Tak lama kemudian kuda itu berubah menjadi hitam. Bimantara terkejut lalu segera turun dari kuda dengan tongkatnya. Bimantara mundur dari kuda itu dengan heran.
“Kau menipuku?” tanya Bimantara heran pada kuda itu.
Kuda itu mengangkat kedua kakinya lalu bersuara di hadapan Bimantara yang berdiri dengan tongkatnya. Tak lama kemudian tercium bau harum di hidungnya. Aroma bebungaan itu pernah dirasakannya. Bimantara menoleh ke arah air terjun. Di atas permukaan air mengambang seorang perempuan cantik yang dulu pernah menggodanya dan hendak menciumnya.
“Ratu Peri?” ucap Bimantara terbelalak. “Kenapa kau bawa aku ke sini?! Apa tujuanmu mengirimkan kuda untuk membawaku ke sini?” tanya Bimantara heran.
Ratu Peri itu tersenyum penuh kemenangan. Wajahnya yang cantik membuat Bimantara menunduk, dia tak mau terhipnotis lagi seperti dulu.
“Kau tak akan bisa lepas dariku wajah Bimanatra. Pedang Perak Cahaya Merah Itu tel
Kancil dan Dahayu pun turun. Mereka mengikat kuda hitam itu di pohon depan gubuk tua. Kancil dan Dahayu pun duduk di bale depan gubuk itu. Kancil mengeluarkan tempat air minum lalu memberikannya pada Dahayu. Dahayu meminumnya, menyembuhkan dahaganya.“Kemana kita harus mencari Bimantara?” tanya Dahayu kemudian.Kancil tampak bingung. “Kita harus mencarinya kemana pun sampai kita menemukannya,” jawab Kancil.Dahayu tampak terdiam.“Jika kau tidak ingin lelah, sebaiknya kau kembali saja ke Perguruan Matahari,” pinta Kancil.“Aku tak akan kembali ke Perguruan Matahari sampai aku menemukan Bimantara,” ucap Dahayu.Tak lama kemudian terdengar suara kuda mendekat ke arah mereka. Kancil dan Dahayu berdiri sambil melihat-lihat ke arah sumber suara. Kancil dan Dahayu terbelalak ketika mendapati Bimantara tengah menunggangi kudanya sambil memegangi tongkatnya.Kancil dan Dahayu berlari ke arah Bim
Upacara pemakaman Ki Walang sudah dilakukan. Hujan turun deras membasahi Perguruan Matahari. Adji Darma berdiri terpaku di hadapan gundukan tanah itu. Hujan membasahi tubuhnya. Dia hanya sendiri di sana. Semua sudah kembali ke dalam sana.“Aku akui aku terlalu ceroboh dalam hal ini,” ucap Adji Darma merasa bersalah. “Harusnya aku berpikir bahwa semua ini pasti ada dalang di baliknya. Untuk menghancurkan perguruan kita dengan memfitnahmu, Ki Walang.”Adji Darma melepas topengnya. Dia mencabut pedangnya lalu bersiap menghunuskannya ke dadanyanya sendiri. Pendekar Tangan Besi datang berlari ke arahnya.“Tuan Guru Besar!!!” teriak Pendekar Tangan Besi padanya.Adji Darma menoleh padanya. Pendekar Tangan Besi tampak shock ketika untuk pertama kalinya dia melihat wajah Adji Darma.“Pergilah!” pinta Adji Darma dengan tegas.“Apa yang Tuan Guru Besar lakukan?! Tuan Guru Besar ingin bunuh diri?! I
Acara pengukuhan pangkat Panglima Sada telah berlangsung dengan khidmat. Ki Panglima baru itu sedang duduk bersimpuh di hadapan Raja Dwilaga yang duduk di singgasananya. Pangeran Sakai dan Pangeran Kantata duduk di tempatnya. Para pejabat istana berdiri mengelilinginya.“Mulai hari ini, urusan pertahanan Kerajaan Nusantara Timur aku serahkan padamu wahai Panglima Sada,” perintah Raja Dwilaga.“Siap, Mulia! Hamba akan menjalankan tugas sebaik-baiknya,” ucap Panglima Sada penuh hormat.Pangeran Kantata tampak tak suka melihatnya. Sementara Pangeran Sakai tampak senang, kini Kerajaan Nusantara Timur telah memiliki Panglima perang yang bisa dipercaya, tidak seperti Panglima Cakara yang semua kejahatannya barus diketahuinya.Setelah acara itu selesai. Pangeran Sakai datang mengunjungi kediaman baru Panglima Sada. Istrinya segera pergi dari sana saat mendapati Pangeran datang ke sana.“Ampun , Pangeran. Ada apa gerangan hing
“Hari ini Kakang akan pergi ke Perguruan Matahari mengantarkan Pangeran Sakai,” ucap Panglima Sada pada Sukma istrinya yang sedang membantunya memakaikan pakaian kebesaran kerajaan. Kamar mereka kini tampak luas. Sukma juga sudah memakai pakaian-pakaian pantas.“Benarkah? Berarti nanti kau akan menemui Dahayu?” tanya Sukma dengan haru.“Iya, Kakang akan menemui Dahayu. Aku sudah rindu dengan anak gadisku,” jawabnya.“Sampaikan salamku padanya, Kakang. Aku juga merindukannya. Setiap malam aku memikirkannya,” pinta Sukma.“Tentu, aku akan menyampaikan salam rindumu padanya,” sahut Panglima Sada.Panglima Sada tampak heran melihat mimik wajah Sukma seperti menyimpan sesuatu. “Kau baik-baik saja?”“Aku mendengar pembicaraan para pelayan istana. Katanya mereka tahu dari mata-mata istana.”“Hentikan itu. Kau tidak boleh ikut-ikutan mendengarkan sesuatu
“Jurus apa yang hendak digunakan Bimantara dengan kaki satunya?” tanya Kancil heran.Ketiga pendekar bertopeng itu pun bersiap mengeluarkan jurusnya untuk melawan Bimantara. Bimantara mengangkat tubuhnya lalu berputar di atas, kemudian kaki cahaya naganya menendang satu persatu ketiga pendekar berpoteng itu hingga mereka berteriak terpelanting jauh.Bimantara menurunkan tubuhnya lalu mendarat ke atas tanah. “Sudah kubilang pergi dari sini! Jika kalian tak ingin mati!” ancam Bimantara.Ketiga pendekar bertopeng itu berlarian memasuki hutan. Bimantara mengatur napasnya lalu memandangi Kancil dan Dahayu yang tengah bangkit berdiri memandanginya dengan takjub.“Kalian mengejarku?” tanya Bimantara heran.“Maaf, Bimantara. Kami harus menemanimu,” jawab Kancil.Dahayu diam saja. Bimantara mendekat ke Dahayu dengan kaki cahaya naganya. Dahayu heran bagaimana Bimantara bisa berjalan? Dia melihat seolah
Pangeran Sakai tiba di perguruan bersama Panglima Sada dan pasukannya. Pendekar Tangan Besi yang sudah menjadi pimpinan Perguruan Matahari menyambut kedatangannya bersama penduduk perguruan yang lainnya. Pangeran Sakai dan Panglima Sada heran tidak melihat Dahayu ada di sana.“Apa yang terjadi di Perguruan hingga Tuan Guru Besar Adji Darma digantikan dengamu wahai Tuan Guru Besar Pendekar Tangan Besi?” tanya Pangeran Sakai heran.Pendekar Tangan Besi pun menjelaskan semuanya pada Pangeran Sakai. Pangeran Sakai terkejut mendengarnya.“Kemana Dahayu?” tanya Pangeran Sakai penasaran.“Dia pergi bersama Pangeran Pangaraban menyusul Bimantara,” jawab Pendekar Tangan Besi.Pangeran Sakai dan Panglima Sada tampak terkejut.“Menyusul Bimantara ke mana, Tuan Guru Besar?” tanya Panglima Sada khawatir.“Sepertinya Bimantara hendak pergi ke sebuah lembah untuk menjalankan perintah terakhir men
Pangeran Dawuh keluar dari kamarnya memakai pakaian rakyat jelata lalu menunjukkannya pada Balasoka.“Bagaimana, Balasoka? Apakah penyamaranku sebagai rakyat jelata sudah sempurna?” tanya Pangeran Dawuh sambil tersenyum.“Sudah sempurna, Pangeran,” jawab Balasoka sambil tersenyum senang.“Saya sudah meminta penjaga gerbang istana untuk diganti dengan para prajurit yang setia kepada saya agar kita bisa keluar dari gerbang istana dengan mudah,” ucap Pangeran Dawuh padanya.“Baik, Pangeran. Apakah peta rahasia letak sesungguhnya lembah gunung Munara itu sudah Pangeran bawa?” tanya Balasoka dengan penasaran.Pangeran Dawuh tersenyum lalu meneluarkan peta rahasia itu dari ikat pinggangnya dan menunjukkannya pada Balasoka.“Aku sudah bersusah payah menemukannya di kediaman ayah. Jika ayah tahu aku mencuri ini, dia pasti murka padaku. Inilah satu-satunya peta terbaik yang dimiliki Kerajaan Nusan
Kabut menutupi sebuah perkampungan di lembah bukit. Penduduk di perkampungan itu tampak sudah beraktivitas seperti biasanya. Anak-anak kecil berlarian di jalanan setapaknya. Burung-burung di atasnya tampak berterbangan. Seorang kakek sedang memikul kayu bakar di ujung kampung. Tak lama kemudian langkah kakek itu terhenti ketika mendengar suara langkah kuda di belekangnya. Dia menoleh ke belakang. Tak lama kemudian pasukan kuda yang ditunggangi para pendekar bertopeng berdatangan membawa pedang yang siap menghunus siapa pun di dekatnya.Kakek itu terbelalak ketakutan. Tubuhnya gemetar, dia menjatuhkan kayu bakar yang dipikulnya ke atas tanah, kemudian langsung berlari ke tengah kampung.“Perguruaan Tengkoraaaa!!!” teriak kakek itu.Tak lama kemudian terdengar suara teriakan ketakutan di mana-mana. Semua orang berlarian untuk bersembunyi. Sebagian ada yang menggendong anak kecil lalu pergi menuju hutan di sisi kampung.Seekor kuda yang ditunggan
Bimantara berjalan dengan tongkat hitamnya di pedesaan pinggir laut itu. Dia sudah tidak lagi menggunakan kaki cahaya naganya. Dia melihat di pulau seberang sudah tidak ada lagi bangunan tinggi yang memiliki menara yang menjulang. Bagunan Perguruan Matarhari telah lenyap di sana. Perkampungannya tampak sunyi. Beberapa rumah tampak sudah hancur berkeping-keping. Hanya ada beberapa rumah yang tampak baik-baik saja.Bimantara tidak tahu siapa yang masih hidup di negeri itu. Setelah dia memeriksa tiga kerajaan Nusantara yang hancur berkeping-keping, dia mengendalikan naganya untuk kembali ke kampung halamanannya.Bimantara berdiri di sisi tebing itu. Dia teringat saat menemui Dahayu di sana dahulu."Tahun depan aku akan menjadi murid di sana!" ucap Bimantara tiba-tiba. Memecah lamunan tiga remaja di hadapannya itu. Seolah ingin menunjukkan pada Dahayu bahwa tanpa kaki satu, dia masih layak mengejar impiannya. Tiga remaja itu menoleh ke arah Bimantara bersamaan. Saat menyadari yang bicara
Setelah itu keadaan menjadi hening. Putra Mahkota Iblis dan keempat saudaranya benar-benar sudah mati. Bahari tersenyum.“Sekarang aku bisa mati dengan tenang,” ucap Bahari.Bahari pun memejamkan matanya. Kini Bimantara, Tanaka, Pendekar Dua Alam dan Pendekar Sungai Panjang kembali merasakan dingin.Sementara Bimantara langsung berlari menuju Raja Dawuh yang tidak lagi bernyawa itu. Dia memeriksa tubuhnya. Denyut nadinya sudah berhenti. Bimantara menangis sambil memeluk mayatnya.“Maafkan aku yang tidak bisa menjagamu!” isak Bimantara.Tanaka, Pendekar Dua Alam dan Pendekar Sungai Panjang berjalan mendekat ke arahnya.“Kita sudah berhasil Bimantara,” ucap Tanaka.Bimantara pun menutup mata Raja Dawuh lalu berdiri di hadapan ketiga Panglimanya yang tersisa itu.“Tapi kita tidak berhasil mencegah mereka menghancurkan setiap kerajaan di atas muka bumi ini,” ucap Bimantara menyayangkannya. “Dan aku tidak berhasil menjaga Bahari dan Raja Dawuh.”“Aku yakin mereka akan tenang di nirwana kar
“Aku bisa melakukannya tanpa harus membangkitkan Dahayu kembali,” ucap Bimantara.Pendekar Dua Alam mengernyit mendengarnya.“Cahaya di tubuh Dahayu sangat berguna untukmu, Bimantara. Jika cahaya kalian menyatu maka tidak ada satupun yang bisa melawan kalian, termasuk para Iblis itu,” protes Pendekar Dua Alam.“Dahayu telah mengalirkan cahayanya kepadaku,” ujar Bimantara.“Tapi cahayanya telah menyusut di tubuhmu,” protes Pendekar Dua Alam.Raja Dawuh pun bangkit.“Jika kau menolaknya karena sudah mengkhianatinya, aku rasa Dahayu akan mengerti, Bimantara. Kita tidak memiliki cara lain untuk membunuh mereka!” tambah Raja Dawuh.“Jangan paksa aku!” teriak Bimantara.Bimantara pun mengeluarkan tenaga dalamnya, dia pun langsung mengalirkannya pada Pendekar Dua Alam, Raja Dawuh, Bahari, Pendekar Sungai Panjang dan Tanaka.“Jangan lakukan itu, jika tidak tenagamu akan habis!” protes Tanaka yang menerima aliran tenaga dalam dari Bimantara.Bimantara tidak menggubris perkataan Tanaka. Tenaga
“Jangan menangis,” pinta Ki Walang.“Aku tidak berhasil menjadi Chandaka Uddhiharata, Tuan Guru,” isak Bimantara. “Dunia sudah dihancurkan anak-anak iblis itu. Tiga kerajaan Nusantara telah habis terbakar, juga istana-istana di kerajaan lain. Sebentar lagi semua manusia akan mati. Mungkin aku juga akan mati. Padahal aku sudah membawa kelima Panglima terbaik di dunia ini.”“Apakah seperti ini akhirnya seorang murid yang sangat aku banggakan itu?” ucap Ki Walang sedikit marah. “Dahulu aku kagum padanya karena keterbatasannya dia memiliki cita-cita begitu agung untuk menjadi seorang pendekar yang berguna bagi sesama. Pahadal dia hanya memiliki kaki satu, tapi dia ingin memiliki jurus tendangan seribu.”Bimantara terdiam mendengar itu.“Hal yang tidak mungkin. Siapapun yang mendengarnya pasti akan tertawa karena ketidakpercayaannya. Tapi aku percaya akan itu. Akhirnya aku ajarkan semua ilmuku padamu. Dan kini, kau mengeluh disaat nyawa masih berada di dalam ragamu?!” teriak Ki Walang.“Ap
Bimantara kembali menyerang Putra Mahkota Iblis yang tampak geram. Dia menggunakan segala jurus yang dia punya untuk melawannya. Sekuat tega Bimantara lakukan sendirian untuk melawannya. Berbagai serangan yang dilakukan Bimantara berhasil dilawannya dengan baik. Bimantara tampak kewalahan dan hampir saja kehilangan tenaga.“Kita harus membantunya,” pinta Raja Dawuh yang tampak khawatir pada Bimantara.“Aku tahu kau seorang raja,” sahut Tanaka. “Tapi yang paling penting dari sebuah tim adalah mengikuti arahan Pimpinannya. Sekarang kau bukan seorang raja lagi. Kau harus mengikuti permintaan Bimantara yang meminta kita menjaga Pendekar Dua Alam sampai dia selesai melakukan ritualnya. Nyawa kita sekarang untuk Pendekar Dua Alam.”“Tapi dia bisa mati melawan Putra Mahkota Iblis itu sendirian,” ucap Raja Dawuh semakin khawatir.“Percaya saja,” pinta Tanaka menenangkannya.Sementara Pendekar Sungai Panjang masih berusaha menggunakan tenaga dalamnya untuk mengembalikan tulang-tulang yang pata
Bimantara terbang ke atas langit. Tubuhnya mengeluarkan cahaya. Sesaat kemudian dia meluncur ke bawah lalu menggunakan jurus tendangan seribunya untuk menghalau roh-roh hitam yang menyerang mereka. Satu persatu dari roh-roh hitam itu terpelanting jauh dan terbakar.Bahari dan Pendekar Sungai Panjang terngaga melihatnya. Bimantara pun kembali mendarat di dekat mereka dengan sorot mata yang masih menyala. Putra Mahkota Iblis di dalam benteng itu tampak geram. Dia berteriak lalu mengeluarkan cahaya di tubuhnya. Gemanya hampir saja memecahkan dinding pembatas tak terlihat.“Sekarang saatnya kau harus memecahkan dinding pembatas tak terlihat itu,” pinta Bahari.Bimantara mengangguk.“Semuanya segera bersiap!” pinta Bimantara pada kedua Panglima yang menemaninya itu.Bahari dan Pendekar Sungai Panjang mengangguk. Mereka pun sudah bersiap dengan jurus masing-masing.Bimantara menoleh pada Tanaka dan Raja Dawuh yang masih menjaga Pendekar Dua Alam yang sedang membangkitkan para pendekar sakti
Putra Mahkota Iblis itu berhenti berlari menuju benteng yang terbuka itu. Iblis itu menatap kepada empat saudaranya yang ikut berhenti.“Berpencarlah kalian semuanya,” pinta Putra Mahkota Iblis. “Hancurkan semua kerajaan di muka bumi ini! Biar aku saja yang menghadapi musuh kita di depan benteng sana!”“Tapi mereka telah membunuh adik bungsu kita,” protes salah satu dari mereka. “Kita harus bersama-sama membunuh mereka sebelum kita keluar dari negeri ini dan menghancurkan semua kerajaan di atas muka bumi ini!”“Diriku sendiri sudah cukup untuk membunuh semuanya! Ikuti perintahku jika kalian masih menganggapku sebagai pengganti Raja!” teriak Putra Mahkota Iblis itu pada adik-adiknya.“Baiklah,” jawab salah satu dari mereka.Empat anak-anak Iblis yang perkasa itu pun langsung melompati benteng yang luas nan tinggi itu. Mereka berpencar ke empat penjuru untuk menghancurkan kerajaan-kerajaan di berbagai wilayah.Sementara Bimantara di luar benteng itu tampak terkejut melihat para Iblis it
“Biar aku saja yang menghadapinya,” ucap Tanaka pada Bimantara.Bimantara mengangguk. Tanaka pun langsung melompat dari punggung naga lalu terbang melawan Pendekar Tombak Angin. Tanaka mengeluarkan golok hitamnya, sementara Pendekar Tombak Angin mengeluarkan pedangnya. Mereka berdua bertarung di atas langit.Bimantara menoleh pada Bahari, Pendekar Sungai Panjang, Pendekar Dua Alam dan Raja Dawuh.“Kalian serang prajurit mereka!” perintah Bimantara.Keempat Panglimanya itu mengangguk. Mereka langsung mengendalikan naga masing-masing lalu naga-naga yang ditunggangi mereka itu menghembuskan api dari mulut mereka untuk membakar ribuan prajurit yang berusaha memecahkan benteng tinggi itu. Sebagian prajuritnya mati terbakar karenanya. Para prajurit yang lain berusaha menyerang mereka dengan senjata masing-masing.Dengan sigap Raja Dawuh menggunakan kekuatannya untuk melelehkan pedang dan senjata lainnya yang digunakan para prajurit itu. Seketika senjata mereka meleleh.Sementara Bimantara l
Ribuan burung besar yang membawa Pendekar Tombak Angin dan pasukan roh-nya telah tiba di daratan negeri salju itu. Angin dingin berhembus menusuk tulang. Pendekar Tombak angin yang berada paling depan di punggung burung besar itu tampak menggigil. Ribuan tentaranya pun tampak kedinginan. Burung-burung besar itu pun tampak sudah lemah memasuki negeri salju itu, mereka tidak kuat akan dinginnya negeri itu.Pendekar Tombak Angin melihat patung es raksasa yang sedang memegang tongkat di hadapan benteng tinggi yang memutih. Ribuan prajurit di dekatnya pun mematung, mereka bagai patung es yang dipahat oleh seorang seniman yang masyhur.“Apakah dia Bubungkala?” tanya Pendekar Tombak Angin pada tiga makhluk hitam yang kedinginan di dekatnya. Tiga makhluk hitam itu terbang mengikutinya.“Benar, Tuanku,” jawab Makhluk hitam itu. “Dia yang paling bungsu dari ke enam saudara Iblismu.”Pendekar Tombak Angin tampak tidak kuat lagi karena dinginnya tempat itu.“Sekarang keluarkan batu dari neraka it