“Kita lihat saja,” ucap Pangeran Dawuh. “Peti ini memang tak pernah dikunci, tapi siapapun yang bukan pilihan leluhur tak akan pernah bisa mendapatkannya.”
“Coba Pangeran dahulu yang meraih kitabnya di dalam peti itu,” pinta Bimantara.
Pangeran Dawuh mengernyit heran. “Kenapa? Aku pasti tidak bisa karena aku bukan seorang pendekar,” jawabnya heran.
“Aku hanya ingin membuktikannya saja, apa benar hanya pilihan para leluhur yang bisa meraih isi di dalam peti itu,” jawab Bimantara penasaran.
Pangeran Dawuh menarik napas berat. “Baiklah, aku akan membuktikannya,” jawab Pangeran Dawuh yang merasa tertantang.
Tak lama kemudian, Pangeran Dawuh mencoba meraih kita sakti tiada banding di dalam peti itu, namun tiba-tiba tangannya seperti kena sengatan hingga dia terpental.
Aaaaaaagh!
Teriak Pangeran Dawuh kesatikan saat tubuhnya menghantam dasar gua penuh bebatuan kecil itu
Pejabat istana dan pasukan dari Kerajaan Nusantara tengah melewati lembah yang dipenuhi mayat-mayat. Pejabat istana menghentikan kudanya ketika melewati mayat panglima dan para prajurit yang bergelimpangan di hadapannya.Pejabat istana itu turun dari kuda lalu memperhatikan satu persatu dari mayat-mayat itu.“Panglima dan para prajurit yang membawa Pangeran Dawuh telah mati terbubuh!” teriak pejabat istana itu.Para prajurit tampak terkejut mendengarnya. Mereka pun turun dari kuda dan mempehatikan semuanya. Salah satu dari prajurit itu menangis ketika mendapati salah satu prajurit yang sudah mati.“Kakaaaang!” teriaknya sedih.Pejabat istana pun tampak sedih melihatnya. “Aku tidak menemukan Pangeran Dawuh di sini! Tolong cari Pangeran Dawuh sampai ketemu! Aku khawatir Yang Mulia Pangeran Dawuh juga ikut terbunuh!” perintah pejabat istana itu pada para prajuritnya.Semua pun mengitari tempat itu memeriksa s
Bimantara sedang sibuk berlatih memperagakan jurus-jurus yang dia pelajari dari kitab sakti tiada tanding itu. Sementara Pangeran Dawuh sibuk membakar ikan yang dia dapatkan dari telaga yang dia temukan berada di ujung gua itu. Pangeran Dawuh tampak semangat melihat Bimantara berlatih dengan giat. Saat ikannya sudah matang, dia memanggil Bimantara untuk istirahat. Mereka pun duduk menghadap api unggun yang masih menyala terang sambil melahap ikan bakar masing-masing. “Apakah kau sudah mendapatkan seorang gadis?” tanya Pangeran Dawuh penasaran. Bimantara tiba-tiba teringat Dahayu mendengar itu. “Iya,” jawab Bimantara. Pangeran Dawuh sangat antusias mendengar jawaban Bimantara. “Bagaimana dia? Apakah secantik Dahiyangku?” tanya Pangeran Dawuh. “Aku belum pernah melihat Dahiyangmu. Bagaimana aku bisa membedakannya?” “Aku yakin gadismu pasti cantik,” tebak Pangeran Dawuh padanya. “Dia lebih cantik dari gadis manapun yang pe
Pangeran Kantata terbangun dengan terkejut. Dhaksayini pun terbangun dengan heran.“Ada apa suamiku? Apakah kau bermimpi buruk?” tanyanya dengan heran.“Aku bermimpi melihat Panglima Cakaraku meninggal dibunuh seorang pendekar yang memiliki cahaya di kakinya,” ucap Pangeran Kantata.Dhaksayini teringat saat dia masih berwujud Ratu Peri dahulu. Seorang pemuda pernah datang bersama gurunya ke mata air abadi untuk mengembalikan pedang perak ke sana. Dia melihat ada kaki cahaya naga di kaki pemuda itu.“Mungkin itu hanya sekedar mimpi saja, suamiku,” ucap Dhaksayini menenangkannya.“Aku yakin ini bukan mimpi, istriku. Aku harus keluar dari istana untuk mencari Panglima Cakaraku. Kalau dia sampai tiada, siapa yang akan mendukungku? Sementara Perguruan Tengkorak telah memiliki rencana sendiri!”Dhaksayini tampak khawatir jika Pangeran Kantata meninggalkan istana. “Sebaiknya kau tulis surat dulu
Lelaki tua itu tertawa. Tawanya terdengar bergema begitu mengerikan.“Siapa kau?” tanya Bimantara sekali lagi.Lelaki Tua itu masih memunggunginya. “Aku penjaga kitab sakti tiada tanding!” jawabnya.Bimantara dan Pangeran Dawuh terkejut mendengarnya. Mendengar itu, Pangeran Dawuh tampak tidak takut lagi. Dia pun maju dan mendekat ke lelaki tua itu.“Apa kau makhluk siluman?” tanya Pangeran Dawuh tiba-tiba.Lelaki Tua itu kembali tertawa. Dia masih memunggungi mereka. “Aku bukan siluman! Aku diutus para leluhur untuk menjaga kitab itu! Aku sudah lama menunggu siapa yang pantas untuk mendapatkan kitab itu!”Lelaki Tua itu lalu berbalik badan. Bimantara dan Pangeran Dawuh tercengang melihat wajah lelaki tua itu yang tampak bersinar terang.Bimantara berbisik pada Pangeran Dawuh, “Aku rasa dia adalah arwah penjaga kitab itu.”“Aku juga berpikir begitu,” ucap Pa
“Iya! Petualang itu akan menguji kalian! Jika kalian tidak berhasil mendapatkan kitab itu, maka kalian tidak akan lulus dari perguruan matahari. Inilah istimewanya perguruan matahari. Perguruan kita terhubung dengan para leluhur! Kenapa harus ada perguruan matahari di bumi nusantara ini? Karena para leluhur tidak ingin sembarangan menurunkan ilmu-ilmunya! Hanya mereka yang pantas dan terpilih yang berhak menguasainya. Jika kau sudah berhasil memasuki perguruan matahari, itu artinya kau sudah memiliki alasan yang kuat untuk dipilih, dan penentuannya adalah kitab yang kelak harus kalian dapatkan dan kuasai! Kami di sini hanya mengajarkan teknik-teknik sampai ketingkat ke tujuh saja, setelahnya kitab itu yang akan menjadi penyempurna!”Kancil terbelalak mendengarnya. “Saat Tuan Guru Pendekar Tendangan Seribu telah tiada, apakah Bimantara akan bisa menguasai kitab itu sendirian, Tuan Guru?!”Kepala Perguruan tertawa. “Jika guru utama salah sat
Pendekar Tangan Besi tampak duduk bingung di ruangannya. Tak lama kemudian Pendekar Pedang Emas datang menghadapnya lalu diikuti para guru utama lainnya.“Ampun Tuan Guru, ada apa gerangan Tuan Guru Besar memanggil kami?” tanya Pendekar Pedang Emas dengan heran.“Duduklah,” pinta Pendekar Tangan Besi pada semua guru utama yang sudah berada di ruangan itu. Para guru utama pun duduk menghadap Kepala Perguruan itu.“Saya ingin bertanya tentang perkembangan murid-murid lama,” jawab Kepala Perguruan.“Murid-murid lama berbeda dengan kedelapan murid baru itu, Tuan Guru. Mereka agak lamban menerima ajaran dari kita. Bahkan tingkatan ilmu pun sudah didahului oleh kedelapan murid baru itu. Mereka masih menginjak tingakatan ke lima, sementara murid baru sudah ada yang dikirim untuk mencari kitab! Ini memang aneh!” jawab Pendekar Pedang Emas.“Bahkan sebelum kita mengadakan pertarungan kepada murid-murid l
Setelah berhari-hari Bimantara dan Pangeran Dawuh berlatih dengan Lelaki Tua berjubah putih. Akhirnya di hari itu pintu gua terbuka. Lelaki Tua memberikan tongkat kepada Bimantara, sementara Pangeran Dawuh dihadiahi pedang yang tersimpan lama dalam peti.Bimantara menatap wajah lelaki tua itu dengan lekat saat dia dan Pangeran Dawuh hendak keluar dari dalam gua itu.“Apakah kita bisa bertemu lagi?” tanya Bimantara.Lelaki tua itu tertawa. “Ini untuk terakhir kalinya kita bertemu,” ucap lelaki tua itu.“Apakah kau mengenal Tuan Guruku?” tanya Bimantara kemudian.“Sudah berpuluh-puluh tahun tak ada satupun utusan dari Perguruan Matahari untuk mempelajari kitab sakti ini. Kabarnya jurus tendangan seribu tak banyak peminat atau mungkin tak ada sanggup untuk mempelajarinya. Hingga Ki Walang harus bersabar menunggu murid yang akan diajarinya. Kalian berdua adalah utusan alam, meski Pangeran pada awalnya tidak dit
Pangeran Sakai tampak duduk termenung di pinggir pantai. Wira dan Rajo duduk menemaninya dengan bingung. Sejak pengakuan Dahayu padanya, Pangeran Sakai tidak seperti dahulu. Kini semangatnya menurun dan setiap hari tampak selalu murung.“Bukankah Yang Mulia Raja akan mengadakan upacara ikrarmu bersama Dahayu, Pangeran? Kenapa kau bersedih? Toh nanti Dahayu juga akan menjadi milikmu?” tanya Rajo heran.“Aku tidak tahu, apakah Dahayu akan pasrah pada semua ini atau dia akan membangkang lalu pergi meninggalkanku. Itulah yang aku takutkan saat ini. Dan meskipun dia menerima keputusan ayahku, akan sulit bagiku hidup bersama Dahayu yang tidak mencintaiku,” jawab Pangeran Sakai.“Aku yakin Dahayu akan mencintaimu juga ketika dia sudah menjadi istrimu, Pangeran,” ucap Wira.“Aku harap begitu,” ucap Pangeran Sakai sambil memandang lautan di hadapannya dengan nanar.***Sementara itu, Gajendra telah berh
Bimantara berjalan dengan tongkat hitamnya di pedesaan pinggir laut itu. Dia sudah tidak lagi menggunakan kaki cahaya naganya. Dia melihat di pulau seberang sudah tidak ada lagi bangunan tinggi yang memiliki menara yang menjulang. Bagunan Perguruan Matarhari telah lenyap di sana. Perkampungannya tampak sunyi. Beberapa rumah tampak sudah hancur berkeping-keping. Hanya ada beberapa rumah yang tampak baik-baik saja.Bimantara tidak tahu siapa yang masih hidup di negeri itu. Setelah dia memeriksa tiga kerajaan Nusantara yang hancur berkeping-keping, dia mengendalikan naganya untuk kembali ke kampung halamanannya.Bimantara berdiri di sisi tebing itu. Dia teringat saat menemui Dahayu di sana dahulu."Tahun depan aku akan menjadi murid di sana!" ucap Bimantara tiba-tiba. Memecah lamunan tiga remaja di hadapannya itu. Seolah ingin menunjukkan pada Dahayu bahwa tanpa kaki satu, dia masih layak mengejar impiannya. Tiga remaja itu menoleh ke arah Bimantara bersamaan. Saat menyadari yang bicara
Setelah itu keadaan menjadi hening. Putra Mahkota Iblis dan keempat saudaranya benar-benar sudah mati. Bahari tersenyum.“Sekarang aku bisa mati dengan tenang,” ucap Bahari.Bahari pun memejamkan matanya. Kini Bimantara, Tanaka, Pendekar Dua Alam dan Pendekar Sungai Panjang kembali merasakan dingin.Sementara Bimantara langsung berlari menuju Raja Dawuh yang tidak lagi bernyawa itu. Dia memeriksa tubuhnya. Denyut nadinya sudah berhenti. Bimantara menangis sambil memeluk mayatnya.“Maafkan aku yang tidak bisa menjagamu!” isak Bimantara.Tanaka, Pendekar Dua Alam dan Pendekar Sungai Panjang berjalan mendekat ke arahnya.“Kita sudah berhasil Bimantara,” ucap Tanaka.Bimantara pun menutup mata Raja Dawuh lalu berdiri di hadapan ketiga Panglimanya yang tersisa itu.“Tapi kita tidak berhasil mencegah mereka menghancurkan setiap kerajaan di atas muka bumi ini,” ucap Bimantara menyayangkannya. “Dan aku tidak berhasil menjaga Bahari dan Raja Dawuh.”“Aku yakin mereka akan tenang di nirwana kar
“Aku bisa melakukannya tanpa harus membangkitkan Dahayu kembali,” ucap Bimantara.Pendekar Dua Alam mengernyit mendengarnya.“Cahaya di tubuh Dahayu sangat berguna untukmu, Bimantara. Jika cahaya kalian menyatu maka tidak ada satupun yang bisa melawan kalian, termasuk para Iblis itu,” protes Pendekar Dua Alam.“Dahayu telah mengalirkan cahayanya kepadaku,” ujar Bimantara.“Tapi cahayanya telah menyusut di tubuhmu,” protes Pendekar Dua Alam.Raja Dawuh pun bangkit.“Jika kau menolaknya karena sudah mengkhianatinya, aku rasa Dahayu akan mengerti, Bimantara. Kita tidak memiliki cara lain untuk membunuh mereka!” tambah Raja Dawuh.“Jangan paksa aku!” teriak Bimantara.Bimantara pun mengeluarkan tenaga dalamnya, dia pun langsung mengalirkannya pada Pendekar Dua Alam, Raja Dawuh, Bahari, Pendekar Sungai Panjang dan Tanaka.“Jangan lakukan itu, jika tidak tenagamu akan habis!” protes Tanaka yang menerima aliran tenaga dalam dari Bimantara.Bimantara tidak menggubris perkataan Tanaka. Tenaga
“Jangan menangis,” pinta Ki Walang.“Aku tidak berhasil menjadi Chandaka Uddhiharata, Tuan Guru,” isak Bimantara. “Dunia sudah dihancurkan anak-anak iblis itu. Tiga kerajaan Nusantara telah habis terbakar, juga istana-istana di kerajaan lain. Sebentar lagi semua manusia akan mati. Mungkin aku juga akan mati. Padahal aku sudah membawa kelima Panglima terbaik di dunia ini.”“Apakah seperti ini akhirnya seorang murid yang sangat aku banggakan itu?” ucap Ki Walang sedikit marah. “Dahulu aku kagum padanya karena keterbatasannya dia memiliki cita-cita begitu agung untuk menjadi seorang pendekar yang berguna bagi sesama. Pahadal dia hanya memiliki kaki satu, tapi dia ingin memiliki jurus tendangan seribu.”Bimantara terdiam mendengar itu.“Hal yang tidak mungkin. Siapapun yang mendengarnya pasti akan tertawa karena ketidakpercayaannya. Tapi aku percaya akan itu. Akhirnya aku ajarkan semua ilmuku padamu. Dan kini, kau mengeluh disaat nyawa masih berada di dalam ragamu?!” teriak Ki Walang.“Ap
Bimantara kembali menyerang Putra Mahkota Iblis yang tampak geram. Dia menggunakan segala jurus yang dia punya untuk melawannya. Sekuat tega Bimantara lakukan sendirian untuk melawannya. Berbagai serangan yang dilakukan Bimantara berhasil dilawannya dengan baik. Bimantara tampak kewalahan dan hampir saja kehilangan tenaga.“Kita harus membantunya,” pinta Raja Dawuh yang tampak khawatir pada Bimantara.“Aku tahu kau seorang raja,” sahut Tanaka. “Tapi yang paling penting dari sebuah tim adalah mengikuti arahan Pimpinannya. Sekarang kau bukan seorang raja lagi. Kau harus mengikuti permintaan Bimantara yang meminta kita menjaga Pendekar Dua Alam sampai dia selesai melakukan ritualnya. Nyawa kita sekarang untuk Pendekar Dua Alam.”“Tapi dia bisa mati melawan Putra Mahkota Iblis itu sendirian,” ucap Raja Dawuh semakin khawatir.“Percaya saja,” pinta Tanaka menenangkannya.Sementara Pendekar Sungai Panjang masih berusaha menggunakan tenaga dalamnya untuk mengembalikan tulang-tulang yang pata
Bimantara terbang ke atas langit. Tubuhnya mengeluarkan cahaya. Sesaat kemudian dia meluncur ke bawah lalu menggunakan jurus tendangan seribunya untuk menghalau roh-roh hitam yang menyerang mereka. Satu persatu dari roh-roh hitam itu terpelanting jauh dan terbakar.Bahari dan Pendekar Sungai Panjang terngaga melihatnya. Bimantara pun kembali mendarat di dekat mereka dengan sorot mata yang masih menyala. Putra Mahkota Iblis di dalam benteng itu tampak geram. Dia berteriak lalu mengeluarkan cahaya di tubuhnya. Gemanya hampir saja memecahkan dinding pembatas tak terlihat.“Sekarang saatnya kau harus memecahkan dinding pembatas tak terlihat itu,” pinta Bahari.Bimantara mengangguk.“Semuanya segera bersiap!” pinta Bimantara pada kedua Panglima yang menemaninya itu.Bahari dan Pendekar Sungai Panjang mengangguk. Mereka pun sudah bersiap dengan jurus masing-masing.Bimantara menoleh pada Tanaka dan Raja Dawuh yang masih menjaga Pendekar Dua Alam yang sedang membangkitkan para pendekar sakti
Putra Mahkota Iblis itu berhenti berlari menuju benteng yang terbuka itu. Iblis itu menatap kepada empat saudaranya yang ikut berhenti.“Berpencarlah kalian semuanya,” pinta Putra Mahkota Iblis. “Hancurkan semua kerajaan di muka bumi ini! Biar aku saja yang menghadapi musuh kita di depan benteng sana!”“Tapi mereka telah membunuh adik bungsu kita,” protes salah satu dari mereka. “Kita harus bersama-sama membunuh mereka sebelum kita keluar dari negeri ini dan menghancurkan semua kerajaan di atas muka bumi ini!”“Diriku sendiri sudah cukup untuk membunuh semuanya! Ikuti perintahku jika kalian masih menganggapku sebagai pengganti Raja!” teriak Putra Mahkota Iblis itu pada adik-adiknya.“Baiklah,” jawab salah satu dari mereka.Empat anak-anak Iblis yang perkasa itu pun langsung melompati benteng yang luas nan tinggi itu. Mereka berpencar ke empat penjuru untuk menghancurkan kerajaan-kerajaan di berbagai wilayah.Sementara Bimantara di luar benteng itu tampak terkejut melihat para Iblis it
“Biar aku saja yang menghadapinya,” ucap Tanaka pada Bimantara.Bimantara mengangguk. Tanaka pun langsung melompat dari punggung naga lalu terbang melawan Pendekar Tombak Angin. Tanaka mengeluarkan golok hitamnya, sementara Pendekar Tombak Angin mengeluarkan pedangnya. Mereka berdua bertarung di atas langit.Bimantara menoleh pada Bahari, Pendekar Sungai Panjang, Pendekar Dua Alam dan Raja Dawuh.“Kalian serang prajurit mereka!” perintah Bimantara.Keempat Panglimanya itu mengangguk. Mereka langsung mengendalikan naga masing-masing lalu naga-naga yang ditunggangi mereka itu menghembuskan api dari mulut mereka untuk membakar ribuan prajurit yang berusaha memecahkan benteng tinggi itu. Sebagian prajuritnya mati terbakar karenanya. Para prajurit yang lain berusaha menyerang mereka dengan senjata masing-masing.Dengan sigap Raja Dawuh menggunakan kekuatannya untuk melelehkan pedang dan senjata lainnya yang digunakan para prajurit itu. Seketika senjata mereka meleleh.Sementara Bimantara l
Ribuan burung besar yang membawa Pendekar Tombak Angin dan pasukan roh-nya telah tiba di daratan negeri salju itu. Angin dingin berhembus menusuk tulang. Pendekar Tombak angin yang berada paling depan di punggung burung besar itu tampak menggigil. Ribuan tentaranya pun tampak kedinginan. Burung-burung besar itu pun tampak sudah lemah memasuki negeri salju itu, mereka tidak kuat akan dinginnya negeri itu.Pendekar Tombak Angin melihat patung es raksasa yang sedang memegang tongkat di hadapan benteng tinggi yang memutih. Ribuan prajurit di dekatnya pun mematung, mereka bagai patung es yang dipahat oleh seorang seniman yang masyhur.“Apakah dia Bubungkala?” tanya Pendekar Tombak Angin pada tiga makhluk hitam yang kedinginan di dekatnya. Tiga makhluk hitam itu terbang mengikutinya.“Benar, Tuanku,” jawab Makhluk hitam itu. “Dia yang paling bungsu dari ke enam saudara Iblismu.”Pendekar Tombak Angin tampak tidak kuat lagi karena dinginnya tempat itu.“Sekarang keluarkan batu dari neraka it