Bimantara turun dari kudanya karena kuda tidak mau dipacukan lagi. Bimantara memeriksa mayat-mayat yang ada di sekitarnya. Dia sama sekali tak bisa lagi mengenali wujudnya karena wajah mayat itu sudah rusak dipenuhi belatung. Bau mayat kian menyengat terhirup ke hidungnya. Bimantara ingin muntah namun dia mencoba menahannya untuk menghormati jasad para pendekar entah berasal dari mana yang meninggal dibunuh secara kejam di sekitarnya.
“Siapa yang membunuh mereka, Kuda Putih?” tanya Bimantara heran.
Tak berapa lama kemudian meluncur sebuah tombak ke arahnya dari arah belakang punggungnya. Untunglah Bimantara mampu mendengarnya hingga dia menunduk lalu menggerakkan kaki cahaya naganya hingga tombak itu mampu terpelanting jauh. Bimantara berdiri dengan berjaga penuh khawatir tombak-tombak lain akan berdatangan.
“Siapa itu?! Keluar lah dari persembunyianmu!!!” tegas Bimantara.
Tak berapa lama kumudian tombak-tombak lain berdatangan dar
Bimantara dan Pangeran Dawuh membus hutan dengan kuda masing-masing dengan pelan. Panglima dan Ratusan Prajurit mengikuti mereka dari belakang. Tak lama kemudian kuda putih Bimantara berhenti berpacu. Semua pun ikut berhenti.Bimanara heran. “Ada apa kuda putihku?”Kudanya mengangkat kedua kaki depannya lalu bersuara. Pangeran Dawuh mendekati Bimantara dengan kudanya.“Kenapa?” tanya Pangeran Dawuh heran.“Jika kudaku begini, biasanya ada tanda-tanda buruk terjadi,” jawab Bimantara.Pangeran Dawuh tampak takut mendengarnya. Perjalanan mereka sudah hampir tiba ke tempat disembunyikannya kitab suci tiada tanding itu. Ya, awalnya Pangeran Dawuh tidak tahu apa-apa tentang kitab suci tiada tanding itu, namun saat dia menyelinap masuk ke perpustakaan Raja, dia menemukan sebuah kitab yang menjelaskan tentang pusaka-pusaka kerajaan Nusantara yang disimpan di berbagai tempat karena keinginan para leluhur. Pangeran Dawuh s
Raja Dwilaga melanjutkan kata-katanya, “Pangeran Sakai meminta restu padaku. Dan aku bertanya padanya, siapa gadis desa yang telah membuat hati anakku itu berlabuh padanya? Pangeran Sakai menjawab dia adalah calon pendekar di perguruan matahari. Dan belakangan ini aku tahu bahwa gadis itu adalah anakmu, Panglima.”Panglima Sada masih terdiam mendengarkan.“Aku tidak memperdulikan siapa pun yang dicintai anak-anakku. Termasuk Pangeran Kantata yang mendadak membawa gadis desa dan mengatakan mereka sudah menikah. Selama gadis yang mereka cintai menyayangi mereka dengan tulus, aku tidak peduli. Kecuali jika ada gadis yang datang pada anak-anakku hanya untuk mendapatkan sesuatu bukan karena cinta kepada anakku,” Raja Dwilaga terdiam sesaat lalu kembali bicara. “Tapi aku percaya dengan anak gadismu. Aku yakin kau telah mendidiknya dengan baik hingga dia menajadi gadis pemberani yang lulus di Perguruan Matahari.”Panglima Sada masih
“Kau tinggal di mana?” tanya Pangeran Dawuh penasaran.“Di perkampungan yang menghadap pulau Perguruan Matahari,” jawab Bimantara.“Aku yakin pasti karena melihat bangunan Perguruan Matahari setiap hari lah yang membuatmu ingin menjadi seorang murid di sana,” tebak Pangeran Dawuh.“Itu salah satunya,” jawab Bimantara. “Kau kenapa ingin sekali menjadi seorang pendekar?” tanya Bimantara kemudian.“Tidak ada seorang pangeranpun di dunia ini yang menerima diremehkan oleh orang lain. Bagaimana pun aku adalah calon Raja di Kerajaan Nusantara Tengah. Meski penjagaku berlapis-lapis, aku juga harus memiliki ilmu bela diri jika kelak ada yang bekhianat padaku,” jawab Pangeran Dawuh.“Kau masih bisa mencoba untuk menjadi murid Perguruan Matahari tahun depan,” ucap Bimantara.“Setelah aku gagal kemarin, ayahku tidak mengizinkan aku untuk kembali mengikuti penerimaa
Suara lolongan srigala membangunkan Bimantara yang tertidur di depan tenda. Dia bangkit lalu melihat kabut sudah menyelimuti sekitar tenda. Beberapa prajurit ada yang sedang berjaga dan beberapa prajurit ada yang sedang tertidur. Pangeran Dawuh sepertinya masih tidur di dalam tenda. Panglimanya tampak berdiri menjaga pintu masuk tenda dengan mata merah dan tampak mengantuk.Paglima menatap Bimantara heran, dia mendekat ke Bimantara.“Ada apa, pendekar?” tanya Panglima heran.“Apa kalian mendengar suara srigala?” tanya Bimantara.Panglima heran. “Tidak, aku tidak mendengarnya.” Panglima menoleh ke salah satu prajurit. “Apa kalian mendengarnya?”“Tidak, Panglima!” jawab prajurit sambil menahan kantuk. Sepertinya semalaman dia tidak tidur karena diminta berjaga.Bimantara heran sendiri. Dia mencoba duduk bersila lalu mengatur napasnya dan fokus pada pendengarannya. Samar dari kejauhan
Kelima Pendekar bertopeng datang menghadap Gajendra di kediamannya. Ganjendra berdiri heran melihat mereka.“Ada apa kalian mengganggu pertapaanku?” tanyanya heran.“Ampun, Tuan Guru,” ucap salah satu dari pendekar bertopeng itu. “Sepertinya kita tidak bisa diam. Saat ini memang cahaya merah dari pedang perak itu telah menyatu dengan Pangeran Kantata. Tapi kita harus mencari cara agar perintah leluhur kita untuk meratakan semua kerajaan Nusantara bisa tercapai.”Gajendra geram. “Siapa pemimpin di perguruan tengkorak ini?!!! Kenapa kalian yang malah memerintahkanku?!”“Ampun, Tuan Guru! Kamu tidak bermaksud memerintah Tuan Guru, kami hanya memberi saran agar kutukan dari leluhur kita tidak menimpa kita dalam waktu dekat ini. Kami khawatir karena tadi pagi ada tiga pendekar yang mendadak mati.”Gajendra terkejut mendengarnya. “Di mana mayat tiga pendekar itu?”“Ketig
Bimantara beserta Pangeran Dawuh dan pasukannya kini kembali melewati lembah yang dipenuhi mayat-mayat membusuk. Bau mayat begitu menyengat. Tak lama kemudian kuda Bimantara berhenti lalu mengangkat kedua kakinya sambil bersuara.“Berhentiiiii!” teriak Bimantara.Semuanya pun berhenti. Pangeran Dawuh menoleh pada Bimantara. “Apa ada tanda buruk lagi?” tanya Pangeran Dawuh dengan heran.Tak lama kemudian seorang pendekar turun dari atas tebing lalu mendarat di tanah lembah sambil mengarahkan pedangnya ke arah Panglima yang berada paling depan.Pangeran Dawuh terbelalak melihatnya. “Balaskosaaaa?!!!”Bimantara pun terkejut saat mengetahui yang datang itu adalah mantan Panglima Cakara. Ternyata yang dimaksud Pangeran Dawuh Balakosa itu adalah mantan Panglima Kerajaan Nusantara Timur.“Nama aslinya Cakara, mantan Panglima Kerajaan Nusantara Timur,” ucap Bimantara pada Pangeran Dawuh.Pangera
Bimantara masih tampak lemas. Di matanya terlihat samar Panglima dan pasukannya sedang melawan Cakara. Tak berapa lama kemudian, dia merasakan semakin tak berdaya. Energi cahaya biru itu telah melenyapkan tenaganya. Perlahan pandangan matanya menjadi kabur lalu gelap.“Bi... man... ta... ra...”Bimantara merasakan berada di tempat gelap. Dia terkejut ketika mendapati Ki Walang berdiri di hadapannya dalam wujud yang sangat terang.“Gu... ru...” ucap Bimantara tak percaya. Ketika dia pandangi di sekelilingnya, dia tak tahu sedang berada di mana.“Ilmumu belum sempurna untuk melawannya,” ucap Ki Walang di hadapannya.“Apa yang harus aku lakukan Tuan Guru agar bisa kembali sadar dan kembali melawan Cakara?” tanya Bimantara dengan lemah.“Kumpulkan tenagamu. Kelemahan Cakara berada di punggungnya. Kau harus menghantam punggungnya dengan tendangan kaki cahayamu,” pinta Ki Walang.&
“Seram melihatmu berjalan dengan kaki satu tanpa tongkat, Bimantara,” ucap Pangeran Dawuh.“Kau tidak bisa melihatnya saja. Sebenarnya aku memiliki kaki cahaya yang hanya aku sendiri yang bisa melihatnya," jawab Bimantara.“Tapi kau tidak bisa seperti itu. Kalau orang lain melihatnya, mereka akan menganggapmu sebagai siluman,” pinta Pangeran Dawuh.“Guruku juga mengatakan seperti itu,” ucap Bimantara. “Nanti setelah aku menemukan kitab itu, aku akan selalu menggunakan tongkat meski sedang bertarung sekalipun. Aku tak ingin membiarkan orang lain curiga dengan kaki cahayaku. Aku hanya ingin membiasakannya saja, kadang aku lupa kalau orang lain tidak bisa melihat kaki cahayaku.”Pangeran Dawuh tersenyum tepat saat mereka berada di hadapan mulut gua. Pangeran Dawuh heran melihat mulut gua itu tertutup sebuah batu.“Ini tempatnya, Bimantara. Di kitab yang aku baca di perpustakaan istana, lukisa