Pangeran Kantata terbangun dengan terkejut. Dhaksayini pun terbangun dengan heran.
“Ada apa suamiku? Apakah kau bermimpi buruk?” tanyanya dengan heran.
“Aku bermimpi melihat Panglima Cakaraku meninggal dibunuh seorang pendekar yang memiliki cahaya di kakinya,” ucap Pangeran Kantata.
Dhaksayini teringat saat dia masih berwujud Ratu Peri dahulu. Seorang pemuda pernah datang bersama gurunya ke mata air abadi untuk mengembalikan pedang perak ke sana. Dia melihat ada kaki cahaya naga di kaki pemuda itu.
“Mungkin itu hanya sekedar mimpi saja, suamiku,” ucap Dhaksayini menenangkannya.
“Aku yakin ini bukan mimpi, istriku. Aku harus keluar dari istana untuk mencari Panglima Cakaraku. Kalau dia sampai tiada, siapa yang akan mendukungku? Sementara Perguruan Tengkorak telah memiliki rencana sendiri!”
Dhaksayini tampak khawatir jika Pangeran Kantata meninggalkan istana. “Sebaiknya kau tulis surat dulu
Lelaki tua itu tertawa. Tawanya terdengar bergema begitu mengerikan.“Siapa kau?” tanya Bimantara sekali lagi.Lelaki Tua itu masih memunggunginya. “Aku penjaga kitab sakti tiada tanding!” jawabnya.Bimantara dan Pangeran Dawuh terkejut mendengarnya. Mendengar itu, Pangeran Dawuh tampak tidak takut lagi. Dia pun maju dan mendekat ke lelaki tua itu.“Apa kau makhluk siluman?” tanya Pangeran Dawuh tiba-tiba.Lelaki Tua itu kembali tertawa. Dia masih memunggungi mereka. “Aku bukan siluman! Aku diutus para leluhur untuk menjaga kitab itu! Aku sudah lama menunggu siapa yang pantas untuk mendapatkan kitab itu!”Lelaki Tua itu lalu berbalik badan. Bimantara dan Pangeran Dawuh tercengang melihat wajah lelaki tua itu yang tampak bersinar terang.Bimantara berbisik pada Pangeran Dawuh, “Aku rasa dia adalah arwah penjaga kitab itu.”“Aku juga berpikir begitu,” ucap Pa
“Iya! Petualang itu akan menguji kalian! Jika kalian tidak berhasil mendapatkan kitab itu, maka kalian tidak akan lulus dari perguruan matahari. Inilah istimewanya perguruan matahari. Perguruan kita terhubung dengan para leluhur! Kenapa harus ada perguruan matahari di bumi nusantara ini? Karena para leluhur tidak ingin sembarangan menurunkan ilmu-ilmunya! Hanya mereka yang pantas dan terpilih yang berhak menguasainya. Jika kau sudah berhasil memasuki perguruan matahari, itu artinya kau sudah memiliki alasan yang kuat untuk dipilih, dan penentuannya adalah kitab yang kelak harus kalian dapatkan dan kuasai! Kami di sini hanya mengajarkan teknik-teknik sampai ketingkat ke tujuh saja, setelahnya kitab itu yang akan menjadi penyempurna!”Kancil terbelalak mendengarnya. “Saat Tuan Guru Pendekar Tendangan Seribu telah tiada, apakah Bimantara akan bisa menguasai kitab itu sendirian, Tuan Guru?!”Kepala Perguruan tertawa. “Jika guru utama salah sat
Pendekar Tangan Besi tampak duduk bingung di ruangannya. Tak lama kemudian Pendekar Pedang Emas datang menghadapnya lalu diikuti para guru utama lainnya.“Ampun Tuan Guru, ada apa gerangan Tuan Guru Besar memanggil kami?” tanya Pendekar Pedang Emas dengan heran.“Duduklah,” pinta Pendekar Tangan Besi pada semua guru utama yang sudah berada di ruangan itu. Para guru utama pun duduk menghadap Kepala Perguruan itu.“Saya ingin bertanya tentang perkembangan murid-murid lama,” jawab Kepala Perguruan.“Murid-murid lama berbeda dengan kedelapan murid baru itu, Tuan Guru. Mereka agak lamban menerima ajaran dari kita. Bahkan tingkatan ilmu pun sudah didahului oleh kedelapan murid baru itu. Mereka masih menginjak tingakatan ke lima, sementara murid baru sudah ada yang dikirim untuk mencari kitab! Ini memang aneh!” jawab Pendekar Pedang Emas.“Bahkan sebelum kita mengadakan pertarungan kepada murid-murid l
Setelah berhari-hari Bimantara dan Pangeran Dawuh berlatih dengan Lelaki Tua berjubah putih. Akhirnya di hari itu pintu gua terbuka. Lelaki Tua memberikan tongkat kepada Bimantara, sementara Pangeran Dawuh dihadiahi pedang yang tersimpan lama dalam peti.Bimantara menatap wajah lelaki tua itu dengan lekat saat dia dan Pangeran Dawuh hendak keluar dari dalam gua itu.“Apakah kita bisa bertemu lagi?” tanya Bimantara.Lelaki tua itu tertawa. “Ini untuk terakhir kalinya kita bertemu,” ucap lelaki tua itu.“Apakah kau mengenal Tuan Guruku?” tanya Bimantara kemudian.“Sudah berpuluh-puluh tahun tak ada satupun utusan dari Perguruan Matahari untuk mempelajari kitab sakti ini. Kabarnya jurus tendangan seribu tak banyak peminat atau mungkin tak ada sanggup untuk mempelajarinya. Hingga Ki Walang harus bersabar menunggu murid yang akan diajarinya. Kalian berdua adalah utusan alam, meski Pangeran pada awalnya tidak dit
Pangeran Sakai tampak duduk termenung di pinggir pantai. Wira dan Rajo duduk menemaninya dengan bingung. Sejak pengakuan Dahayu padanya, Pangeran Sakai tidak seperti dahulu. Kini semangatnya menurun dan setiap hari tampak selalu murung.“Bukankah Yang Mulia Raja akan mengadakan upacara ikrarmu bersama Dahayu, Pangeran? Kenapa kau bersedih? Toh nanti Dahayu juga akan menjadi milikmu?” tanya Rajo heran.“Aku tidak tahu, apakah Dahayu akan pasrah pada semua ini atau dia akan membangkang lalu pergi meninggalkanku. Itulah yang aku takutkan saat ini. Dan meskipun dia menerima keputusan ayahku, akan sulit bagiku hidup bersama Dahayu yang tidak mencintaiku,” jawab Pangeran Sakai.“Aku yakin Dahayu akan mencintaimu juga ketika dia sudah menjadi istrimu, Pangeran,” ucap Wira.“Aku harap begitu,” ucap Pangeran Sakai sambil memandang lautan di hadapannya dengan nanar.***Sementara itu, Gajendra telah berh
“Tuan Guru?” panggil Bimantara tak percaya. Sesaat kemudian dia mencubit lengannya. Dia ingin memastikan apakah dia sedang bermimpi atau memang sudah benar-benar terbangun? Saat merasakan sakit di lengannya, barulah dia yakin bahwa saat itu dia benar-benar sudah terbangun. Tak lama kemudian muncul sosok cahaya putih yang begitu terang. Bimantara tampak silau menatapnya. Seketika cahaya putih itu menjelma menjadi wujud Ki Walang. Bimantara terbelalak melihatnya. “Tuan Guruuu!” teriaknya haru. Namun dia masih tidak percaya kalau yang dilihatnya itu benar-benar mendiang Tuan Gurunya. Ki Walang tertawa. Bimantara mendekat padanya dengan air mata yang tiba-tiba menetes ke pipinya. “Tuan Guru? Apakah engkau benar Tuan Guruku?” tanya Bimantara memastikannya sekali lagi. “Iya, aku sengaja datang menemuimu untuk menyelesaikan tugasku sebagai gurumu,” jawab Ki Walang. “Bukan kah Tuan Guru sudah meninggal? Bagaimana mungkin Tuan Guru akan mengaja
Tengah malam itu Pendekar Pedang Emas datang ke tempat pertapaan Gajendra. Gajendra heran melihat adiknya datang tiba-tiba.“Apa kau berubah pikiran ingin bergabung bersamaku?” tanya Gajendra.“Hentikan ajian pembangkit kematian itu!” pinta Pendekar Pedang Emas dengan tegas.Gajendra tertawa. “Upacara persembahan kepada para leluhur sudah aku lakukan! Tak ada yang bisa menghentikannya, adikku! Nanti bertepatan dengan malam purnama aku akan datang ketiap pekuburan di seluruh Nusantara untuk membangunkan mereka!”Pendekar Pedang Emas mengulurkan pedangnya dengan tatapan seriusnya. “Kau bukan hanya membangkitkan mayat-mayat itu menjadi hidup! Tapi kau juga akan membangkitkan para arwah leluhur! Jasad para leluhur tak akan bisa kau bangkitkan kembali, tapi arwahnya akan kembali ke dunia ini! Mereka akan memerangimu!”Gajendra tertawa lagi. “Para pendekar lulusan Perguruan Matahari dan para arwah lel
“Saya tahu siapa saja yang menjadi mata-mata perguruan tengkorak,” jawab Pendekar Pedang Emas. “Ki Walang adalah utusan Perguruan Tengkorak dari kepala perguruannya yang lama yang telah digantikan dengan kepala perguruan yang baru.”Kepala perguruan tergugu mendengarnya.Pendekar Pedang Emas kembali melanjutkan kata-katanya. “Kau mungkin tahu, kenapa banyak muridnya yang mati di dalam gua? Itu bukan karena mereka tidak bisa menerima ilmu dari Ki Walang, melainkan Ki Walang sendiri yang membunuhnya untuk menambah kekuatannya! Saya sengaja memfitnahnya karena tidak ada jalan untuk membuktikan kepada semuanya kalau Ki Walang ada hubungannya dengan Perguruan Tengkorak. Dia masih menjalankan misi dari kepala perguruan lamanya.”Kepala Perguruan masih diam mendengarkannya.“Akan tetapi saya tidak tahu jika Ki Walang sudah kembali ke jalan yang benar,” ucap Pendekar Pedang Emas melanjutkan. “Saya mengira beli