar apa yang akan dikatakan mereka selanjutnya."Dahayu tak perlu tahu kalau kamu bukan ibu kandungnya," jawab Sada.Dahayu terbelalak mendengarnya."Kenapa?" tanya Sukma heran."Aku takut jika Dahayu tahu, akan memunculkan dendam di hatinya pad
Bimantara mendayung perahunya dengan sekuat tenaga. Saat dia menoleh ke belakang, Ki Walang tampak duduk dengan tenang dalam posisi bertapa. Matanya terpejam. Mungkin dia sedang menerawang apa yang terjadi di Perguruan Matahari, pikir Bimantara. Laut tampak tenang. Perahu terus bergerak menuju arah yang ditunjukkan Ki Walang sejak tadi. Sesaat kemudian, Bimantara mendengar Ki Walang terbatuk. Dia menoleh ke belakang. Ki Walang tampak lemas dan memegang dadanya. Bimantara panik.“Guru! Guru kenapa?” tanya Bimantara menghentikan mendayungnya lalu mendekat ke Ki Walang dengan khawatirnya.“Teruslah mendayung! Aku tidak apa-apa,” jawab Ki Walang.“Tapi…”“Aku hanya terkena angin laut saja,” jawab Ki Walang.Mendengar itu Bimantara tampak tenang. Dia pun kembali mendayung perahunya dengan penuh semangat.“Jika kau lelah, biar aku yang menggantikan,” pinta Ki Walang.“
“Apa kau mencintaiku?” tanya Pangeran Sakai dengan gugup dan terbata.Dahayu tersenyum padanya. “Aku baru menyadarinya,” jawab Dahayu.Pangeran Sakai tersenyum bahagia mendengarnya. Dia tidak bisa membaca dari raut wajah dan sorot mata gadis itu. Dahayu melakukan itu semua karena itulah satu-satunya cara dia bisa membalaskan dendamnya pada Panglima Cakara. Dia akan mempermainkan cinta Pangeran Sakai agar kelak Pangeran Sakai bisa menariknya ke istana. Dahayu tidak tahu apakah cara itu cara yang terbaik baginya, namun setidaknya dia sudah berusaha agar mendiang ibunya tenang di alam sana dan ayahnya tidak lagi ketakutan untuk keluar dari persembunyiannya. Bagaimana pun juga, jika Panglima Cakara tahu keberadaan ayahnya, Panglima Cakara pasti akan membunuh ayahnya juga.Pangeran Sakai menatap wajah Dahayu dengan tatapan serius. “Kalau begitu, bisakah kau menjauhi Kancil dan Bimantara? Jangan lagi dekat dengan mereka! Mereka adalah mus
Bimantara berjalan dengan tongkat hitamnya di pedesaan pinggir laut itu. Dia sudah tidak lagi menggunakan kaki cahaya naganya. Dia melihat di pulau seberang sudah tidak ada lagi bangunan tinggi yang memiliki menara yang menjulang. Bagunan Perguruan Matarhari telah lenyap di sana. Perkampungannya tampak sunyi. Beberapa rumah tampak sudah hancur berkeping-keping. Hanya ada beberapa rumah yang tampak baik-baik saja.Bimantara tidak tahu siapa yang masih hidup di negeri itu. Setelah dia memeriksa tiga kerajaan Nusantara yang hancur berkeping-keping, dia mengendalikan naganya untuk kembali ke kampung halamanannya.Bimantara berdiri di sisi tebing itu. Dia teringat saat menemui Dahayu di sana dahulu."Tahun depan aku akan menjadi murid di sana!" ucap Bimantara tiba-tiba. Memecah lamunan tiga remaja di hadapannya itu. Seolah ingin menunjukkan pada Dahayu bahwa tanpa kaki satu, dia masih layak mengejar impiannya. Tiga remaja itu menoleh ke arah Bimantara bersamaan. Saat menyadari yang bicara
Setelah itu keadaan menjadi hening. Putra Mahkota Iblis dan keempat saudaranya benar-benar sudah mati. Bahari tersenyum.“Sekarang aku bisa mati dengan tenang,” ucap Bahari.Bahari pun memejamkan matanya. Kini Bimantara, Tanaka, Pendekar Dua Alam dan Pendekar Sungai Panjang kembali merasakan dingin.Sementara Bimantara langsung berlari menuju Raja Dawuh yang tidak lagi bernyawa itu. Dia memeriksa tubuhnya. Denyut nadinya sudah berhenti. Bimantara menangis sambil memeluk mayatnya.“Maafkan aku yang tidak bisa menjagamu!” isak Bimantara.Tanaka, Pendekar Dua Alam dan Pendekar Sungai Panjang berjalan mendekat ke arahnya.“Kita sudah berhasil Bimantara,” ucap Tanaka.Bimantara pun menutup mata Raja Dawuh lalu berdiri di hadapan ketiga Panglimanya yang tersisa itu.“Tapi kita tidak berhasil mencegah mereka menghancurkan setiap kerajaan di atas muka bumi ini,” ucap Bimantara menyayangkannya. “Dan aku tidak berhasil menjaga Bahari dan Raja Dawuh.”“Aku yakin mereka akan tenang di nirwana kar
“Aku bisa melakukannya tanpa harus membangkitkan Dahayu kembali,” ucap Bimantara.Pendekar Dua Alam mengernyit mendengarnya.“Cahaya di tubuh Dahayu sangat berguna untukmu, Bimantara. Jika cahaya kalian menyatu maka tidak ada satupun yang bisa melawan kalian, termasuk para Iblis itu,” protes Pendekar Dua Alam.“Dahayu telah mengalirkan cahayanya kepadaku,” ujar Bimantara.“Tapi cahayanya telah menyusut di tubuhmu,” protes Pendekar Dua Alam.Raja Dawuh pun bangkit.“Jika kau menolaknya karena sudah mengkhianatinya, aku rasa Dahayu akan mengerti, Bimantara. Kita tidak memiliki cara lain untuk membunuh mereka!” tambah Raja Dawuh.“Jangan paksa aku!” teriak Bimantara.Bimantara pun mengeluarkan tenaga dalamnya, dia pun langsung mengalirkannya pada Pendekar Dua Alam, Raja Dawuh, Bahari, Pendekar Sungai Panjang dan Tanaka.“Jangan lakukan itu, jika tidak tenagamu akan habis!” protes Tanaka yang menerima aliran tenaga dalam dari Bimantara.Bimantara tidak menggubris perkataan Tanaka. Tenaga
“Jangan menangis,” pinta Ki Walang.“Aku tidak berhasil menjadi Chandaka Uddhiharata, Tuan Guru,” isak Bimantara. “Dunia sudah dihancurkan anak-anak iblis itu. Tiga kerajaan Nusantara telah habis terbakar, juga istana-istana di kerajaan lain. Sebentar lagi semua manusia akan mati. Mungkin aku juga akan mati. Padahal aku sudah membawa kelima Panglima terbaik di dunia ini.”“Apakah seperti ini akhirnya seorang murid yang sangat aku banggakan itu?” ucap Ki Walang sedikit marah. “Dahulu aku kagum padanya karena keterbatasannya dia memiliki cita-cita begitu agung untuk menjadi seorang pendekar yang berguna bagi sesama. Pahadal dia hanya memiliki kaki satu, tapi dia ingin memiliki jurus tendangan seribu.”Bimantara terdiam mendengar itu.“Hal yang tidak mungkin. Siapapun yang mendengarnya pasti akan tertawa karena ketidakpercayaannya. Tapi aku percaya akan itu. Akhirnya aku ajarkan semua ilmuku padamu. Dan kini, kau mengeluh disaat nyawa masih berada di dalam ragamu?!” teriak Ki Walang.“Ap
Bimantara kembali menyerang Putra Mahkota Iblis yang tampak geram. Dia menggunakan segala jurus yang dia punya untuk melawannya. Sekuat tega Bimantara lakukan sendirian untuk melawannya. Berbagai serangan yang dilakukan Bimantara berhasil dilawannya dengan baik. Bimantara tampak kewalahan dan hampir saja kehilangan tenaga.“Kita harus membantunya,” pinta Raja Dawuh yang tampak khawatir pada Bimantara.“Aku tahu kau seorang raja,” sahut Tanaka. “Tapi yang paling penting dari sebuah tim adalah mengikuti arahan Pimpinannya. Sekarang kau bukan seorang raja lagi. Kau harus mengikuti permintaan Bimantara yang meminta kita menjaga Pendekar Dua Alam sampai dia selesai melakukan ritualnya. Nyawa kita sekarang untuk Pendekar Dua Alam.”“Tapi dia bisa mati melawan Putra Mahkota Iblis itu sendirian,” ucap Raja Dawuh semakin khawatir.“Percaya saja,” pinta Tanaka menenangkannya.Sementara Pendekar Sungai Panjang masih berusaha menggunakan tenaga dalamnya untuk mengembalikan tulang-tulang yang pata
Bimantara terbang ke atas langit. Tubuhnya mengeluarkan cahaya. Sesaat kemudian dia meluncur ke bawah lalu menggunakan jurus tendangan seribunya untuk menghalau roh-roh hitam yang menyerang mereka. Satu persatu dari roh-roh hitam itu terpelanting jauh dan terbakar.Bahari dan Pendekar Sungai Panjang terngaga melihatnya. Bimantara pun kembali mendarat di dekat mereka dengan sorot mata yang masih menyala. Putra Mahkota Iblis di dalam benteng itu tampak geram. Dia berteriak lalu mengeluarkan cahaya di tubuhnya. Gemanya hampir saja memecahkan dinding pembatas tak terlihat.“Sekarang saatnya kau harus memecahkan dinding pembatas tak terlihat itu,” pinta Bahari.Bimantara mengangguk.“Semuanya segera bersiap!” pinta Bimantara pada kedua Panglima yang menemaninya itu.Bahari dan Pendekar Sungai Panjang mengangguk. Mereka pun sudah bersiap dengan jurus masing-masing.Bimantara menoleh pada Tanaka dan Raja Dawuh yang masih menjaga Pendekar Dua Alam yang sedang membangkitkan para pendekar sakti
Putra Mahkota Iblis itu berhenti berlari menuju benteng yang terbuka itu. Iblis itu menatap kepada empat saudaranya yang ikut berhenti.“Berpencarlah kalian semuanya,” pinta Putra Mahkota Iblis. “Hancurkan semua kerajaan di muka bumi ini! Biar aku saja yang menghadapi musuh kita di depan benteng sana!”“Tapi mereka telah membunuh adik bungsu kita,” protes salah satu dari mereka. “Kita harus bersama-sama membunuh mereka sebelum kita keluar dari negeri ini dan menghancurkan semua kerajaan di atas muka bumi ini!”“Diriku sendiri sudah cukup untuk membunuh semuanya! Ikuti perintahku jika kalian masih menganggapku sebagai pengganti Raja!” teriak Putra Mahkota Iblis itu pada adik-adiknya.“Baiklah,” jawab salah satu dari mereka.Empat anak-anak Iblis yang perkasa itu pun langsung melompati benteng yang luas nan tinggi itu. Mereka berpencar ke empat penjuru untuk menghancurkan kerajaan-kerajaan di berbagai wilayah.Sementara Bimantara di luar benteng itu tampak terkejut melihat para Iblis it
“Biar aku saja yang menghadapinya,” ucap Tanaka pada Bimantara.Bimantara mengangguk. Tanaka pun langsung melompat dari punggung naga lalu terbang melawan Pendekar Tombak Angin. Tanaka mengeluarkan golok hitamnya, sementara Pendekar Tombak Angin mengeluarkan pedangnya. Mereka berdua bertarung di atas langit.Bimantara menoleh pada Bahari, Pendekar Sungai Panjang, Pendekar Dua Alam dan Raja Dawuh.“Kalian serang prajurit mereka!” perintah Bimantara.Keempat Panglimanya itu mengangguk. Mereka langsung mengendalikan naga masing-masing lalu naga-naga yang ditunggangi mereka itu menghembuskan api dari mulut mereka untuk membakar ribuan prajurit yang berusaha memecahkan benteng tinggi itu. Sebagian prajuritnya mati terbakar karenanya. Para prajurit yang lain berusaha menyerang mereka dengan senjata masing-masing.Dengan sigap Raja Dawuh menggunakan kekuatannya untuk melelehkan pedang dan senjata lainnya yang digunakan para prajurit itu. Seketika senjata mereka meleleh.Sementara Bimantara l
Ribuan burung besar yang membawa Pendekar Tombak Angin dan pasukan roh-nya telah tiba di daratan negeri salju itu. Angin dingin berhembus menusuk tulang. Pendekar Tombak angin yang berada paling depan di punggung burung besar itu tampak menggigil. Ribuan tentaranya pun tampak kedinginan. Burung-burung besar itu pun tampak sudah lemah memasuki negeri salju itu, mereka tidak kuat akan dinginnya negeri itu.Pendekar Tombak Angin melihat patung es raksasa yang sedang memegang tongkat di hadapan benteng tinggi yang memutih. Ribuan prajurit di dekatnya pun mematung, mereka bagai patung es yang dipahat oleh seorang seniman yang masyhur.“Apakah dia Bubungkala?” tanya Pendekar Tombak Angin pada tiga makhluk hitam yang kedinginan di dekatnya. Tiga makhluk hitam itu terbang mengikutinya.“Benar, Tuanku,” jawab Makhluk hitam itu. “Dia yang paling bungsu dari ke enam saudara Iblismu.”Pendekar Tombak Angin tampak tidak kuat lagi karena dinginnya tempat itu.“Sekarang keluarkan batu dari neraka it