Adji Darma berdiri dengan geram di hadapan Bimantara dan Pangeran Sakai di ruangannya.
“Ada apa dengan kalian berdua?” tanya Adji Darma heran.
“Dia telah memperkosa Dahayu, Tuan Guru Besar…”
“Tidak!” potong Pangeran Sakai, “Ini salah paham, Tuan Guru Besar. Itu tidak benar. Saya sengaja memancing kemarahan Bimantara agar saya bisa memastikan apakah benar angin puting beliung yang kerap datang ke Perguruan itu adalah akibat dari ilmu hitamnya.”
Adji Darma terbelalak mendengarnya. Bimantara pun terkejut.
“Dari mana kau tahu soal itu?” tanya Adji Darma penasaran pada Pangeran.
“Adik saya mati di tangan para penganut aliran ilmu hitam itu, Tuan Guru Besar. Saya tidak bisa membiarkan jika benar ada murid yang menganut aliran hitam dari Perguruan Tengkorak di perguruan ini,” jawab Pangeran Sakai.
Bimantara diam saja. Dia lega karena cahaya merah itu sudah dikemba
Bimantara datang ke dalam gua. Ki Walang duduk di atas batu sambil tersenyum melihatnya.“Bagaimana perkelahiannya?” tanya Ki Walang sambil tertawa.Bimantara terkejut mendengarnya. Dia kira Ki Walang tidak mengetahui soal itu, karena dia tidak ada saat pertarungan itu terjadi.“Maafkan aku, Tuan Guru. Tadi aku tak bisa menahan emosiku,” ucap Bimantara merasa bersalah.Ki Walang tertawa. “Aku sudah tahu sejak awal. Aku sudah tahu Pangeran Sakai sengaja membuat makar, tapi karena aku tahu kalau itu bisa membuat semua orang di perguruan percaya bahwa ilmu pedang cahaya merah itu tidak ada padamu, jadi aku diamkan saja,” ucap Ki Walang.Bimantara lega mendengarnya. Dia kira mendatanginya di sana akan membuat Ki Walang marah padanya.“Sekarang lempar tongkatmu dan mari kita mulai berlatih tingkatan ke dua,” pinta Ki Walang.“Baik, Tuan Guru,” ucap Bimantara sambil meletakkan tong
Kakek Sangakala berada di atas pohon, bertahan di dahan sambil memeluk pohonnya dengan ketakutan. Di bawahnya ada tiga harimau yang sedang berkeliaran di halaman gubuk tuanya.“Pergi kalian dari sini! Kembalilah ke tempat kalian! Jangan ganggu aku!” teriak Kakek Sangkala pada ketiga harimau itu.Namun ketiga harimau itu tampak jinak. Satu sedang duduk di atas bale. Duanya sedang menjilati bulu masing-masing. Kakek Sangkala bingung, dari mana asal ketiga harimau itu? Kenapa mereka datang ke gubuknya?Tak lama kemudian sebuah anak panah melesat lalu tertancap ke batang pohon di dekat Kakek Sangkala. Kakek Sangkala terkejut. Siapa yang melesatkan anak panah itu? Namun saat dia melihat ada gulungan kain yang meletak pada anak panah itu, dia langsung mencabutnya dan mengambil gulungan kain itu. Ketika dibuka, Kakek Sangkala ternyata itu sebuah surat dari Ki Walang. Surat berisi bahwa Ki Walang sengaja mengirimkan tiga harimau untuk membantunya menja
Raja Banggala duduk di atas singgasana yang disedikan Perguruan Matahari di sebuah ruangan – khusus untuk penyambutan para Raja dan pembesar istana jika berkunjung ke Perguruan Matahari. Di sana sudah ada Adji Darma dan para Guru Utama – termasuk Ki Walang. Beberapa pelayan tampak menyajikan jamuan dadakan. “Ampun, yang Mulia. Karena kedatangan yang Mulia mendadak, jadi jamuannya sederhana,” ucap Adji Darma merasa tidak enak. “Tidak apa-apa. Sebenarnya tujuan saya ke sini karena ada rumor dari kerajaan Nusantara Timur dan Tengah, katanya saat ini sebuah pusaka milik Perguruan Tengkorak telah dimiliki oleh salah satu pendekar yang berada di sini,” ucap Raja Banggala dengan ramah. Adji Darma terkejut mendengarnya. Ki Walang tak kalah terkejutnya. “Ampun, yang Mulia. Siapa yang mengatakan rumor itu pada istana?” tanya Adji Darma dengan heran. “Raja dari kerajaan Nusantara Timur,” jawab Raja Banggala. Semua terkejut mendengarnya. Ki Walang
“Saya tidak tahu apa-apa! Akhir-akhir ini saya sibuk mengajari murid saya!” jawab Ki Walang dengan tegas. “Kenapa kau harus membawa Bimantara ke pulau rahasia?” tanya Pendekar Pedang Emas tiba-tiba. Ki Walang terkejut mendengarnya. Dia heran dari mana Pendekar Pedang Emas tahu itu? Adji Darma pun terkejut mendengarnya. “Saya memang membebaskan para guru untuk membawa murid keluar dari Perguruan, dengan syarat untuk kepentingan perguruan,” ucap Adji Darma, “Akan tetapi pergi ke pulau rahasia membawa murid itu tidak dibenarkan!” tegas Adji Darma. Ki Walang tampak kebingungan untuk menjawabnya. Pendekar Pedang Emas tampak puas sudah behasil membongkar sedikit rahasianya. “Ampun, Tuan Guru Besar,” ucap Ki Walang. “Saya mengajak Bimantara ke pulau rahasia untuk melatih kekuatan tangannya. Hanya itu yang bisa Bimantara andalkan karena kecacatannya. Dengan mendayung ke pulau itu, dia berlatih menumbuhkan otot-ototnya agar semakin kuat,” jawab Ki Wala
“Surat dari siapa, Bimantara?” tanya Kancil heran dan penasaran.Bimantara ragu untuk memberitahukannya atau tidak pada Kancil.“Aku harus menemui guruku sekarang, Kancil,” ucap Bimantara lalu langsung pergi dari sana dengan tongkatnya. Dia tidak ingin membahas itu saat ini kepada Kancil.Kancil menyimpan rasa penasarannya lalu akhirnya bergegas pergi ke asramanya.Ki Walang sedang duduk sambil berpikir di dalam gua, saat Bimantara datang padanya.“Tuan, Guru,” panggil Bimantara.Ki Walang menoleh padanya. “Ada apa?”“Tadi aku kedatangan merpati, ia menjatuhkan sebuah surat untukku, Tuan Guru,” ucap Bimantara sambil mengulurkan selembar kain kecil itu pada Ki Walang.Ki Walang meraihnya dengan heran. Saat dia membacanya, dia terbelalak dan langsung curiga pada Pendekar Pedang Emas. Ya, sepertinya pendekar itu sedang menyimpan kecurigaan padanya. Ki Walang khawatir kala
Tepat tengah malam itu Ki Walang yang menggunakan pakaian ninja melompati pagar istana yang sangat tinggi itu. Dia mendarat dengan sempurna di atas tanah. Bagunan istana tampak sangat megah di hadapannya. Saat mendengar suara langkah prajurit yang berjaga, Ki Walang langsung melompat ke atas pohon dan bersembunyi di sana. Dia menunggu hingga para prajurit yang berjaga itu berlaru. Saat para parjurit itu menghilang dari pandangan matanya, Ki Walang melompat dari atas pohon ke atap istana lalu berjalan dengan hati-hati menelusuri atap itu.Ki Walang turun dari atap lalu mendarat tepat di dekat kediaman Raja Dwilaga. Matanya mengawasi sekitar, khawatir para prajurit penjaga melihatnya. Ki Walang berjalan pelan ke arah dinding kediaman Raja. Langkahnya terhenti saat mendengar suara batuk yang begitu keras di dalam sana. Ki Walang akhirnya mencoba mendengarkan suara batuk itu.Kini, suara Raja Dwilaga dan seorang tabib terdengar jelas di telinganya. Ki Walang pun mendengark
Ki walang membuka matanya. Dia terkejut saat melihat kaki dan tangannya sudah dirantai. Tubuhnya tampak lemas. Tak lama kemudian dia memuntahkan darah karena racun di dalam tubuhnya masih mengalir.“Di mana aku? Kenapa aku begini?” tanya Ki Walang dengan heran. Dia memandangi ruangan itu. Di hadapannya jeruri besi. Berdiri tiga prajurit menjaga di luar jeruji sambil memegang tombaknya masing-masing. Dia baru ingat saat mencuri dengar pembicaraan Pangeran Kantata dengan Panglima Cakara tadi ada anak panah yang menyerangnya. “Sepertinya aku terkena racun anak panah itu hingga tak sadarkan diri lalu di kurung di sini. Aku harus menyelamatkan diri,” ucap Ki Walang dengan lemah. Tak lama kemudian dia mencoba mengeluarkan tenaga dalamnya, namun rantai besi itu sangat kuat hingga tenaga dalamnya tak kuasa untuk melepaskannya.“Kau tak akan bisa lepas dari rantai itu,” teriak salah satu dari prajurit penjaga.Ki Walang pun akhirnya me
Ki Walang masih mengumpulkan tenanganya di dalam penjara bawah tanah itu. Tiga Prajurit masih berdiri di depan jeruji besi menjaganya.“Aku harus mengumpulkan semua tenagaku agar bisa melepas ikatan rantai ini,” ucap Ki Walang dalam hatinya. “Mungkin akan butuh beberapa hari agar tenaga dalamku terkumpul semua.”Tak lama kemudian Pangeran Kantata datang disambut penuh hormat oleh tiga prajurit itu. Ki Walang heran karena tidak melihat Panglima Cakara datang bersamanya.“Rupanya ini pengkhianat Perguruan Matahari,” ucap Pangeran Kantata sambil tersenyum pada Ki Walang.Ki Walang geram mendengarnya. “Kau yang berkhianat pada Kerajaan Nusantara!” teriak Ki Walang.Pangeran Kantata tertawa mendengarnya. “Bukan kah kau ke sini karena takut kamu mengetahui jati dirimu sesungguhnya, bahwa kau itu adalah perebut pedang perak bercahaya merah?” tanya Pangeran Kantata.“Aku tidak pernah