Pasukan berkuda pejabat istana yang membawa Pangeran Sakai masih dalam perjalanan. Pasukan Panglima Cakara mengiringi mereka bersama para prajuritnya di belakang. Hari hampir petang. Panglima Cakara tampak bingung karena tidak bisa mengikuti perintah Pangeran Kantata untuk membunuh Pangeran Sakai gara-gara pasukan Pejabat Istana menjemputnya.
Tak lama kemudian sebuah anak panah melesat ke arah Panglima Cakara. Dengan sigap anak panah itu berhasil ditangkapnya. Tak ada satupun yang menyadari hal itu kecuali Panglima Cakara sendiri. Rupanya di anak panah itu terlilit sebuah kain. Panglima Cakara membuka kain itu. Dia terbelalak ketika mendapati sebuah surat di dalamnya.
“Jangan ke istana. Raja telah memerintahkan untuk mengepung dan menangkapmu.”
Panglima heran siapa yang melesatkan anak panah itu. Dia pun membuang anak panah itu sambil berpikir.
“Jika memang begitu, mungkin ini saatnya aku membunuh Pangeran Sakai dan melawan pasukan pejab
Pangeran Kantata bersujud pada Raja Dwilaga yang duduk di atas ranjangnya dengan tangisnya.“Ampun, Yang Mulia. Hamba tidak tahu kalau Panglima Cakara tidak menyampaikan pesan dari Yang Mulia kepada Pangeran Sakai,” isak Pangeran Kantata. “Hamba menitipkan hadiah pada Adji Darma sebagai ucapan terima kasih telah mendidik Panglima di Perguruan.”“Jangan berbohong!” tegas Raja Dwilaga padanya.“Hambat tidak berbohong, Yang Mulia!”Raja Dwilaga memegangi dadanya karena menahan amarah. Tak lama kemudian seorang prajurit datang dan melaporkan kalau Pangeran Sakai sudah tiba di depan kamarnya. Pangeran Kantata terkejut mendengarnya. Sementara Raja Dwilaga terharu.“Oh Pangeran Sakai! Suruh dia masuk dengan segera!” pinta Raja Dwilaga dengan harunya.Pangeran Kantata tampak ketakutan. Jika Pangeran Sakai tiba dengan selamat ke istana, itu artinya dia berhasil mengalahkan Panglima Cakara. S
Pangeran Sakai berdiri di teras kamarnya sambil memandangi aktivitas istana di pagi itu. Embun memenuhi halaman kediamannya. Bebungaan tak begitu jelas terlihat karena kabut menutupinya. Telah lama dia meninggalkan istananya. Namun dipikirannya saat ini tak lain selain Dahayu. Wajah itu sejak semalam telah membayangi pikirannya. Rasa rindunya kian membuncah. Dia sudah tidak sabar lagi untuk kembali ke perguruan. Namun satu tugas harus dia selesaikan.Pejabat istana datang menghampirinya.“Pangeran,” panggilnya.Pangeran Sakai menoleh padanya. “Ada apa?” tanyanya.“Mata-mata istana telah menemukan kediaman mantan Panglima Sada,” jawabnya.Pangeran Sakai senang mendengarnya. Itu artinya dia memiliki harapan untuk kembali ke perguruan secepatnya.“Di mana dia bersembunyi?” tanya Pangeran Sakai penasaran.“Di perkampungan dekat dermaga menuju Perguruan Matahari, Pangeran,” jawab
Sada pun bergegas keluar kamar lalu mengintip keluar sana. Dia melihat ada Tuan Kepala Kampung bersama pejabat istana dan para prajuritnya. Sukma mendekat padanya.“Darimana pejabat istana tahu keberadaan kakang di sini?” bisik Sukma dengan heran.“Aku tidak tahu istriku. Apa aku harus kabur melalui pintu belakang?” tanya Sada dengan bingung.“Aku rasa kedatangan mereka tidak membawa kabar buruk untukmu. Aku rasa ini bukan tentang masalahmu dengan Panglima Cakara. Mereka datang baik-baik. Mereka memintaku memanggilmu karena ada pesan dari Yang Mulia Raja, suamiku. Sebaiknya kau temui mereka dengan baik-baik,” pinta Sukma.Sada pun mengangguk. Kedua orang tua Dahayu itu pun membuka pintu rumah sederhana mereka. Sada dan Sukma pun mendatangi mereka dengan penuh hormat.“Ada apa gerangan pejabat istana sampai datang ke sini menemui hamba. Bukan kah hamba sudah tidak ada urusan lagi dengan istana?” tanya
“Bimantara memiliki dendam dengan Adji Darma,” ucap Ki Walang pada Kakek Sangkala. “Sementara syarat kelulusan Perguruan Matahari adalah tak ada dendam dalam hati. Leluhur akan memilih siapa yang pantas menjadi pendekar sejati. Jika di hati Bimantara masih ada dendam itu, maka lelulur tak akan membiarkannya keluar dari Perguruan hingga dendamnya menghilang. Benarkah yang diceritakan Bimantara itu tentang Adji Darma yang sekarang bukan Adji Darma yang asli?”Kakek Sangkala mengajak Ki Walang dan Bimantara untuk duduk di bale depan gubuknya. Kakek Sangkala menceritakan semuanya tentang mendiang ayah Bimantara, seperti yang dia ceritakan dulu kepada Bimantara. Ki Walang terkejut mendengarnya.“Aku kira, pedang perak cahaya merah itu memang datang sendiri ke mendiang ayah Bimantara. Dan aku kira pedang itu memilih Bimantara untuk mengurusnya. Jika benar seperti itu, penduduk perguruan haru tahu bahwa pemimpin perguruan yang sekarang buka
“Guruuu!” isak Bimantara sambil memeluk Ki Walang dalam keadaan lemah. Ki Walang tampak lemas tak berdaya. Darah masih keluar dari mulutnya. Ajian pembelah bulan yang diserang oleh Adji Darma telah melumpuhkan setengah tubuhnya.Bimantara melepas pelukannya lalu berdiri menghadap Adji Darma dengan geram dan penuh amarah.“Kenapa Tuan Guru Besar tega menyakiti Tuan Guruku?! Dia tidak bersalah! Di tak seharusnya kalian sakiti!!!” teriak Bimantara geram pada Adji Darma.“Kau tidak tahu apa-apa, Bimantara! Memang kami keliru atas kematianmu! Tapi dia telah membunuh banyak prajurit untuk kekuatannya!” jawab Adji Darma geram.“Ini fitnah! Ini pasti ada sengaja mau menghancurkan perguruan kitaaa!!!” teriak Bimantara.Pendekar Pedang Emas tampak geram melihat Bimantara. Sementara Kancil dan Dahayu mulai ragu dengan keyakinan mereka kalau Ki Walang adalah pelaku pembunuh para Prajurit itu. Sementara Pendekar T
“Baik, Tuan Guru. Tapi Tuan Guru harus percaya, bahwa Tuan Guru akan baik-baik saja. Meskipun tak ada ramuan untuk menyembuhkan luka di dalam tubuhmu, aku akan mencarinya meskipun itu berada di ujung dunia! Bertahanlah Tuan Guru, aku tak akan membalaskan dendamku pada Adji Darma,” isak Bimantara.Ki Walang mencoba tertawa di tengah lemahnya. “Kau memang ceroboh. Bertindak tanpa memikirkan akibat kedepannya. Tapi aku suka kau begitu.”“Bertahanlah, Tuan Guru! Jangan pergi dariku!” isak Bimantara.“Peganglah tanganku,” pinta Ki Walang padanya.Bimantara pun meraih tangan Ki Walang lalu menggengamnya dengan erat sambil terisak.“Mulai sekarang aku memberimu gelar ; Pendekar Kaki Satu,” ucap Ki Walang.Bimantara terisak dengan haru. Tak lama kemudian sebuah cahaya keluar dari tubuh Ki Walang, cahaya itu mengalir dari genggaman tangan Bimantara hingga mengaliri tubuh Bimantara. Bimantara
Bimantara menatap sekawanan para Binatang buas di hadapannya itu. “Pergilah ke tempat asal kalian! Tuan Guruku tidak menginginkan kalian menuntut balasan!” pinta Bimantara.Lalu seketika sekawanan binatang buas itu berlarian ke arah hutan di belakang pagar perguruan. Hingga semuanya tercengang tak percaya melihat Bimantara bisa menaklukkan mereka. Namun naga besar itu masih berada di hadapan Bimantara. Dia mengerti sepertinya Bimantara hendak menungganginya untuk meninggalkan perguruan itu.Bimantara menghadap Adji Darma. “Tolong kuburkan dengan layak dan penuh hormat Tuan Guru besarku. Aku akan pergi dari sini untuk melaksanakan perintah terakhir dari Tuan Guruku,” ucap Bimantara.Adji Darma diam saja. Tak lama kemudian Bimantara naik ke punggung Naga itu. Naga itupun membawa Bimantara terbang menuju pulau seberang. Kancil yang merasa bersalah atas semuanya berlari mengejarnya.“Bimantara!!! Tungguuu!!!” teriak Kancil
Istana Kerajaan Nusantara Tengah tampak megah. Menara-menaranya tinggi menjulang. Diantara kerjaan lainnya, Istana itulah yang memiliki banyak menara. Menara yang digunakan untuk mengintai jika ada pembelot atau pemberontak hendak menyerang. Karena posisinya berada di tengah, diantara kerajaan Nusantara Timur dan Barat, Sang Raja memiliki siasat untuk membangun menara yang banyak di setiap sudut istana dan di pagar-gapar istana yang berlapis-lapis itu.Pangeran Dawuh berdiri di atas menara itu sambil menatap rindangan pepohonan di bawah sana. Dia tidak begitu tinggi dan tidak juga pendek. Kedua bola matanya sipit, berkulit sawo matang. Dia tidak begitu tampan dan tidak juga jelek. Tak lama kemudian seorang lelaki tinggi datang menghadapnya.“Ampun, Pangeran. Pemilihan penjaga utamamu sudah berhasil dilaksanakan, sekarang kita sudah mendapatkan seorang pendekar yang sakti untuk menjagamu kemana pun kamu pergi,” ucap lelaki itu.Pangeran Dawuh menoleh