Gajendra tertawa. “Kalau begitu, serahkan sekarang juga pedang perak cahaya merah itu padaku!”
“Akan aku serahkan jika kau setuju dengan permintaanku,” ucap Pangeran Kantata dengan tegas.
“Baiklah! Aku setuju!” jawab Gajendra.
Pangeran Kantata tersenyum mendengarnya.
***
Panglima Aras yang menunggangi kudanya bersama pasukannya langsung berhenti saat melihat secarik kain yang tergeletak di atas tanah di hadapannya.
“Ada apa, Panglima?” tanya pasukannya heran.
Panglima Aras tidak menjawab. Dia malah turun lalu meraih secarik kain itu di atas tanah dan memandanginya dengan lekat lalu menciumnya.
“Sepertinya kain ini sama dengan kain yang digunakan Pangeran Pangaraban untuk menulis surat yang dikirimkannya melalui merpati,” ucap Panglima Aras dengan penuh keyakinan.
“Berati Pangeran Pangaraban tidak jauh dari sini,” tebak salah satu dari prajuritnya.
Bimantara, Kancil dan Dahayu diseret ke dalam gua yang pengap dan gelap oleh pengikut kakek-kakek itu. Tak berapa lama kemudian mereka tiba di sebuah ruang gua yang besar. Di ujung sana berdiri seorang permpuan yang sedang membelakangi mereka.Para penyeret itu mendekatkan Bimantara, Kancil dan Dahayu di dekat perempuan itu. Kakek itu menghadap ke perempuan itu.“Anakku! Tiga pendekar dari perguruan tengkorak telah kami tangkap!” teriak kakek-kakek itu.Bimantara, Kancil dan Dahayu terbelalak mendengarnya.“Kami bukan dari perguruan tengkorak, kami dari perguruan matahari,” teriak Bimantara.“Diaaam!” teriak kakek-kakek itu dengan tegas.Bimantara terdiam. Perempuan itu menoleh ke belakang. Dahayu terbelalak ketika melihat perempuan itu. “Nyai Sengkuni?!” ucap Dahayu agak lemah.Perempuan itu terkejut mendengarnya. Kakek-kakek itu pun terkejut mendengarnya. Perempuan itu melangkah maju l
Pangeran Kantata pun menyerahkan pedang itu kepada Ganjendra. Kini pedang itu sudah berada di tangannya. Namun Gajendra heran, tidak ada suara petir itu. Tidak ada angin puting beliung yang datang. Tidak ada cahaya merah yang keluar dari pedang itu. Dia pun menatap Pangeran Kantata dengan amarah.“Kau sudah meniduri Ratu Peri penjaga Mata Air Abadi?” selidiknya.Pangeran Kantata terdiam. Karena dia tidak mengingat apapun. Yang dia ingat hanyalah disaat terbangun dalam tubuh bugil dan pedang itu sudah berada di tangannya.“Aku tidak mengerti pertanyaanmu. Aku tidak ingat apa-apa saat menuju ke sana. Yang aku ingat adalah aku tiba-tiba terbangun di dekat mata air dan pedang ini sudah berada di tanganku,” jawab Pangeran Kantata dengan bingung.“Dia telah membacakan ajian agar kau lupa akan kejadian itu!” geram Gajendra sambil meremas kerah Pangeran Kantata. “Pedang yang kau berikan itu tidak ada artinya bagiku jika c
Bimantara, Kancil dan Dahayu kini terbaring di atas jerami. Gua itu memiliki ruangan untuk mereka istrirahat. Nyai Sengkuni menatap semuanya dengan heran. Tak lama kemudian satu persatu satu dari mereka terbangun lalu muntah. Angin malam telah merasuki tubuh mereka masing-masing. Kelaparan telah membuat merka tampak lemas.Dahayu bangkit. Nyai Sengkuni buru-buru membantunya bersandar di bebatuan. Tak lama kemudian Bimantara dan Kancil pun bangkit dan menyandar di bebatuan.“Maafkan atas kecerobohan ayahku dan murid-muridku,” ucap Nyai Sengkuni.Semua mengangguk, tampak lemas untuk bicara.Nyai Sengkuni kembali bicara. “Perguruan tengkorak akhir-akhir ini telah memasuki perkampungan. Saya dan semua murid-murid saya sengaja memasang jerat untuk menangkap mereka. Kamu sudah berhasil menangkap puluhan dari mereka dan kami lemparkan ke sungai penuh buaya!” ucap Nyai Sengkuni penuh kesal. “Mereka pantas untuk menerima itu kar
Hutan di hadapan mulut gua itu tampak rimbun. Tanah berbukit yang memiliki lembah-lembah berawa. Bimantara berdiri di hadapan Kancil Dan Dahayu dengan tongkat barunya. Nyi Sengkuni dan para pendekarnya pun berada di sana untuk melepas kepergian mereka. Dua kuda mereka pun sudah siap mengantarkan mereka.“Aku harap kalian kembali ke Perguruan Matahari,” pinta Bimantara pada Kancil dan Dahayu. “Kita memiliki tujuan hidup masing-masing. Aku tahu kalian begitu menyayangiku. Sekarang biarkan aku berangkat sendiri menuju lembah Gunung Menara untuk menyelesaikan tugas terakhir dari mendiang Tuan Guruku. Tunggulah aku di sana. Aku akan kembali ke sana secepatnya.”Kancil dan Dahayu terdiam bingung. Akhirnya Nyi Sengkuni angkat bicara. “Bimantara benar, kalian berdua harus menyelesaikan berlati ilmu bela diri di Perguruan Matahari sampai kalian lulus dan dilepas kembali ke tanah Nusantara ini.”Kancil dan Dahayu akhirnya mengangguk. Da
“Tunggu...” terdengar suara Pangeran Kantata yang barus sadar memanggil para prajurit itu.Para prajurit itu pun berhenti menarik Dhaksayini. Raja Dwilaga pun mendekat padanya dengan geram.“Benarkah kau diam-diam sudah menikahi seorang gadis desa?!” tanya tegas Raja Dwilaga.Pangeran Kantata hendak bangkit. Pelayannya langsung membantu Pangeran Kantata duduk.“Ampun Yang Mulia, jangan kurung dia dariku. Biarkan dia menjagaku di sini,” pinta Pangeran Kantata.“Jawab pertanyaanku!!!” tegas Raja Dwilaga.“I... iya, Yang Mulia,” jawab Raja Dwilaga.Raja Dwilaga semakin geram melihatnya. “Setelah kau sembuh, kau harus menikah dengannya secara kerajaan. Aku tidak mau orang-orang istana membicarakanmu. Apalagi jika ini sampai terdengar keluar istana.”“Baik, Yang Mulia,” jawab Pangeran Kantata. Dia sendiri pun tak mengerti siapa perempuan itu. Namun d
“Siapa ayahmu dan siapa pendekar itu?” tanya Bimantara.“Ayahku kepala wilayah di ujung kawasan Kerajaan Nusantara ini dan pendekar itu bernama Sangkala, kami memanggilnya dengan panggilan pendekar harimau.”Bimantara terkejut mendengarnya. “Sangkala?!” ya, nama pendekar itu sama dengan nama kakeknya. Tiba-tiba dia berpikir, apakah mungkin yang dimasudnya adalah kakeknya sendiri.“Bisakah kau menjadikan aku sebagai muridmu?” tanya gadis itu penuh harap.“Aku masih menjadi seorang murid di Perguruan Matahari. Aku belum layak untuk menjadi gurumu!” tegas Bimantara.“Tolong ajarkan aku! Aku adalah satu-satunya putri yang dimiliki oleh ayahku. Aku tidak ingin menjadi perempuan tak berguna dan diremehkan kaum lelaki jika kelak ayahku tiada. Saat ini kerajaan Nusantara tengah panik karena Perguruan Tengkorak sudah keluar dari persembunyiannya. Aku harus menjaga ayahku dan menjaga wilayah p
Bimantara meraih tongkatnya lalu berdiri. “Aku harus melanjutkan perjalananku, Kek.”Kakek Sangkala mengangguk. Dia pun berdiri sambil menepuk bahu Bimantara dengan lembut. “Capai semua yang kau inginkan cucuku. Saat ini hanya dirimu yang kupunya. Kakek akan menunggumu di sini sampai kau lulus menjadi pendekar terbaik di Perguruan Matahari,” ucap Kakek Sangkala.Bimantara mengangguk lalu memeluk tubuh tua Kakeknya dengan erat. Setelah itu dia keluar dari rumah itu dan pergi menuju kudanya.Sesampainya Bimantara di tempat kuda putihnya. Dia terkejut saat melihat gadis itu masih berada di sana.“Kau akan kembali melanjutkan perjalananmu?” tanya gadis itu.“Iya, aku akan pergi,” jawab Bimantara.“Apakah kau akan berkunjung kembali ke sini?” tanyanya.“Jika umurku panjang aku pasti akan kembali ke sini, karena tujuanku pulang berada di sini,” jawab Bimantara.&
Kepala Perguruan menatapnya dengan lekat dan kembali bertuah padanya. “Kalau kunci terus rasa percayamu pada orang lain, kau akan kehilangan pembuktian orang-orang baik dan suci. Selamanya kau menganggap orang lain sebagai musuh!”“Ampun Tuan Guru Besar, terima kasih sudah menasehati hamba. Ini sangat berat jika hamba harus mendampingi Tuan Besar dan kelak akan menggantikanmu memimpin perguruan ini,” ucap Pendekar Pedang Emas dengan bingung.“Tidak ada yang berat jika kau percaya bisa melakukannya,” nasehat Kepala Perguruan padanya.“Kalau begitu, berilah hamba waktu untuk berpikir dahulu,” ucapnya.Kepala Perguruan tersenyum padanya. “Baiklah,” sahutnya.“Apakah hamba boleh kembali ke murid-murid hamba?” tanya Pendekar Pedang Emas.“Tunggu sebentar. Aku ingin bertanya mengenai Bimantara, Kancil dan Dahayu? Apakah kau sudah mendapatkan kabar tentang mereka?”
Bimantara berjalan dengan tongkat hitamnya di pedesaan pinggir laut itu. Dia sudah tidak lagi menggunakan kaki cahaya naganya. Dia melihat di pulau seberang sudah tidak ada lagi bangunan tinggi yang memiliki menara yang menjulang. Bagunan Perguruan Matarhari telah lenyap di sana. Perkampungannya tampak sunyi. Beberapa rumah tampak sudah hancur berkeping-keping. Hanya ada beberapa rumah yang tampak baik-baik saja.Bimantara tidak tahu siapa yang masih hidup di negeri itu. Setelah dia memeriksa tiga kerajaan Nusantara yang hancur berkeping-keping, dia mengendalikan naganya untuk kembali ke kampung halamanannya.Bimantara berdiri di sisi tebing itu. Dia teringat saat menemui Dahayu di sana dahulu."Tahun depan aku akan menjadi murid di sana!" ucap Bimantara tiba-tiba. Memecah lamunan tiga remaja di hadapannya itu. Seolah ingin menunjukkan pada Dahayu bahwa tanpa kaki satu, dia masih layak mengejar impiannya. Tiga remaja itu menoleh ke arah Bimantara bersamaan. Saat menyadari yang bicara
Setelah itu keadaan menjadi hening. Putra Mahkota Iblis dan keempat saudaranya benar-benar sudah mati. Bahari tersenyum.“Sekarang aku bisa mati dengan tenang,” ucap Bahari.Bahari pun memejamkan matanya. Kini Bimantara, Tanaka, Pendekar Dua Alam dan Pendekar Sungai Panjang kembali merasakan dingin.Sementara Bimantara langsung berlari menuju Raja Dawuh yang tidak lagi bernyawa itu. Dia memeriksa tubuhnya. Denyut nadinya sudah berhenti. Bimantara menangis sambil memeluk mayatnya.“Maafkan aku yang tidak bisa menjagamu!” isak Bimantara.Tanaka, Pendekar Dua Alam dan Pendekar Sungai Panjang berjalan mendekat ke arahnya.“Kita sudah berhasil Bimantara,” ucap Tanaka.Bimantara pun menutup mata Raja Dawuh lalu berdiri di hadapan ketiga Panglimanya yang tersisa itu.“Tapi kita tidak berhasil mencegah mereka menghancurkan setiap kerajaan di atas muka bumi ini,” ucap Bimantara menyayangkannya. “Dan aku tidak berhasil menjaga Bahari dan Raja Dawuh.”“Aku yakin mereka akan tenang di nirwana kar
“Aku bisa melakukannya tanpa harus membangkitkan Dahayu kembali,” ucap Bimantara.Pendekar Dua Alam mengernyit mendengarnya.“Cahaya di tubuh Dahayu sangat berguna untukmu, Bimantara. Jika cahaya kalian menyatu maka tidak ada satupun yang bisa melawan kalian, termasuk para Iblis itu,” protes Pendekar Dua Alam.“Dahayu telah mengalirkan cahayanya kepadaku,” ujar Bimantara.“Tapi cahayanya telah menyusut di tubuhmu,” protes Pendekar Dua Alam.Raja Dawuh pun bangkit.“Jika kau menolaknya karena sudah mengkhianatinya, aku rasa Dahayu akan mengerti, Bimantara. Kita tidak memiliki cara lain untuk membunuh mereka!” tambah Raja Dawuh.“Jangan paksa aku!” teriak Bimantara.Bimantara pun mengeluarkan tenaga dalamnya, dia pun langsung mengalirkannya pada Pendekar Dua Alam, Raja Dawuh, Bahari, Pendekar Sungai Panjang dan Tanaka.“Jangan lakukan itu, jika tidak tenagamu akan habis!” protes Tanaka yang menerima aliran tenaga dalam dari Bimantara.Bimantara tidak menggubris perkataan Tanaka. Tenaga
“Jangan menangis,” pinta Ki Walang.“Aku tidak berhasil menjadi Chandaka Uddhiharata, Tuan Guru,” isak Bimantara. “Dunia sudah dihancurkan anak-anak iblis itu. Tiga kerajaan Nusantara telah habis terbakar, juga istana-istana di kerajaan lain. Sebentar lagi semua manusia akan mati. Mungkin aku juga akan mati. Padahal aku sudah membawa kelima Panglima terbaik di dunia ini.”“Apakah seperti ini akhirnya seorang murid yang sangat aku banggakan itu?” ucap Ki Walang sedikit marah. “Dahulu aku kagum padanya karena keterbatasannya dia memiliki cita-cita begitu agung untuk menjadi seorang pendekar yang berguna bagi sesama. Pahadal dia hanya memiliki kaki satu, tapi dia ingin memiliki jurus tendangan seribu.”Bimantara terdiam mendengar itu.“Hal yang tidak mungkin. Siapapun yang mendengarnya pasti akan tertawa karena ketidakpercayaannya. Tapi aku percaya akan itu. Akhirnya aku ajarkan semua ilmuku padamu. Dan kini, kau mengeluh disaat nyawa masih berada di dalam ragamu?!” teriak Ki Walang.“Ap
Bimantara kembali menyerang Putra Mahkota Iblis yang tampak geram. Dia menggunakan segala jurus yang dia punya untuk melawannya. Sekuat tega Bimantara lakukan sendirian untuk melawannya. Berbagai serangan yang dilakukan Bimantara berhasil dilawannya dengan baik. Bimantara tampak kewalahan dan hampir saja kehilangan tenaga.“Kita harus membantunya,” pinta Raja Dawuh yang tampak khawatir pada Bimantara.“Aku tahu kau seorang raja,” sahut Tanaka. “Tapi yang paling penting dari sebuah tim adalah mengikuti arahan Pimpinannya. Sekarang kau bukan seorang raja lagi. Kau harus mengikuti permintaan Bimantara yang meminta kita menjaga Pendekar Dua Alam sampai dia selesai melakukan ritualnya. Nyawa kita sekarang untuk Pendekar Dua Alam.”“Tapi dia bisa mati melawan Putra Mahkota Iblis itu sendirian,” ucap Raja Dawuh semakin khawatir.“Percaya saja,” pinta Tanaka menenangkannya.Sementara Pendekar Sungai Panjang masih berusaha menggunakan tenaga dalamnya untuk mengembalikan tulang-tulang yang pata
Bimantara terbang ke atas langit. Tubuhnya mengeluarkan cahaya. Sesaat kemudian dia meluncur ke bawah lalu menggunakan jurus tendangan seribunya untuk menghalau roh-roh hitam yang menyerang mereka. Satu persatu dari roh-roh hitam itu terpelanting jauh dan terbakar.Bahari dan Pendekar Sungai Panjang terngaga melihatnya. Bimantara pun kembali mendarat di dekat mereka dengan sorot mata yang masih menyala. Putra Mahkota Iblis di dalam benteng itu tampak geram. Dia berteriak lalu mengeluarkan cahaya di tubuhnya. Gemanya hampir saja memecahkan dinding pembatas tak terlihat.“Sekarang saatnya kau harus memecahkan dinding pembatas tak terlihat itu,” pinta Bahari.Bimantara mengangguk.“Semuanya segera bersiap!” pinta Bimantara pada kedua Panglima yang menemaninya itu.Bahari dan Pendekar Sungai Panjang mengangguk. Mereka pun sudah bersiap dengan jurus masing-masing.Bimantara menoleh pada Tanaka dan Raja Dawuh yang masih menjaga Pendekar Dua Alam yang sedang membangkitkan para pendekar sakti
Putra Mahkota Iblis itu berhenti berlari menuju benteng yang terbuka itu. Iblis itu menatap kepada empat saudaranya yang ikut berhenti.“Berpencarlah kalian semuanya,” pinta Putra Mahkota Iblis. “Hancurkan semua kerajaan di muka bumi ini! Biar aku saja yang menghadapi musuh kita di depan benteng sana!”“Tapi mereka telah membunuh adik bungsu kita,” protes salah satu dari mereka. “Kita harus bersama-sama membunuh mereka sebelum kita keluar dari negeri ini dan menghancurkan semua kerajaan di atas muka bumi ini!”“Diriku sendiri sudah cukup untuk membunuh semuanya! Ikuti perintahku jika kalian masih menganggapku sebagai pengganti Raja!” teriak Putra Mahkota Iblis itu pada adik-adiknya.“Baiklah,” jawab salah satu dari mereka.Empat anak-anak Iblis yang perkasa itu pun langsung melompati benteng yang luas nan tinggi itu. Mereka berpencar ke empat penjuru untuk menghancurkan kerajaan-kerajaan di berbagai wilayah.Sementara Bimantara di luar benteng itu tampak terkejut melihat para Iblis it
“Biar aku saja yang menghadapinya,” ucap Tanaka pada Bimantara.Bimantara mengangguk. Tanaka pun langsung melompat dari punggung naga lalu terbang melawan Pendekar Tombak Angin. Tanaka mengeluarkan golok hitamnya, sementara Pendekar Tombak Angin mengeluarkan pedangnya. Mereka berdua bertarung di atas langit.Bimantara menoleh pada Bahari, Pendekar Sungai Panjang, Pendekar Dua Alam dan Raja Dawuh.“Kalian serang prajurit mereka!” perintah Bimantara.Keempat Panglimanya itu mengangguk. Mereka langsung mengendalikan naga masing-masing lalu naga-naga yang ditunggangi mereka itu menghembuskan api dari mulut mereka untuk membakar ribuan prajurit yang berusaha memecahkan benteng tinggi itu. Sebagian prajuritnya mati terbakar karenanya. Para prajurit yang lain berusaha menyerang mereka dengan senjata masing-masing.Dengan sigap Raja Dawuh menggunakan kekuatannya untuk melelehkan pedang dan senjata lainnya yang digunakan para prajurit itu. Seketika senjata mereka meleleh.Sementara Bimantara l
Ribuan burung besar yang membawa Pendekar Tombak Angin dan pasukan roh-nya telah tiba di daratan negeri salju itu. Angin dingin berhembus menusuk tulang. Pendekar Tombak angin yang berada paling depan di punggung burung besar itu tampak menggigil. Ribuan tentaranya pun tampak kedinginan. Burung-burung besar itu pun tampak sudah lemah memasuki negeri salju itu, mereka tidak kuat akan dinginnya negeri itu.Pendekar Tombak Angin melihat patung es raksasa yang sedang memegang tongkat di hadapan benteng tinggi yang memutih. Ribuan prajurit di dekatnya pun mematung, mereka bagai patung es yang dipahat oleh seorang seniman yang masyhur.“Apakah dia Bubungkala?” tanya Pendekar Tombak Angin pada tiga makhluk hitam yang kedinginan di dekatnya. Tiga makhluk hitam itu terbang mengikutinya.“Benar, Tuanku,” jawab Makhluk hitam itu. “Dia yang paling bungsu dari ke enam saudara Iblismu.”Pendekar Tombak Angin tampak tidak kuat lagi karena dinginnya tempat itu.“Sekarang keluarkan batu dari neraka it