Tepat tengah malam itu Ki Walang yang menggunakan pakaian ninja melompati pagar istana yang sangat tinggi itu. Dia mendarat dengan sempurna di atas tanah. Bagunan istana tampak sangat megah di hadapannya. Saat mendengar suara langkah prajurit yang berjaga, Ki Walang langsung melompat ke atas pohon dan bersembunyi di sana. Dia menunggu hingga para prajurit yang berjaga itu berlaru. Saat para parjurit itu menghilang dari pandangan matanya, Ki Walang melompat dari atas pohon ke atap istana lalu berjalan dengan hati-hati menelusuri atap itu.
Ki Walang turun dari atap lalu mendarat tepat di dekat kediaman Raja Dwilaga. Matanya mengawasi sekitar, khawatir para prajurit penjaga melihatnya. Ki Walang berjalan pelan ke arah dinding kediaman Raja. Langkahnya terhenti saat mendengar suara batuk yang begitu keras di dalam sana. Ki Walang akhirnya mencoba mendengarkan suara batuk itu.
Kini, suara Raja Dwilaga dan seorang tabib terdengar jelas di telinganya. Ki Walang pun mendengark
Ki walang membuka matanya. Dia terkejut saat melihat kaki dan tangannya sudah dirantai. Tubuhnya tampak lemas. Tak lama kemudian dia memuntahkan darah karena racun di dalam tubuhnya masih mengalir.“Di mana aku? Kenapa aku begini?” tanya Ki Walang dengan heran. Dia memandangi ruangan itu. Di hadapannya jeruri besi. Berdiri tiga prajurit menjaga di luar jeruji sambil memegang tombaknya masing-masing. Dia baru ingat saat mencuri dengar pembicaraan Pangeran Kantata dengan Panglima Cakara tadi ada anak panah yang menyerangnya. “Sepertinya aku terkena racun anak panah itu hingga tak sadarkan diri lalu di kurung di sini. Aku harus menyelamatkan diri,” ucap Ki Walang dengan lemah. Tak lama kemudian dia mencoba mengeluarkan tenaga dalamnya, namun rantai besi itu sangat kuat hingga tenaga dalamnya tak kuasa untuk melepaskannya.“Kau tak akan bisa lepas dari rantai itu,” teriak salah satu dari prajurit penjaga.Ki Walang pun akhirnya me
Ki Walang masih mengumpulkan tenanganya di dalam penjara bawah tanah itu. Tiga Prajurit masih berdiri di depan jeruji besi menjaganya.“Aku harus mengumpulkan semua tenagaku agar bisa melepas ikatan rantai ini,” ucap Ki Walang dalam hatinya. “Mungkin akan butuh beberapa hari agar tenaga dalamku terkumpul semua.”Tak lama kemudian Pangeran Kantata datang disambut penuh hormat oleh tiga prajurit itu. Ki Walang heran karena tidak melihat Panglima Cakara datang bersamanya.“Rupanya ini pengkhianat Perguruan Matahari,” ucap Pangeran Kantata sambil tersenyum pada Ki Walang.Ki Walang geram mendengarnya. “Kau yang berkhianat pada Kerajaan Nusantara!” teriak Ki Walang.Pangeran Kantata tertawa mendengarnya. “Bukan kah kau ke sini karena takut kamu mengetahui jati dirimu sesungguhnya, bahwa kau itu adalah perebut pedang perak bercahaya merah?” tanya Pangeran Kantata.“Aku tidak pernah
Adji Darma dan Pendekar Tangan Besi berdiri dengan bingung di atas dermaga. Laut tampak tidak bersahabat di mata mereka. Ombaknya besar. Angin bertiup cukup kencang.“Sepertinya kita belum bisa menaiki kapal menuju pulau seberang, Tuan Guru Besar,” ucap Pendekar Tangan Besi padanya.“Ya, kita harus menunggu hingga ombak kembali tenang,” sahut Adji Darma.“Apakah Tuan Guru Besar tahu kemana kita harus mencari Ki Walang?” tanya Pendekar Tangan Besi dengan bingung.“Jika benar kematian Bimantara karena ulah Ki Walang, dia pasti sedang berada di tempat persembunyian Perguruan Tengkorak,” jawab Adji Darma.Pendekar Tangan Besi terkejut mendengarnya. “Kita harus mencari persembunyi Perguruan Tengkorak?”“Iya, kita harus cari sampai ketemu. Aku tidak bisa membiarkan siapapun yang berkhianat pada perguruan matahari untuk hidup!” tegas Adji Darma.Pendekar Tangan Besi terd
Bimantara heran, kaki cahaya naganya belum menyala. Pemimpin Kawanan itu langsung menyerangnya dengan pedang di tangannya. Bimantara pun menggunakan tongkatnya untuk menangkisnya. Di saat seperti itu, ajaran Kakek Sangkala dahulu yang memintanya untuk menyatu dengan tongkatnya baru berguna. Dengan cepat, Bimantara mampu menangkis pedang itu dengan tongkatnya. Saat pedang Pemimpin Kawanan itu hendak menebas kaki Bimantara, Bimantara berhasil menghindarinya dengan melompat ke atas lalu dengan berputar dan menendang kepala Pimpinan Kawanannya itu. Pimpinan Kawanan itu rubuh ke atas tanah dengan geram. Para pasukannya hendak maju.“Biar aku sendiri yang menghadapinya!” tegas Pemimpin Kawanan itu sambil bangkit dan menunjukkan wajah kesalnya pada Bimantara yang sudah berdiri di atas tanah dengan tongkatnya.“Lepaskan para gadis itu!” teriak Bimantara sekali lagi.Para gadis di dalam kereta yang terikat itu tampak heran dan penasaran dengan Bim
Kuda itu berpacu dengan gagahnya. Bimantara menungangginya dengan penuh semangat. Dia melewati sebuah pedesaan yang baru dilihatnya. Rumah-rumah sederhana dari bilik bambu dan beratapkan jerami tampak indah di matanya. Di ujung desa, ada sebuah pasar dan setelah pasar itulah adalah sebuah gerbang pertama istana berdiri dengan tinggi. Gerbang istana pertama itu dijaga ketat oleh para prajurit terbaik di kerajaan Nusantara Timur.Bimantara menghentikan kudanya di sebuah rumah makan yang dipenuhi penduduk di area pasar. Dia turun dari kuda lalu mengikatnya di salah satu tiang. Orang-orang yang sedang sibuk makan dan di minum di rumah makan itu tampak heran melihat kedatangan Bimantara yang pincang. Mereka baru pertama kali melihat wajah Bimantara.Bimantara mendekat ke pelayan perempuan remaja yang seumuran dengan Dahayu.“Tolong beri aku makan,” pinta Bimantara.“Apakah mau ditambah dengan arak?” tawar perempuan remaja itu pada
Bimantara dipecut dengan kuat menuju sebuah penjara yang tak jauh di hadapannya.“Ayo buruan! Dasar pencuri!” teriak prajurit itu dengan raut bringasnya.Bimantara masih berjalan dengan mengesot sambil menahan sakit di punggungnya. Mungkin sekarang punggungnya sudah dipenuhi darah. Dia tidak peduli.“Ayo cepat!” teriak Prajurit itu lagi.Bimantara berhenti mengesot saat melihat di balik jeruji besi di hadapannya dia melihat Ki Walang sedang terikat dengan rantai besi. Dahinya dipenuhi luka. Bimantara langsung menangis melihatnya.“Guruuu! Guruuu!” teriak Bimantara.Ki Walang terbangun dari tidurnya. Dia terbelalak saat melihat Bimantara berada di hadapannya.“Bimantara?” ucapnya lemah tak percaya.Prajurit itupun membuka pintu penjara itu lalu mendorong tubuh Bimantara dengan paksa ke dalamnya lalu kembali menguncinya. Para Prajurit penjaga di depan penjara itu langsung pergi dari
Dua puluh prajurit itu langsung menyerang Ki Walang dan Bimantara dengan berbagaimacam senjata. Ki Walang yang sudah mengumpulkan tenaga dalamnya kembali mampu menumpas satu persatu prajurit itu, begitupun Bimantara, dengan semangat membaranya dia gunakan berbagai jurus tendangan seribu, hingga satu persatu para prajurit tumbang di tangannya.Ki tersisa dua prajurit lagi. Mereka berdiri dengan gemetar di hadapan Ki Walang dan Bimantara. Ki Walang menoleh ke arah Bimantara sambil mengedipkan mata. Bimantara mengangguk. Keduanya langsung menyerang dua prajurit itu hingga keduanya terlepar ke didinding ruangan penjara lalu terjatuh ke atas lantai dengan lemas.“Bagus! Jurus itu memang telah menyatu denganmu, Bimantara! Sekarang kita harus keluar dari ruangan ini,” pinta Ki Walang padanya.“Siap, Guru!”Bimantara dan Ki Walang pun keluar dari ruangan itu, namun saat mereka keluar, ratusan prajurit sudah menghadang di depan penjara. Ki
Bimantara terbangun saat cahaya matahari sudah bersinar. Dia menoleh pada Ki Walang yang masih tertidur lelap sambil memeluk pedang perak yang dibungkus dengan kain. Bimantara duduk lalu terkejut ketika mendapati merpati berputar-putar di atasnya. Tak lama kemudian merpati itu menjatuhkan gulungan kain kecil tepat di hadapannya. Bimantara langsung meraih gulungan kain itu. Dia terkejut ketika gulungan kain itu berisi sebuah surat dari Dahayu. Bimantara pun membacanya dengan hati-hati.Teruntuk Bimantara, Pendekar Kaki Satu di Nirwana.“Nirwana?” tanya Bimantara dalam hatinya dengan heran. Dia pun kembali menelusuri kata-kata dari Dahayu.Hari ini langit mendung. Hujan tiada henti membasahi Perguruan Matahari. Ombak laut kian besar dan angin berembus kencang sejak kepergianmu.“Kepergianku?” tanya Bimantara dalam hatinya semakin heran.Aku sengaja menulis surat ini dan berencana untuk mengirimkannya pada