Bimantara masih terjebak di dalam jaring tali bersama Kancil dan Dahayu. Masing-masing masih menggantung di tiga dahan pohon yang saling menghadap. Senja sudah datang, sebentar lagi akan malam. Mereka bertiga tampak lemas karena sudah mengerahkan kekuatan masing-masing namun mereka sama sekali tak berhasil merobek tali itu.
“Aku pernah mendengar seorang pendekar sakti lulusan dari Perguruan Matahari,” ucap Kancil tiba-tiba dalam keadaan lemasnya. “Sejak dia keluar dari Perguruan Matahari, dia sama sekali menghilang dari Nusantara. Pendekar lain mengabdi menjaga Nusantara yang tersebar di tiga kerajaan Nusantara, sementara dia tak tahu di mana rimbanya.”
Bimantara dan Dahayu di tempat masing-masing menatap Kancil dan mendengarkan kisahnya.
Kancil kembali melanjutkan kata-katanya. “Ada yang mengatakan dia menjelma siluman karena tak sengaja menyelamatkan seekor siluman ular. Ternyata siluman ular itu sosok perempuan yang cantik. Pende
Panglima Sada datang menghadap Raja Dwilaga di singgasananya. Para pejabat istana duduk bersila di kiri dan kanannya. Panglima Sada duduk hormat di hadapan Raja.“Ampun Yang Mulia, hamba datang terlambat karena diperintahkan Pangeran Sakai untuk mencari salah satu murid Perguruan Matahari yang sengaja meninggalkan Perguruan karena ada sesuatu,” ucap Panglima Sada penuh hormat.“Saya mengerti,” ucap Raja Dwilaga. “Telah tiba salah satu surat dari Pangeran Pangaraban ke istana. Beliau mengabarkan bahwa saat ini para pendekar Perguruan Tengkorak kembali berulah menjarah desa-desa. Aku memerintahkan padamu untuk mengerahkan seluruh pasukannya agar menjaga istana ini dengan ketat dan kirimkan sebagian para pasukanmu untuk mengamankan setiap perkampungan di wilayah Kerajaan Nusantara Timur.”“Siap, Yang Mulia!” jawab Panglima Sada penuh hormat.“Dan kirimkan juga para pasukan untuk menjaga Perguruan Matahari
Gajendra tertawa. “Kalau begitu, serahkan sekarang juga pedang perak cahaya merah itu padaku!”“Akan aku serahkan jika kau setuju dengan permintaanku,” ucap Pangeran Kantata dengan tegas.“Baiklah! Aku setuju!” jawab Gajendra.Pangeran Kantata tersenyum mendengarnya.***Panglima Aras yang menunggangi kudanya bersama pasukannya langsung berhenti saat melihat secarik kain yang tergeletak di atas tanah di hadapannya.“Ada apa, Panglima?” tanya pasukannya heran.Panglima Aras tidak menjawab. Dia malah turun lalu meraih secarik kain itu di atas tanah dan memandanginya dengan lekat lalu menciumnya.“Sepertinya kain ini sama dengan kain yang digunakan Pangeran Pangaraban untuk menulis surat yang dikirimkannya melalui merpati,” ucap Panglima Aras dengan penuh keyakinan.“Berati Pangeran Pangaraban tidak jauh dari sini,” tebak salah satu dari prajuritnya.
Bimantara, Kancil dan Dahayu diseret ke dalam gua yang pengap dan gelap oleh pengikut kakek-kakek itu. Tak berapa lama kemudian mereka tiba di sebuah ruang gua yang besar. Di ujung sana berdiri seorang permpuan yang sedang membelakangi mereka.Para penyeret itu mendekatkan Bimantara, Kancil dan Dahayu di dekat perempuan itu. Kakek itu menghadap ke perempuan itu.“Anakku! Tiga pendekar dari perguruan tengkorak telah kami tangkap!” teriak kakek-kakek itu.Bimantara, Kancil dan Dahayu terbelalak mendengarnya.“Kami bukan dari perguruan tengkorak, kami dari perguruan matahari,” teriak Bimantara.“Diaaam!” teriak kakek-kakek itu dengan tegas.Bimantara terdiam. Perempuan itu menoleh ke belakang. Dahayu terbelalak ketika melihat perempuan itu. “Nyai Sengkuni?!” ucap Dahayu agak lemah.Perempuan itu terkejut mendengarnya. Kakek-kakek itu pun terkejut mendengarnya. Perempuan itu melangkah maju l
Pangeran Kantata pun menyerahkan pedang itu kepada Ganjendra. Kini pedang itu sudah berada di tangannya. Namun Gajendra heran, tidak ada suara petir itu. Tidak ada angin puting beliung yang datang. Tidak ada cahaya merah yang keluar dari pedang itu. Dia pun menatap Pangeran Kantata dengan amarah.“Kau sudah meniduri Ratu Peri penjaga Mata Air Abadi?” selidiknya.Pangeran Kantata terdiam. Karena dia tidak mengingat apapun. Yang dia ingat hanyalah disaat terbangun dalam tubuh bugil dan pedang itu sudah berada di tangannya.“Aku tidak mengerti pertanyaanmu. Aku tidak ingat apa-apa saat menuju ke sana. Yang aku ingat adalah aku tiba-tiba terbangun di dekat mata air dan pedang ini sudah berada di tanganku,” jawab Pangeran Kantata dengan bingung.“Dia telah membacakan ajian agar kau lupa akan kejadian itu!” geram Gajendra sambil meremas kerah Pangeran Kantata. “Pedang yang kau berikan itu tidak ada artinya bagiku jika c
Bimantara, Kancil dan Dahayu kini terbaring di atas jerami. Gua itu memiliki ruangan untuk mereka istrirahat. Nyai Sengkuni menatap semuanya dengan heran. Tak lama kemudian satu persatu satu dari mereka terbangun lalu muntah. Angin malam telah merasuki tubuh mereka masing-masing. Kelaparan telah membuat merka tampak lemas.Dahayu bangkit. Nyai Sengkuni buru-buru membantunya bersandar di bebatuan. Tak lama kemudian Bimantara dan Kancil pun bangkit dan menyandar di bebatuan.“Maafkan atas kecerobohan ayahku dan murid-muridku,” ucap Nyai Sengkuni.Semua mengangguk, tampak lemas untuk bicara.Nyai Sengkuni kembali bicara. “Perguruan tengkorak akhir-akhir ini telah memasuki perkampungan. Saya dan semua murid-murid saya sengaja memasang jerat untuk menangkap mereka. Kamu sudah berhasil menangkap puluhan dari mereka dan kami lemparkan ke sungai penuh buaya!” ucap Nyai Sengkuni penuh kesal. “Mereka pantas untuk menerima itu kar
Hutan di hadapan mulut gua itu tampak rimbun. Tanah berbukit yang memiliki lembah-lembah berawa. Bimantara berdiri di hadapan Kancil Dan Dahayu dengan tongkat barunya. Nyi Sengkuni dan para pendekarnya pun berada di sana untuk melepas kepergian mereka. Dua kuda mereka pun sudah siap mengantarkan mereka.“Aku harap kalian kembali ke Perguruan Matahari,” pinta Bimantara pada Kancil dan Dahayu. “Kita memiliki tujuan hidup masing-masing. Aku tahu kalian begitu menyayangiku. Sekarang biarkan aku berangkat sendiri menuju lembah Gunung Menara untuk menyelesaikan tugas terakhir dari mendiang Tuan Guruku. Tunggulah aku di sana. Aku akan kembali ke sana secepatnya.”Kancil dan Dahayu terdiam bingung. Akhirnya Nyi Sengkuni angkat bicara. “Bimantara benar, kalian berdua harus menyelesaikan berlati ilmu bela diri di Perguruan Matahari sampai kalian lulus dan dilepas kembali ke tanah Nusantara ini.”Kancil dan Dahayu akhirnya mengangguk. Da
“Tunggu...” terdengar suara Pangeran Kantata yang barus sadar memanggil para prajurit itu.Para prajurit itu pun berhenti menarik Dhaksayini. Raja Dwilaga pun mendekat padanya dengan geram.“Benarkah kau diam-diam sudah menikahi seorang gadis desa?!” tanya tegas Raja Dwilaga.Pangeran Kantata hendak bangkit. Pelayannya langsung membantu Pangeran Kantata duduk.“Ampun Yang Mulia, jangan kurung dia dariku. Biarkan dia menjagaku di sini,” pinta Pangeran Kantata.“Jawab pertanyaanku!!!” tegas Raja Dwilaga.“I... iya, Yang Mulia,” jawab Raja Dwilaga.Raja Dwilaga semakin geram melihatnya. “Setelah kau sembuh, kau harus menikah dengannya secara kerajaan. Aku tidak mau orang-orang istana membicarakanmu. Apalagi jika ini sampai terdengar keluar istana.”“Baik, Yang Mulia,” jawab Pangeran Kantata. Dia sendiri pun tak mengerti siapa perempuan itu. Namun d
“Siapa ayahmu dan siapa pendekar itu?” tanya Bimantara.“Ayahku kepala wilayah di ujung kawasan Kerajaan Nusantara ini dan pendekar itu bernama Sangkala, kami memanggilnya dengan panggilan pendekar harimau.”Bimantara terkejut mendengarnya. “Sangkala?!” ya, nama pendekar itu sama dengan nama kakeknya. Tiba-tiba dia berpikir, apakah mungkin yang dimasudnya adalah kakeknya sendiri.“Bisakah kau menjadikan aku sebagai muridmu?” tanya gadis itu penuh harap.“Aku masih menjadi seorang murid di Perguruan Matahari. Aku belum layak untuk menjadi gurumu!” tegas Bimantara.“Tolong ajarkan aku! Aku adalah satu-satunya putri yang dimiliki oleh ayahku. Aku tidak ingin menjadi perempuan tak berguna dan diremehkan kaum lelaki jika kelak ayahku tiada. Saat ini kerajaan Nusantara tengah panik karena Perguruan Tengkorak sudah keluar dari persembunyiannya. Aku harus menjaga ayahku dan menjaga wilayah p