Kepala Perguruan menatapnya dengan lekat dan kembali bertuah padanya. “Kalau kunci terus rasa percayamu pada orang lain, kau akan kehilangan pembuktian orang-orang baik dan suci. Selamanya kau menganggap orang lain sebagai musuh!”
“Ampun Tuan Guru Besar, terima kasih sudah menasehati hamba. Ini sangat berat jika hamba harus mendampingi Tuan Besar dan kelak akan menggantikanmu memimpin perguruan ini,” ucap Pendekar Pedang Emas dengan bingung.
“Tidak ada yang berat jika kau percaya bisa melakukannya,” nasehat Kepala Perguruan padanya.
“Kalau begitu, berilah hamba waktu untuk berpikir dahulu,” ucapnya.
Kepala Perguruan tersenyum padanya. “Baiklah,” sahutnya.
“Apakah hamba boleh kembali ke murid-murid hamba?” tanya Pendekar Pedang Emas.
“Tunggu sebentar. Aku ingin bertanya mengenai Bimantara, Kancil dan Dahayu? Apakah kau sudah mendapatkan kabar tentang mereka?”<
“Aku berbohong kalau aku telah mencintaimu,” jujur Dahayu sekali lagi.“Jadi selama ini kau tidak mencintaiku?”Dahayu mengangguk.Pangeran Sakai memegang kedua bahunya. “Aku tidak percaya itu, Dahayu. Aku tahu saat ini kau berbohong padaku. Siapa yang membuatmu begini? Siapa yang telah meracuni pikiranmu Dahayu? Apakah Kancil? Atau orang jahat yang kau temui dalam pelarianmu?” tanya Pangeran Sakai heran.“Tidak ada satupun yang mempengaruhiku untuk mengatakan hal jujur ini padamu. Ini dari hatiku sendiri,” jawab Dahayu.“Jika benar begitu, kenapa kau membohongiku?” tanya Pangeran Sakai tak percaya.“Aku hanya ingin memanfaatkanmu saja. Waktu itu aku memiliki dendam akan kematian mendiang ibuku yang telah dibunuh oleh penduduk istana. Aku kira dengan menerima cintamu, aku akan dibawa ke istana dan di sana aku bisa membalaskan dendam ibuku. Namun ternyata dendam adalah penghala
Bimantara turun dari kudanya karena kuda tidak mau dipacukan lagi. Bimantara memeriksa mayat-mayat yang ada di sekitarnya. Dia sama sekali tak bisa lagi mengenali wujudnya karena wajah mayat itu sudah rusak dipenuhi belatung. Bau mayat kian menyengat terhirup ke hidungnya. Bimantara ingin muntah namun dia mencoba menahannya untuk menghormati jasad para pendekar entah berasal dari mana yang meninggal dibunuh secara kejam di sekitarnya.“Siapa yang membunuh mereka, Kuda Putih?” tanya Bimantara heran.Tak berapa lama kemudian meluncur sebuah tombak ke arahnya dari arah belakang punggungnya. Untunglah Bimantara mampu mendengarnya hingga dia menunduk lalu menggerakkan kaki cahaya naganya hingga tombak itu mampu terpelanting jauh. Bimantara berdiri dengan berjaga penuh khawatir tombak-tombak lain akan berdatangan.“Siapa itu?! Keluar lah dari persembunyianmu!!!” tegas Bimantara.Tak berapa lama kumudian tombak-tombak lain berdatangan dar
Bimantara dan Pangeran Dawuh membus hutan dengan kuda masing-masing dengan pelan. Panglima dan Ratusan Prajurit mengikuti mereka dari belakang. Tak lama kemudian kuda putih Bimantara berhenti berpacu. Semua pun ikut berhenti.Bimanara heran. “Ada apa kuda putihku?”Kudanya mengangkat kedua kaki depannya lalu bersuara. Pangeran Dawuh mendekati Bimantara dengan kudanya.“Kenapa?” tanya Pangeran Dawuh heran.“Jika kudaku begini, biasanya ada tanda-tanda buruk terjadi,” jawab Bimantara.Pangeran Dawuh tampak takut mendengarnya. Perjalanan mereka sudah hampir tiba ke tempat disembunyikannya kitab suci tiada tanding itu. Ya, awalnya Pangeran Dawuh tidak tahu apa-apa tentang kitab suci tiada tanding itu, namun saat dia menyelinap masuk ke perpustakaan Raja, dia menemukan sebuah kitab yang menjelaskan tentang pusaka-pusaka kerajaan Nusantara yang disimpan di berbagai tempat karena keinginan para leluhur. Pangeran Dawuh s
Raja Dwilaga melanjutkan kata-katanya, “Pangeran Sakai meminta restu padaku. Dan aku bertanya padanya, siapa gadis desa yang telah membuat hati anakku itu berlabuh padanya? Pangeran Sakai menjawab dia adalah calon pendekar di perguruan matahari. Dan belakangan ini aku tahu bahwa gadis itu adalah anakmu, Panglima.”Panglima Sada masih terdiam mendengarkan.“Aku tidak memperdulikan siapa pun yang dicintai anak-anakku. Termasuk Pangeran Kantata yang mendadak membawa gadis desa dan mengatakan mereka sudah menikah. Selama gadis yang mereka cintai menyayangi mereka dengan tulus, aku tidak peduli. Kecuali jika ada gadis yang datang pada anak-anakku hanya untuk mendapatkan sesuatu bukan karena cinta kepada anakku,” Raja Dwilaga terdiam sesaat lalu kembali bicara. “Tapi aku percaya dengan anak gadismu. Aku yakin kau telah mendidiknya dengan baik hingga dia menajadi gadis pemberani yang lulus di Perguruan Matahari.”Panglima Sada masih
“Kau tinggal di mana?” tanya Pangeran Dawuh penasaran.“Di perkampungan yang menghadap pulau Perguruan Matahari,” jawab Bimantara.“Aku yakin pasti karena melihat bangunan Perguruan Matahari setiap hari lah yang membuatmu ingin menjadi seorang murid di sana,” tebak Pangeran Dawuh.“Itu salah satunya,” jawab Bimantara. “Kau kenapa ingin sekali menjadi seorang pendekar?” tanya Bimantara kemudian.“Tidak ada seorang pangeranpun di dunia ini yang menerima diremehkan oleh orang lain. Bagaimana pun aku adalah calon Raja di Kerajaan Nusantara Tengah. Meski penjagaku berlapis-lapis, aku juga harus memiliki ilmu bela diri jika kelak ada yang bekhianat padaku,” jawab Pangeran Dawuh.“Kau masih bisa mencoba untuk menjadi murid Perguruan Matahari tahun depan,” ucap Bimantara.“Setelah aku gagal kemarin, ayahku tidak mengizinkan aku untuk kembali mengikuti penerimaa
Suara lolongan srigala membangunkan Bimantara yang tertidur di depan tenda. Dia bangkit lalu melihat kabut sudah menyelimuti sekitar tenda. Beberapa prajurit ada yang sedang berjaga dan beberapa prajurit ada yang sedang tertidur. Pangeran Dawuh sepertinya masih tidur di dalam tenda. Panglimanya tampak berdiri menjaga pintu masuk tenda dengan mata merah dan tampak mengantuk.Paglima menatap Bimantara heran, dia mendekat ke Bimantara.“Ada apa, pendekar?” tanya Panglima heran.“Apa kalian mendengar suara srigala?” tanya Bimantara.Panglima heran. “Tidak, aku tidak mendengarnya.” Panglima menoleh ke salah satu prajurit. “Apa kalian mendengarnya?”“Tidak, Panglima!” jawab prajurit sambil menahan kantuk. Sepertinya semalaman dia tidak tidur karena diminta berjaga.Bimantara heran sendiri. Dia mencoba duduk bersila lalu mengatur napasnya dan fokus pada pendengarannya. Samar dari kejauhan
Kelima Pendekar bertopeng datang menghadap Gajendra di kediamannya. Ganjendra berdiri heran melihat mereka.“Ada apa kalian mengganggu pertapaanku?” tanyanya heran.“Ampun, Tuan Guru,” ucap salah satu dari pendekar bertopeng itu. “Sepertinya kita tidak bisa diam. Saat ini memang cahaya merah dari pedang perak itu telah menyatu dengan Pangeran Kantata. Tapi kita harus mencari cara agar perintah leluhur kita untuk meratakan semua kerajaan Nusantara bisa tercapai.”Gajendra geram. “Siapa pemimpin di perguruan tengkorak ini?!!! Kenapa kalian yang malah memerintahkanku?!”“Ampun, Tuan Guru! Kamu tidak bermaksud memerintah Tuan Guru, kami hanya memberi saran agar kutukan dari leluhur kita tidak menimpa kita dalam waktu dekat ini. Kami khawatir karena tadi pagi ada tiga pendekar yang mendadak mati.”Gajendra terkejut mendengarnya. “Di mana mayat tiga pendekar itu?”“Ketig
Bimantara beserta Pangeran Dawuh dan pasukannya kini kembali melewati lembah yang dipenuhi mayat-mayat membusuk. Bau mayat begitu menyengat. Tak lama kemudian kuda Bimantara berhenti lalu mengangkat kedua kakinya sambil bersuara.“Berhentiiiii!” teriak Bimantara.Semuanya pun berhenti. Pangeran Dawuh menoleh pada Bimantara. “Apa ada tanda buruk lagi?” tanya Pangeran Dawuh dengan heran.Tak lama kemudian seorang pendekar turun dari atas tebing lalu mendarat di tanah lembah sambil mengarahkan pedangnya ke arah Panglima yang berada paling depan.Pangeran Dawuh terbelalak melihatnya. “Balaskosaaaa?!!!”Bimantara pun terkejut saat mengetahui yang datang itu adalah mantan Panglima Cakara. Ternyata yang dimaksud Pangeran Dawuh Balakosa itu adalah mantan Panglima Kerajaan Nusantara Timur.“Nama aslinya Cakara, mantan Panglima Kerajaan Nusantara Timur,” ucap Bimantara pada Pangeran Dawuh.Pangera
Bimantara berjalan dengan tongkat hitamnya di pedesaan pinggir laut itu. Dia sudah tidak lagi menggunakan kaki cahaya naganya. Dia melihat di pulau seberang sudah tidak ada lagi bangunan tinggi yang memiliki menara yang menjulang. Bagunan Perguruan Matarhari telah lenyap di sana. Perkampungannya tampak sunyi. Beberapa rumah tampak sudah hancur berkeping-keping. Hanya ada beberapa rumah yang tampak baik-baik saja.Bimantara tidak tahu siapa yang masih hidup di negeri itu. Setelah dia memeriksa tiga kerajaan Nusantara yang hancur berkeping-keping, dia mengendalikan naganya untuk kembali ke kampung halamanannya.Bimantara berdiri di sisi tebing itu. Dia teringat saat menemui Dahayu di sana dahulu."Tahun depan aku akan menjadi murid di sana!" ucap Bimantara tiba-tiba. Memecah lamunan tiga remaja di hadapannya itu. Seolah ingin menunjukkan pada Dahayu bahwa tanpa kaki satu, dia masih layak mengejar impiannya. Tiga remaja itu menoleh ke arah Bimantara bersamaan. Saat menyadari yang bicara
Setelah itu keadaan menjadi hening. Putra Mahkota Iblis dan keempat saudaranya benar-benar sudah mati. Bahari tersenyum.“Sekarang aku bisa mati dengan tenang,” ucap Bahari.Bahari pun memejamkan matanya. Kini Bimantara, Tanaka, Pendekar Dua Alam dan Pendekar Sungai Panjang kembali merasakan dingin.Sementara Bimantara langsung berlari menuju Raja Dawuh yang tidak lagi bernyawa itu. Dia memeriksa tubuhnya. Denyut nadinya sudah berhenti. Bimantara menangis sambil memeluk mayatnya.“Maafkan aku yang tidak bisa menjagamu!” isak Bimantara.Tanaka, Pendekar Dua Alam dan Pendekar Sungai Panjang berjalan mendekat ke arahnya.“Kita sudah berhasil Bimantara,” ucap Tanaka.Bimantara pun menutup mata Raja Dawuh lalu berdiri di hadapan ketiga Panglimanya yang tersisa itu.“Tapi kita tidak berhasil mencegah mereka menghancurkan setiap kerajaan di atas muka bumi ini,” ucap Bimantara menyayangkannya. “Dan aku tidak berhasil menjaga Bahari dan Raja Dawuh.”“Aku yakin mereka akan tenang di nirwana kar
“Aku bisa melakukannya tanpa harus membangkitkan Dahayu kembali,” ucap Bimantara.Pendekar Dua Alam mengernyit mendengarnya.“Cahaya di tubuh Dahayu sangat berguna untukmu, Bimantara. Jika cahaya kalian menyatu maka tidak ada satupun yang bisa melawan kalian, termasuk para Iblis itu,” protes Pendekar Dua Alam.“Dahayu telah mengalirkan cahayanya kepadaku,” ujar Bimantara.“Tapi cahayanya telah menyusut di tubuhmu,” protes Pendekar Dua Alam.Raja Dawuh pun bangkit.“Jika kau menolaknya karena sudah mengkhianatinya, aku rasa Dahayu akan mengerti, Bimantara. Kita tidak memiliki cara lain untuk membunuh mereka!” tambah Raja Dawuh.“Jangan paksa aku!” teriak Bimantara.Bimantara pun mengeluarkan tenaga dalamnya, dia pun langsung mengalirkannya pada Pendekar Dua Alam, Raja Dawuh, Bahari, Pendekar Sungai Panjang dan Tanaka.“Jangan lakukan itu, jika tidak tenagamu akan habis!” protes Tanaka yang menerima aliran tenaga dalam dari Bimantara.Bimantara tidak menggubris perkataan Tanaka. Tenaga
“Jangan menangis,” pinta Ki Walang.“Aku tidak berhasil menjadi Chandaka Uddhiharata, Tuan Guru,” isak Bimantara. “Dunia sudah dihancurkan anak-anak iblis itu. Tiga kerajaan Nusantara telah habis terbakar, juga istana-istana di kerajaan lain. Sebentar lagi semua manusia akan mati. Mungkin aku juga akan mati. Padahal aku sudah membawa kelima Panglima terbaik di dunia ini.”“Apakah seperti ini akhirnya seorang murid yang sangat aku banggakan itu?” ucap Ki Walang sedikit marah. “Dahulu aku kagum padanya karena keterbatasannya dia memiliki cita-cita begitu agung untuk menjadi seorang pendekar yang berguna bagi sesama. Pahadal dia hanya memiliki kaki satu, tapi dia ingin memiliki jurus tendangan seribu.”Bimantara terdiam mendengar itu.“Hal yang tidak mungkin. Siapapun yang mendengarnya pasti akan tertawa karena ketidakpercayaannya. Tapi aku percaya akan itu. Akhirnya aku ajarkan semua ilmuku padamu. Dan kini, kau mengeluh disaat nyawa masih berada di dalam ragamu?!” teriak Ki Walang.“Ap
Bimantara kembali menyerang Putra Mahkota Iblis yang tampak geram. Dia menggunakan segala jurus yang dia punya untuk melawannya. Sekuat tega Bimantara lakukan sendirian untuk melawannya. Berbagai serangan yang dilakukan Bimantara berhasil dilawannya dengan baik. Bimantara tampak kewalahan dan hampir saja kehilangan tenaga.“Kita harus membantunya,” pinta Raja Dawuh yang tampak khawatir pada Bimantara.“Aku tahu kau seorang raja,” sahut Tanaka. “Tapi yang paling penting dari sebuah tim adalah mengikuti arahan Pimpinannya. Sekarang kau bukan seorang raja lagi. Kau harus mengikuti permintaan Bimantara yang meminta kita menjaga Pendekar Dua Alam sampai dia selesai melakukan ritualnya. Nyawa kita sekarang untuk Pendekar Dua Alam.”“Tapi dia bisa mati melawan Putra Mahkota Iblis itu sendirian,” ucap Raja Dawuh semakin khawatir.“Percaya saja,” pinta Tanaka menenangkannya.Sementara Pendekar Sungai Panjang masih berusaha menggunakan tenaga dalamnya untuk mengembalikan tulang-tulang yang pata
Bimantara terbang ke atas langit. Tubuhnya mengeluarkan cahaya. Sesaat kemudian dia meluncur ke bawah lalu menggunakan jurus tendangan seribunya untuk menghalau roh-roh hitam yang menyerang mereka. Satu persatu dari roh-roh hitam itu terpelanting jauh dan terbakar.Bahari dan Pendekar Sungai Panjang terngaga melihatnya. Bimantara pun kembali mendarat di dekat mereka dengan sorot mata yang masih menyala. Putra Mahkota Iblis di dalam benteng itu tampak geram. Dia berteriak lalu mengeluarkan cahaya di tubuhnya. Gemanya hampir saja memecahkan dinding pembatas tak terlihat.“Sekarang saatnya kau harus memecahkan dinding pembatas tak terlihat itu,” pinta Bahari.Bimantara mengangguk.“Semuanya segera bersiap!” pinta Bimantara pada kedua Panglima yang menemaninya itu.Bahari dan Pendekar Sungai Panjang mengangguk. Mereka pun sudah bersiap dengan jurus masing-masing.Bimantara menoleh pada Tanaka dan Raja Dawuh yang masih menjaga Pendekar Dua Alam yang sedang membangkitkan para pendekar sakti
Putra Mahkota Iblis itu berhenti berlari menuju benteng yang terbuka itu. Iblis itu menatap kepada empat saudaranya yang ikut berhenti.“Berpencarlah kalian semuanya,” pinta Putra Mahkota Iblis. “Hancurkan semua kerajaan di muka bumi ini! Biar aku saja yang menghadapi musuh kita di depan benteng sana!”“Tapi mereka telah membunuh adik bungsu kita,” protes salah satu dari mereka. “Kita harus bersama-sama membunuh mereka sebelum kita keluar dari negeri ini dan menghancurkan semua kerajaan di atas muka bumi ini!”“Diriku sendiri sudah cukup untuk membunuh semuanya! Ikuti perintahku jika kalian masih menganggapku sebagai pengganti Raja!” teriak Putra Mahkota Iblis itu pada adik-adiknya.“Baiklah,” jawab salah satu dari mereka.Empat anak-anak Iblis yang perkasa itu pun langsung melompati benteng yang luas nan tinggi itu. Mereka berpencar ke empat penjuru untuk menghancurkan kerajaan-kerajaan di berbagai wilayah.Sementara Bimantara di luar benteng itu tampak terkejut melihat para Iblis it
“Biar aku saja yang menghadapinya,” ucap Tanaka pada Bimantara.Bimantara mengangguk. Tanaka pun langsung melompat dari punggung naga lalu terbang melawan Pendekar Tombak Angin. Tanaka mengeluarkan golok hitamnya, sementara Pendekar Tombak Angin mengeluarkan pedangnya. Mereka berdua bertarung di atas langit.Bimantara menoleh pada Bahari, Pendekar Sungai Panjang, Pendekar Dua Alam dan Raja Dawuh.“Kalian serang prajurit mereka!” perintah Bimantara.Keempat Panglimanya itu mengangguk. Mereka langsung mengendalikan naga masing-masing lalu naga-naga yang ditunggangi mereka itu menghembuskan api dari mulut mereka untuk membakar ribuan prajurit yang berusaha memecahkan benteng tinggi itu. Sebagian prajuritnya mati terbakar karenanya. Para prajurit yang lain berusaha menyerang mereka dengan senjata masing-masing.Dengan sigap Raja Dawuh menggunakan kekuatannya untuk melelehkan pedang dan senjata lainnya yang digunakan para prajurit itu. Seketika senjata mereka meleleh.Sementara Bimantara l
Ribuan burung besar yang membawa Pendekar Tombak Angin dan pasukan roh-nya telah tiba di daratan negeri salju itu. Angin dingin berhembus menusuk tulang. Pendekar Tombak angin yang berada paling depan di punggung burung besar itu tampak menggigil. Ribuan tentaranya pun tampak kedinginan. Burung-burung besar itu pun tampak sudah lemah memasuki negeri salju itu, mereka tidak kuat akan dinginnya negeri itu.Pendekar Tombak Angin melihat patung es raksasa yang sedang memegang tongkat di hadapan benteng tinggi yang memutih. Ribuan prajurit di dekatnya pun mematung, mereka bagai patung es yang dipahat oleh seorang seniman yang masyhur.“Apakah dia Bubungkala?” tanya Pendekar Tombak Angin pada tiga makhluk hitam yang kedinginan di dekatnya. Tiga makhluk hitam itu terbang mengikutinya.“Benar, Tuanku,” jawab Makhluk hitam itu. “Dia yang paling bungsu dari ke enam saudara Iblismu.”Pendekar Tombak Angin tampak tidak kuat lagi karena dinginnya tempat itu.“Sekarang keluarkan batu dari neraka it