Bimantara mendayung perahunya dengan sekuat tenaga. Saat dia menoleh ke belakang, Ki Walang tampak duduk dengan tenang dalam posisi bertapa. Matanya terpejam. Mungkin dia sedang menerawang apa yang terjadi di Perguruan Matahari, pikir Bimantara. Laut tampak tenang. Perahu terus bergerak menuju arah yang ditunjukkan Ki Walang sejak tadi. Sesaat kemudian, Bimantara mendengar Ki Walang terbatuk. Dia menoleh ke belakang. Ki Walang tampak lemas dan memegang dadanya. Bimantara panik.
“Guru! Guru kenapa?” tanya Bimantara menghentikan mendayungnya lalu mendekat ke Ki Walang dengan khawatirnya.
“Teruslah mendayung! Aku tidak apa-apa,” jawab Ki Walang.
“Tapi…”
“Aku hanya terkena angin laut saja,” jawab Ki Walang.
Mendengar itu Bimantara tampak tenang. Dia pun kembali mendayung perahunya dengan penuh semangat.
“Jika kau lelah, biar aku yang menggantikan,” pinta Ki Walang.
“
“Apa kau mencintaiku?” tanya Pangeran Sakai dengan gugup dan terbata.Dahayu tersenyum padanya. “Aku baru menyadarinya,” jawab Dahayu.Pangeran Sakai tersenyum bahagia mendengarnya. Dia tidak bisa membaca dari raut wajah dan sorot mata gadis itu. Dahayu melakukan itu semua karena itulah satu-satunya cara dia bisa membalaskan dendamnya pada Panglima Cakara. Dia akan mempermainkan cinta Pangeran Sakai agar kelak Pangeran Sakai bisa menariknya ke istana. Dahayu tidak tahu apakah cara itu cara yang terbaik baginya, namun setidaknya dia sudah berusaha agar mendiang ibunya tenang di alam sana dan ayahnya tidak lagi ketakutan untuk keluar dari persembunyiannya. Bagaimana pun juga, jika Panglima Cakara tahu keberadaan ayahnya, Panglima Cakara pasti akan membunuh ayahnya juga.Pangeran Sakai menatap wajah Dahayu dengan tatapan serius. “Kalau begitu, bisakah kau menjauhi Kancil dan Bimantara? Jangan lagi dekat dengan mereka! Mereka adalah mus
Panglima Cakara sedang menunganggi kudanya menembus hutan hendak kembali ke Istana. Dibelakangnya para prajuritnya mengikuti dengan kuda masing-masing. Tak berapa lama kemudian sebuah anak panah melesat dari atas pohon dan tertancap ke atas tanah tepat di hadapan kuda Panglima Cakara. Panglima Cakara menghentikan kudanya sambil memberi kode pada pasukannya dengan tangan kanannya mengarah ke atas agar mereka juga ikut menghentikan kuda masing-masing.Panglima Cakara memperhatikan sekitar dengan tegang. Para prajurit pun tampak tegang. Panglima Cakara heran dari mana asal anak panah itu? Dia pun turun dari kudanya lalu mencabut anak panah yang tertancap lalu memeriksa anak panah itu dengan seksama.“Anak panah ini bukan berasal dari kerjaan Nusantara Tengah dan Barat, bukan juga berasal dari Perguruan Matahari, bukan juga berasal dari perguruan Tengkorak,” ucap Panglima heran. Dia memang mengenali setiap senjata yang menjadi ciri khas dari wilayah yang disebu
Bimantara membuka matanya. Samar dia melihat Ki Walang berteriak memanggil-manggil namanya. Namun saat Bimantara hendak memanggil nama guru besarnya, pandangan matanya semakin buram. Tak lama kemudian dia rubuh lalu terlentang di atas tanah. Sosok yang menyerupa cahaya putih tiba-tiba datang. Tak lama kemudian dia melihat cahaya putih itu berubah menjadi sosok yang sangat dirindukannya.“A… yah…” ucap Bimantara lemah.“Kau memang anak nakal,” ucap Naga Wali padanya dengan wajah sedih.“Maafkan aku,” ucap Bimantara.“Ayah sudah bilang, jangan buka peti itu dan jangan kau pergi ke tempat ini, tapi kau tidak mengikuti kata ayah!”“Aku ingin membalaskan dendam ayah,” ucap Bimantara.Lalu Naga Wali kembali menyerupa menjadi cahaya. Tak lama kemudian cahayanya menghilang. Kini yang terdengar teriakan Ki Walang di telinganya.“Bimantara!”Bimantara l
Bimantara sedang bertarung dengan Ki Walang di dalam gua. Saat Ki Walang menendang dadanya dengan kecepatan luar biasanya, Bimantara kini berhasil menghindar darinya.“Bagus!” puji Ki Walang.Kini Ki Walang menggerakkan tangannya. Tak lama kemudian dia melompat ke atas kepala Bimantara. Saat kaki Ki Walang hendak menendang kepalanya dari atas, Bimantara yang tidak begitu konsentrasi, tidak bisa menghindarinya hingga kepalanya tertentang dan tubuhnya tersungkur ke atas tanah. Kepalanya terasa pusing tujuh keliling. Pandangan matanya mendadak kabur.“Kemana konsentrasimu?” tanya Ki Walang dengan kesal.“Maaf, Tuan Guru,” ucap Bimantara sambil mencoba bangkit dan memegang kepalanya. Namun karena kepalanya masih terasa linglung, tubuhnya oleng kekurangan keseimbangan.“Keluarkan tenaga dalammu!” pinta Ki Walang.Bimantara pun menggerakkan tangannya lalu mengumpulkan tenaga dalamnya melalui putaran
Dahayu tengah berjalan di taman perguruan hendak menuju asramanya. Pangeran Sakai sedari jauh mengejarnya.“Dahayu! Dahayu!” teriak Pangeran Sakai padanya.Langkah Dahayu terhenti. Dia menoleh ke belakang. Memasang senyumnya agar lelaki dari kalangan bangsawan itu tetap percaya bahwa dia mencintainya.“Benarkah Tuan Guru Besar Adji Darma memintamu untuk datang ke ruangannya esok pagi?” tanya Pangeran Sakai saat sudah berada di hadapannya.Dahayu mengangguk. Pangeran Sakai tampak khawatir padanya.“Aku akan menemanimu,” pinta Pangeran Sakai.“Tidak perlu. Lagipula yang diminta Adji Darma hanya aku,” jawab Dahayu.“Kalau Adji Darma macam-macam padamu bagaimana?”Dahayu tersenyum. “Dia itu pimpinan di Perguruan Matahari. Kalau sampai mengkhianati aturan di perguruan ini, aku yakin para leluhur akan menghukumnya. Kau tak perlu khawatir,” ucap Dahayu.&ld
Pendekar Tangan Besi datang menghadap Adji Darma yang sedang duduk bersila di dalam ruangannya. “Ampun, Tuan Guru Besar, di depan pintu Bimantara sedang menunggu, Tuan,” ucap Pendekar Tangan Besi padanya. “Suruh dia masuk ke sini,” pinta Adji Darma. “Baik, Tuan Guru Besar.” Pendekar Tangan Besi pun berjalan keluar. Sementara itu, Bimantara yang masih berdiri menunggu di depan pintu ruangan Adji Darma tampak terkejut melihat Dahayu datang ke sana. Dahayu pun terkejut melihat kehadiran Bimantara di sana. “Kenapa Tuan Guru Besar mengundang Dahayu juga ke sini?” tanya Bimantara dalam hati. Dahayu pun bertanya-tanya juga. Namun dia enggan bertanya malah memilih menunduk di hadapannya. Bimantara pun bergeming dan menghadapkan wajahnya ke arah pintu ruangan yang tertutup. Dia sudah berjanji untuk tidak mengganggu Dahayu lagi. Itu artinya dia tak akan mengajaknya bicara lagi seperti dahulu. Pintu ruangan itu terbuka. Pendekar Tangan Besi kelua
Pangeran Sakai datang menghadap Pendekar Pedang Emas. Hari itu dia siap berlatih seperti biasanya. Para murid lain dari berbagai tingkatan sedang berlatih beradu pedang di halaman kediaman Pendekar itu. Mereka terlihat begitu bersemangat.“Kenapa kau datang telambat?!” tanya Pendekar Pedang Emas dengan tegas.“Ampun, Tuan Guru, tadi ada sesuatu di asrama hingga membuat aku datang terlambat,” ucap Pangeran Sakai berbohong. Padahal sedari tadi dia sengaja menunggu Dahayu di depan gerbang ruangan Adji Darma. Dia khawatir terjadi apa-apa dengan gadis itu.Pendekar Pedang Emas tertawa. “Jangan bohong padaku. Aku tahu kau sedang jatuh cinta, Pangeran.”Pangeran Sakai terbelalak mendengarnya. “Ampun, Tuan Guru,” ucap Pangeran Sakai merasa bersalah.Pendekar Pedang Emas memandangi wajah Pangeran Sakai dengan tatapan serius. “Aku ingatkan sekali lagi. Jangan mudah percaya dengan siapapun. Kau adalah gene
Pendekar Tangan Besi datang menghadap Adji Darma dengan raut wajah kesal. Adji Darma yang duduk bersila tampak heran melihatnya.“Apa kau sudah menemukan tanda-tanda mencurigakan dari kedua anak muda itu?” tanya Adji Darma penasaran.“Ampun, Tuan Guru. Untuk Dahayu, tidak ada tanda-tanda yang mencurigakan. Aku hanya mendengar kalau Pendekar Rambut Emas sedang mengawasinya untuk dijadikannya sebagai murid tetap. Lalu aku mendengar desas-desus dari teman-teman seangkatannya. Katanya Dahayu diam-diam telah menguasai jurus selendang merah yang telah lama menghilang dari peradaban Nusantara,” jawab Pendekar Tangan Besi.Adji Darma berdiri mendengar itu. “Dari siapa dia belajar jurus itu?”“Aku tidak tahu, Tuan Guru Besar. Sepertinya Pendekar Rambut Emas tertarik menjadikan Dahayu sebagai murid tetapnya kelak karena dia sudah tahu itu,” jawab Pendekar Tangan Besi.“Itu bagus! Jurus itu adalah jurus ya