Bimantara membuka matanya. Samar dia melihat Ki Walang berteriak memanggil-manggil namanya. Namun saat Bimantara hendak memanggil nama guru besarnya, pandangan matanya semakin buram. Tak lama kemudian dia rubuh lalu terlentang di atas tanah. Sosok yang menyerupa cahaya putih tiba-tiba datang. Tak lama kemudian dia melihat cahaya putih itu berubah menjadi sosok yang sangat dirindukannya.
“A… yah…” ucap Bimantara lemah.
“Kau memang anak nakal,” ucap Naga Wali padanya dengan wajah sedih.
“Maafkan aku,” ucap Bimantara.
“Ayah sudah bilang, jangan buka peti itu dan jangan kau pergi ke tempat ini, tapi kau tidak mengikuti kata ayah!”
“Aku ingin membalaskan dendam ayah,” ucap Bimantara.
Lalu Naga Wali kembali menyerupa menjadi cahaya. Tak lama kemudian cahayanya menghilang. Kini yang terdengar teriakan Ki Walang di telinganya.
“Bimantara!”
Bimantara l
Bimantara sedang bertarung dengan Ki Walang di dalam gua. Saat Ki Walang menendang dadanya dengan kecepatan luar biasanya, Bimantara kini berhasil menghindar darinya.“Bagus!” puji Ki Walang.Kini Ki Walang menggerakkan tangannya. Tak lama kemudian dia melompat ke atas kepala Bimantara. Saat kaki Ki Walang hendak menendang kepalanya dari atas, Bimantara yang tidak begitu konsentrasi, tidak bisa menghindarinya hingga kepalanya tertentang dan tubuhnya tersungkur ke atas tanah. Kepalanya terasa pusing tujuh keliling. Pandangan matanya mendadak kabur.“Kemana konsentrasimu?” tanya Ki Walang dengan kesal.“Maaf, Tuan Guru,” ucap Bimantara sambil mencoba bangkit dan memegang kepalanya. Namun karena kepalanya masih terasa linglung, tubuhnya oleng kekurangan keseimbangan.“Keluarkan tenaga dalammu!” pinta Ki Walang.Bimantara pun menggerakkan tangannya lalu mengumpulkan tenaga dalamnya melalui putaran
Dahayu tengah berjalan di taman perguruan hendak menuju asramanya. Pangeran Sakai sedari jauh mengejarnya.“Dahayu! Dahayu!” teriak Pangeran Sakai padanya.Langkah Dahayu terhenti. Dia menoleh ke belakang. Memasang senyumnya agar lelaki dari kalangan bangsawan itu tetap percaya bahwa dia mencintainya.“Benarkah Tuan Guru Besar Adji Darma memintamu untuk datang ke ruangannya esok pagi?” tanya Pangeran Sakai saat sudah berada di hadapannya.Dahayu mengangguk. Pangeran Sakai tampak khawatir padanya.“Aku akan menemanimu,” pinta Pangeran Sakai.“Tidak perlu. Lagipula yang diminta Adji Darma hanya aku,” jawab Dahayu.“Kalau Adji Darma macam-macam padamu bagaimana?”Dahayu tersenyum. “Dia itu pimpinan di Perguruan Matahari. Kalau sampai mengkhianati aturan di perguruan ini, aku yakin para leluhur akan menghukumnya. Kau tak perlu khawatir,” ucap Dahayu.&ld
Pendekar Tangan Besi datang menghadap Adji Darma yang sedang duduk bersila di dalam ruangannya. “Ampun, Tuan Guru Besar, di depan pintu Bimantara sedang menunggu, Tuan,” ucap Pendekar Tangan Besi padanya. “Suruh dia masuk ke sini,” pinta Adji Darma. “Baik, Tuan Guru Besar.” Pendekar Tangan Besi pun berjalan keluar. Sementara itu, Bimantara yang masih berdiri menunggu di depan pintu ruangan Adji Darma tampak terkejut melihat Dahayu datang ke sana. Dahayu pun terkejut melihat kehadiran Bimantara di sana. “Kenapa Tuan Guru Besar mengundang Dahayu juga ke sini?” tanya Bimantara dalam hati. Dahayu pun bertanya-tanya juga. Namun dia enggan bertanya malah memilih menunduk di hadapannya. Bimantara pun bergeming dan menghadapkan wajahnya ke arah pintu ruangan yang tertutup. Dia sudah berjanji untuk tidak mengganggu Dahayu lagi. Itu artinya dia tak akan mengajaknya bicara lagi seperti dahulu. Pintu ruangan itu terbuka. Pendekar Tangan Besi kelua
Pangeran Sakai datang menghadap Pendekar Pedang Emas. Hari itu dia siap berlatih seperti biasanya. Para murid lain dari berbagai tingkatan sedang berlatih beradu pedang di halaman kediaman Pendekar itu. Mereka terlihat begitu bersemangat.“Kenapa kau datang telambat?!” tanya Pendekar Pedang Emas dengan tegas.“Ampun, Tuan Guru, tadi ada sesuatu di asrama hingga membuat aku datang terlambat,” ucap Pangeran Sakai berbohong. Padahal sedari tadi dia sengaja menunggu Dahayu di depan gerbang ruangan Adji Darma. Dia khawatir terjadi apa-apa dengan gadis itu.Pendekar Pedang Emas tertawa. “Jangan bohong padaku. Aku tahu kau sedang jatuh cinta, Pangeran.”Pangeran Sakai terbelalak mendengarnya. “Ampun, Tuan Guru,” ucap Pangeran Sakai merasa bersalah.Pendekar Pedang Emas memandangi wajah Pangeran Sakai dengan tatapan serius. “Aku ingatkan sekali lagi. Jangan mudah percaya dengan siapapun. Kau adalah gene
Pendekar Tangan Besi datang menghadap Adji Darma dengan raut wajah kesal. Adji Darma yang duduk bersila tampak heran melihatnya.“Apa kau sudah menemukan tanda-tanda mencurigakan dari kedua anak muda itu?” tanya Adji Darma penasaran.“Ampun, Tuan Guru. Untuk Dahayu, tidak ada tanda-tanda yang mencurigakan. Aku hanya mendengar kalau Pendekar Rambut Emas sedang mengawasinya untuk dijadikannya sebagai murid tetap. Lalu aku mendengar desas-desus dari teman-teman seangkatannya. Katanya Dahayu diam-diam telah menguasai jurus selendang merah yang telah lama menghilang dari peradaban Nusantara,” jawab Pendekar Tangan Besi.Adji Darma berdiri mendengar itu. “Dari siapa dia belajar jurus itu?”“Aku tidak tahu, Tuan Guru Besar. Sepertinya Pendekar Rambut Emas tertarik menjadikan Dahayu sebagai murid tetapnya kelak karena dia sudah tahu itu,” jawab Pendekar Tangan Besi.“Itu bagus! Jurus itu adalah jurus ya
“Akhirnya kau datang lagi padaku!” ucap Panglima Cakara dengan geram.Ki Walang dan Bimantara yang masih mengenakan penutup wajah tampak bersiap melakukan penyerangan. Tak lama kemudian datang segerombolan lelaki kekar dan berotot dari dalam rumah sambil membawa senjata berbeda mengelilingin Ki Walang dan Bimantara. Kelima gadis yang disandera mereka tampak tenang dan berharap kedua pendekar berpenutup wajah itu bisa menyelamatkan mereka.“Bebaskan para gadis itu! Kalau tidak semuanya yang ada di sini akan mati!” ancam Ki Walang.Mendadak Bimantara gemetar. Ini adalah pertarungan pertamanya menumpas kejahatan. Panglima Cakara tertawa di hadapan mereka.“Jangan terlalu percaya diri! Justru kalian berdua lah yang menyerahkan nyawa ke sini!” teriak Panglima Cakara dengan amarah.Bimantara semakin gemetar mendengarnya. Tiba-tiba pikirannya kemana-mana. “Bagaimana jika aku tidak berhasil mengalahkan mereka? Apak
Ki Walang mamandangi wajah Kepala Wilayah sambil berpikir untuk bisa lolos dari kepungan mereka. Bimantara dilihatnya masih terduduk lemah tak berdaya. Kalau dia tidak sigap untuk keluar dari kepungan itu, maka nyawa Bimantara akan sulit diselamatkan. Lalu dengan sigap Ki Walang menarik tangan Bimantara lalu membawanya melompat menuju batang pohon. Tiba-tiba sebuah jaring dilempar oleh Kepala Wilayah ke atas hingga Ki Walang tak mampu meraih dahan. Ki Walang dan Bimantara pun jatuh ke atas tanah. Mereka terjebak dalam jaring itu. Kini Ki Walang dan Bimantara tak bisa lagi meloloskan diri.Kepala Wilayah tertawa, “Kau kira aku tidak memikirkan bagaimana cara menangkap para ninja?”Bimantara semakin lemah. Dia pun tak percaya kalau nasibnya dan Ki Walang akan seperti itu.“Bawa mereka ke padepokan!” teriak Kepala Wilayah pada para prajuritnya.Para prajurit itu pun mendekat ke Ki Walang dan Bimantara yang masih terjebak di dalam jari
Dahayu berdiri menatap jendela kamarnya yang terbuka. Di atas sana langit menunjukkan bintang dan rembulannya. Bayangannya akan masa kecilnya bersama Bimantara tiba-tiba berdatangan. Saat itu memeraka sedang bermain di halaman rumah Dahayu yang sederhana. Dua boneka dari jerami di tangan masing masing.“Ayah pergi dulu mencari umbi ya, istriku,” ucap Bimantara kecil sambil menggerakkan boneka jeraminya pada boneka jerami perempuan di tangan Dahayu.“Iya, suamiku! Bawa umbi yang banyak untukku,” ucap Dahayu.Bimantara pun menggerakkan bonekanya seolah pergi menjauh dari boneka Dahayu.“Cepat pulang, Suamiku! Jangan pulang kemalaman!” teriak Dahayu.Dahayu menunduk mengingat itu. Tak lama kemudian terdengar pintu kamarnya diketuk. Dahayu bergegas membukanya. Dia terkejut ketika mendapati Sanum dan Welas sudah berdiri di ambang pintu.“Kau belum tidur?” tanya Sanum.Dahayu menggeleng. Sanum