Pangeran Dawuh keluar dari kamarnya memakai pakaian rakyat jelata lalu menunjukkannya pada Balasoka.
“Bagaimana, Balasoka? Apakah penyamaranku sebagai rakyat jelata sudah sempurna?” tanya Pangeran Dawuh sambil tersenyum.
“Sudah sempurna, Pangeran,” jawab Balasoka sambil tersenyum senang.
“Saya sudah meminta penjaga gerbang istana untuk diganti dengan para prajurit yang setia kepada saya agar kita bisa keluar dari gerbang istana dengan mudah,” ucap Pangeran Dawuh padanya.
“Baik, Pangeran. Apakah peta rahasia letak sesungguhnya lembah gunung Munara itu sudah Pangeran bawa?” tanya Balasoka dengan penasaran.
Pangeran Dawuh tersenyum lalu meneluarkan peta rahasia itu dari ikat pinggangnya dan menunjukkannya pada Balasoka.
“Aku sudah bersusah payah menemukannya di kediaman ayah. Jika ayah tahu aku mencuri ini, dia pasti murka padaku. Inilah satu-satunya peta terbaik yang dimiliki Kerajaan Nusan
Kabut menutupi sebuah perkampungan di lembah bukit. Penduduk di perkampungan itu tampak sudah beraktivitas seperti biasanya. Anak-anak kecil berlarian di jalanan setapaknya. Burung-burung di atasnya tampak berterbangan. Seorang kakek sedang memikul kayu bakar di ujung kampung. Tak lama kemudian langkah kakek itu terhenti ketika mendengar suara langkah kuda di belekangnya. Dia menoleh ke belakang. Tak lama kemudian pasukan kuda yang ditunggangi para pendekar bertopeng berdatangan membawa pedang yang siap menghunus siapa pun di dekatnya.Kakek itu terbelalak ketakutan. Tubuhnya gemetar, dia menjatuhkan kayu bakar yang dipikulnya ke atas tanah, kemudian langsung berlari ke tengah kampung.“Perguruaan Tengkoraaaa!!!” teriak kakek itu.Tak lama kemudian terdengar suara teriakan ketakutan di mana-mana. Semua orang berlarian untuk bersembunyi. Sebagian ada yang menggendong anak kecil lalu pergi menuju hutan di sisi kampung.Seekor kuda yang ditunggan
Kuda yang ditunggangi Bimantara berhenti di pinggir sungai. Dahayu yang duduk di belakang Bimantara tampak heran. Kancil pun tampak menghentikan kudanya dengan heran.“Kenapa kita berhenti di sini, Bimantara?”“Kita harus istrirahat dulu. Kata Tuan Guruku, tubuh kita juga perlu tenaga. Kita cari ikan di sini dan kita makan dulu saja,” pinta Bimantara.Semua pun akhirnya turun dari kuda. Bimantara berjalan ke arah sungai dengan tongkatnya. Kancil menyusul Bimantara ke arah sungai.“Kau juga ahli menangkap ikan?” tanya Kancil.“Tuan Guru mengajarkan semuanya padaku,” jawab Bimantara.Dahayu duduk di atas batu sambil melihat Bimantara yang siap menombak ikan dengan tongkatya. “Aku melihat kakimu tumbuh menjadi cahaya saat melawan para pendekar bertopeng itu! Apakah itu juga diturunkan oleh Tuan Gurumu?” tanya Dahayu tiba-tiba.Bimantara terkejut mendengarnya. “Kau bisa mel
Panglama Sada dan pasukannya baru saja keluar dari hutan bersama kuda masing-masing. Mereka memasuk wilayah perkampungan yang rumah-rumahnya habis terbakar. Panglima Sada menghentikan kudanya dengan terkejut. Pasukannya pun turut berhenti di belakangnya.Panglima Sada turun dari kuda sambil mengitari matanya ke seluruh penjuru kampung itu.“Apa yang sedang terjadi?” tanya Panglima Sada tak percaya.“Hamba mendengar kabar bahwa para pendekar dari Perguruan Tengkorak telah keluar dari persembunyian dan mulai menyerang desa-desa, Panglima,” jawab salah satu Prajurit.Panglima Sada terkejut mendengarnya. “Mereka sudah keluar dari persembunyiannya?”“Iya, Panglima,” jawab Prajuritnya.“Berarti saat ini kerajaan dalam bahaya!” ucap Panglima Sada yang tampak bingung antara kembali ke istana atau melanjutkan perjalanan mencari anak gadianya.Tak lama kemudian merpati berputar-putar d
Bimantara pun memeriksa tubuhnya, dia sama sekali tidak membawa senjata tajam. Sementara Kancil menemukan pisau kecil di ikat pinggangnya.“Aku membawa pisau kecil!” teriak Kancil.“Aku tidak membawa apa-apa! Tongkatku ikut masuk ke dalam lubang tanah!” teriak Bimantara.“Aku juga hanya punya selendang!” teriak Dahayu.“Tunggu! Biar aku dulu yang membuka jaring taliku,” pinta Kancil.Kancilpun mencoba memotong jaring tali itu. Namun pisaunya yang tajam tidak mampu membuatnya terputus. Kancil heran.“Tali ini kuat sekali! Piasuku yang tajam tak mampu membuatnya putus!” teriak Kancil.“Mungkin ini bukan tali biasa!” teriak Bimantara.“Tapi kenapa sampai sekarang tidak ada satupun yang menemui kita! Jika tujuan mereka membuat jebakan untuk menangkap kita, kenapa tidak ada satupun yang datang? Apa ini jebakan yang ditinggalkan dan tidak ada tuannya?&rdquo
Pangeran Kantata pun melepas pakaian yang dikenakan Ratu Peri itu hingga tak ada satu benang pun yang tersisa dari tubuh putihnya. Kini Pangeran Kantata dan Ratu Peri itu tak mengenakan pakaian sama sekali. Semua terjatuh ke atas permukaan air. Cahaya keluar dari tubuh Ratu Peri itu hingga menutupi kedua tubuhnya yang mulai beradu. Bagai Singa Jantan dan betina yang melakukan perkawinan di bungkus bola cahaya putih yang sangat terang. Para prajurit mendongak ke atas sana. Mereka terkejut melihat bola cahaya besar di atas sana. Tak lama kemudian, makhluk berbadan kera keluar dari hutan lalu menyerang para prajurti. Para prajurit terkejut lalu mengerahkan segala kekuatan mereka untuk melawan ratusan makhluk berbadan kera itu. Satu persatu para prajutit itu tumbang dan kepalanya ditebas oleh para makhluk berbadan kera itu. Hingga tak ada satupun yang tersisa dari merka. Semua merengang nyawa tanpa kepala. Para makhluk berbadan kera itu telah membawa kepala mereka ke dalam hutan
Bimantara masih terjebak di dalam jaring tali bersama Kancil dan Dahayu. Masing-masing masih menggantung di tiga dahan pohon yang saling menghadap. Senja sudah datang, sebentar lagi akan malam. Mereka bertiga tampak lemas karena sudah mengerahkan kekuatan masing-masing namun mereka sama sekali tak berhasil merobek tali itu.“Aku pernah mendengar seorang pendekar sakti lulusan dari Perguruan Matahari,” ucap Kancil tiba-tiba dalam keadaan lemasnya. “Sejak dia keluar dari Perguruan Matahari, dia sama sekali menghilang dari Nusantara. Pendekar lain mengabdi menjaga Nusantara yang tersebar di tiga kerajaan Nusantara, sementara dia tak tahu di mana rimbanya.”Bimantara dan Dahayu di tempat masing-masing menatap Kancil dan mendengarkan kisahnya.Kancil kembali melanjutkan kata-katanya. “Ada yang mengatakan dia menjelma siluman karena tak sengaja menyelamatkan seekor siluman ular. Ternyata siluman ular itu sosok perempuan yang cantik. Pende
Panglima Sada datang menghadap Raja Dwilaga di singgasananya. Para pejabat istana duduk bersila di kiri dan kanannya. Panglima Sada duduk hormat di hadapan Raja.“Ampun Yang Mulia, hamba datang terlambat karena diperintahkan Pangeran Sakai untuk mencari salah satu murid Perguruan Matahari yang sengaja meninggalkan Perguruan karena ada sesuatu,” ucap Panglima Sada penuh hormat.“Saya mengerti,” ucap Raja Dwilaga. “Telah tiba salah satu surat dari Pangeran Pangaraban ke istana. Beliau mengabarkan bahwa saat ini para pendekar Perguruan Tengkorak kembali berulah menjarah desa-desa. Aku memerintahkan padamu untuk mengerahkan seluruh pasukannya agar menjaga istana ini dengan ketat dan kirimkan sebagian para pasukanmu untuk mengamankan setiap perkampungan di wilayah Kerajaan Nusantara Timur.”“Siap, Yang Mulia!” jawab Panglima Sada penuh hormat.“Dan kirimkan juga para pasukan untuk menjaga Perguruan Matahari
Gajendra tertawa. “Kalau begitu, serahkan sekarang juga pedang perak cahaya merah itu padaku!”“Akan aku serahkan jika kau setuju dengan permintaanku,” ucap Pangeran Kantata dengan tegas.“Baiklah! Aku setuju!” jawab Gajendra.Pangeran Kantata tersenyum mendengarnya.***Panglima Aras yang menunggangi kudanya bersama pasukannya langsung berhenti saat melihat secarik kain yang tergeletak di atas tanah di hadapannya.“Ada apa, Panglima?” tanya pasukannya heran.Panglima Aras tidak menjawab. Dia malah turun lalu meraih secarik kain itu di atas tanah dan memandanginya dengan lekat lalu menciumnya.“Sepertinya kain ini sama dengan kain yang digunakan Pangeran Pangaraban untuk menulis surat yang dikirimkannya melalui merpati,” ucap Panglima Aras dengan penuh keyakinan.“Berati Pangeran Pangaraban tidak jauh dari sini,” tebak salah satu dari prajuritnya.