“Baik, Tuan Guru. Tapi Tuan Guru harus percaya, bahwa Tuan Guru akan baik-baik saja. Meskipun tak ada ramuan untuk menyembuhkan luka di dalam tubuhmu, aku akan mencarinya meskipun itu berada di ujung dunia! Bertahanlah Tuan Guru, aku tak akan membalaskan dendamku pada Adji Darma,” isak Bimantara.
Ki Walang mencoba tertawa di tengah lemahnya. “Kau memang ceroboh. Bertindak tanpa memikirkan akibat kedepannya. Tapi aku suka kau begitu.”
“Bertahanlah, Tuan Guru! Jangan pergi dariku!” isak Bimantara.
“Peganglah tanganku,” pinta Ki Walang padanya.
Bimantara pun meraih tangan Ki Walang lalu menggengamnya dengan erat sambil terisak.
“Mulai sekarang aku memberimu gelar ; Pendekar Kaki Satu,” ucap Ki Walang.
Bimantara terisak dengan haru. Tak lama kemudian sebuah cahaya keluar dari tubuh Ki Walang, cahaya itu mengalir dari genggaman tangan Bimantara hingga mengaliri tubuh Bimantara. Bimantara
Bimantara menatap sekawanan para Binatang buas di hadapannya itu. “Pergilah ke tempat asal kalian! Tuan Guruku tidak menginginkan kalian menuntut balasan!” pinta Bimantara.Lalu seketika sekawanan binatang buas itu berlarian ke arah hutan di belakang pagar perguruan. Hingga semuanya tercengang tak percaya melihat Bimantara bisa menaklukkan mereka. Namun naga besar itu masih berada di hadapan Bimantara. Dia mengerti sepertinya Bimantara hendak menungganginya untuk meninggalkan perguruan itu.Bimantara menghadap Adji Darma. “Tolong kuburkan dengan layak dan penuh hormat Tuan Guru besarku. Aku akan pergi dari sini untuk melaksanakan perintah terakhir dari Tuan Guruku,” ucap Bimantara.Adji Darma diam saja. Tak lama kemudian Bimantara naik ke punggung Naga itu. Naga itupun membawa Bimantara terbang menuju pulau seberang. Kancil yang merasa bersalah atas semuanya berlari mengejarnya.“Bimantara!!! Tungguuu!!!” teriak Kancil
Istana Kerajaan Nusantara Tengah tampak megah. Menara-menaranya tinggi menjulang. Diantara kerjaan lainnya, Istana itulah yang memiliki banyak menara. Menara yang digunakan untuk mengintai jika ada pembelot atau pemberontak hendak menyerang. Karena posisinya berada di tengah, diantara kerajaan Nusantara Timur dan Barat, Sang Raja memiliki siasat untuk membangun menara yang banyak di setiap sudut istana dan di pagar-gapar istana yang berlapis-lapis itu.Pangeran Dawuh berdiri di atas menara itu sambil menatap rindangan pepohonan di bawah sana. Dia tidak begitu tinggi dan tidak juga pendek. Kedua bola matanya sipit, berkulit sawo matang. Dia tidak begitu tampan dan tidak juga jelek. Tak lama kemudian seorang lelaki tinggi datang menghadapnya.“Ampun, Pangeran. Pemilihan penjaga utamamu sudah berhasil dilaksanakan, sekarang kita sudah mendapatkan seorang pendekar yang sakti untuk menjagamu kemana pun kamu pergi,” ucap lelaki itu.Pangeran Dawuh menoleh
Tak lama kemudian kuda itu berubah menjadi hitam. Bimantara terkejut lalu segera turun dari kuda dengan tongkatnya. Bimantara mundur dari kuda itu dengan heran.“Kau menipuku?” tanya Bimantara heran pada kuda itu.Kuda itu mengangkat kedua kakinya lalu bersuara di hadapan Bimantara yang berdiri dengan tongkatnya. Tak lama kemudian tercium bau harum di hidungnya. Aroma bebungaan itu pernah dirasakannya. Bimantara menoleh ke arah air terjun. Di atas permukaan air mengambang seorang perempuan cantik yang dulu pernah menggodanya dan hendak menciumnya.“Ratu Peri?” ucap Bimantara terbelalak. “Kenapa kau bawa aku ke sini?! Apa tujuanmu mengirimkan kuda untuk membawaku ke sini?” tanya Bimantara heran.Ratu Peri itu tersenyum penuh kemenangan. Wajahnya yang cantik membuat Bimantara menunduk, dia tak mau terhipnotis lagi seperti dulu.“Kau tak akan bisa lepas dariku wajah Bimanatra. Pedang Perak Cahaya Merah Itu tel
Kancil dan Dahayu pun turun. Mereka mengikat kuda hitam itu di pohon depan gubuk tua. Kancil dan Dahayu pun duduk di bale depan gubuk itu. Kancil mengeluarkan tempat air minum lalu memberikannya pada Dahayu. Dahayu meminumnya, menyembuhkan dahaganya.“Kemana kita harus mencari Bimantara?” tanya Dahayu kemudian.Kancil tampak bingung. “Kita harus mencarinya kemana pun sampai kita menemukannya,” jawab Kancil.Dahayu tampak terdiam.“Jika kau tidak ingin lelah, sebaiknya kau kembali saja ke Perguruan Matahari,” pinta Kancil.“Aku tak akan kembali ke Perguruan Matahari sampai aku menemukan Bimantara,” ucap Dahayu.Tak lama kemudian terdengar suara kuda mendekat ke arah mereka. Kancil dan Dahayu berdiri sambil melihat-lihat ke arah sumber suara. Kancil dan Dahayu terbelalak ketika mendapati Bimantara tengah menunggangi kudanya sambil memegangi tongkatnya.Kancil dan Dahayu berlari ke arah Bim
Upacara pemakaman Ki Walang sudah dilakukan. Hujan turun deras membasahi Perguruan Matahari. Adji Darma berdiri terpaku di hadapan gundukan tanah itu. Hujan membasahi tubuhnya. Dia hanya sendiri di sana. Semua sudah kembali ke dalam sana.“Aku akui aku terlalu ceroboh dalam hal ini,” ucap Adji Darma merasa bersalah. “Harusnya aku berpikir bahwa semua ini pasti ada dalang di baliknya. Untuk menghancurkan perguruan kita dengan memfitnahmu, Ki Walang.”Adji Darma melepas topengnya. Dia mencabut pedangnya lalu bersiap menghunuskannya ke dadanyanya sendiri. Pendekar Tangan Besi datang berlari ke arahnya.“Tuan Guru Besar!!!” teriak Pendekar Tangan Besi padanya.Adji Darma menoleh padanya. Pendekar Tangan Besi tampak shock ketika untuk pertama kalinya dia melihat wajah Adji Darma.“Pergilah!” pinta Adji Darma dengan tegas.“Apa yang Tuan Guru Besar lakukan?! Tuan Guru Besar ingin bunuh diri?! I
Acara pengukuhan pangkat Panglima Sada telah berlangsung dengan khidmat. Ki Panglima baru itu sedang duduk bersimpuh di hadapan Raja Dwilaga yang duduk di singgasananya. Pangeran Sakai dan Pangeran Kantata duduk di tempatnya. Para pejabat istana berdiri mengelilinginya.“Mulai hari ini, urusan pertahanan Kerajaan Nusantara Timur aku serahkan padamu wahai Panglima Sada,” perintah Raja Dwilaga.“Siap, Mulia! Hamba akan menjalankan tugas sebaik-baiknya,” ucap Panglima Sada penuh hormat.Pangeran Kantata tampak tak suka melihatnya. Sementara Pangeran Sakai tampak senang, kini Kerajaan Nusantara Timur telah memiliki Panglima perang yang bisa dipercaya, tidak seperti Panglima Cakara yang semua kejahatannya barus diketahuinya.Setelah acara itu selesai. Pangeran Sakai datang mengunjungi kediaman baru Panglima Sada. Istrinya segera pergi dari sana saat mendapati Pangeran datang ke sana.“Ampun , Pangeran. Ada apa gerangan hing
“Hari ini Kakang akan pergi ke Perguruan Matahari mengantarkan Pangeran Sakai,” ucap Panglima Sada pada Sukma istrinya yang sedang membantunya memakaikan pakaian kebesaran kerajaan. Kamar mereka kini tampak luas. Sukma juga sudah memakai pakaian-pakaian pantas.“Benarkah? Berarti nanti kau akan menemui Dahayu?” tanya Sukma dengan haru.“Iya, Kakang akan menemui Dahayu. Aku sudah rindu dengan anak gadisku,” jawabnya.“Sampaikan salamku padanya, Kakang. Aku juga merindukannya. Setiap malam aku memikirkannya,” pinta Sukma.“Tentu, aku akan menyampaikan salam rindumu padanya,” sahut Panglima Sada.Panglima Sada tampak heran melihat mimik wajah Sukma seperti menyimpan sesuatu. “Kau baik-baik saja?”“Aku mendengar pembicaraan para pelayan istana. Katanya mereka tahu dari mata-mata istana.”“Hentikan itu. Kau tidak boleh ikut-ikutan mendengarkan sesuatu
“Jurus apa yang hendak digunakan Bimantara dengan kaki satunya?” tanya Kancil heran.Ketiga pendekar bertopeng itu pun bersiap mengeluarkan jurusnya untuk melawan Bimantara. Bimantara mengangkat tubuhnya lalu berputar di atas, kemudian kaki cahaya naganya menendang satu persatu ketiga pendekar berpoteng itu hingga mereka berteriak terpelanting jauh.Bimantara menurunkan tubuhnya lalu mendarat ke atas tanah. “Sudah kubilang pergi dari sini! Jika kalian tak ingin mati!” ancam Bimantara.Ketiga pendekar bertopeng itu berlarian memasuki hutan. Bimantara mengatur napasnya lalu memandangi Kancil dan Dahayu yang tengah bangkit berdiri memandanginya dengan takjub.“Kalian mengejarku?” tanya Bimantara heran.“Maaf, Bimantara. Kami harus menemanimu,” jawab Kancil.Dahayu diam saja. Bimantara mendekat ke Dahayu dengan kaki cahaya naganya. Dahayu heran bagaimana Bimantara bisa berjalan? Dia melihat seolah