Bimantara heran, kaki cahaya naganya belum menyala. Pemimpin Kawanan itu langsung menyerangnya dengan pedang di tangannya. Bimantara pun menggunakan tongkatnya untuk menangkisnya. Di saat seperti itu, ajaran Kakek Sangkala dahulu yang memintanya untuk menyatu dengan tongkatnya baru berguna. Dengan cepat, Bimantara mampu menangkis pedang itu dengan tongkatnya. Saat pedang Pemimpin Kawanan itu hendak menebas kaki Bimantara, Bimantara berhasil menghindarinya dengan melompat ke atas lalu dengan berputar dan menendang kepala Pimpinan Kawanannya itu. Pimpinan Kawanan itu rubuh ke atas tanah dengan geram. Para pasukannya hendak maju.
“Biar aku sendiri yang menghadapinya!” tegas Pemimpin Kawanan itu sambil bangkit dan menunjukkan wajah kesalnya pada Bimantara yang sudah berdiri di atas tanah dengan tongkatnya.
“Lepaskan para gadis itu!” teriak Bimantara sekali lagi.
Para gadis di dalam kereta yang terikat itu tampak heran dan penasaran dengan Bim
Kuda itu berpacu dengan gagahnya. Bimantara menungangginya dengan penuh semangat. Dia melewati sebuah pedesaan yang baru dilihatnya. Rumah-rumah sederhana dari bilik bambu dan beratapkan jerami tampak indah di matanya. Di ujung desa, ada sebuah pasar dan setelah pasar itulah adalah sebuah gerbang pertama istana berdiri dengan tinggi. Gerbang istana pertama itu dijaga ketat oleh para prajurit terbaik di kerajaan Nusantara Timur.Bimantara menghentikan kudanya di sebuah rumah makan yang dipenuhi penduduk di area pasar. Dia turun dari kuda lalu mengikatnya di salah satu tiang. Orang-orang yang sedang sibuk makan dan di minum di rumah makan itu tampak heran melihat kedatangan Bimantara yang pincang. Mereka baru pertama kali melihat wajah Bimantara.Bimantara mendekat ke pelayan perempuan remaja yang seumuran dengan Dahayu.“Tolong beri aku makan,” pinta Bimantara.“Apakah mau ditambah dengan arak?” tawar perempuan remaja itu pada
Bimantara dipecut dengan kuat menuju sebuah penjara yang tak jauh di hadapannya.“Ayo buruan! Dasar pencuri!” teriak prajurit itu dengan raut bringasnya.Bimantara masih berjalan dengan mengesot sambil menahan sakit di punggungnya. Mungkin sekarang punggungnya sudah dipenuhi darah. Dia tidak peduli.“Ayo cepat!” teriak Prajurit itu lagi.Bimantara berhenti mengesot saat melihat di balik jeruji besi di hadapannya dia melihat Ki Walang sedang terikat dengan rantai besi. Dahinya dipenuhi luka. Bimantara langsung menangis melihatnya.“Guruuu! Guruuu!” teriak Bimantara.Ki Walang terbangun dari tidurnya. Dia terbelalak saat melihat Bimantara berada di hadapannya.“Bimantara?” ucapnya lemah tak percaya.Prajurit itupun membuka pintu penjara itu lalu mendorong tubuh Bimantara dengan paksa ke dalamnya lalu kembali menguncinya. Para Prajurit penjaga di depan penjara itu langsung pergi dari
Dua puluh prajurit itu langsung menyerang Ki Walang dan Bimantara dengan berbagaimacam senjata. Ki Walang yang sudah mengumpulkan tenaga dalamnya kembali mampu menumpas satu persatu prajurit itu, begitupun Bimantara, dengan semangat membaranya dia gunakan berbagai jurus tendangan seribu, hingga satu persatu para prajurit tumbang di tangannya.Ki tersisa dua prajurit lagi. Mereka berdiri dengan gemetar di hadapan Ki Walang dan Bimantara. Ki Walang menoleh ke arah Bimantara sambil mengedipkan mata. Bimantara mengangguk. Keduanya langsung menyerang dua prajurit itu hingga keduanya terlepar ke didinding ruangan penjara lalu terjatuh ke atas lantai dengan lemas.“Bagus! Jurus itu memang telah menyatu denganmu, Bimantara! Sekarang kita harus keluar dari ruangan ini,” pinta Ki Walang padanya.“Siap, Guru!”Bimantara dan Ki Walang pun keluar dari ruangan itu, namun saat mereka keluar, ratusan prajurit sudah menghadang di depan penjara. Ki
Bimantara terbangun saat cahaya matahari sudah bersinar. Dia menoleh pada Ki Walang yang masih tertidur lelap sambil memeluk pedang perak yang dibungkus dengan kain. Bimantara duduk lalu terkejut ketika mendapati merpati berputar-putar di atasnya. Tak lama kemudian merpati itu menjatuhkan gulungan kain kecil tepat di hadapannya. Bimantara langsung meraih gulungan kain itu. Dia terkejut ketika gulungan kain itu berisi sebuah surat dari Dahayu. Bimantara pun membacanya dengan hati-hati.Teruntuk Bimantara, Pendekar Kaki Satu di Nirwana.“Nirwana?” tanya Bimantara dalam hatinya dengan heran. Dia pun kembali menelusuri kata-kata dari Dahayu.Hari ini langit mendung. Hujan tiada henti membasahi Perguruan Matahari. Ombak laut kian besar dan angin berembus kencang sejak kepergianmu.“Kepergianku?” tanya Bimantara dalam hatinya semakin heran.Aku sengaja menulis surat ini dan berencana untuk mengirimkannya pada
“Para pendekar terbaik di negeri ini pasti sedang mencariku, Bimantara,” ucap Ki Walang. “Mereka tergiur dengan 1000 koin emas itu. Tak peduli dengan benar tidaknya tuduhan istana padaku. Sekarang kita harus menyembunyikan Pedang Perak Cahaya Merah ini di tempat yang aman. Kau juga harus mengembalikan energi cahaya merah itu ke dalam pedang. Setelah itu kita kembali ke Perguruan.”“Kemana kita harus menyembunyikannya, Tuan Guru?” tanya Bimantara penasaran.“Kita akan pergi ke Mata Air Abadi,” jawab Ki Walang.“Mata Air Abadi?”“Iya, terletak di lereng sebuah gunung. Jaraknya cukup jauh dari sini. Kita harus menempuhnya dengan berjalan kaki, agar tenaga dalam kita tidak terkuras habis. Jika di tengah jalan kita bertemu dengan para pencariku, kita tak akan kesusahan untuk melawan mereka karena tenaga dalam kita tidak terkuras karena perjalanan,” jawab Ki Walang.“Baik, Tuan
Pendekar Tangan Besi datang menghadap Adji Darma. “Ada apa Tuan Guru Besar memanggil saya?” tanyanya heran.“Perguruan Matahari sedang terancam,” jawab Adji Darma.Pendekar Tangan Besi terkejut mendengarnya. “Maksudnya, Tuan Guru Besar?”“Ternyata kekacauan ini disebabkan oleh Panglima Cakara dan Yang Mulia Raja,” jawab Adji Darma. “Panglima Cakara ke sini untuk menyampaikan amanat Yang Mulia Raja untuk menghancurkan Perguruan Matahari. Katanya Ki Walang sedang dikurung dalam penjara istana.”Pendekar Tangan Besi terkejut mendengarnya. “Pendekar Tendangan Seribu dikurung di dalam penjara istana?”“Iya. Panglima Cakara mengancamku. Kalau aku tidak mau menuruti siasat Yang Mulia Raja, katanya aku akan bernasib sama seperti Ki Walang,” jawab Adji Darma.Pendekar Tangan Besi heran, “Aku rasa tidak mungkin jika Yang Mulia Raja menginginkan hal ini? Aku yakin
Pangeran Sakai duduk di dalam kereka kencana sambil memandangi hutan di kiri dan kanan jalanan. Panglima Cakara memacukan kudannya paling depan, diiringi beberapa kuda yang ditungganggi prajurit. Di belakang kereta kencana ada puluhan prajurit mengiringi dengan kuda masing-masing. Panglima Cakara memacukan kudanya, mencari tempat yang jauh dari penduduk untuk melancarkan aksinya membunuh Pangeran Sakai. Namun saat mereka memasuki kawasan hutan yang jauh dari kediaman penduduk, di hadapan tiba-tiba datang pasukan baru dari kerajaan Nusantara timur. Pasukan itu terdiri dari pejabat istana dan para prajuritnya.Dua pasukan itu berhenti saling menghadap. Panglima Cakara heran, kenapa mereka datang? Padahal dia telah menemukan tempat terbaik untuk membunuh Pangeran Sakai. Panglima Cakara pun turun dari kudanya lalu mendekati pejabat istana yang masih berada di atas kudanya.“Hendak kemana kalian?” tanya Panglima Cakara dengan heran.“Kami diperintah
Bimantara bertarung menghadapi keenam pendekar yang tersisa itu. Berkali-kali Bimantara terkena serangan mereka. Namun Bimantara masih kuat menghadapi mereka. Dia tidak menyerah. Ki Walang pun turun tangan membantu Bimantara. Satu persatu dari pendekar itu terkena serangan Ki Walang dan Bimantara. Karena merasa sudah tidak bisa mengalahkan mereka, keenam pendekar itu langsung kabur dari sana.Bimantara hendak mengejar mereka, Ki Walang menarik tangannya.“Biarkan mereka pergi,” pinta Ki Walang.“Kenapa Tuan Guru? Kita harus membasmi mereka semua!” tanya Bimantara heran.“Tak perlu!” jawab Ki Walang.“Baik, Tuan Guru,” ucap Bimantara.Kini, Ki Walang dan Bimantara mengatur napas untuk mengembalikan tenaga yang sudah terkuras. Bimantara menoleh pada Ki Walang dengan lega melihatnya selamat dari serangan para pendekar itu.“Bagaimana jurus-jurus yang aku keluarkan tadi, Tuan Guru?&rdq