Bimantara terbangun saat cahaya matahari sudah bersinar. Dia menoleh pada Ki Walang yang masih tertidur lelap sambil memeluk pedang perak yang dibungkus dengan kain. Bimantara duduk lalu terkejut ketika mendapati merpati berputar-putar di atasnya. Tak lama kemudian merpati itu menjatuhkan gulungan kain kecil tepat di hadapannya. Bimantara langsung meraih gulungan kain itu. Dia terkejut ketika gulungan kain itu berisi sebuah surat dari Dahayu. Bimantara pun membacanya dengan hati-hati.
Teruntuk Bimantara, Pendekar Kaki Satu di Nirwana.
“Nirwana?” tanya Bimantara dalam hatinya dengan heran. Dia pun kembali menelusuri kata-kata dari Dahayu.
Hari ini langit mendung. Hujan tiada henti membasahi Perguruan Matahari. Ombak laut kian besar dan angin berembus kencang sejak kepergianmu.
“Kepergianku?” tanya Bimantara dalam hatinya semakin heran.
Aku sengaja menulis surat ini dan berencana untuk mengirimkannya pada
“Para pendekar terbaik di negeri ini pasti sedang mencariku, Bimantara,” ucap Ki Walang. “Mereka tergiur dengan 1000 koin emas itu. Tak peduli dengan benar tidaknya tuduhan istana padaku. Sekarang kita harus menyembunyikan Pedang Perak Cahaya Merah ini di tempat yang aman. Kau juga harus mengembalikan energi cahaya merah itu ke dalam pedang. Setelah itu kita kembali ke Perguruan.”“Kemana kita harus menyembunyikannya, Tuan Guru?” tanya Bimantara penasaran.“Kita akan pergi ke Mata Air Abadi,” jawab Ki Walang.“Mata Air Abadi?”“Iya, terletak di lereng sebuah gunung. Jaraknya cukup jauh dari sini. Kita harus menempuhnya dengan berjalan kaki, agar tenaga dalam kita tidak terkuras habis. Jika di tengah jalan kita bertemu dengan para pencariku, kita tak akan kesusahan untuk melawan mereka karena tenaga dalam kita tidak terkuras karena perjalanan,” jawab Ki Walang.“Baik, Tuan
Pendekar Tangan Besi datang menghadap Adji Darma. “Ada apa Tuan Guru Besar memanggil saya?” tanyanya heran.“Perguruan Matahari sedang terancam,” jawab Adji Darma.Pendekar Tangan Besi terkejut mendengarnya. “Maksudnya, Tuan Guru Besar?”“Ternyata kekacauan ini disebabkan oleh Panglima Cakara dan Yang Mulia Raja,” jawab Adji Darma. “Panglima Cakara ke sini untuk menyampaikan amanat Yang Mulia Raja untuk menghancurkan Perguruan Matahari. Katanya Ki Walang sedang dikurung dalam penjara istana.”Pendekar Tangan Besi terkejut mendengarnya. “Pendekar Tendangan Seribu dikurung di dalam penjara istana?”“Iya. Panglima Cakara mengancamku. Kalau aku tidak mau menuruti siasat Yang Mulia Raja, katanya aku akan bernasib sama seperti Ki Walang,” jawab Adji Darma.Pendekar Tangan Besi heran, “Aku rasa tidak mungkin jika Yang Mulia Raja menginginkan hal ini? Aku yakin
Pangeran Sakai duduk di dalam kereka kencana sambil memandangi hutan di kiri dan kanan jalanan. Panglima Cakara memacukan kudannya paling depan, diiringi beberapa kuda yang ditungganggi prajurit. Di belakang kereta kencana ada puluhan prajurit mengiringi dengan kuda masing-masing. Panglima Cakara memacukan kudanya, mencari tempat yang jauh dari penduduk untuk melancarkan aksinya membunuh Pangeran Sakai. Namun saat mereka memasuki kawasan hutan yang jauh dari kediaman penduduk, di hadapan tiba-tiba datang pasukan baru dari kerajaan Nusantara timur. Pasukan itu terdiri dari pejabat istana dan para prajuritnya.Dua pasukan itu berhenti saling menghadap. Panglima Cakara heran, kenapa mereka datang? Padahal dia telah menemukan tempat terbaik untuk membunuh Pangeran Sakai. Panglima Cakara pun turun dari kudanya lalu mendekati pejabat istana yang masih berada di atas kudanya.“Hendak kemana kalian?” tanya Panglima Cakara dengan heran.“Kami diperintah
Bimantara bertarung menghadapi keenam pendekar yang tersisa itu. Berkali-kali Bimantara terkena serangan mereka. Namun Bimantara masih kuat menghadapi mereka. Dia tidak menyerah. Ki Walang pun turun tangan membantu Bimantara. Satu persatu dari pendekar itu terkena serangan Ki Walang dan Bimantara. Karena merasa sudah tidak bisa mengalahkan mereka, keenam pendekar itu langsung kabur dari sana.Bimantara hendak mengejar mereka, Ki Walang menarik tangannya.“Biarkan mereka pergi,” pinta Ki Walang.“Kenapa Tuan Guru? Kita harus membasmi mereka semua!” tanya Bimantara heran.“Tak perlu!” jawab Ki Walang.“Baik, Tuan Guru,” ucap Bimantara.Kini, Ki Walang dan Bimantara mengatur napas untuk mengembalikan tenaga yang sudah terkuras. Bimantara menoleh pada Ki Walang dengan lega melihatnya selamat dari serangan para pendekar itu.“Bagaimana jurus-jurus yang aku keluarkan tadi, Tuan Guru?&rdq
Ki Walang dan Bimantara pun melompat melewati permukaan air lalu mendarat di sisi tebing tepat di dekat dasar air terjun yang menerbangkan embun. Mereka pun berjalan dengan hati-hati memasuki balik air terjun. Ketika mereka sudah tiba di dalam mulut gua yang menganga, Bimantara tercengang ternyata di balik air terjun itu terdapat gua.“Apakah ini pintu masuk kerajaan Peri itu, Tuan Guru?” tanya Bimantara penasaran.“Jangan dulu banyak bicara jika tidak ingin diganggu makhluk-makhluk penunggu gua ini,” pinta Ki Walang.“Maaf, Tuan Guru,” ucap Bimantara merasa bersalam.Ki Walang pun melangkah masuk ke dalam sana. Bimantara mengikutinya. Saat mereka menelusuri lubang gua yang gelap dan basah. Di atas mereka muncul kepala ular yang besar. Bimantara terkejut melihatnya. Ki Walang berhenti melangkah lalu menatap mata ular di hadapannya yang siap menerkamnya.“Pergilah! Kami ke sini untuk mengembalikan peda
Pasukan berkuda pejabat istana yang membawa Pangeran Sakai masih dalam perjalanan. Pasukan Panglima Cakara mengiringi mereka bersama para prajuritnya di belakang. Hari hampir petang. Panglima Cakara tampak bingung karena tidak bisa mengikuti perintah Pangeran Kantata untuk membunuh Pangeran Sakai gara-gara pasukan Pejabat Istana menjemputnya.Tak lama kemudian sebuah anak panah melesat ke arah Panglima Cakara. Dengan sigap anak panah itu berhasil ditangkapnya. Tak ada satupun yang menyadari hal itu kecuali Panglima Cakara sendiri. Rupanya di anak panah itu terlilit sebuah kain. Panglima Cakara membuka kain itu. Dia terbelalak ketika mendapati sebuah surat di dalamnya.“Jangan ke istana. Raja telah memerintahkan untuk mengepung dan menangkapmu.”Panglima heran siapa yang melesatkan anak panah itu. Dia pun membuang anak panah itu sambil berpikir.“Jika memang begitu, mungkin ini saatnya aku membunuh Pangeran Sakai dan melawan pasukan pejab
Pangeran Kantata bersujud pada Raja Dwilaga yang duduk di atas ranjangnya dengan tangisnya.“Ampun, Yang Mulia. Hamba tidak tahu kalau Panglima Cakara tidak menyampaikan pesan dari Yang Mulia kepada Pangeran Sakai,” isak Pangeran Kantata. “Hamba menitipkan hadiah pada Adji Darma sebagai ucapan terima kasih telah mendidik Panglima di Perguruan.”“Jangan berbohong!” tegas Raja Dwilaga padanya.“Hambat tidak berbohong, Yang Mulia!”Raja Dwilaga memegangi dadanya karena menahan amarah. Tak lama kemudian seorang prajurit datang dan melaporkan kalau Pangeran Sakai sudah tiba di depan kamarnya. Pangeran Kantata terkejut mendengarnya. Sementara Raja Dwilaga terharu.“Oh Pangeran Sakai! Suruh dia masuk dengan segera!” pinta Raja Dwilaga dengan harunya.Pangeran Kantata tampak ketakutan. Jika Pangeran Sakai tiba dengan selamat ke istana, itu artinya dia berhasil mengalahkan Panglima Cakara. S
Pangeran Sakai berdiri di teras kamarnya sambil memandangi aktivitas istana di pagi itu. Embun memenuhi halaman kediamannya. Bebungaan tak begitu jelas terlihat karena kabut menutupinya. Telah lama dia meninggalkan istananya. Namun dipikirannya saat ini tak lain selain Dahayu. Wajah itu sejak semalam telah membayangi pikirannya. Rasa rindunya kian membuncah. Dia sudah tidak sabar lagi untuk kembali ke perguruan. Namun satu tugas harus dia selesaikan.Pejabat istana datang menghampirinya.“Pangeran,” panggilnya.Pangeran Sakai menoleh padanya. “Ada apa?” tanyanya.“Mata-mata istana telah menemukan kediaman mantan Panglima Sada,” jawabnya.Pangeran Sakai senang mendengarnya. Itu artinya dia memiliki harapan untuk kembali ke perguruan secepatnya.“Di mana dia bersembunyi?” tanya Pangeran Sakai penasaran.“Di perkampungan dekat dermaga menuju Perguruan Matahari, Pangeran,” jawab
Bimantara berjalan dengan tongkat hitamnya di pedesaan pinggir laut itu. Dia sudah tidak lagi menggunakan kaki cahaya naganya. Dia melihat di pulau seberang sudah tidak ada lagi bangunan tinggi yang memiliki menara yang menjulang. Bagunan Perguruan Matarhari telah lenyap di sana. Perkampungannya tampak sunyi. Beberapa rumah tampak sudah hancur berkeping-keping. Hanya ada beberapa rumah yang tampak baik-baik saja.Bimantara tidak tahu siapa yang masih hidup di negeri itu. Setelah dia memeriksa tiga kerajaan Nusantara yang hancur berkeping-keping, dia mengendalikan naganya untuk kembali ke kampung halamanannya.Bimantara berdiri di sisi tebing itu. Dia teringat saat menemui Dahayu di sana dahulu."Tahun depan aku akan menjadi murid di sana!" ucap Bimantara tiba-tiba. Memecah lamunan tiga remaja di hadapannya itu. Seolah ingin menunjukkan pada Dahayu bahwa tanpa kaki satu, dia masih layak mengejar impiannya. Tiga remaja itu menoleh ke arah Bimantara bersamaan. Saat menyadari yang bicara
Setelah itu keadaan menjadi hening. Putra Mahkota Iblis dan keempat saudaranya benar-benar sudah mati. Bahari tersenyum.“Sekarang aku bisa mati dengan tenang,” ucap Bahari.Bahari pun memejamkan matanya. Kini Bimantara, Tanaka, Pendekar Dua Alam dan Pendekar Sungai Panjang kembali merasakan dingin.Sementara Bimantara langsung berlari menuju Raja Dawuh yang tidak lagi bernyawa itu. Dia memeriksa tubuhnya. Denyut nadinya sudah berhenti. Bimantara menangis sambil memeluk mayatnya.“Maafkan aku yang tidak bisa menjagamu!” isak Bimantara.Tanaka, Pendekar Dua Alam dan Pendekar Sungai Panjang berjalan mendekat ke arahnya.“Kita sudah berhasil Bimantara,” ucap Tanaka.Bimantara pun menutup mata Raja Dawuh lalu berdiri di hadapan ketiga Panglimanya yang tersisa itu.“Tapi kita tidak berhasil mencegah mereka menghancurkan setiap kerajaan di atas muka bumi ini,” ucap Bimantara menyayangkannya. “Dan aku tidak berhasil menjaga Bahari dan Raja Dawuh.”“Aku yakin mereka akan tenang di nirwana kar
“Aku bisa melakukannya tanpa harus membangkitkan Dahayu kembali,” ucap Bimantara.Pendekar Dua Alam mengernyit mendengarnya.“Cahaya di tubuh Dahayu sangat berguna untukmu, Bimantara. Jika cahaya kalian menyatu maka tidak ada satupun yang bisa melawan kalian, termasuk para Iblis itu,” protes Pendekar Dua Alam.“Dahayu telah mengalirkan cahayanya kepadaku,” ujar Bimantara.“Tapi cahayanya telah menyusut di tubuhmu,” protes Pendekar Dua Alam.Raja Dawuh pun bangkit.“Jika kau menolaknya karena sudah mengkhianatinya, aku rasa Dahayu akan mengerti, Bimantara. Kita tidak memiliki cara lain untuk membunuh mereka!” tambah Raja Dawuh.“Jangan paksa aku!” teriak Bimantara.Bimantara pun mengeluarkan tenaga dalamnya, dia pun langsung mengalirkannya pada Pendekar Dua Alam, Raja Dawuh, Bahari, Pendekar Sungai Panjang dan Tanaka.“Jangan lakukan itu, jika tidak tenagamu akan habis!” protes Tanaka yang menerima aliran tenaga dalam dari Bimantara.Bimantara tidak menggubris perkataan Tanaka. Tenaga
“Jangan menangis,” pinta Ki Walang.“Aku tidak berhasil menjadi Chandaka Uddhiharata, Tuan Guru,” isak Bimantara. “Dunia sudah dihancurkan anak-anak iblis itu. Tiga kerajaan Nusantara telah habis terbakar, juga istana-istana di kerajaan lain. Sebentar lagi semua manusia akan mati. Mungkin aku juga akan mati. Padahal aku sudah membawa kelima Panglima terbaik di dunia ini.”“Apakah seperti ini akhirnya seorang murid yang sangat aku banggakan itu?” ucap Ki Walang sedikit marah. “Dahulu aku kagum padanya karena keterbatasannya dia memiliki cita-cita begitu agung untuk menjadi seorang pendekar yang berguna bagi sesama. Pahadal dia hanya memiliki kaki satu, tapi dia ingin memiliki jurus tendangan seribu.”Bimantara terdiam mendengar itu.“Hal yang tidak mungkin. Siapapun yang mendengarnya pasti akan tertawa karena ketidakpercayaannya. Tapi aku percaya akan itu. Akhirnya aku ajarkan semua ilmuku padamu. Dan kini, kau mengeluh disaat nyawa masih berada di dalam ragamu?!” teriak Ki Walang.“Ap
Bimantara kembali menyerang Putra Mahkota Iblis yang tampak geram. Dia menggunakan segala jurus yang dia punya untuk melawannya. Sekuat tega Bimantara lakukan sendirian untuk melawannya. Berbagai serangan yang dilakukan Bimantara berhasil dilawannya dengan baik. Bimantara tampak kewalahan dan hampir saja kehilangan tenaga.“Kita harus membantunya,” pinta Raja Dawuh yang tampak khawatir pada Bimantara.“Aku tahu kau seorang raja,” sahut Tanaka. “Tapi yang paling penting dari sebuah tim adalah mengikuti arahan Pimpinannya. Sekarang kau bukan seorang raja lagi. Kau harus mengikuti permintaan Bimantara yang meminta kita menjaga Pendekar Dua Alam sampai dia selesai melakukan ritualnya. Nyawa kita sekarang untuk Pendekar Dua Alam.”“Tapi dia bisa mati melawan Putra Mahkota Iblis itu sendirian,” ucap Raja Dawuh semakin khawatir.“Percaya saja,” pinta Tanaka menenangkannya.Sementara Pendekar Sungai Panjang masih berusaha menggunakan tenaga dalamnya untuk mengembalikan tulang-tulang yang pata
Bimantara terbang ke atas langit. Tubuhnya mengeluarkan cahaya. Sesaat kemudian dia meluncur ke bawah lalu menggunakan jurus tendangan seribunya untuk menghalau roh-roh hitam yang menyerang mereka. Satu persatu dari roh-roh hitam itu terpelanting jauh dan terbakar.Bahari dan Pendekar Sungai Panjang terngaga melihatnya. Bimantara pun kembali mendarat di dekat mereka dengan sorot mata yang masih menyala. Putra Mahkota Iblis di dalam benteng itu tampak geram. Dia berteriak lalu mengeluarkan cahaya di tubuhnya. Gemanya hampir saja memecahkan dinding pembatas tak terlihat.“Sekarang saatnya kau harus memecahkan dinding pembatas tak terlihat itu,” pinta Bahari.Bimantara mengangguk.“Semuanya segera bersiap!” pinta Bimantara pada kedua Panglima yang menemaninya itu.Bahari dan Pendekar Sungai Panjang mengangguk. Mereka pun sudah bersiap dengan jurus masing-masing.Bimantara menoleh pada Tanaka dan Raja Dawuh yang masih menjaga Pendekar Dua Alam yang sedang membangkitkan para pendekar sakti
Putra Mahkota Iblis itu berhenti berlari menuju benteng yang terbuka itu. Iblis itu menatap kepada empat saudaranya yang ikut berhenti.“Berpencarlah kalian semuanya,” pinta Putra Mahkota Iblis. “Hancurkan semua kerajaan di muka bumi ini! Biar aku saja yang menghadapi musuh kita di depan benteng sana!”“Tapi mereka telah membunuh adik bungsu kita,” protes salah satu dari mereka. “Kita harus bersama-sama membunuh mereka sebelum kita keluar dari negeri ini dan menghancurkan semua kerajaan di atas muka bumi ini!”“Diriku sendiri sudah cukup untuk membunuh semuanya! Ikuti perintahku jika kalian masih menganggapku sebagai pengganti Raja!” teriak Putra Mahkota Iblis itu pada adik-adiknya.“Baiklah,” jawab salah satu dari mereka.Empat anak-anak Iblis yang perkasa itu pun langsung melompati benteng yang luas nan tinggi itu. Mereka berpencar ke empat penjuru untuk menghancurkan kerajaan-kerajaan di berbagai wilayah.Sementara Bimantara di luar benteng itu tampak terkejut melihat para Iblis it
“Biar aku saja yang menghadapinya,” ucap Tanaka pada Bimantara.Bimantara mengangguk. Tanaka pun langsung melompat dari punggung naga lalu terbang melawan Pendekar Tombak Angin. Tanaka mengeluarkan golok hitamnya, sementara Pendekar Tombak Angin mengeluarkan pedangnya. Mereka berdua bertarung di atas langit.Bimantara menoleh pada Bahari, Pendekar Sungai Panjang, Pendekar Dua Alam dan Raja Dawuh.“Kalian serang prajurit mereka!” perintah Bimantara.Keempat Panglimanya itu mengangguk. Mereka langsung mengendalikan naga masing-masing lalu naga-naga yang ditunggangi mereka itu menghembuskan api dari mulut mereka untuk membakar ribuan prajurit yang berusaha memecahkan benteng tinggi itu. Sebagian prajuritnya mati terbakar karenanya. Para prajurit yang lain berusaha menyerang mereka dengan senjata masing-masing.Dengan sigap Raja Dawuh menggunakan kekuatannya untuk melelehkan pedang dan senjata lainnya yang digunakan para prajurit itu. Seketika senjata mereka meleleh.Sementara Bimantara l
Ribuan burung besar yang membawa Pendekar Tombak Angin dan pasukan roh-nya telah tiba di daratan negeri salju itu. Angin dingin berhembus menusuk tulang. Pendekar Tombak angin yang berada paling depan di punggung burung besar itu tampak menggigil. Ribuan tentaranya pun tampak kedinginan. Burung-burung besar itu pun tampak sudah lemah memasuki negeri salju itu, mereka tidak kuat akan dinginnya negeri itu.Pendekar Tombak Angin melihat patung es raksasa yang sedang memegang tongkat di hadapan benteng tinggi yang memutih. Ribuan prajurit di dekatnya pun mematung, mereka bagai patung es yang dipahat oleh seorang seniman yang masyhur.“Apakah dia Bubungkala?” tanya Pendekar Tombak Angin pada tiga makhluk hitam yang kedinginan di dekatnya. Tiga makhluk hitam itu terbang mengikutinya.“Benar, Tuanku,” jawab Makhluk hitam itu. “Dia yang paling bungsu dari ke enam saudara Iblismu.”Pendekar Tombak Angin tampak tidak kuat lagi karena dinginnya tempat itu.“Sekarang keluarkan batu dari neraka it