“Seram melihatmu berjalan dengan kaki satu tanpa tongkat, Bimantara,” ucap Pangeran Dawuh.
“Kau tidak bisa melihatnya saja. Sebenarnya aku memiliki kaki cahaya yang hanya aku sendiri yang bisa melihatnya," jawab Bimantara.
“Tapi kau tidak bisa seperti itu. Kalau orang lain melihatnya, mereka akan menganggapmu sebagai siluman,” pinta Pangeran Dawuh.
“Guruku juga mengatakan seperti itu,” ucap Bimantara. “Nanti setelah aku menemukan kitab itu, aku akan selalu menggunakan tongkat meski sedang bertarung sekalipun. Aku tak ingin membiarkan orang lain curiga dengan kaki cahayaku. Aku hanya ingin membiasakannya saja, kadang aku lupa kalau orang lain tidak bisa melihat kaki cahayaku.”
Pangeran Dawuh tersenyum tepat saat mereka berada di hadapan mulut gua. Pangeran Dawuh heran melihat mulut gua itu tertutup sebuah batu.
“Ini tempatnya, Bimantara. Di kitab yang aku baca di perpustakaan istana, lukisa
“Kita lihat saja,” ucap Pangeran Dawuh. “Peti ini memang tak pernah dikunci, tapi siapapun yang bukan pilihan leluhur tak akan pernah bisa mendapatkannya.”“Coba Pangeran dahulu yang meraih kitabnya di dalam peti itu,” pinta Bimantara.Pangeran Dawuh mengernyit heran. “Kenapa? Aku pasti tidak bisa karena aku bukan seorang pendekar,” jawabnya heran.“Aku hanya ingin membuktikannya saja, apa benar hanya pilihan para leluhur yang bisa meraih isi di dalam peti itu,” jawab Bimantara penasaran.Pangeran Dawuh menarik napas berat. “Baiklah, aku akan membuktikannya,” jawab Pangeran Dawuh yang merasa tertantang.Tak lama kemudian, Pangeran Dawuh mencoba meraih kita sakti tiada banding di dalam peti itu, namun tiba-tiba tangannya seperti kena sengatan hingga dia terpental.Aaaaaaagh!Teriak Pangeran Dawuh kesatikan saat tubuhnya menghantam dasar gua penuh bebatuan kecil itu
Pejabat istana dan pasukan dari Kerajaan Nusantara tengah melewati lembah yang dipenuhi mayat-mayat. Pejabat istana menghentikan kudanya ketika melewati mayat panglima dan para prajurit yang bergelimpangan di hadapannya.Pejabat istana itu turun dari kuda lalu memperhatikan satu persatu dari mayat-mayat itu.“Panglima dan para prajurit yang membawa Pangeran Dawuh telah mati terbubuh!” teriak pejabat istana itu.Para prajurit tampak terkejut mendengarnya. Mereka pun turun dari kuda dan mempehatikan semuanya. Salah satu dari prajurit itu menangis ketika mendapati salah satu prajurit yang sudah mati.“Kakaaaang!” teriaknya sedih.Pejabat istana pun tampak sedih melihatnya. “Aku tidak menemukan Pangeran Dawuh di sini! Tolong cari Pangeran Dawuh sampai ketemu! Aku khawatir Yang Mulia Pangeran Dawuh juga ikut terbunuh!” perintah pejabat istana itu pada para prajuritnya.Semua pun mengitari tempat itu memeriksa s
Bimantara sedang sibuk berlatih memperagakan jurus-jurus yang dia pelajari dari kitab sakti tiada tanding itu. Sementara Pangeran Dawuh sibuk membakar ikan yang dia dapatkan dari telaga yang dia temukan berada di ujung gua itu. Pangeran Dawuh tampak semangat melihat Bimantara berlatih dengan giat. Saat ikannya sudah matang, dia memanggil Bimantara untuk istirahat. Mereka pun duduk menghadap api unggun yang masih menyala terang sambil melahap ikan bakar masing-masing. “Apakah kau sudah mendapatkan seorang gadis?” tanya Pangeran Dawuh penasaran. Bimantara tiba-tiba teringat Dahayu mendengar itu. “Iya,” jawab Bimantara. Pangeran Dawuh sangat antusias mendengar jawaban Bimantara. “Bagaimana dia? Apakah secantik Dahiyangku?” tanya Pangeran Dawuh. “Aku belum pernah melihat Dahiyangmu. Bagaimana aku bisa membedakannya?” “Aku yakin gadismu pasti cantik,” tebak Pangeran Dawuh padanya. “Dia lebih cantik dari gadis manapun yang pe
Pangeran Kantata terbangun dengan terkejut. Dhaksayini pun terbangun dengan heran.“Ada apa suamiku? Apakah kau bermimpi buruk?” tanyanya dengan heran.“Aku bermimpi melihat Panglima Cakaraku meninggal dibunuh seorang pendekar yang memiliki cahaya di kakinya,” ucap Pangeran Kantata.Dhaksayini teringat saat dia masih berwujud Ratu Peri dahulu. Seorang pemuda pernah datang bersama gurunya ke mata air abadi untuk mengembalikan pedang perak ke sana. Dia melihat ada kaki cahaya naga di kaki pemuda itu.“Mungkin itu hanya sekedar mimpi saja, suamiku,” ucap Dhaksayini menenangkannya.“Aku yakin ini bukan mimpi, istriku. Aku harus keluar dari istana untuk mencari Panglima Cakaraku. Kalau dia sampai tiada, siapa yang akan mendukungku? Sementara Perguruan Tengkorak telah memiliki rencana sendiri!”Dhaksayini tampak khawatir jika Pangeran Kantata meninggalkan istana. “Sebaiknya kau tulis surat dulu
Lelaki tua itu tertawa. Tawanya terdengar bergema begitu mengerikan.“Siapa kau?” tanya Bimantara sekali lagi.Lelaki Tua itu masih memunggunginya. “Aku penjaga kitab sakti tiada tanding!” jawabnya.Bimantara dan Pangeran Dawuh terkejut mendengarnya. Mendengar itu, Pangeran Dawuh tampak tidak takut lagi. Dia pun maju dan mendekat ke lelaki tua itu.“Apa kau makhluk siluman?” tanya Pangeran Dawuh tiba-tiba.Lelaki Tua itu kembali tertawa. Dia masih memunggungi mereka. “Aku bukan siluman! Aku diutus para leluhur untuk menjaga kitab itu! Aku sudah lama menunggu siapa yang pantas untuk mendapatkan kitab itu!”Lelaki Tua itu lalu berbalik badan. Bimantara dan Pangeran Dawuh tercengang melihat wajah lelaki tua itu yang tampak bersinar terang.Bimantara berbisik pada Pangeran Dawuh, “Aku rasa dia adalah arwah penjaga kitab itu.”“Aku juga berpikir begitu,” ucap Pa
“Iya! Petualang itu akan menguji kalian! Jika kalian tidak berhasil mendapatkan kitab itu, maka kalian tidak akan lulus dari perguruan matahari. Inilah istimewanya perguruan matahari. Perguruan kita terhubung dengan para leluhur! Kenapa harus ada perguruan matahari di bumi nusantara ini? Karena para leluhur tidak ingin sembarangan menurunkan ilmu-ilmunya! Hanya mereka yang pantas dan terpilih yang berhak menguasainya. Jika kau sudah berhasil memasuki perguruan matahari, itu artinya kau sudah memiliki alasan yang kuat untuk dipilih, dan penentuannya adalah kitab yang kelak harus kalian dapatkan dan kuasai! Kami di sini hanya mengajarkan teknik-teknik sampai ketingkat ke tujuh saja, setelahnya kitab itu yang akan menjadi penyempurna!”Kancil terbelalak mendengarnya. “Saat Tuan Guru Pendekar Tendangan Seribu telah tiada, apakah Bimantara akan bisa menguasai kitab itu sendirian, Tuan Guru?!”Kepala Perguruan tertawa. “Jika guru utama salah sat
Pendekar Tangan Besi tampak duduk bingung di ruangannya. Tak lama kemudian Pendekar Pedang Emas datang menghadapnya lalu diikuti para guru utama lainnya.“Ampun Tuan Guru, ada apa gerangan Tuan Guru Besar memanggil kami?” tanya Pendekar Pedang Emas dengan heran.“Duduklah,” pinta Pendekar Tangan Besi pada semua guru utama yang sudah berada di ruangan itu. Para guru utama pun duduk menghadap Kepala Perguruan itu.“Saya ingin bertanya tentang perkembangan murid-murid lama,” jawab Kepala Perguruan.“Murid-murid lama berbeda dengan kedelapan murid baru itu, Tuan Guru. Mereka agak lamban menerima ajaran dari kita. Bahkan tingkatan ilmu pun sudah didahului oleh kedelapan murid baru itu. Mereka masih menginjak tingakatan ke lima, sementara murid baru sudah ada yang dikirim untuk mencari kitab! Ini memang aneh!” jawab Pendekar Pedang Emas.“Bahkan sebelum kita mengadakan pertarungan kepada murid-murid l
Setelah berhari-hari Bimantara dan Pangeran Dawuh berlatih dengan Lelaki Tua berjubah putih. Akhirnya di hari itu pintu gua terbuka. Lelaki Tua memberikan tongkat kepada Bimantara, sementara Pangeran Dawuh dihadiahi pedang yang tersimpan lama dalam peti.Bimantara menatap wajah lelaki tua itu dengan lekat saat dia dan Pangeran Dawuh hendak keluar dari dalam gua itu.“Apakah kita bisa bertemu lagi?” tanya Bimantara.Lelaki tua itu tertawa. “Ini untuk terakhir kalinya kita bertemu,” ucap lelaki tua itu.“Apakah kau mengenal Tuan Guruku?” tanya Bimantara kemudian.“Sudah berpuluh-puluh tahun tak ada satupun utusan dari Perguruan Matahari untuk mempelajari kitab sakti ini. Kabarnya jurus tendangan seribu tak banyak peminat atau mungkin tak ada sanggup untuk mempelajarinya. Hingga Ki Walang harus bersabar menunggu murid yang akan diajarinya. Kalian berdua adalah utusan alam, meski Pangeran pada awalnya tidak dit