Ki Walang mamandangi wajah Kepala Wilayah sambil berpikir untuk bisa lolos dari kepungan mereka. Bimantara dilihatnya masih terduduk lemah tak berdaya. Kalau dia tidak sigap untuk keluar dari kepungan itu, maka nyawa Bimantara akan sulit diselamatkan. Lalu dengan sigap Ki Walang menarik tangan Bimantara lalu membawanya melompat menuju batang pohon. Tiba-tiba sebuah jaring dilempar oleh Kepala Wilayah ke atas hingga Ki Walang tak mampu meraih dahan. Ki Walang dan Bimantara pun jatuh ke atas tanah. Mereka terjebak dalam jaring itu. Kini Ki Walang dan Bimantara tak bisa lagi meloloskan diri.
Kepala Wilayah tertawa, “Kau kira aku tidak memikirkan bagaimana cara menangkap para ninja?”
Bimantara semakin lemah. Dia pun tak percaya kalau nasibnya dan Ki Walang akan seperti itu.
“Bawa mereka ke padepokan!” teriak Kepala Wilayah pada para prajuritnya.
Para prajurit itu pun mendekat ke Ki Walang dan Bimantara yang masih terjebak di dalam jari
Dahayu berdiri menatap jendela kamarnya yang terbuka. Di atas sana langit menunjukkan bintang dan rembulannya. Bayangannya akan masa kecilnya bersama Bimantara tiba-tiba berdatangan. Saat itu memeraka sedang bermain di halaman rumah Dahayu yang sederhana. Dua boneka dari jerami di tangan masing masing.“Ayah pergi dulu mencari umbi ya, istriku,” ucap Bimantara kecil sambil menggerakkan boneka jeraminya pada boneka jerami perempuan di tangan Dahayu.“Iya, suamiku! Bawa umbi yang banyak untukku,” ucap Dahayu.Bimantara pun menggerakkan bonekanya seolah pergi menjauh dari boneka Dahayu.“Cepat pulang, Suamiku! Jangan pulang kemalaman!” teriak Dahayu.Dahayu menunduk mengingat itu. Tak lama kemudian terdengar pintu kamarnya diketuk. Dahayu bergegas membukanya. Dia terkejut ketika mendapati Sanum dan Welas sudah berdiri di ambang pintu.“Kau belum tidur?” tanya Sanum.Dahayu menggeleng. Sanum
“Itu salah satu ilmu yang aku berikan pada Bimantara,” jawab Ki Walang jujur pada Kakek Sangkala.Kakek Sangkala terharu mendengar jawabannya. “Apakah itu ilmu cahaya kaki naga?” tanya Kakek Sangkala mencoba menerka.Ki Walang dan Bimantara terkejut mendengarnya. “Kakek tahu itu?” tanya Bimantara heran.Kakek Sangkala menatap Ki Walang dengan haru. Kemudian dia memeluknya erat sambil meneteskan air mata. “Terima kasih, Pendekar! Terima kasih telah menurunkan ilmu itu pada cucuku! Sejak Bimantara kecil, aku mengembara mencari seorang guru untuknya agar bisa mengajarkan ilmu itu padanya, namun sampai ke utara aku mencarinya, aku tidak menemukannya,” isak Sangkala.Bimantara yang mendengarnya tampak haru. Dia tak menyangka kakeknya ternyata memikirkan dirinya selama ini.“Sudah, ini memang pantas untuk Bimantara. Sekarang kita harus menggali peti itu sebelum subuh datang dan orang-orang melihat kam
Panglima Cakara memecut kudanya yang tengah menanjak ke atas bukit. Malam itu kabut menutupi hutan. Panglima Cakara menuntun kudanya untuk melewati jalanan setapak yang menanjak ke atas. Tak lama kemudian, Panglima Cakara tiba di halaman luas. Ratusan pendekar berpakaian hitam dan memakai ikat kepala keluar dari bangunan tua lalu berbaris rapi di hadapannya. Salah satu dari mereka maju ke hadapan. Dialah Gajendra, kepala Perguruan Tengkorak yang paling ditakuti seantero Nusantra.“Ada apa gerangan dikau kemari, Panglima?” tanyanya dengan tatapan curiga. Sementara ratusan pendekar lain di belakangnya bersiap dengan senjata masing-masing.Panglima Cakara turun dari kudanya lalu berdiri tepat di hadapan Gajendra. “Aku kembali datang untuk menawarkan kembali yang dulu pernah aku tawarkan pada kalian,” jawab Panglima Cakara dengan tatapan ramah.“Kami tidak ingin lagi berurusan dengan kerajaan!” tegas Gajendra.“Kalian
Adji Darma berdiri dengan geram di hadapan Bimantara dan Pangeran Sakai di ruangannya.“Ada apa dengan kalian berdua?” tanya Adji Darma heran.“Dia telah memperkosa Dahayu, Tuan Guru Besar…”“Tidak!” potong Pangeran Sakai, “Ini salah paham, Tuan Guru Besar. Itu tidak benar. Saya sengaja memancing kemarahan Bimantara agar saya bisa memastikan apakah benar angin puting beliung yang kerap datang ke Perguruan itu adalah akibat dari ilmu hitamnya.”Adji Darma terbelalak mendengarnya. Bimantara pun terkejut.“Dari mana kau tahu soal itu?” tanya Adji Darma penasaran pada Pangeran.“Adik saya mati di tangan para penganut aliran ilmu hitam itu, Tuan Guru Besar. Saya tidak bisa membiarkan jika benar ada murid yang menganut aliran hitam dari Perguruan Tengkorak di perguruan ini,” jawab Pangeran Sakai.Bimantara diam saja. Dia lega karena cahaya merah itu sudah dikemba
Bimantara datang ke dalam gua. Ki Walang duduk di atas batu sambil tersenyum melihatnya.“Bagaimana perkelahiannya?” tanya Ki Walang sambil tertawa.Bimantara terkejut mendengarnya. Dia kira Ki Walang tidak mengetahui soal itu, karena dia tidak ada saat pertarungan itu terjadi.“Maafkan aku, Tuan Guru. Tadi aku tak bisa menahan emosiku,” ucap Bimantara merasa bersalah.Ki Walang tertawa. “Aku sudah tahu sejak awal. Aku sudah tahu Pangeran Sakai sengaja membuat makar, tapi karena aku tahu kalau itu bisa membuat semua orang di perguruan percaya bahwa ilmu pedang cahaya merah itu tidak ada padamu, jadi aku diamkan saja,” ucap Ki Walang.Bimantara lega mendengarnya. Dia kira mendatanginya di sana akan membuat Ki Walang marah padanya.“Sekarang lempar tongkatmu dan mari kita mulai berlatih tingkatan ke dua,” pinta Ki Walang.“Baik, Tuan Guru,” ucap Bimantara sambil meletakkan tong
Kakek Sangakala berada di atas pohon, bertahan di dahan sambil memeluk pohonnya dengan ketakutan. Di bawahnya ada tiga harimau yang sedang berkeliaran di halaman gubuk tuanya.“Pergi kalian dari sini! Kembalilah ke tempat kalian! Jangan ganggu aku!” teriak Kakek Sangkala pada ketiga harimau itu.Namun ketiga harimau itu tampak jinak. Satu sedang duduk di atas bale. Duanya sedang menjilati bulu masing-masing. Kakek Sangkala bingung, dari mana asal ketiga harimau itu? Kenapa mereka datang ke gubuknya?Tak lama kemudian sebuah anak panah melesat lalu tertancap ke batang pohon di dekat Kakek Sangkala. Kakek Sangkala terkejut. Siapa yang melesatkan anak panah itu? Namun saat dia melihat ada gulungan kain yang meletak pada anak panah itu, dia langsung mencabutnya dan mengambil gulungan kain itu. Ketika dibuka, Kakek Sangkala ternyata itu sebuah surat dari Ki Walang. Surat berisi bahwa Ki Walang sengaja mengirimkan tiga harimau untuk membantunya menja
Raja Banggala duduk di atas singgasana yang disedikan Perguruan Matahari di sebuah ruangan – khusus untuk penyambutan para Raja dan pembesar istana jika berkunjung ke Perguruan Matahari. Di sana sudah ada Adji Darma dan para Guru Utama – termasuk Ki Walang. Beberapa pelayan tampak menyajikan jamuan dadakan. “Ampun, yang Mulia. Karena kedatangan yang Mulia mendadak, jadi jamuannya sederhana,” ucap Adji Darma merasa tidak enak. “Tidak apa-apa. Sebenarnya tujuan saya ke sini karena ada rumor dari kerajaan Nusantara Timur dan Tengah, katanya saat ini sebuah pusaka milik Perguruan Tengkorak telah dimiliki oleh salah satu pendekar yang berada di sini,” ucap Raja Banggala dengan ramah. Adji Darma terkejut mendengarnya. Ki Walang tak kalah terkejutnya. “Ampun, yang Mulia. Siapa yang mengatakan rumor itu pada istana?” tanya Adji Darma dengan heran. “Raja dari kerajaan Nusantara Timur,” jawab Raja Banggala. Semua terkejut mendengarnya. Ki Walang
“Saya tidak tahu apa-apa! Akhir-akhir ini saya sibuk mengajari murid saya!” jawab Ki Walang dengan tegas. “Kenapa kau harus membawa Bimantara ke pulau rahasia?” tanya Pendekar Pedang Emas tiba-tiba. Ki Walang terkejut mendengarnya. Dia heran dari mana Pendekar Pedang Emas tahu itu? Adji Darma pun terkejut mendengarnya. “Saya memang membebaskan para guru untuk membawa murid keluar dari Perguruan, dengan syarat untuk kepentingan perguruan,” ucap Adji Darma, “Akan tetapi pergi ke pulau rahasia membawa murid itu tidak dibenarkan!” tegas Adji Darma. Ki Walang tampak kebingungan untuk menjawabnya. Pendekar Pedang Emas tampak puas sudah behasil membongkar sedikit rahasianya. “Ampun, Tuan Guru Besar,” ucap Ki Walang. “Saya mengajak Bimantara ke pulau rahasia untuk melatih kekuatan tangannya. Hanya itu yang bisa Bimantara andalkan karena kecacatannya. Dengan mendayung ke pulau itu, dia berlatih menumbuhkan otot-ototnya agar semakin kuat,” jawab Ki Wala